Category: Lapindo di Media

  • Rusak Akibat Tambang Sirtu

    Rusak Akibat Tambang Sirtu

    PASURUAN –  Tidak ada upaya rehabilitasi terhadap bekas penggalian pasir batu (sirtu) di kecamatan Rembang, Pasuruan. Penambangan sirtu telah mengakibatkan kerusakan hebat di tiga wilayah, yakni dusun Jati, Dusun Balepanjang dan di sekitar desa Pandean juga desa Mojoparon. Kini, area penambangan membentuk lubang luas sedalam 7 meter yang dibiarkan menganga.

    Penambangan sirtu sendiri telah dilakukan semenjak tahun 2003 oleh CV. Wahyu. Namun semenjak Juli tahun 2006 terjadi peningkatan penggalian secara drastis. Peningkatan ini ditujukan bagi pembangunan tanggul-tanggul penahan Lumpur Lapindo di Porong. “Semenjak itu sumur dibelakang rumah saya mengering. Dan jika musim kemarau tiba, disini kita kesulitan mendapatkan air,” ungkap Muhamin (48 tahun), seorang warga Pandean.

    Mahfud, (37 Tahun)  warga Mojoparon, juga mengeluhkan hal yang sama. Ia mengungkapkan setidaknya 350 lebih sumur mengering pasca terjadinya peningkatan penggalian. Selain itu, Mahfud dan beberapa warga turut mengeluhkan dengan polusi serta kebisingan yang berasal dari areal penambangan.

    Kondisi penambangan yang mengganggu warga mencapai klimaksnya di awal tahun 2009. Pada saat itu warga menutup penggalian karena dinilai sudah sangat mengganggu.

    Upaya penutupan penggalian pernah dilakukan di awal tahun 2007. Namun pada saat itu, pihak Kodam V Brawijaya justru menjaga kelancaran penambangan sirtu, hal ini dikarenakan kondisi yang mendesak di Porong. Lumpur menyemburat keluar dengan debit yang sangat besar, oleh karena itu dibutuhkan sirtu dalam jumlah besar untuk menahan agar lumpur tidak meluber keluar.

    Tanggul-tanggul penahan Lumpur Lapindo kini berdiri tegak setinggi 10 meter dari permukaan awalnya. Setidaknya tanggul-tanggul ini membutuhkan sirtu dalam jumlah yang sangat besar. “Beberapa bulan yang lalu, dibutuhkan waktu dua bulan untuk menambah ketinggian tanggul sekitar Ketapang dengan panjang 1,2 kilometer, tinggi 2 meter dan lebar 8 meter,” ungkap Zulkarnaen, Humas Badan Penaggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Dimana hal ini mengindikasikan kebutuhan sirtu yang mencapai 19.200 meter kubik.

    Dan kini, upaya penanggulangan lumpur di Porong mengakibatkan kerusakan hebat di sejumlah kawasan penambangan sirtu seputaran Mojokerto dan Pasuruan. Kecamatan Rembang merupakan salah satu contoh yang cukup nyata. Namun, hingga saat ini belum ada upaya pemulihan terhadap area bekas penambangan. (Novik)

    (c) Kanal News Room

  • Porong Terancam Bencana Banjir

    “BMKG mempublikasikan 23 kecamatan di Jatim berpotensi banjir selama Februari,” kata pemerhati lingkungan Arif Rusdi di Surabaya, Jumat (5/2).

    Selain Porong yang terkena dampak luapan Lumpur Lapindo, potensi banjir di Jatim terjadi di Kecamatan Glagah, Klabang, Prajekan, Bareng, Wonosalam, Panekan, Plaosan, Bumiaji, Dau, Lawang, Jatirejo, Pungging, Jogorogo, Kendal, Mantingan, Bangil, Kejayan, Purwodadi, Purwosari, Gading, Pakuniran, dan Tanggulangin.

    “Kecamatan-kecamatan potensial banjir itu berada di Kabupaten Banyuwangi, Bondowoso, Jombang, Malang, Mojokerto, Nganjuk, Ngawi, Pasuruan, dan Sidoarjo,” paparnya.

    Namun, katanya, potensi banjir juga dapat terjadi di kecamatan lain dengan curah hujan sedang, seperti di beberapa kecamatan di Banyuwangi, Jember, Lumajang, Bojonegoro, Gresik, Mojokerto, Nganjuk, Ngawi, Pamekasan, dan Pacitan.

    “Dibandingkan dengan Januari, potensi banjir di bulan Februari lebih meluas. Kalau Januari, curah hujan tinggi hanya terjadi pada tujuh kecamatan yakni Glagah, Klabang, Wonosalam, Bumiaji, Jatirejo, Mantingan, dan Purwodadi,” tuturnya. (Ant/OL-01)

    (c) Media Indonesia

     

  • Suara Korban Lumpur Jadi Rebutan Calon Bupati Sidoarjo

    “Sidoarjo perlu perubahan,” katanya Jalaludin sambil memasukkan berkas pendaftaran sebagai calon Bupati Sidoarjo. Sebelum mendaftarkan diri, Jalaludin yang juga anggota dewan Provinsi Jawa Timur ini meninjau kawasan tanggul lumpur Lapindo. Bersama dengan pendukungnya, mereka menggelar doa bersama. Mereka mendoakan agar korban lumpur segera terlepas dari segala persoalan sosial yang dialaminya.

    Koordinator korban lumpur Lapindo di perumahan tanggulangin sejahtera I, Koes Sulassono meminta agar calon Bupati Sidoarjo memperhatikan nasibnya. Terutama menyelesaikan persoalan pembayaran ganti rugi lahan yang hingga kini tak ada kejelasan. Menurutnya, pembayaran angsuran setiap bulan selalu terlambat. “Januari di bayar Februari, pembayaran Februari gak jelas,” katanya.

    Ia meminta agar penderitaan korban lumpur tak dipolitisi untuk kepentingan jabatan tertentu. Koes secara tegas meminta agar korban lumpur jangan diseret ke politik praktis. Mengenai pilihan calon Bupati, ia menyerahkan sepenuhnya kepada korban lumpur untuk menentukan calon bupati yang dianggapnya paling baik.

    Secara pribadi, ia menilai Direktur operasional PT Minarak Lapindo Jaya, Bambang Prasetyo Widodo yang mencalonkan diri melalui Partai Golkar kurang pantas memimpin Sidoarjo. Alasannya, selama ini Bambang dianggap gagal menyelesaikan persoalan ganti rugi lahan. “Menyelesaikan korban lumpur gak bisa apakah mampu memimpin Sidoarjo,” katanya.

    EKO WIDIANTO
    (c) TEMPO Interaktif

  • Korban Lumpur Lapindo Hentikan Proyek Tanggul

    Korban Lumpur Lapindo Hentikan Proyek Tanggul

    SIDOARJO – Korban lumpur Lapindo, warga Desa Kedungbendo Kecamatan Tanggulagin Kabupaten Sidoarjo menghentikan proyek peninggian tanggul penahan lumpur, Kamis (4/2). Sejumlah pekerja dan operator buldozer mundur setelah puluhan warga berunjukrasa menuntut agar lahan mereka dibayar lunas.

    “Jangan didirikan tanggul, tanah ini milik kami,” teriak Kepala Desa Kedungbendo, Hasan.

    Mereka memprotes Lapindo Brantas, Inc yang tak membayar lahan yang kini tertutup lumpur Lapindo. Padahal, dalam sejumlah pertemuan Lapindo menjanjikan segera membayar ganti rugi lahan. Namun, hingga kini, sekitar 174 berkas lahan milik warga belum dibayarkan. Luas lahan milik warga, yang belum terbayar seluas 33 hektare.

    Selain itu, Hasan juga mengeluhkan lahan seluas 20 ribu meter persegi milik PT Teguh Rakhmat Jaya, perusahaan properti miliknya yang belum mendapat ganti rugi. Padahal, kini lahan senilai Rp 25 miliar yang dimilikinya telah tenggelam menjadi kolam penampung lumpur.

    “Lapindo telah merampas hak warga, saya memiliki bukti kepemilikan lahan,” katanya sambil mengacungkan sertipikat tanah yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional. Hingga kini, sekitar 17 kepala keluarga masih bertahan di Desa Kedungbendo berjarak sekitar 200 meter dari tanggul lumpur Lapindo.

    Deputi Sosial Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Bajuri meminta agar proses pengerjaan tanggul tetap dilanjutkan. Alasannya, kolam penampungan sangat dibutuhkan untuk menampung lumpur yang terus keluar dari pusat semburan. “Demi kebaikan semuanya,” katanya.

    Sedangkan mengenai proses ganti rugi lahan, merupakan kewenangan PT Minarak Lapindo Jaya. Saat ini, sekitar 114 berkas senilai Rp 9 miliar tengah diverifikasi untuk mendapatkan ganti rugi. Sedangkan lahan yang berada di Kedungbendo hanya enam berkas. Berkas belum diverifikasi karena belum dilengkapi dengan surat permohonan dan surat jual beli tanah atau surat waris.

    Sedangkan, untuk tanah milik perusahaan dilakukan dengan mekanisme ganti rugi tujuan bisnis. Menurutnya, mekanismenya berbeda dengan ganti rugi lahan milik warga korban lumpur Lapindo. Untuk menyelesaikan persoalan ini, Bajuri berjanji akan menghadirkan manajemen PT Minarak Lapindo Jaya agar masalah ganti rugi dengan warga segera tuntas.

    EKO WIDIANTO
    (c) TEMPO Interaktif

  • Komisi V Tanyakan Kendala BPLS Tangani Lapindo

    Komisi V Tanyakan Kendala BPLS Tangani Lapindo

    Bahkan Anggota dari Fraksi PDI Perjuangan Ian Siagian beranggapan, program-program yang telah dijalankan selama ini untuk mengatasi lumpur lapindo terkesan tambal sulam.

    Hal itu disampaikan saat Rapat Dengar Pendapat dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Rabu (3/10) yag dipimpin Wakil Ketua Komisi V H. Mulyadi (F-PD).

    Sejak pertama kali terjadinya semburan lumpur itu beberapa tahun lalu, sampai sekarang belum ada solusi yang dapat menghentikan semburan lumpur itu. Padahal, kata Ian, Pemerintah telah mengeluarkan anggaran yang cukup besar untuk mengatasi semburan lumpur itu.

    “Berapa besar lagi dana yang harus dikeluarkan pemerintah setiap tahunnya untuk mengatasi lapindo ini, tentunya harus dicarikan solusi yang tepat untuk mengatasinya,” kata Ian.

    Tentunya, kata dia, kita semua berharap persoalan ini dapat segera diselesaikan sehingga tidak menimbulkan dampak yang lebih serius lagi. Dan kita juga tidak menginginkan BPLS menjadi suatu badan yang permanen, karena semakin lama badan ini terbentuk, berarti permasalahan lumpur ini masih juga belum dapat diselesaikan.

    Hal senada dikatakan anggota F-PPP Norhasanah yang mengatakan, mengingat semburan lumpur ini akan berlangsung dalam waktu yang sangat panjang, maka perlu dibuat master plan perencanaan penanganan lapindo ke depan.

    Menurut dia, master plan ini sangat diperlukan untuk dapat memastikan langkah-langkah apa yang akan diambil selama kurun waktu tersebut. Karena hal ini menyangkut waktu yang panjang dan setiap tahunnya menghabiskan anggaran yang sangat besar untuk mengatasinya.

    Menanggapi hal itu, Kepala BPLS Sunarso mengatakan, peristiwa semburan lumpur Sidoarjo sebagai fenomena alam yang memiliki dua daya rusak yaitu di atas permukaan berupa luapan lumpur dan di bawah permukaan berupa deformasi geologi.

    Berdasarkan penelitian para ahli geologi, diperkirakan bahwa fenomena semburan lumpur akan berlangsung lebih dari 23 – 35 tahun. Pada perkembangan terkini, fenomena semburan lumpur panas tersebut diyakini sebagai aktivitas pembentukan gunung lumpur (mud volcano).

    Luapan lumpur ini telah menenggelamkan lahan seluas 640 Ha berupa sawah dan pemukiman serta infrastruktur vital berupa tol, pipa gas, jaringan SUTT. Apabila tidak dikendalikan, wilayah yang tenggelam akan semakin luas dan akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan negara yang semakin besar.

    Sunarso menambahkan, mengingat semburan lumpur panas merupakan mud volcano yang tidak dapat dihentikan, maka penanganan yang dilakukan BPLS adalah membatasi wilayah genangan dengan membangun tanggul penahan lumpur dan mengalirkannya ke laut melalui Kali Porong dengan sistem mekanisasi, untuk menjaga kolam lumpur tidak melimpas.

    “Sepanjang kapasitas mekanisasi dengan volume semburan seimbang, maka dengan sistem ini luapan lumpur dapat dikendalikan,” katanya.

    Menurut Sunarso, sistem mekanisasi ini telah diterapkan sejak pertengahan 2008 dan terus dikembangkan serta dilengkapi dengan beberapa peralatan pada tahun 2009 dan 2010 untuk meningkatkan kehandalannya.

    Apabila perilaku luapan lumpur tidak memburuk, diharapkan pada akhir tahun 2011 sistem ini sudah dapat berfungsi dengan baik.

    Sedang kerusakan deformasi geologi dapat berupa amblesan, pengangkatan, pergeseran, dengan tanda yang mudah dilihat di permukaan berupa rekahan-rekahan dan buble yang mengeluarkan gas yang mudah terbakar, air dan lumpur.

    Mengingat deformasi geologi di Porong Sidoarjo merupakan proses bekerjanya gaya-gaya tektonik dan vulkanik di bawah permukaan, maka tidak dapat diprediksi dimana dan kapan akan terjadi, serta besaran pengaruhnya.

    Dengan demikian, kata Sunarso, tindakan mitigasi yang dapat dilakukan BPLS hanya apabila indikasi deformasi sudah nampak di permukaan. Dengan gambaran tersebut, maka hingga saat ini penanggulangan lumpur di Sidoarjo belum dapat diperkirakan kapan akan berakhir.

    Dalam anggaran Tahun 2009, ada beberapa hal yang berhasil dilakukan BPLS yaitu menanggulangi semburan, dimana telah berhasil mencegah luapan lumpur keluar dari Peta Area terdampak (PAT) dengan mengalirkan luapan lumpur ke kali Porong.

    Hal ini dilakukan dengan sistem mekanisasi pengaliran, yaitu menggunakan kapal keruk bekerja sama dengan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) dan menggunakan pompa booster oleh BPLS sendiri.

    Namun dia mengakui ada kegagalan yang dilakukan BPLS yaitu dalam pengaliran lumpur ke Kali Porong, kapasitas pompa dan kapal keruk tidak memadai. Sunarso mengatakan, booster yang dimiliki BPLS hanya tiga unit, sedangkan kapal keruk yang dioperasikan oleh PT MLJ tidak efektif dalam pengerukan karena berbagai kendala teknis.

    Tidak efektifnya sistem pengaliran luapan lumpur tersebut menyebabkan melimpahnya luapan lumpur yang menggenangi kolam tampungan yaitu ditandai dengan naiknya muka air dan lumpur yang berada di dalam kolam tampungan. Padahal kapasitas ruang tampungan sangat terbatas. “Kondisi inilah yang sering mengancam kestabilan tanggul,” katanya. (DPR/tt)

    (c) Tambangnews.com

  • Macet Lagi, Rugi Lagi

    Macet Lagi, Rugi Lagi

    Penurunan pendapatan tidak bisa dihindari para pengguna jalan. Menurut Kacong (30), salah satu sopir angkot jurusan Surabaya-Malang. Jika akan  memasuki wilayah Porong, ia dan sopir angkot lain harus memilih lewat jalan alternatif yang sepi penumpang dengan tambahan biaya solar, atau tetap lewat jalan raya Porong dengan tambahan tiga jam hanya untuk melewati jalan raya Porong sepanjang 3km.

    “Sebelum jalan raya Porong macet saya bisa mendapat penghasilan bersih Rp100rb per-hari. Tapi kalau sekarang dapat Rp25-30rb per-hari sudah bagus”, sahut Kacong sambil menunggu penumpang.

    Pernyataan Kacong diperkuat oleh Kopral (25), kenek angkot. Selain masalah diatas, bus yang dulu lewat jalan tol dan sekarang melewati jalan raya Porong juga menjadi saingan. Selain itu para penumpang disepanjang jalan raya Porong sudah pindah atau mengungsi ke kota lain karena rumah mereka telah terendam lumpur.

    Pengganti jalan tol surabaya-Gempol masih terkendala pembebasan lahan. Bisa dipastikan penyelesaian pembangunan akan molor dari target. Kacong dan mungkin seluruh pengguna jalan lain berharap pemerintah segera menyelesaikan jalan tol baru tersebut, agar kendaraan dari dan menuju Surabaya tidak tertumpu hanya di jalan raya Porong. (fahmi)

    (c) Kanal News Room

     

     

  • Dulu Petani Sekarang ‘Portal’

    Dulu Petani Sekarang ‘Portal’

     

    Menurut Sumarti (39 tahun), salah satu warga Desa Pologunting, Warga meminta sumbangan dari pengguna jalan karena desa mereka bukan jalan raya. Sebenarnya warga juga terganggu dengan debu dan bising kendaraan yang melewati desa mereka.

    “Kalau sawah kami masih bisa ditanami, kami tidak akan turun ke jalan meminta-minta seperti ini. Jadi ini kami lakukan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari,” terang Sumarti.

    Hal serupa juga diakui oleh Malika (40 tahun). Ia tidak peduli dengan panas dan asap kendaraan. Wanita  itu hanya ingin tetap mendapatkan pemasukan walau caranya sedikit mengganggu pengguna jalan.

    Terdapat ‘portal’ di setiap tikungan desa-desa yang menjadi jalur alternatif.  Warga Pologunting akan tetap meminta sumbangan ke pengguna jalan yang melewati jalan desa mereka. Dengan usia mereka yang tidak muda lagi, mereka beranggapan bahwa sulit untuk mencari pekerjaan lain baru. Sawah yang tidak bisa ditanami lagi oleh warga hanya diberi gagal panen satu kali, dan itu pun dua tahun lalu. (fahmi)

    (c) Kanal News Room

  • Tergenang Lumpur, Warga Kedungbendo Bertahan

    Tergenang Lumpur, Warga Kedungbendo Bertahan

     

    Menurut Astika (42 tahun), ada 13 keluarga yang masih bertahan dan semuanya masih belum punya rumah baru. Uang cicilan Rp 15 juta per bulan oleh pihak Lapindo, sebagai pelunasan 80 persen, hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Warga terpaksa mengikuti skema cicilan karena pihak Lapindo menolak membayar sisa 80 persen secara cash and carry.

    “Uang Rp 15 juta itu tidak saya terima utuh. Karena saya harus membaginya dengan dua keluarga lain. Bagaimana tidak, dalam berkas tanah yang saya ajukan ke Minarak Lapindo dulu terdapat tiga bangunan di atasnya,” tambah Astika.

    Hal serupa juga dialami oleh Supiati (35 tahun). Ia bahkan mengaku bahwa cicilan Rp 15 juta per-bulan harus ia bagi dengan empat keluarga lain. Bisa dibayangkan berapa yang didapat masing-masing keluarga.

    “Ya pasti habis, karena saat saya dan keluarga yang lain menerima cicilan itu pas dalam kondisi tidak bekerja lagi. Bulan ini saja belum dibayar. Sebenarnya keinginan warga hanya kembalikan hidup kami seperti dulu,” ujar Supiati dengan keras. (fahmi)

    (c) Kanal News Room

     

  • Simpang Siur Nasib Warga Tiga Desa

    Simpang Siur Nasib Warga Tiga Desa

    SIDOARJO – Warga tiga desa dalam wilayah penanganan Perpres 40/2009 kini dihadapkan pada ketidakpastian. Sesuai Perpres ini, Desa Siring Barat, Desa Jatirejo Barat, dan sebagian Desa Mindi harus segera dikosongkan demi keselamatan masyarakat paling lama 2 (dua) tahun. Sebagai kompensasi, warga diberi uang jatah hidup (jadup) selama enam bulan, selain uang kontrak rumah dan biaya evakuasi. Belum ada kepastian nasib setelah jatah hidup enam bulan habis.

    Ibu Budi Rahayu (50 tahun), warga Siring Barat, terpaksa pindah mengontrak di Perumahan Mutiara Citra Asri (MCA), Kecamatan Candi, Sidoarjo, meskipun tidak ada kejelasan soal ganti rugi asetnya. Uang jadup diterima Rahayu sudah lima kali, yang kini seharusnya enam kali. “Yang keenam terlambat,” tuturnya. Memang, Januari ini warga Siring Barat dan Jatirejo Barat memasuki bulan ke-6 setelah warga menerima uang kontrak pada bulan Juli 2009.

    Bulan Juni 2009, terjadi insiden rumah ambles sedalam 6 meter di Desa Siring Barat akibat penurunan tanah (land subsidence). Insiden ini disertai semburan gas yang menyebabkan kebakaran dan membuat satu orang luka-luka. Menyusul peristiwa ini, Pemerintah menetapkan Siring Barat dan Jatirejo Barat sebagai kawasan tak layak huni, dan harus segera dikosongkan. Warga diberi kompensasi uang evakuasi Rp 500.000 per kepala keluarga (KK), uang kontrak rumah Rp 2,5 juta per KK untuk satu tahun, dan uang jatah hidup Rp 300.000 per bulan per jiwa selama enam bulan.

    Skema itu kemudian ditetapkan dalam sebuah Perpres beberapa bulan kemudian. Persisnya, 23 September 2009, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 40 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua  Perpres 14 Tahun 2007. Pada Pasal 15b ayat 8 disebutkan, dalam rangka penanganan sosial kemasyarakatan di wilayah Jatirejo Barat, Siring Barat dan Mindi wilayah tersebut harus segera dikosongkan demi keselamatan masyarakat paling lama 2 (dua) tahun. Sedangkan Pasal 15b ayat 9 menyebutkan, pada saat wilayah dikosongkan warga diberi bantuan berupa bantuan uang kontrak selama 2 (dua) tahun bantuan tunjangan hidup selama 6 (enam) bulan dan biaya evakuasi. Terdapat 756 KK atau 2.174 jiwa di tiga desa itu. BPLS menyiapkan dana Rp 60 miliar untuk bantuan sosial tersebut.

    Tapi warga tiga desa, seperti Rahayu, hanya menerima uang kontrak satu tahun. Dan bagi Rahayu, pindah kontrak berarti ekonomi menurun. Di tempat kontrakan, Rahayu tidak bisa berjualan es campur seperti sebelumnya. Terpaksa, ia tetap berjualan di depan rumahnya di Siring Barat, walau penghasilan merosot tajam. “Saya dulu, sebelum lumpur, dan karyawan pabrik rokok belum pindah, bisa menghasilkan uang sebesar 100 ribu sampai 200 ribu. Tapi sekarang dapat 20 ribu saja sudah untung,” ujarnya.

    Untuk itu, setiap hari Rahayu pulang pergi dari kontrakanya yang ada Perumahan MCA ke tempatnya dia berjualan ditemani putrinya. Dia nekat berjualan demi menghidupi kedua anaknya. Sudah hampir enam bulan Rahayu dan warga yang lainnya mengontrak tetapi nasib warga Siring Barat juga belum jelas. Rahayu sangat menyayangkan tindakan pemerintah dalam menangani warga Siring Barat.

    Sementara itu, berbeda dari warga Siring Barat, warga Jatirejo Barat banyak yang masih bertahan di rumahnya walaupun uang kontrak sudah mereka terima. Nemok Sutikno (49 tahun) misalnya. Warga yang tinggal di Jatirejo RT 02 RW 02 ini masih tetap bertahan di rumahnya. Pasalnya selain rumah di desa Jatirejo masi bisa ditempati, Nemok dan keluarganya khawatir tentang ketidakjelasan asetnya. “Saya masih tetap bertahan di Jatirejo sebelum ada kejelasan soal aset saya,” tegas Nemok.

    Menurut Nemok, warga yang tinggal di desa Jatirejo ini rencananya akan direlokasi ke Kahuripan Nirwana Village (KNV), namun itu semua masih simpang siur. Warga berharap ada kejelasan soal nasib  mereka agar tidak berlarut-larut. (novik)
    (c) Kanal News Room

  • Korban Lumpur Lapindo Unjuk Rasa Tuntut Ganti Rugi Lahan

    “Hampir empat tahun tak ada ganti rugi,” kata Kepala Desa Kedungbendo, Hasan.

    Mereka menuntut agar perusahaan milik Bakrie Group menyelesaikan tanggungaan membayar ganti rugi sesuai kesepakatan dengan tim verifikasi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Hasan menyebutkan, dari total 1.600 kepala keluarga, 174 keluarga diantaranya belum menerima pembayaran ganti rugi. Akibatnya hingga kini, mereka tak memiliki rumah tinggal dan memilih mengungsi di masjid setempat.Total seluas 33 hektare lahan milik warga, yang belum terbayar.

    Hasan juga mengeluhkan lahan seluas 20 ribu meter persegi miliknya belum terbayar. Lahan ini digunakannya untuk lahan perumahan PT Teguh Rakhmat Jaya, perusahaan properti miliknya. Lahan senilai Rp 25 miliar ini telah tenggelam menjadi kolam penampung lumpur.

    Roikan, warga Kedung Bendo korban lumpur Lapindo juga mengeluhkan tersendatnya pembayaran angsuran ganti rugi yang dijanjikan PT Minarak Lapindo Jaya. Lantaran, hingga kini dirinya belum menerima angsuran ganti rugi sebanyak Rp 15 juta per bulan seperti yang dijanjikan. “Dijanjikan dibayar setiap tanggal 3, tapi sejak empat bulan ini sering terlambat,” katanya.

    EKO WIDIANTO 
    (c) TEMPO Interaktif

     

  • Tercemar Lumpur Lapindo Petani Ikan Bandeng Merugi

    Para petani mengeluhkan rusaknya tambak ikan bandeng ini kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammmad Hatta dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo. Mereka menuntut agar pemerintah peduli dan memperbaiki tambak yang tercemar lumpur Lapindo ini. Kholik mengatakan, kini sebagian besar tambak dibiarkan terbengkalai tak ditebar bibit ikan.

    Menanggapi keluhan petani ikan, Fadel Muhammad menyatakan akan menurunkan tim untuk memantau tingkat pencemaran di tambak warga setempat. Untuk mengetahui, tingkat pencemaran serta menentukan langkah mengurangi pencemaran lumpur Lapindo. Selain itu, akan dikucurkan dana untuk memanfaatkan kembali tambak yang terbengkalai.

    Di antaranya, dengan memberikan bantuan bibit udang (benur) dan berbagai jenis ikan secara cuma-cuma. Agar, produktifitas hasil budidaya ikan dan udang ditargetkan meningkat hingga 300 persen. Sedangkan Gubernur Jawa Timur mengucurkan dana pinjaman tanpa anggunan sebesar Rp 500 miliar melalui Bank Jatim. Dana pinjaman ini diperuntukkan bagi petani dan usaha kecil menengah.

    Menteri Lingkungan Hidup, Gusti Muhammad Hatta mengatakan dalam penelitiannya lumpur Lapindo mengandung logam berat dan fenol yang tinggi. Namun, pada 2009 kandungannya terus menurun dan diperkirakan tak menganggu biota laut. Sedangkan, zooplanton dan phytoplankton yang dibutuhkan ikan dan udang justru menurun.

    “Rendahnya zooplanton dan phytoplankton yang menyebabkan ikan mati,” katanya. Untuk itu, Gusti akan menurunkan tim untuk meneliti penyebab kematian ikan serta meningkatkan populasi planton.

    EKO WIDIANTO
    (c) TEMPO Interaktif

  • Pendidikan Berlumpur

    Pendidikan Berlumpur

    Untuk memenuhi kebutuhan pangan, Rochim menyewa sepetak tanah. Untuk mendapatkan uang, Rochim bekerja serabutan, baik sebagai kuli bangunan ataupun buruh tani. Saat itu, Besuki adalah desa produktif. Semuanya berubah setelah lumpur menyemburat keluar dengan debit mencapai 150.000 meter kubik per harinya.

    Seingat Rochim, perubahan mulai terjadi pada Senin pagi 29 Mei 2006. Pada pagi itu, muncul semburan (bubble) lumpur sekitar 150 meter dari sumur Banjar Panji 1 (BJP-1). “Saya tidak terlalu mengerti tentang pertambangan minyak. Hanya, banyak pakar yang mengatakan hal itu terjadi karena pihak Lapindo tidak memasang cassing saat melakukan pemboran, sehingga terjadilah Loss-Kick-Blowout,” ujar Rochim sambil mengutip Rudi Rubiandini.

    Dia tengah berangkat untuk menggarap sawah yang disewanya. “Dan di pagi itu, tiba-tiba saya menemukan semburan lumpur muncul semburat diiringi dengan bau busuk yang sangat menyengat. Tak pernah ada pemberitahuan. Tak lama, lumpur meluas menenggelamkan lebih dari 20.000 rumah, 29 pabrik tutup, ribuan hektar sawah tenggelam, 7.000 hektar tambak terancam, dan terutama lebih dari 25 sekolah hilang,” ujar Rochim.

    Demikianlah perkenalan pertama Rohim dengan lumpur ganas Lapindo, lumpur yang mengubah total wajah kecamatan Porong dengan kecepatan yang mengejutkan. Kini, Rohim dikepung oleh lumpur tersebut; terjerembab ke dalam masa-masa paling sulit dalam hidupnya, maupun keluarganya.

    Tempat di mana sawah yang biasa ia sewa setiap tahunnya kini berubah menjadi kolam-kolam lumpur terbuka yang luas. Di sini, BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) membangun tanggul-tanggul lumpur untuk meningkatkan kapasitas kolam lumpur.

    Sementara itu, sungai Porong kini tampak membusuk. Ribuan hektar tambak tradisional yang dikelola oleh warga secara turun temurun telah rusak. Teracuni oleh lumpur yang dibuang melalui pompa-pompa milik BPLS.

    Kondisi ini berdampak pada keadaaan masyarakat; mereka kehilangan mata pencahariannya. Setelah berbagai aset produktif mereka hanyut tertelan lumpur, mereka tidak berpendapatan lagi. “Sekarang kami tidak mempunyai uang lagi. Warung saya hanyut. Bapak juga tidak bekerja karena pabrik juga tergenang lumpur!”, terang ibu Cholifah, salah seorang korban lumpur yang lain.

    Disaat perekonomian meredup, kemampuan untuk membiayai pendidikan turut melemah. Sementara institusi pendidikan sudah bersikap layaknya industri, menelan  dana dalam ukuran besar. Dan kesemuanya itu ditumpahkan kepada pihak orangtua murid selaku konsumen akhir pendidikan. Dan itu semua, memperburuk keadaan warga.

    Rochim menunjukkan tentang tingginya biaya pendidikan yang tidak rasional, meliputi biaya seragam, cicilan buku (buku paket, LKS (Lembar Kerja Siswa), biaya ujian hingga biaya rekreasi). Belum lagi biaya ujian yang nilainya mencapai satu juta rupiah. “Anak pertama saya hendak lulus dari SMK ditambah dengan anak kedua saya yang juga akan lulus dari SMP. Untuk kelulusan kedua anak ini, pada Maret nanti, saya membutuhkan dana sekitar dua juta rupiah. Saat ini saya tengah bingung memikirkan hal tersebut. Saya sudah kehilangan mata pencaharian, darimana saya mendapatkan uang sedemikian besar!” ungkap Rochim getir.

    Keberatan senada diungkapkan oleh Patanah. Semenjak lumpur meluluh lantakkan rumahnya, di Jatirejo, ia kini harus berjuang untuk bertahan hidup. Sementara ia harus membiayai suaminya yang sedang sakit, kebutuhan pendidikan untuk dua anaknya telah membelenggunya. “Sebelum ada lumpur, kondisi keuangan keluarga masih lebih baik bila dibandingkan sekarang. Bapak bekerja, saya berjualan. Namun sekarang, bapak sakit-sakitan. Sementara kedua anak saya masih bersekolah. Saya bingung sekarang ini, harus mencari uang kemana.” terang Patanah lirih.

    “Terus terang, saya tidak ingin anak-anak saya mengalami nasib yang serupa dengan saya: tidak berpendidikan dan bodoh. Masa depan anak-anak saya harus cemerlang. Namun, jika keadaan seperti ini terus harapan saya pupus, tergerus oleh lumpur,” ungkap Rochim sendu.

    Untuk itu ia berharap agar segala dampak sosial yang terjadi pasca meletusnya gunung lumpur segera direalisasikan oleh pemerintah bersama dengan Lapindo. Seperti yang telah dikemukakan di awal malapetaka lumpur, hasil rapat 28 Desember 2006.

    Sedangkan pemerintah maupun Lapindo tidak memberikan bantuan apapun terhadap para korban yang kehilangan mata pencaharian. “Yang dilakukan oleh pemerintah dan Lapindo hanya mengganti rugi tanpa memberikan solusi terhadap dampak sosial yang timbul,“ terang Irsyad, seorang warga di Besuki.

    Dan untuk itu, Porong harus segera siap untuk menerima kenyataan tentang generasinya yang hilang. Saat ini, ribuan siswa terancam putus sekolah. “Mereka tengah bersiap untuk menghadapinya, baik secara mental maupun fisik. Saat ini banyak pemuda Porong yang menghabiskan waktunya di pertigaan seputar porong, berperan sebagai polisi cepek. Atau, sebagai tukang parkir di pusat-pusat perbelanjaan. Atau, sebagai pemandu di seputaran tanggul. Bahkan pada titik yang kronis, mereka melakukan tindakan kriminal,” ungkap seorang warga. (prima)

  • Semburan Baru Muncul di Desa Besuki

    Semburan Baru Muncul di Desa Besuki

     
    Keberadaan semburan-semburan itu disadari warga  saat memasuki musim hujan ini. “Setelah hujan reda, timbul gelembung-gelembung yang aneh dari genangan air,” terang Irsyad, seorang warga Besuki, pada Rabu (20/01) lalu. 
     
    Penasaran dengan gelembung-gelembung tersebut, Irsyad, mencoba untuk menyulutnya dengan api. Dan, alhasil, dari lubang tersebut lidah api terlihat menyemburat. Meskipun lidah api yang keluar masih dalam taraf yang tidak terlalu besar, namun bila dibiarkan, warga khawatir keadaan akan memburuk seperti di Siring Barat. 
     
    Keberadaan semburan-semburan ini cukup berbahaya, mengingat letaknya yang sangat dekat dengan pemukiman penduduk. Di saat yang bersamaan, tampak beberapa anak kecil mencoba untuk menyulut lubang tersebut dengan api. 
     
    “Fenomena ini termasuk janggal bagi anak-anak. Oleh karena itu wajarlah jika mereka bermain dengan bubbles tersebut. Walaupun kami sudah memperingati mereka, namun rasa penasaran mereka sedemikian besar,” Irsyad menambahkan.(dianprima)
    (c) Kanal News Room 
  • Waduh! Rumah Warga Kedungbendo Mulai Terendam Lumpur

    Waduh! Rumah Warga Kedungbendo Mulai Terendam Lumpur

    Sidoarjo, 22 Januari 2010 – Puluhan warga asal desa Kedungbendo, Tanggulangin mengaku resah karena rumah mereka mulai tergenangi air lumpur yang berasal dari tanggul perbatasan dengan pemukiman warga.

    Warga memilih bertahan di rumahnya yang dikelilingi tanggul itu, karena sampai kini belum mendapatkan pelunasan ganti rugi 80 persen yang sudah dijanjikan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) tiga tahun yang lalu.

    Menurut Ana Supiati (35) warga setempat, warga memilih bertahan meski Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mengalirkan lumpur ke kolam lumpur (pond) yang berbatasan dengan wilayahnya. “Kami tidak akan beranjak sebelum sisa pelunasan 80 persen untuk bangunan dan tanah dibayar oleh PT MLJ,” katanya, Jumat (22/1/2010).

    Ucap Ana, air lumpur ini datang secara pelan tapi pasti sejak dua hari yang lalu. Rumah warga yang berjumlah kurang lebih 22 rumah tidak berani meninggalkan rumahnya karena sudah tidak mempunyai uang untuk mengontrak. Uang muka yang sudah didapatkan dari PT MLJ juga sudah habis untuk keperluan keluarga.

    “Jika pelunasan 80 persen dicairkan MLJ yang dijanjikan setelah mendapatkan uang muka 20 persen tiga tahun yang lalu, pastinya saya dan suami dan dua anak serta nenek yang sudah ini akan pindah mencari tempat tinggal atau beli rumah baru,” terang dia.

    Warga lainnya, Ma’rufi juga memilih bertahan kendati dirundung kecemasan mendalam karena rumahnya berada di perbatasan pond baru seluas 20 hektar itu. Ia juga mengaku tidak bisa berbuat banyak karena untuk bekal pindah atau
    beranjak mencari tempat baru tidak bisa dilakukannya.

    “Keluarga kami belum mendapatkan ganti rugi sama sekali. Baik itu uang muka 20 persen maupun sisa pelunasan 80 persen. Padahal berkas sudah saya lengkapi sejak dulu, tapi tak kunjung dibayar juga,” terang dia.

    Ma’rufi mengaku sudah hancur-hancuran mengurusi asetnya di Kedungbendo. Sebab, dia sudah dikeluarkan dari perusahaan tempatnya bekerja lantaran sering membolos. “Saya mbolos buat ngurus berkas-berkas pengurusan ganti rugi, sampai saya dipecat. Toh ganti rugi juga tak kunjung keluar,” ujarnya melas.

    Sementara Humas BPLS, Ahmad Zulakrnain menegaskan, pengaliran lumpur ke pond baru yang berbatasan dengan pemukiman warga Kedungbendo yang belum
    terlunasi ganti ruginya itu karena tuntutan kondisi. Jika lumpur dari pusat semburan yang cenderung mengalir ke barat dan utara itu tidak segera dilarikan, akan mengancam Jalan Raya Porong.

    “Pond Siring Porong yang berbatasan dengan Ketapang Tanggulangin sudah tidak bisa menampung lagi. Makanya kami alirkan ke pond baru itu,” terang Zulkarnain dengan menambahkan penguatan dan perbaikan pond baru akan terus dilakukan agar rumah warga yang berbatasan dengan pond tersebut tidak terluberi air. – M. ISMAIL

    (c) beritajatim.com

  • Awas ! Jalan Raya Porong Terus Ambles

    Awas ! Jalan Raya Porong Terus Ambles

    suarasurabaya.net PORONG, 19 Januari 2010 – Penurunan tanah (subsidence) di wilayah terdampak lumpur selama tiga bulan terakhir menyebabkan arus lumpur terus mengalir dari pusat semburan ke arah Barat dan Utara. Sementara itu tanggul-tanggul di bagian Barat berbatasan dengan Jl. Raya Porong, elevasi lumpur terus meningkat, sedangkan tanggul-tanggul di Utara belum sepenuhnya sempurna untuk menahan lumpur.

    Inilah yang membuat Badan Pelaksana Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BP BPLS) memberlakukan siaga merah di sana bersamaan dengan meningkatnya curah hujan.

    Hasil Monitoring Pengukuran Geodetik kawasan terdampak lumpur bulan Oktober-Desember 2009 menyebutkan adanya penurunan tanah signifikan sepanjang 1 km Jalan Raya Porong mulai dari Rumah Makan Porong sampai Desa Ketapang.

    RIKO ADITYA analis pemantauan geohazard BP BPLS pada suarasurabaya.net, Selasa (19/01) menjelaskan dari 1 km jalur penurunan tanah yang signifikan itu, titik yang paling parah ada di sekitar bekas Jembatan Tol Porong atau yang biasa disebut masyarakat sekitar sebagai tol buntung.

    “Di sana, penurunan tanahnya mencapai 16 meter hasil survey bukan Oktober sampai Desember 2009. Daerah lain sepanjang jalur itu juga mengalami penurunan, tapi tidak signifikan,” kata RIKO.

    Selain terjadi penurunan tanah, lanjut dia, ada juga fenomena kenaikan permukaaan tanah maksimal sampai 3 cm selama waktu survey, yakni di sekitar Desa Gempolsari dan Besuki.

    Fenomena ini, kata RIKO memang lazim terjadi dalam daerah yang mengalami fluktuasi seperti di Porong. Jika ada daerah yang menurun karena adanya tekanan berat lumpur, maka ada titik lain yang terangkat.

    Hingga kini BP BPLS masih belum bisa memperkirakan sampai kapan penurunan tanah itu terjadi dan menjangkau wilayah mana saja karena perlu dilakukan penelitian yang konsisten dan menyeluruh. “Padahal untuk meletakkan alatnya saja sulitnya bukan main karena bisa hilang atau tersenggol dump truk dan alat berat,” kata dia. EDDY PRASETYO
    (c) suarasurabaya.net

  • Lain Desa Lain Pula Penanganannya

    Melihat kondisi Desa Mindi sekarang, seharusnya ada penanganan serius dari pemerintah dan Lapindo. Menurut Rosidi (60) warga Mindi, Kami tidak tenang hidup di Desa Mindi sekarang, selain udara yang kotor, desa kami juga diapit Kali porong yang airnya bisa saja meluap di musim hujan ini dan tanggul lumpur yang sewaktu-waktu bisa jebol.

    “Hanya bantuan air bersih yang kami dapat semenjak adanya lumpur ini, itu pun kurang dan tidak rutin. Akhirnya banyak warga tidak kebagian”, tambah Rosidi.

    Hal senada diakui oleh Yasir (55), warga kesulitan menuju desanya sendiri karena jalan rusak dan dipenuhi mobil yang melewati jalan desa.

    Warga Mindi sudah mengajukan permintaan perbaikan jalan ke pemerintah daerah Sidoarjo, tetapi sampai sekarang tidak ada tanggapan. Warga berharap adanya kejelasan tentang desa dan nasib mereka, agar mereka bisa menyambung kehidupan yang sempat rusak setidaknya hampir empat tahun calacanis.com ini. (fahmi)

  • Tanggul Kritis, Warga Khawatir

    Tanggul Kritis, Warga Khawatir

    “Sejak 15 Januari, warga Desa Ketapang Barat merasa was-was.Warga menjadi sangat khawatir karena pihak BPLS tidak memberikan kejelasan yang kongkrit soal keamanan tanggul,” tutur Suprapto, 45 tahun, warga Desa Ketapang. Menurut Suprapto, tidak adanya kejelasan membuat warga stres, trauma, tidak bisa tidur. “Bahkan anak-anak takut pergi sekolah,” ujarnya.
    Selain khawatir dengan kondisi tanggul yang sewaktu-waktu bisa jebol, warga juga cemas akan terjadinya banjir. Tahun lalu Desa Ketapang Barat tergenang banjir sampai selutut orang dewasa ketika musim hujan datang. Munculnya gas-gas liar yang tak juga berhenti juga menambah kegelisahan warga Ketapang Barat.
    Warga Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, juga mengalami kecemasan serupa. Mereka khawatir, tanggul sisi utara, yang berbatasan dengan Desa Kedungbendo, akan jebol jika hujan terus-menerus turun. “Kami dan warga di sini khawatir jika musim hujan datang. Tanggul yang ada di belakang rumah sewaktu-waktu bisa jebol,” ujar Suparno, 48 tahun, warga Desa Gempolsari yang berjarak 300 meter dari tanggul.
    Warga Gempolsari juga mencemaskan terjadinya banjir. “ Jika hujan dua jam saja bisa banjir di sekitar rumah saya,” tambah Suparno.
    Sementara itu, warga di sisi timur tanggul juga tak luput dari kecemasan. “Warga di sini juga khawatir jika hujan datang bisa berakibat jebolnya tanggul penahan lumpur. Apalagi pihak BPLS tidak pernah memberikan informasi soal berapa bahaya tanggul penahan lumpur tersebut,” kata Rohim, 45 tahun, salah satu warga Besuki Timur.
    Warga Desa Glagaharum, yang tinggal di sisi timur tanggul (bekas) Desa Renokenongo, juga cemas. Desa ini berhadapan langsung dengan tanggul. Sementara, hingga Jumat, 15 Januari, posisi lumpur dengan bibir tanggul hanya sekitar satu meter.
    Warga berharap, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) memberi keterangan sejelas-jelasnya soal keamanan tanggul. Warga juga menginginkan, BPLS memberikan keterangan mengenai upaya menyelamatkan warga sekitar tanggul. Sehingga warga tahu, kapan dan di mana kalaupun harus direlokasi. (vik)
    (c) Kanal News Room
  • Pembangunan Tol Baru Porong difokuskan Pada Arteri dan Jembatan

    Pembangunan Tol Baru Porong difokuskan Pada Arteri dan Jembatan

    Pembebasan lahan jalan arteri secara keseluruhan, kata dia, ditargetkan selesai Maret mendatang. “Pembebasan lahan diusahakan cepat selesai,” katanya, Senin (11/1).
    Sedangkan pembanguan jalan tol Porong-Gempol, kata dia, masih terhambat pembebasan lahan. Sejauh ini pembebasan lahan mencapai 80 persen s4m2.com dari total lahan yang akan digunakan. Total kebutuhan lahan untuk jalan tol sepanjang 11 kilometer dengan lebar 120 meter. 
    Meteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto menambahkan, selain membangun arteri, fokus pekerjaan proyek adalah pengerjaan jembatan Porong-Gempol. “Pengerjaan jalan tol menunggu pembebasan lahan selesai,” katanya. 
    Ia tak bisa memastikan tenggat waktu pengerjaan relokasi jalan tol Porong-Gempol. Terget pembangunan jalan tol, katanya, tak bisa dipastikan karena lahan belum siap secara penuh.
    Pembebasan lahan tol ini karena terhambat pemilik lahan. Pemilik lahan menuntut harga tinggi sesuai ganti rugi lahan korban lumpur sebesar Rp 1 juta per meter. Sedangkan, panitia pembebasan lahan menawarkan harga lahan sawah Rp 120 ribu dan lahan kering Rp 175 ribu-Rp 600 ribu per meter persegi.
    Sesuai jadual, pembebasan lahan seharusnya sudah selesai 2009 sedangkan proses pengerjaan konstruksi jalan tol dimulai 2010. – EKO WIDIANTO
     
  • Pembangunan di Porong, Permendagri Direvisi

    Pembangunan di Porong, Permendagri Direvisi

     
    Dengan revisi Permendagri, pemerintah tidak harus mengganti penggunaan tanah-tanah kas desa atau tanah negara yang akan digunakan untuk pembangunan sejumlah infrastruktur di kawasan tersebut. Pemerintah dapat menggantinya dengan tanah kas desa lainnya di kabupaten yang berbeda.
     
    Keputusan revisi Permendagri tersebut disampaikan oleh Gubernur Jawa Timur, Sukarwo, dalam keterangan pers, seusai mengikuti rapat koordinasi yang dipimpin Wapres Boediono di Istana Wapres, Jakarta, Jumat (8/1/2010) sore tadi. Rapat yang dihadiri sejumlah menteri terkait, juga memutuskan untuk merevisi Permendagri tersebut dalam waktu sepekan.
     
    “Pemerintah akan merevisi Permendagri No 4 tahun 2007. Jika tidak direvisi, pemerintah menghadapi hambatan menggunakan tanah untuk pembangunan sejumlah infrastruktur. Selama ini, pembangunan infrastruktur lambat karena terkendala Permendagri tersebut,” tandas Soekarwo.
     
    Menurut Soekarwo, ketentuan pasal 15 Permendagri No 4 Tahun 2007 menyatakan tanah-tanah kas desa atau tanah negara yang digunakan harus diganti dengan tanah kas desa atau tanah negara di kabupaten tersebut. Ini yang tidak bisa, karena tanah korban luapan lumpur sangat luas sekali. “Oleh karena itu, harus direvisi dengan mengubah mengganti tanah kas desa atau negara di kabupaten lainnya,” tambahnya.
     
    Mengancam
     
    Soekarwo mengakui kelambatan pembangunan infrastruktur di kawasan tersebut, menyebabkan sejumlah investor mengancam untuk merelokasi industrinya di kawasan lain. Bahkan, Soekarwo menilai adanya kerugian akibat belum terselesaikannya infrastruktur di kawasan yang bisa mencapai Rp 11 triliun.
     
    Infrastruktur yang harus dibangun, di antaranya jalan arteri Porong-Gempol sepanjang 10,1 kilometer. Selain itu, infrastruktur pembangunan jalur pipa gas, air, dan jaringan listrik. “Adapun untuk jalan tol, kami memutuskan terakhir saja rencana pelaksanaannya. Sekarang jalan arterinya dulu yang harus diselesaikan,” jelas Soekarwo.
     
    Lebih jauh, Soekarwo menjelaskan, perubahan Permendagri No 4 tahun 2007 tidak hanya berlaku bagi lahan di kawasan di Sidoardjo, Jawa Timur, akan tetapi berlaku secara nasional sehingga bisa diterapkan pada proyek-proyek jalan tol lainnya.
     
    Dikatakan Soekarwo, apabila infrastruktur di kawasan tersebut selesai dibangun, maka pertumbuhan ekonomi akan terpacu dan meningkat dari 4,8 persen mencapai enam persen.
     
    (c) Kompas.com 
  • Anggota DPR Ajukan Mindi dan Besuki Masuk Peta Terdampak Lumpur Lapindo

    Anggota DPR Ajukan Mindi dan Besuki Masuk Peta Terdampak Lumpur Lapindo

    “Warga kesulitan air bersih, sejumlah rumah rusak tak layak huni,” katanya. Untuk itu, anggota dewan yang berasal dari daerah Surabaya dan Sidoarjo ini mengusulkan agar Mindi dan Besuki masuk peta terdampak. Jika usulan ini direspon Presiden, ia optimistis kedua desa akan menerima dana bantuan dan jual beli lahan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
    Selama dua hari ini, Sigit mengaku berdialog dengan warga dan memantau di lapangan. Warga, katanya, memilih kawasannya untuk dimasukkan di peta terdampak lumpur Lapindo. Ia juga mendesak agar Lapindo Brantas Inc, memenuhi kewajibannya termasuk mengganti fasilitas umum yang ikut terendam lumpur panas. Sigit menyampaikannya usai berdialog dengan Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso.
    Sigit yang juga terlibat dalam panitia anggaran DPR ini menyebutkan, pemerintah akan mengucurkan dana kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sebanyak Rp 1,1 triliun melalui APBN 2010. Dana tersebut digunakan untuk membayar jual beli lahan warga, bantuan sosial, pelatihan kerja bagi korban lumpur, bantuan kesehatan, menangani semburan gas, lumpur dan tanah amblas. Serta berbagai kegiatan sosial untuk pemulihan korban lumpur.
    Juru bicara Badan, Ahmad Zulkarnain menyatakan penetapan kawasan dalam peta terdampak secara hukum harus disahkan melalui keputusan presiden. Seperti penetapan desa lainnya yang masuk peta terdampak lumpur lapindo. Selanjutnya, jika dua desa tersebut masuk peta terdampak maka Badan memiliki kewajiban untuk menangani korban sesuai mekanisme yang berlaku. “Mereka akan dapat hak yang sama,” katanya.
    EKO WIDIANTO