Category: Lapindo di Media

  • Warga Kecewa Lumpur Lapindo Dijadikan Objek Wisata

    Warga Kecewa Lumpur Lapindo Dijadikan Objek Wisata

    SURABAYA – Keputusan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur menetapkan kawasan lumpur Lapindo sebagai daerah tujuan wisata melukai perasaan warga korban lumpur.

    Ketua Paguyuban Ojek Tanggul Lapindo, Mustofa, mengatakan keputusan tersebut menunjukkan pemerintah tidak peduli terhadap nasib korban lumpur Lapindo. Pemerintah juga tidak menyelesaikan pembayaran ganti rugi oleh PT Lapindo Brantas.

    “Apa yang dikatakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menafikan apa yang dialami para korban lumpur. Kami tidak setuju kawasan lumpur Lapindo menjadi daerah wisata,” kata Mustofa, Jumat (5/3).

    Agus, warga Desa Renokenongo, mengaku setuju keputusan Dinas Pariwisata asal keuntungan dari bisnis ini sebagian diberikan kepada para korban. “Jika alasannya untuk meningkatkan PAD (pendapatan asli daerah) sah-sah saja. Tapi harus diperhatikan, bagaimana kondisi warga yang kini masih menanti ganti rugi,” ujarnya. (Yovinus Guntur Wicaksono)

    (c) vhrmedia.com

  • Galak di Century, Jinak di Lapindo

    Galak di Century, Jinak di Lapindo

    JAKARTA – Anggota DPR, yang kata Gus Dur seperti anak-anak TK,terlihat begitu galak dalam kasus skandal Century. Mereka seakan-akan menjadi pahlawan dalam membela uang rakyat sebesar Rp. 6,7 trilyun yang digelontorkan ke Bank Century.

    Anehnya dalam kasus lumpur Lapindo, Anggota DPR seperti kehilangan akal sehat. Mereka sepakat mengikuti seruan iklan Lapindo yang menyatakan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo adalah bencana alam dan tidak terkait pengeboran.

    Bahkan, seperti ditulis oleh detik.com, “Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (P2LS) mendesak pemerintah segera menetapkan status bencana pada lumpur Sidoarjo dan menindak sesuai UU yang berlaku,” ujar Wakil Ketua Tim P2LS DPR Priyo Budi Santoso saat menyampaikan laporan Tim P2LS dalam Sidang Paripurna DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (29/9/2009).

    Kenapa anggota DPR begitu jinak dalam kasus Lapindo? Apakah karena Lapindo adalah bagian dari Group Bakrie, yang mantan petingginya kini menjadi Ketua Umum Golkar? Jika demikan halnya ini adalah preseden buruk di negeri ini. Nanti jika ada korporasi yang bermasalah dengan warga lokal, bisa bebas melenggang asal memiliki akses ke elite partai politik.

    Jadi sebenarnya di negeri ini, kedaulatan ada di tangan partai politik dan korporasi besar, bukan di tangan rakyat. (firdaus cahyadi)

    (c) politikana.com

  • Ratusan Korban Lumpur Lapindo Tuntut Sertifikat Rumah

    Ratusan Korban Lumpur Lapindo Tuntut Sertifikat Rumah

    SIDOARJO – Sekitar 200 korban lumpur yang tinggal di perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV) Kabupaten Sidoarjo berunjukrasa menuntut proses akad jual beli rumah dipercepat. Sebab lambatnya proses akad jual beli akhirnya berimbas dengan tidak keluarnya sertifikat rumah, Rabu (3/3).

    Aksi warga ini dimulai berangkat dari perumahan KNV di Desa Jati Kecamatan Kota Kabupaten Sidoarjo. Mereka berkonvoi menggunakan sepeda motor menuju ke pendopo Kabupaten Sidoarjo.

    Tujuan warga datang ke pendopo Delta Wibawa Sidoarjo untuk menemui Bupati Sidoarjo Win Hendrarso. Mereka meminta bupati agar memperjuangkan tuntutan warga yaitu memperoleh sertifikat rumah agar ada kejelasan soal kepemilikan rumah di KNV.

    Sebelumnya warga bersedia memilih program cash and resettlement dari PT Minarak Lapindo Jaya juga atas imbauan bupati. Namun setelah satu tahun setengah menempati rumah di KNV, ternyata proses akad jual beli rumah tersendat dan berdampak pada tidak keluarnya sertifikat.

    “Kita tidak tenang kalau belum memiliki sertifikat. Kenapa sertifikat tidak segera diberikan padahal rumah ini kan dibeli cash,” kata koordinator aksi Chamim Putra Gofur.

    Di perumahan KNV sekarang sudah dihuni 500-an warga korban lumpur dari rencana total 1.500 korban lumpur. Dari 500 warga yang menghuni di perumahan korban lumpur ini, ternyata baru 40-an warga yang sudah jelas kepemilikan sertifikatnya. “Namun sertifikat tersebut juga masih disimpan di kantor Badan Pertanahan Nasional dan belum diserahkan warga,” kata Suharjo, salah satu korban lumpur yang menghuni KNV.

    Aksi warga korban lumpur ini akhirnya bergeser ke Gedung DPRD Kabupaten Sidoarjo karena bupati Win Hendrarso yang akan ditemui tidak berada di tempat. Dalam aksinya di depan gedung dewan, mereka menuntut wakil rakyat untuk memfasilitasi pertemuan dengan pihak pengembang perumahan KNV, kepala BPN Sidoarjo dan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso.

    Ketua DPRD Sidoarjo Dawud Budi Sutrisno akhirnya bersedia keluar menemui pengunjukrasa. Namun ketua DPRD meminta waktu karena tidak bisa secara langsung memenuhi permintaan warga. “Saya janjikan bisa memanggil semua pihak yang diinginkan warga besok. Saya mohon besok warga kembali ke sini namun perwakilan saja,” kata Dawud.

    Namun warga menolak tawaran Dawud. Warga mendesak agar diadakan pertemuan pada hari itu juga. Akhirnya Dawud menyerah dan berusaha memanggil semua pihak yang diinginkan warga untuk bertemu di DPRD Sidoarjo.

    (c) metrotvnews.com

  • Warga Lumpur Lapindo Tuntut Jaminan Hidup

    Warga Lumpur Lapindo Tuntut Jaminan Hidup

    SIDOARJO – Korban Lumpur asal Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi, Kecamatan Porong menuntut agar bantuan sosial berupa jaminan hidup diteruskan. Pasalnya, saat ini aset mereka belum diganti oleh pemerintah.

    Bukan hanya jaminan hidup, korban lumpur yang kawasannya tidak masuk peta terdampak ini minta segera diberi ganti. Sehingga, mereka bisa segera pindah dari rumahnya yang sudah tidak layak huni.

    Tuntutan korban lumpur itu disampaikan saat bertemu dengan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso dan Kepala BPLS, Sunarso di Pendopo Pemkab Sidoarjo, Selasa (2/3/2010).

    “Jaminan hidup Rp300 ribu per kepala keluarga yang kami terima sudah dihentikan. Padahal rumah dan tanah kami belum mendapat ganti rugi,” ujar Bambang Kuswanto, perwakilan warga Siring Barat.

    Korban lumpur asal tiga desa itu, selama ini hanya diberi uang evakuasi Rp500 ribu, uang kontrak Rp2,5 juta, dan uang jaminan hidupu Rp300 ribu selama enam bulan. Untuk jaminan hidup sudah berakhir Desember 2009 lalu. Padahal, saat ini sebagian dari mereka masih tinggal di rumahnya.

    Selain dihadiri bupati dan kepala BPLS, dalam pertemuan itu juga dihadiri Kapolres Sidoarjo AKBP M Iqbal, Wakil Ketua DPRD Khulaim, Deputi Bidang Sosial BPLS Sutjahyono, Ketua Pansus Lumpur DPRD Kabupaten Sidoarjo Sulkan Wariono dan Kepala Bappekab Kamdani.

    Dalam pertemuan yang berjalan hampir dua jam lebih itu, beberapa warga korban lumpur menyampaikan unek-unek mereka.

    Korban Lumpur di tiga desa itu sebanyak 9 RT. Selain di kawasannya muncul semburan baru, rumah warga juga retak-retak akibat penurunan tanah.

    “Kami minta kejelasan ganti rugi lahan dan rumah warga yang sudah tertuang dalam Perpres 40/2009 lewat dana APBN. Kondisi warga di sembilan RT saat ini sudah cukup mengkhawatirkan, rumah dan lahan kami sudah tidak layak huni,” ujar Sugiono, juga korban lumpur asal Jatirejo Barat.

    Perwakilan korban lumpur ini mendatangi Bupati Win Hendrarso agar ikut menyelesaikan permasalahan ini. Mereka ingin, sebelum selesai masa jabatannya, Win Hendrarso bisa memperjuangkan nasib korban Lumpur tiga desa ini.

    Abdullah Faqih, perwakilan korban Lumpur dari Jatirejo Barat menambahkan, mereka dijanjikan akan diberi jadup dan akan dicairkan 5 Januari namun tidak juga kesampaian. Kemudian dijanjikan lagi 5 Februari, tapi tidak juga dilaksanakan.

    “Sekarang dijanjikan akan diberikan awal April nanti, kita lihat saja nanti,” tandasnya.

    Abdullah Faqih menjelaskan, ada sekira 250 jiwa yang ada di wilayahnya yang belum mendapatkan jaminan hidup. Jumlah tersebut berada di wilayah dua RT, yakni RT 1 dan RT 2. Sedangkan di Siring Barat dan Mindi, juga ada ratusan KK yang harus diberi jaminan hidup.

    Win Hendrarso sendiri meminta warga untuk tetap sabar. Win mengaku, bersama Gubernur Jawa Timur akan tetap memperjuangkan nasib mereka ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

    “Saya tidak bisa berbuat banyak. Dan yang bisa menentukan kebijakan tersebut hanya pemerintah pusat sebagai pengambil keputusan. Saya sampai gemas, ternyata masih ada warga saya yang belum mendapat ganti rugi,” ujar Win Hendrarso.

    Win menambahkan, dia akan mengirimkan surat rekomendasi kepada Ketua Dewan Pengarah dengan tembusan kepada Gubernur Jawa Timur. Namun, sebelum surat tersebut dikirimkan, dirinya meminta kepada Camat Porong dan Jabon untuk membuat rekomendasi inventarisasi usulan warga.

    Sementara itu, Kepala BPLS Sunarso mengaku pihaknya tidak bisa berbuat banyak terkait dengan pengambilan keputusan. Sebab, BPLS hanya sebatas pelaksana saja dan yang mengambil keputusan adalah dewan pengarah BPLS.

    “Kalau sudah ada keputusan dari dewan pengarah, pasti akan kami laksanakan. Termasuk uang jaminan hidup dan uang kontrak rumah. Kalau sudah keluar, akan segera kita saluran karena uang itu dari APBN,” urai Sunarso. (Abdul Rouf/Koran SI/hri)

    (c) okezone.com

  • Trio Lapindo Bersaing, Korban Lumpur Protes Bakrie

    Trio Lapindo Bersaing, Korban Lumpur Protes Bakrie

    Sidoarjo – Majunya trio petinggi Lapindo dalam pencalonan Bupati Sidoarjo periode 2010-2015 diprediksi bakal mendapat perlawanan dari korban lumpur akhirnya mulai terasa.

    Di tengah Bambang Prasetyo Widodo (direktur operasional PT Minarak Lapindo Jaya), Yuniwati Teryana (Vice President Relations and Social Affairs Lapindo Brantas Inc), dan Gesang Budiarso (Komisaris Lapindo Brantas Inc) membangun pencitraan, mendadak muncul baliho yang bernada pedas.

    Pengamatan detiksurabaya.com, Selasa (2/3/2010), baliho yang backgroundnya berwarna hitam itu terpasang di sekitar Stadion Delta Surya.

    Baliho yang salah satunya tertanda Paguyuban Warga Kahuripan mempertanyakan keluarga Bakrie terhadap penyelesaian korban lumpur. Bunyi baliho tersebut adalah “Mana Komitmen mu! Bakrie. 1 Selesaikan Rumah Kami 2.Selesaikan AJB dan Sertifikat”.

    Menariknya lokasi pemasangan baliho sengaja berdekatan dengan baliho milik Bambang Prasetyo Widodo alias Wiwid dan Yuniwati Teryana. (Budi Sugiharto)
    (c) surabaya.detik.com

  • Raga Rusak, Jiwa Terkoyak

    Di warung es sederhana itu, beberapa orang tampak gusar. Mereka seolah lelah menunggu sang penjual kembali dari dalam rumah. Tak lama, Budi, sang penjual itu, hadir dengan wajah murung. Melihat pembeli yang tengah gusar dan mangkuk es yang belum terbungkus, Budi sumringah, teringat sesuatu. Bergegaslah ia masuk ke rumah menuju dapur dan mengambil sejumput karet ikat.

    “Ibu bertingkah demikian semenjak bubbles Siring Barat membesar,” tutur Ony, anak Budi Rahayu. Tidak hanya bubbles ternyata yang mengoyak hidup Budi Rahayu. Rumah di Siring Barat, Kecamatan Porong, Sidoarjo, yang mereka tinggali itu selalu kebanjiran walaupun tidak hujan, retakan merata di lantai dan dinding sebagai akibat land subsidence (amblesan tanah), air tercemar, dan udara pun busuk dengan tingkat kandungan Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) yang membahayakan. Kesemuanya berpadu mengisi kehidupan harian keluarga Budi Rahayu.

    Sementara itu, satu persatu karib menghilang; mencoba mencari penghidupan yang lebih layak. Dan sampai saat ini, hanya segelintir yang tersisa. Bertahan dari bertubi-tubi ancaman yang menerpa setiap saat.

    Siring Barat sendiri merupakan salah satu daerah yang telah dinyatakan berbahaya dan tidak layak huni oleh pemerintah melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS)–selain Mindi dan Jatirejo Barat–melalui Peraturan Presiden No. 48 Tahun 2009. Dan semenjak Perpres yang terbit September 2009 tersebut diberlakukan, ketiga wilayah ini harus sesegera mungkin dikosongkan. Untuk itu pemerintah telah memberikan bantuan berupa uang kontrak selama dua tahun sebesar Rp 2.500.000, biaya evakuasi Rp 500.000 dan jaminan hidup Rp 300.000 setiap bulan per kepala selama 6 bulan.

    Budi Rahayu tak menduga kehidupannya berubah. “Sebagian besar warga telah mengungsi. Mereka tidak tahan dengan kondisi buruk ini. Demikian juga saya. Hasil tabungan dari hasil penjualan es campur selama dua puluh tahun telah saya belikan sebuah rumah di Perumahan Mutiara Citra Asri (MCA), Kecamatan Candi, Sidoarjo,” tuturnya. “Namun, rumah ini telah memberikan kesan kepada saya dan keluarga: warung yang menafkahi keluarga, kerabat yang selama ini menghiasi hidup saya, dan tanah peninggalan orangtua. Rasanya berat untuk meninggalkan semua itu!“

    Dalam usaha mempertahankan rumah, pengorbanan tak terhindarkan. Namun tetap saja semua sia-sia. Rupanya semburan lumpur lebih ganas dari upaya Budi Rahayu. Ia sulit meninggalkan rumah, tanah, dan sejarahnya, maka ia tetap nekat untuk tinggal dan berjualan di Siring Barat.

    Tak aneh jika kondisi hidup yang mengguncang itu kemudian menggangu perasaan dan pikiran. Anthony Liliefna, seorang dokter pada Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr. Radjiman Wediodiningrat, menuturkan tentang dampak traumatis terhadap kesehatan jiwa. Baginya, peristiwa sedahsyat lumpur panas Lapindo musti memberikan tekanan terhadap mental (stress) warga. Kondisi ini tidak hanya menimpa korban langsung, namun juga seluruh warga di tiga kecamatan seputaran tanggul lumpur: Jabon, Porong dan Tanggulangin. Gangguan ini berpengaruh secara simultan terhadap kualitas hidup. Jika dibiarkan secara terus menerus dapat berubah menjadi psikotik. “Itu sangat tergantung dari seberapa besar tekanan juga ketahanan mental si penderita,” tambahnya.

    Sementara itu, dinas-dinas terkait seperti Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan cenderung mengatakan tidak ditemukannya permasalahan yang cukup berarti. “Tidak ada perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah semburan lumpur,” tutur Jauhari, Kabid Yankes Dinas Kesehatan Sidoarjo, dingin.

    Masih menurut Jauhari, “Stres merupakan peristiwa yang lumrah terjadi. Untuk masalah seperti semburan lumpur Lapindo tekanan pasti muncul. Hanya saja hal ini bukanlah persoalan yang cukup serius. Terkait lumpur Lapindo, masih banyak masalah kesehatan yang lebih diprioritaskan, seumpamanya tentang meningkatnya Infeksi Saluran Nafas Atas (ISPA) secara drastis. Selain itu, permasalahan kesehatan jiwa sangat kompleks, sakit maag, pusing dan denyut tidak teratur bukanlah indikasi utama dari gangguan kesehatan jiwa!”

    Kesehatan jiwa warga pun seakan menjadi angin lalu; ia bukanlah penyakit yang tampak kasat mata, dan oleh karena itu keberadaannya dinomorduakan. Namun, untuk itu, Jauhari berkilah, “Bukannya mengabaikan kesehatan jiwa warga. Sebenarnya kami telah menurunkan tim untuk mengatasi gangguan kesehatan jiwa pada masyarakat korban. Namun, tim yang kami turunkan tidak menemukan adanya permasalahan jiwa pada masyarakat korban.”

    Agaknya yang dialami warga korban berbeda dari temuan tim Jauhari. Suatu ketika, seorang warga pernah bercerita tentang nasib buruk yang menimpa ayahnya di Ketapang, Kecamatan Tanggulangin. Dalam sesegukan kesedihan ia bercerita tentang rumah orangtuanya yang ditelan lumpur dan tentang perubahan perilaku yang terjadi pada ayahnya. “Saat itu, bapak tidak mau makan. Setiap hari hanya melamun, memandangi tanggul lumpur setinggi rumah berlantai tiga itu. Hingga pada suatu ketika, bapak jatuh sakit dan tak lama meninggal.”

    Pihak Lapindo maupun negara barangkali tak mendegar kisah ini. Mereka lebih sibuk mendengar cerita tentang Tuhan sebagai sebagai penanggung jawab utama tragedi ini. (fam/cen)

    (c) Kanal News Room

     

  • Perabotan Rusak Karena Sering Dipindahkan

    Perabotan Rusak Karena Sering Dipindahkan

    SIDOARJO – Sejak menyembur pada 29 Mei 2006 lalu, luapan lumpur Lapindo memaksa warga Porong dan sekitarnya mencari tempat tinggal baru. Uang kontrak rumah dua tahun yang diberikan Lapindo habis pada tahun 2008. Artinya, setelah 2008 warga korban lumpur Lapindo berjibaku mencari uang sendiri untuk mengontrak rumah.

    Amir (27) warga asal Desa Jatirejo mengatakan, setiap korban Lapindo pasti merasakan pindah rumah dan membawa serta perabot rumah yang memakan waktu, biaya dan tenaga. “Ini adalah pindahan saya dan keluarga yang keempat,” kata Amir saat ditemui di kontrakan barunya.

    Menurut Amir, korban Lapindo memiliki kendala saat mengontrak rumah dan memindahkan barang-barangnya. Karena saat masa kontrak rumah habis, dan akan di perpanjang, pemilik rumah pasti akan minta harga sewa yang lebih tinggi dari sebelumnya. Itu yang membuat korban lebih memilih mencari rumah kontrakan baru yang lebih murah walau jaraknya cukup jauh.

    “perabotan saya banyak yang penyok dan akhirnya rusak karena sering diangkut dan dipindahkan. Saya dan keluarga juga harus beradaptasi lagi dengan lingkungan yang baru,” kata Amir yang sekarang mengontrak rumah di desa Kejapanan, Gempol – Pasuruan.

    Amir lebih beruntung dari joni (23), warga asal Desa Jatirejo yang kini mengontrak rumah di Desa Besuki, Gempol – Pasuruan. Joni dan keluarganya telah tujuh kali pindah rumah kontrakan terhitung sejak pindah dari desanya ke Pasar Baru Porong.

    “Masa sewa rumah kontrakan saya akan habis akhir tahun ini. Saya pasti akan mengontrak rumah lagi karena akhir tahun ini saya masih belum punya rumah sendiri,” tambah joni saat membantu Amir memindahkan perabot rumah. (fahmi)

    (c) Kanal News Room

  • Publik Berhak Atas Informasi Penanganan Lumpur Lapindo

    Publik Berhak Atas Informasi Penanganan Lumpur Lapindo

    Surabaya – Lumpur Panas Lapindo yang telah menyembur lebih dari tiga tahun, menyisakan perih terhadap masyarakat di tiga kecamatan: Porong, Jabon, dan Tanggulangin. Kondisi ini semakin pelik, dikarenakan sedikitnya informasi yang tersedia mengenai penanganan yang dilakukan. “Kami memandang bahwa upaya-upaya yang dilakukan pemerintah melalui badan-badan publik yang berwenang perlu diinformasikan dengan baik kepada publik untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas kebijakan sebagai bagian dari komitmen pemerintah mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk dibidang sumber daya alam dan pengelolaan lingkungan hidup.,” tegas Direktur Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur, Bambang Catur.

    Pemberian informasi atas berbagai kebijakan dan tindakan strategis dari upaya-upaya pemerintah, diharapkan dapat mendorong pengetahuan publik atas kondisi yang selama ini masih berlangsung. Sehingga publik bisa memahami kondisi sebenarnya yang terjadi pada semburan lumpur tersebut.

    Sehubungan dengan hal itu, mulai pada tanggal 22 Februari 2010, Posko Keselamatan Korban Lapindo, Walhi Jawa Timur, Lembaga Hukum, HAM, dan Keadilan Indonesia (LHKI) Surabaya, dan Forum Warga Peduli Kebenaran (FWPK) mengajukan surat permintaan informasi terkait penanganan semburan lumpur panas kepada badan-badan publik. “Terdapat  sekitar 25 badan publik yang kami minta untuk memberikan informasi terkait semburan Lumpur Lapindo,” ungkap Jambore Christianto, wakil  Posko Keselamatan Korban Lapindo.

    Bambang Catur menambahkan bahwasanya hal ini telah diatur dalam Pasal 22 Ayat 7 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Oleh karena itu, Badan Publik yang diminta wajib memberikan jawaban tertulis selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak permohonan informasi diterima.

    “Adalah kewajiban bagi badan publik untuk memberikan informasi tersebut sebagaimana diamanatkan dalam undang undang KIP. Apabila tidak diindahkan oleh badan publik yang bersangkutan, hal ini dapat meiliki implikasi hukum,” kata Subagyo, SH advokat yang tergabung dalam LHKI.(cen/vik)

    (c) Kanal News Room

  • Walhi Minta Penanganan Lapindo Disampaikan Terbuka

    Walhi Minta Penanganan Lapindo Disampaikan Terbuka

    SURABAYA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) meminta penanganan lingkungan di sekitar semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas disampaikan secara terbuka kepada masyarakat. “Memang pemerintah telah melakukan berbagai upaya, namun hingga kini masih menyisakan persoalan yang tak berkesudahan,” kata Direktur Walhi Jatim, Catur, di Surabaya, Senin (22/2).

    Catur mengatakan sejak Mei 2006 hingga saat ini semburan lumpur di tiga kecamatan, yakni Porong, Tanggulangin, dan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, masih terus berlanjut. Peristiwa yang menenggelamkan ratusan rumah penduduk itu telah menjadi perhatian publik, baik secara nasional maupun internasional. “Kami memandang upaya-upaya yang dilakukan pemerintah melalui badan-badan publik perlu diinformasikan dengan baik kepada publik untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas kebijakan,” katanya.

    Ia berharap, pemberian informasi atas berbagai kebijakan dan tindakan strategis dari upaya-upaya pemerintah tersebut dapat mendorong pengetahuan publik atas kondisi yang selama ini masih berlangsung. Dengan begitu, publik bisa memahami kondisi sebenarnya yang terjadi pada semburan lumpur tersebut.

    “Seperti kualitas lingkungan, terutama sungai yang menjadi tempat pembuangan lumpur Lapindo, masyarakat perlu tahu,” katanya.

    Selain itu masyarakat seharusnya juga perlu mendapatkan informasi terus-menerus mengenai pantauan Kementerian Lingkungan Hidup dan dinas lainnya. Oleh sebab itu, Posko Keselamatan Korban Lapindo, Walhi Jawa Timur, Lembaga Hukum, HAM, dan Keadilan Indonesia (LHKI) Surabaya, dan Forum Warga Peduli Kebenaran (FWPK) Surabaya mengajukan surat permintaan informasi terkait penanganan semburan lumpur panas kepada badan-badan publik di Jatim, Senin.

    Catur menambahkan, hal itu telah diatur dalam Pasal 22 Ayat 7 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam undang-undang itu dijelaskan, Badan Publik berkewajiban memberikan jawaban tertulis selambat-lambatnya sepuluh hari sejak permohonan informasi diterima.

    “Demikian juga, kami meminta salinan SP3 (surat penghentian penyidikan perkara) yang dikeluarkan Polda Jatim dalam kasus Lumpur Lapindo beberapa waktu lalu,” katanya.(Ant/BEY)

    (c) Metrotvnews.com

     

  • Bongkar Konspirasi Pengkambinghitaman Tuhan!

    Bongkar Konspirasi Pengkambinghitaman Tuhan!

    Jakarta – Dalam kasus lumpur Lapindo, DPR dan pemerintah satu suara mengatakan bahwa semburan lumpur itu fenomena alam tidak terkait pengeboran. Namun penemuan ilmiah justru membuktikan sebaliknya.

    ***

    Mei 2010 ini, sudah empat tahun semburan lumpur Lapindo menenggelamkan tanah dan rumah ribuan waga Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Bukan hanya rumah dan tanah yang hancur, melainkan juga harapan akan hidup sehat juga terancam. Sejak munculnya semburan lumpur, warga Porong dipaksa untuk menghirup udara beracun dan menggunakan air yang tercemar.

    Siapa yang harus bertanggungjawab? Pemerintah dan DPR sudah sepakat bahwa lumpur Lapindo adalah fenomena alam dan tidak terkait aktivitas pengeboran. Artinya, mereka sepakat untuk mengkambinghitamkan Tuhan dalam kasus semburan lumpur di Sidoarjo.

    Dengan satu suaranya DPR dan pemerintah untuk mengkambinghitamkan Tuhan dalam kasus semburan lumpur di Sidoarjo itu diharapkan tidak ada lagi yang ‘menganggu’ Lapindo untuk bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan itu.

    Namun, temuan terbaru para pakar geologi dunia seakan menjungkirbalikan konspirasi pengkambinghitaman Tuhan dalam kasus lumpur Lapindo.  Para ilmuwan geologi dunia kembali menemukan bukti bahwa semburan lumpur di Sidoarjo tidak terkait dengan gempa yang terjadi di Yogyakarta. Semburan lumpur itu, menurut para ilmuwan, seperti yang dimuat di The Journal Marine and Petroleum Geology, terkait dengan kegiatan pengeboran yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas. Kabar terbaru itu kemudian dimuat di berbagai media massa di Indonesia 12 Februari 2010

    Sebelumnya, mayoritas para pakar geologi yang bertemu di Cape Town, Afrika Selatan juga sepakat bahwa luapan lumpur di Sidoarjo adalah akibat proses pengeboran bukan bencana alam seperti yang selama ini diyakini pihak Lapindo dan pemerintah Indonesia. Bahkan dokumen rahasia PT. Medco, salah satu mitra PT. Lapindo Brantas dalam ekplorasi gas di blok Brantas, juga mengungkapkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo terkait dengan pengeboran. Dokumen itu kini telah tersebar luas di internet.

    Akankah para pengambil kebijakan di pemerintahan dan DPR tetap bersikeras untuk tetap pengkambinghitamkan Tuhan dalam kasus semburan lumpur di Sidoarjo? Ironis memang, di negeri yang mengaku berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, Tuhan pun bisa menjadi kambing hitam atas terjadinya sebuah tragedy kemanusiaan (Firdaus Cahyadi)

    (c) satuportal.net

  • Sekolah Darurat Tergusur Lumpur

    Oleh Daris Ilma dan Ahmad Novik

    {mp3remote}http://korbanlumpur.info/images/radio/sekolahditelantarkan.mp3{/mp3remote}

  • Sekolah Yang Berjibaku dengan Lumpur

    Sekolah Yang Berjibaku dengan Lumpur

    29 Mei 2006. Di Porong petaka terjadi; muncul lumpur panas yang diiringi oleh bau belerang yang menusuk. Tiga desa tenggelam seketika. Ribuan penduduk mengungsi. Warga teracuni. Parodi kemanusiaan terakbar dan terumit dalam sejarah Indonesia terhelat di Pasar Porong Baru.

    Demikian pula dengan MI Ma’arif. Sekolah kebanggaan warga Jatirejo ini turut mengungsikan aktivitasnya di Pasar Porong Baru. Berbaur dengan penggungsi yang lain di tempat yang paling kelam.

    “Setelah lumpur menyembur, gedung sekolah terendam sebatas mata kaki. Hanya saja kami memilih untuk pindah ke pengungsian karena kondisi gedung sekolah sudah tidak kondusif lagi untuk digunakan sebagai sarana kegiatan belajar mengajar,” ungkap Muhammad Chisom sengau.

    Sementara itu, kondisi pasar yang muram membelengu aktivitas pendidikan. Para guru tidak bergairah untuk mengajar. Anak didik terlena, terbawa suasana pengungsian. Kesemuanya berdampak cukup deras terhadap efektivitas kegiatan belajar mengajar.

    “Namun, kondisi pasar sudah sedemikian sesak: warga yang depresi, fasilitas yang minim, suasana belajar menjadi amburadul. Atsmosfer ini tidak baik untuk perkembangan anak didik kami. Oleh karena itu kami mencoba untuk membersihkan gedung sekolah yang lama; berharap mendapatkan keleluasaan dalam kegiatan kami. Ini semua demi prestasi anak didik kami,” tambah Siti Nur Febriani, salah seorang pengajar.

    Namun nasib buruk terus membayangi. Debit lumpur meningkat drastis. Tanggul jebol disana-sini. Tak lama, sekolah hanyut. Tertelan oleh lumpur yang mengganas. Sementara kegiatan mengajar tetap harus dijalankan.

    “Dikarenakan sekolah tenggelam dilahap lumpur, terpaksa kami memindahkan kegiatan pendidikan, sekali lagi, ke pasar. Di sana kami beraktivitas di Posko Pengungsian Gus Dur,” kenang Muhammad Chisom.

    Situasi pasar semakin tidak bersahabat. Terutama setelah timbulnya beberapa fenomena ganjal: ransum yang berulat, pemadaman listrik hingga pada pengusiran pengungsi dari pasar. Mencekam. Dan itu berimbas pada kondisi mental anak-anak. Aktivitas pendidikan pun terbengkalai, terpengaruh suasana pengungsian yang suram.

    “Walaupun kami mendapatkan tempat untuk aktivitas kami, pasar rasanya bukan tempat yang baik untuk melakukan aktivitas pengajaran. Untuk itu, saya berusaha mencari tempat yang nyaman: sebuah tempat dimana para anak didik kami bisa belajar dengan leluasa. Ini untuk memacu prestasi mereka. Selain itu, Pemkab Sidoarjo berinisiatif untuk mengosongkan pasar. Seandainya pasar sudah tidak dapat ditempati lagi kami harus kemana?”, ungkap Siti Masruroh, seorang pengajar yang lain.

    Kedungboto di kecamatan Porong  menjadi pilihan. Menempati gedung sekolah milik MI Ma’arif Kedungboto, kegiatan belajar dimulai siang hari. Namun, para orangtua murid berkeluh kesah tentang jarak yang jauh. “Jarak rumah saya ke Kedungboto sekitar lima kilometer. Setiap hari saya harus mengantar dan menjemput anak saya dengan sepeda ontel ini,” terang Nur Cholifah, orang tua murid.

    Selain itu, sebagian orangtua murid adalah korban lumpur; dan untuk saat itu mereka harus berjibaku dengan waktu. Bergerilya mencari nafkah, setelah semua mata pencahariaan terampas lumpur. “Pada saat itu jumlah murid kami menurun drastis. Dari sekitar 150-an menjadi hanya 36 anak didik,” terang  Muhammad Chisom.

    Di tengah kebimbangan tersebut, bantuan datang. MI Ma’arif diberi pinjaman sebuah ruko di Perumahan Sentra Porong untuk jangka waktu dua tahun. Kesempatan dimanfaatkan sambil menunggu bantuan dari pemerintah.

    Mengenai permohonan bantuan kepada pemerintah, Siti Nur Febriani menerangkan, “sebenarnya kami telah mengajukan permohonan bantuan kepada Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, namun hingga saat ini tidak ada respon!”

    Saat ini, kegiatan belajar mengajar diadakan secara bersahaja. Tanpa bangku, tanpa meja dengan media seadanya. Para murid belajar sambil lesehan, sedangkan para guru mengajar dengan prihatin.“Kami mengerti tentang kondisi orangtua murid yang sebagian besar merupakan korban lumpur. Untuk itu kami berupaya agar aktivitas pendidikan diadakan dengan sesederhana mungkin. Beruntung para orangtua murid makhfum dengan kondisi ini” terang Siti Maslika, staff Tata Usaha MI Ma’arif.

    Setelah semua kesesakan dan tekanan yang menimpa MI Ma’arif Jatirejo, kini para pengurus hanya bisa berharap sambil menahan geram dalam batin. “Harapan kami adalah kembali seperti sediakala. Hanya itu!” jawab para guru, tegas dan seksama. (Prim/vik)

    (c) Kanal News Room

  • Korban Lumpur Lapindo Ragu Pilkada Membawa Perubahan

    Korban Lumpur Lapindo Ragu Pilkada Membawa Perubahan

    SIDOARJO – April 2010 nanti, Kabupaten Sidoarjo akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ada beberapa nama yang sudah mulai berancang-ancang bertarung merebutkan kursi Bupati Sidoarjo, menggantikan Win Hendarso. Sebut saja H Saiful Ilah, Ketua DPC PKB sekaligus Wakil Bupati saat ini. Juragan tambak ini akan berdampingan dengan H. MG. Hadi Sutjipto yang saat ini menjabat sebagai Asisten Tata Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo.

    Ada lagi satu nama yang akan maju pada untuk merebutkan posisi bupati, yaitu Imam Sugiri, yang sekarang menjabat sebagai Ketua Kadin Sidoarjo.  Lewat Partai Amanat Nasional (PAN), Imam Sugiri bertekad meramaikan Pilkada.

    Selain itu, bakal calon dari kalangan petinggi Lapindo tak mau ketinggalan, yaitu Bambang Prasetyo Widodo alias Wiwied Soewandi. Saat ini Wiwied menjabat Direktur Minarak PT Lapindo Jaya, perusahaan juru bayar PT Lapindo Brantas yang menangani urusan jual beli aset tanah dan bangunan korban luapan lumpur. Lewat Partai Golkar, Wiwied berjanji akan menuntaskan persoalan sosial yang diakibatkan oleh lumpur Lapindo.

    Jika dilihat ke belakang, berbagai macam pemilihan umum, mulai dari pemilihan gubernur Jawa Timur, pemilihan anggota legistatif, hingga pemilihan presiden, semua tak memberikan perbaikan signifikan bagi kehidupan korban lumpur Lapindo. Bahkan, ganti rugi korban Lapindo yang dijanjikan dicicil 15 juta per bulan melalui rekening warga selambat-lambatnya tanggal 10 setiap bulanya, tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Seperti disampaikan Ainur Rofic (40 Tahun), warga Jatirejo, “Bulan Febuari ini kami belum menerima cicilan 15 juta, dan bulan kemarin juga telat sampai tanggal 30 Januari 2010,” tuturnya.

    Soal pencalonan Direktur Minarak PT Lapindo Jaya sebagai bakal calon Bupati Sidoarjo, ada beberapa pendapat dari korban Lapindo. Kus Laksono, Koordinator Tim 16 korban lumpur dari Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) I, misalnya, menilai Direktur operasional PT Minarak Lapindo Jaya, Bambang Prasetyo Widodo, yang mencalonkan diri melalui Partai Golkar, tidak pantas memimpin Sidoarjo. Alasannya, selama ini Wiwied gagal mengurusi persoalan jual beli aset warga korban Lapindo. “Bayangkan saja, Pak Wiwed tidak becus mengurusi ganti rugi, apalagi mau menjadi memimpin Sidoarjo,” katanya.

    Hal senada juga disampaikan oleh Muhamad Irsyad, warga Besuki Timur yang tidak masuk peta terdampak. “Menurut saya, siapapun yang jadi bupati nantinya tidak mungkin bisa memberikan perubahan pada nasib korban Lapindo, apalagi terhadap warga yang ada di luar peta seperti warga Besuki Timur,” tegasnya. “Lebih-lebih ada dari petinggi Minarak juga nanti mencalonkan diri. Menurut saya, ini penghinaan terhadap warga korban Lapindo. Selama 4 tahun kasus Lapindo, mereka tidak memberikan perbaikan, kok mau jadi bupati,” tambah Irsyad.

    Muhammad Zainal, warga Renokenongo yang masih belum terbayar sisa pembayaran 80 persen, berpendapat sama. Terhadap semua calon bupati Sidoarjo yang nanti maju, Zainal pesimis. Mereka tidak bisa membawa perubahan bagi Sidoarjo, apalagi bagi masyarakat korban lumpur Lapindo. “Jika mereka yang maju ingin membawa perubahan terhadap warga Korban Lapindo, kenapa tidak dari dulu membantu warga? Kenapa berambisi mencalonkan bupati dengan membawa perubahan bagi warga korban Lapindo?” katanya. “Apalagi dengan munculnya calon Bupati dari kalangan Minarak, Saya yakin warga akan menolak. Yang jelas selama ini tidak optimal dalam melaksanakan proses ganti rugi korban,” imbuhnya.

    Berkaitan dengan penyelesaian pembayaran aset korban lumpur Lapindo sendiri, setidaknya masih ada 20 warga Desa Gempolsari yang belum menerima pembayaran, baik 20 persen maupun 80 persen. Selain itu, ada sekitar 59 berkas warga Desa Jatirejo belum menerima sepeser pun. Sedangkan sekitar 300 lebih warga dari 4 desa terdampak masih terkatung-katung soal sisa pelunasan 80 persen. Lagi pula, pemerintah tidak memiliki program khusus terhadap pemulihan pendidikan dan perokonomian warga korban selama hampir 4 tahun. Sangat wajar jika warga korban lumpur Lapindo meragukan kemampuan para bakal calon bupati yang berlaga pada April nanti.(novik)

    (c) Kanal News Room

  • Kasus Lapindo Tak Kunjung Selesai, Warga Demo Lagi

    Kasus Lapindo Tak Kunjung Selesai, Warga Demo Lagi

    SIDOARJO – Seakan tak ada kata bosan bagi korban Lapindo untuk terus menuntut hak mereka yang belum juga dipenuhi oleh Lapindo dan Pemerintah. Kamis (18/02) mereka melakukan aksi demonstrasi diatas tanggul penahan lumpur di Desa Ketapang Kecamatan Tanggulangin. Warga menyatakan mereka tidak mengira kasus lumpur Lapindo yang melibatkan mereka akan menjadi sedemikian panjang.

    Haris (39) salah satu pendemo menerangkan ada sejumlah lima puluh orang dari lima desa yang berdemo hari ini, yaitu Kedung Bendo, Jatirejo, Siring, Glagaharum dan Gempol Sari. “Lima puluh memang jumlah yang sedikit untuk ukuran demo dalam kasus sebesar ini, tapi itu tidak mengurangi semangat kami untuk menuntut hak kami,” kata Haris yang desanya sering banjir pasca semburan lumpur.

    Menurut Haris, sudah tak terhitung lagi berapa kali korban Lapindo berdemo, dari jumlah puluhan hingga ribuan. Semua lapisan pemerintahan dari tingkat daerah sampai nasional-pun pernah didemo warga, tapi semuanya tidak mendapatkan hasil yang memuaskan.

    “Saya sendiri tidak tahu ini demo saya yang keberapa,” tambah warga asal Gempol Sari itu.

    Hal senada juga terjadi pada Sama’i (50), warga asal Desa Glagaharum Kecamatan Porong itu sudah dua tahun terakhir ikut berdemo, karena sawahnya yang telah rusak tidak termasuk wilayah yang akan diganti-rugi baik oleh Pemerintah maupun Lapindo.

    “Saya tidak akan berpanas-panasan untuk demo jika pihak yang terkait memenuhi hak-hak korban,” tutup Sama’i. [fahmi]

  • Warga Bukan Menghambat Pembangunan Tol

    Warga Bukan Menghambat Pembangunan Tol

    SIDOARJO – Puluhan warga di berbagai desa wilayah Kecamatan Porong, Sidoarjo, menolak menjual tanah mereka untuk proyek relokasi jalan tol Surabaya-Gempol. Hal itu dikarenakan warga tidak diberi hak ikut menentukan harga tanah mereka sendiri.

    Warga tidak akan melepaskan tanah mereka kalau pemerintah tidak transparan mengenai hal ini. Purwo Edi (37 tahun), warga Desa Wunut Kecamatan Porong, mengatakan, warga yang masih mempertahankan tanah bukan bermaksud menghambat proyek pemerintah. Warga juga menolak disebut memanfaatkan keadaan untuk menjual mahal lahan mereka.

    “Warga yang masih bertahan ingin ikut menentukan harga tanah mereka. Saya dan warga hanya minta transparansi pemerintah daerah tentang berapa harga sebenarnya yang ditentukan dari pusat,” kata Edi saat ditemui di rumahnya.

    Menurut Edi, penawaran pertama yang dilakukan pemerintah pada 2007 di Pendopo Kabupaten Sidoarjo adalah Rp60rb per meter untuk tanah sawah yang masih produktif. Karena semua warga menolak akhirnya tawaran meningkat menjadi Rp 103 ribu dan kemudian tawaran terakhir Rp 120 ribu per meter.

    “Ya, akhirnya banyak yang yang setuju dengan tawaran terakhir. Itu pun dengan adanya intervensi dari aparat desa setempat. Tapi saya dan puluhan warga dari desa lain masih menolak dan bertahan,” tambah Edi.

    Hal senada juga diakui Kastawi (65 tahun), warga Desa Simo, Kecamatan Porong. Banyak warga Desa Simo masih menolak harga yang ditentukan pemerintah. Warga juga menduga adanya unsur KKN dalam proyek ini. Itu disebabkan berubah-ubahnya penawaran yang dilakukan pemerintah daerah dalam pembebasan tanah warga.

    “Kalau warga tidak diberikan kebebasan menetukan harga tanahnya, harusnya tim penilai independen yang menentukan, bukan pemerintah,” tandas Kastawi.(fahmi)

    (c) Kanal News Room

  • Sulit Melupakan Desa Asal

    Sulit Melupakan Desa Asal

    SIDOARJO – Puluhan korban lumpur Lapindo masih sering mengunjungi desa asal mereka. Hal ini mereka lakukan bukan semata hanya untuk mengais rejeki, tapi lebih untuk bisa bertatap muka dengan tetangga dan sanak saudara mereka di kampung dulu.

    Mereka berangkat dari tempat tinggal mereka di pagi hari dan pulang menjelang malam. Menurut Amir (27 tahun), salah satu warga, ia dan korban Lapindo yang lain menyediakan jasa ojek kepada para pengunjung yang naik ke atas tanggul dan berjualan kaset dokumentasi lumpur Lapindo. Tidak hanya itu, warga yang kebanyakan masih mengontrak ini juga memarkir atau menyeberangkan kendaraan.

    “Saya mengojek dan berjualan kaset di tanggul lumpur sudah dua tahun terakhir dan hasilnya tidak seberapa. Saya hanya selalu ingin melihat desa kelahiran saya, dan bercanda dengan teman serta tetangga yang senasib dengan saya,” kata warga asal Desa Jatirejo itu.

    Kebanyakan warga yang mengojek dan berjualan kaset tinggal di sekitar Kecamatan Porong, bahkan ada beberapa warga yang tinggal di wilayah Kabupaten Pasuruan. Walaupun demikian, mereka masih tetap menjalani aktivitas tersebut walau kadang pulang tak membawa hasil.

    Menurut Amir, tujuan warga tidak semata-mata untuk mencari uang, tapi bersosialisasi dengan teman sekampung. Udara sekitar yang tak sehat tidak pernah dihiraukan warga.

    “Saya tahu kalau udara di sini berbahaya. Tapi saya tidak tahu kenapa saya dan teman-teman saya betah berlama-lama di sini bahkan saat panas sekalipun,” tambah Amir sambil tersenyum.

    Pernyataan Amir diperkuat oleh Widodo (23 tahun), warga asal Desa Siring yang menjadi tukang parkir di sekitar tanggul. Tujuan utama warga adalah menjaga tali silaturahmi dengan teman lama dan mengais rejeki adalah yang kedua.

    “Rasanya berbeda bercanda dengan teman di desa tempat tinggal saya sekarang. Ada rasa tersendiri saat bertemu teman dari kecil walau tempatnya di tanggul yang panas dan berdebu,” kata Widodo. (fahmi)

    (c) Kanal News Room 

  • Siswa SD Tewas Tenggelam di Proyek Jalan Pengganti Raya Porong

     

    SIDOARJO – Proyek jalan arteri menghubungkan Porong dengan Gempol membawa korban jiwa. Seorang siswa sekolah dasar ditemukan tewas tenggelam di kolam penampungan air di proyek itu. Korban tewas itu bernama Fitri Handayani (10) asal RT 1 RW 1 Siring.

    Fitri sapaan akrabnya tewas setelah mencoba menolong temannya yang bernama Fajar. Fajar bisa tertolong tapi Fitri malah terjatuh dan tenggelam. Kejadian itu terjadi pada pukul 13.00 WIB, Jumat (12//2010).

    Menurut Totok (37) penjaga sekolah SDN Pamutan 2 Porong, dirinya mengetahui kejadian itu setelah Ferdi salah satu teman Fitri datang ke sekolah. Jarak sekolah dengan lokasi kejadian sekitar 500 meter.

    “Ferdi datang sambil menangis mengatakan kalau Fitri tenggelam. Saya langsung berangkat ke lokasi kejadian,” katanya kepada detiksurabaya.com di lokasi.

    Totok mengungkapkan pencarian terhadap tubuh Fitri membutuhkan waktu selama 45 menit. Dirinya mengaku kesulitan mencari karena kolam penampungan air itu lumayan dalam dengan kedalaman dan diameter 3 meter.

    Air keruh menurut dia juga menyulitkan dirinya melakukan pencarian. “Tubuh Fitri ketemu langsung saya angkat dan diantar ke rumah dengan sepeda motor,” tuturnya.

    Jenazah Fitri kemudian dibawa ke Puskesmas Porong dan divisum. Dari visum luar diketahui kalau di paru-paru gadis kecil itu penuh dengan air. “Korban meninggal dikarenakan paru-paru penuh dengan air dan mengakibatkan korban meninggal,” ungkap dr Anis, dokter Puskesmas Porong.

    Saat ini jenazah Fitri sudah berada di rumah duka dan akan segera dikebumikan. Sudirman, orangtua Fitri meminta pihak proyek untuk bertanggung jawab karena lokasi kejadian tidak ada larangan untuk mendekat. “Saya minta pimpro bertanggung jawab,” tandasnya.

    Kolam itu dibangun untuk menampung air ketika musim kemarau. Air dari kolam penampungan itu diperuntukkan menyiram jalan yang dibuat. Pasca kejadian kolam penampungan di police line. (wln/wln)

    (c) Suparno, detikSurabaya

     

  • Ilmuwan: Lumpur Lapindo Disebabkan Keteledoran Manusia

    Ilmuwan: Lumpur Lapindo Disebabkan Keteledoran Manusia

    Dalam keterangan yang dirilis oleh The Journal Marine and Petroleum Geology, sekelompok ahli yang berasal dari Universitas Durham di Inggris menyatakan, jika bukti baru yang mereka temukan adalah kecurigaan lubernya lumpur panas tersebut disebabkan oleh kesalahan manusia.

    Sebelumnya, Lapindo Brantas yang dianggap pihak yang paling bertanggung jawab atas bencana ini menanggap, semburan lumpur panas dari perut bumi disebabkan oleh gempa yang terjadi di Yogyakarta, yang letaknya sekira 280 kilomter dari Sidoarjo.

    Profesor Richard Davies dari Universitas Durham menyatakan, pekerja yang saat itu menggali lahan untuk mencari sumber gas, telah membuat kesalahan fatal. Menurut Profesor Davies, pekerja meremehkan tekanan yang dialami oleh sumur saat dilakukan penggalian. Davies juga menemukan, ternyata para pekerja tidak menggunakan pengamaan di sekitar sumur saat proses penggalian.

    Profesor Davies menambahkan, setelah gagal menemukan sumber gas, pekerja menarik bor keluar saat lubang hasil pengeboran dalam kondisi sangat tidak stabil.

    “Dengan menarik bor, sumur tersebut tidak terlindungi dari tekanan air dan gas dari formasi batuan di sekitar sumur. Hasilnya lumpur keluar seperti sebuah letusan gunung berapi, meskipun pengebor mencoba mati-matian untuk menghentikannya,” ungkap Profesor Davies seperti dikutip AFP, Jumat (12/2/2010).

    Hingga kini bencana lumpur Lapindo masih menjadi polemik. Sebagian warga yang rumahnya menjadi korban, memang sudah ada yang menerima ganti rugi. Namun lumpur tersebut berimbas luas kepada kelangsungan ekonomi masyarakat di Sidoarjo.

    Keengganan pihak Lapindo Brantas untuk mengungkap penyebab sebenarnya dari lumpur ini, patut dicurigai. Dengan adanya pendapat dari ilmuwan, pemerintah seharusnya bisa bertindak lebih berani mengingat lumpur panas tersebut telah menyebabkan kerusakan hebat pada lingkungan sekitar Sidoarjo. (faj)(rhs)

    (c) Fajar Nugraha – Okezone

     

     

  • Tak Pantas, Pencalonan Pimpinan Lapindo Jadi Bupati Sidoarjo

    Tak Pantas, Pencalonan Pimpinan Lapindo Jadi Bupati Sidoarjo

    Perlawanan dari dunia maya terhadap pencalonan Direktur Operasional PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) Bambang Prasetyo Widodo menjadi Bupati Sidoarjo, terus berlangsung. Setelah muncul group di Facebook (http://www.facebook.com/group.php?v=info&gid=293730966306)  untuk menolak pencalonannya, kini muncul polling terkait dengan hal tersebut.

    Di forum kaskus (http://www.kaskus.us/showthread.php?p=165995009&posted=1#post165995009). Hingga pukul 08.32 Wib menunjukan bahwa 57,14% responden menyatakan pencalonan Direktur PT.MLJ menjadi Bupati Sidoarjo sangat tidak pantas. Sementara 19,05% menyatakan tidak pantas, 4,76% menyatakan ragu-ragu dan hanya 19,05% yang menyatakan pantas.

    Rata-rata komentar di forum itu mengkuatirkan nasib korban lumpur jika Direktur PT.MLJ menjadi Bupati Sidoarjo.

    (c) Satuportal.net

     

  • Ratusan Korban Lumpur Lapindo Belum Dapat Ganti Rugi

    Ratusan Korban Lumpur Lapindo Belum Dapat Ganti Rugi

    SURABAYA  – Hingga saat ini, sedikitnya 116 korban semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas, belum mendapatkan biaya ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya.

    Anggota Komisi D DPRD Jatim, Jalaludin Alham, di Surabaya, Rabu (10/2/2010), mengatakan, dalam peta terdampak terdapat 12.886 berkas lahan yang menjadi tanggung jawab Lapindo. Satu berkas lahan terdiri dari dua hingga lima kepala keluarga (KK).

    “Namun, sampai saat ini, jumlah korban tersebut terus bertambah menjadi 13.237 berkas,” ungkapnya.

    Sementara itu, Ratusan korban yang belum mendapatkan ganti rugi itu, tambah Jalaludin, disebabkan mereka tidak mempunyai data yang valid tentang kepemilikan rumah dan lahannya.

    Di luar peta terdampak terdapat 1.788 berkas, yang meliputi Desa Besuki Barat dan Desa Kedung Cangkring, Kecamatan Penjarakan, Kabupaten Sidoarjo. Bulan Oktober 2008, pemerintah pusat memberi ganti rugi melalui APBN untuk 1.738 berkas.

    “Pembayaran ganti rugi terus dilakukan. Hingga November 2009, sisa berkas yang belum diberi ganti rugi yakni 44 berkas. Dengan demikian, total yang selesai terbayar 1.744 berkas,” kata Jalaludin.

    Pihaknya, imbuh Jalaludin, meminta kepada Lapindo untuk menyelesaikan sisa korban yang belum diberi ganti rugi. Warga juga diharapkan untuk melengkapi berkas kepemilikan rumah dan tanah.

    “Kami belum mendengar informasi tentang pembayaran sisa ganti rugi dari pemerintah kepada korban,” ucapnya

    (c) SURYA Online