Category: Lapindo di Media

  • Rumah Warga Ambles

    Rumah Warga Ambles

    Rumah yang dindingnya retak antara lain rumah Siti Hidayati (31) yang berjarak 20 meter dari rumah Okky.

    Tidak ada korban jiwa karena penghuni rumah Okky sudah mengungsi dua minggu lalu. Namun, peristiwa itu membuat warga panik. Keluarga Siti beserta empat keluarga lain langsung mengungsi. Tiga truk milik Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Sidoarjo dikerahkan untuk mengangkut perabot warga.

    Amblesnya rumah diduga akibat semburan lumpur di rumah Okky yang keluar sejak 26 Juni sehingga terjadi rongga di bawah permukaan tanah. Hal itu dikemukakan Kepala Divisi Gas pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Dodie Irmawan.

    Sejauh ini semburan di rumah Okky menimbulkan timbunan pasir dan tanah sebanyak 150 meter kubik.

    Camat Porong Syaiful Aji mengimbau, warga yang dinding rumahnya retak untuk mengungsi. Pihaknya tengah menyiapkan bekas gedung Pengadilan Negeri Sidoarjo di Kecamatan Porong untuk menjadi tempat pengungsian sementara. Selain itu, ada bantuan sosial dari BPLS bagi warga untuk evakuasi, kontrak rumah setahun, dan jatah hidup selama enam bulan.

    Bupati Sidoarjo Win Hendrarso yang datang ke lokasi menyatakan, pemerintah belum memiliki rencana untuk merelokasi warga secara keseluruhan.

    Saat ini di Desa Siring ada 33 titik semburan gas, lima di antaranya mengeluarkan lumpur.

    Belum bersikap

    Meski Desa Siring semakin mengkhawatirkan, Pemprov Jatim belum menentukan sikap. Pemprov masih menunggu penelitian Lembaga Geologi dan kajian BPLS untuk memastikan apakah amblesnya tanah di wilayah itu berpotensi meluas atau tidak.

    ”Sebenarnya tiga desa di luar peta terdampak (salah satunya Siring) setahun lalu sudah kami tetapkan sebagai daerah berbahaya. Pemprov Jatim pada 1 April 2008 telah membentuk Tim Kajian Kelayakan Permukiman,” kata Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Daerah Pemprov Jatim Chairul Djaelani.

    Dari hasil penyelidikan di lapangan, tim merekomendasikan wilayah yang perlu mendapat perhatian khusus. Di Desa Siring ada 4 RT yang tidak layak huni, di Desa Jatirejo ada 2 RT, dan di Desa Mindi ada 3 RT.

    Dalam rekomendasi yang dikirimkan Pemprov Jatim kepada pemerintah pusat pada 5 Mei 2008 disebutkan, dari sembilan RT yang dinyatakan tidak layak huni tersebut, terdapat 628 keluarga yang terdiri atas sekitar 2.700 jiwa. (APO/ABK)

  • Bupati Sidoarjo: Warga Siring Barat Harus Segera Dievakuasi

    WIN HENDRARSO mengatakan hal itu saat meninjau bersama Muspida ke tempat semburan lumpur yang keluar dari rekahan tanah di halaman seorang warga di Desa Siring Barat, Kecamatan Porong, Jumat (26/06).

    Kawasan Siring Barat, sudah tidak layak huni dan harus dimasukkan peta terdampak yang ditanggung oleh pemerintah pusat. Apalagi dengan munculnya semburan lumpur, sudah cukup sebagai bukti, agar warga di Siring Barat mendapat perlakuan yang sama dengan korban lumpur lainnya, katanya menegaskan.

    Ia mengemukakan, material pasir laut dan kulit kerang itu keluar dari perut bumi. Ini menunjukkan kalau kawasan itu dulunya laut, seperti kawasan Sidoarjo lainnya yang merupakan delta.

    Pihaknya juga akan melakukan koordinasi dengan Gubernur Jatim terkait masalah ini. “Secepat mungkin saya akan membicarakan masalah ini dengan Gubernur, biar masalah Siring Barat mendapat penanganan lebih cepat,” katanya seperti dikutip Antara.

    Dalam kesempatan itu, beberapa warga termasuk OKI ANDRIYANTO, pemilik rumah yang terdapat semburan lumpur meminta, agar Bupati bertindak secepat mungkin.

    “Warga harus dievakuasi, selain diberi bansos dan dikontrakkan rumah yang penting harus diberi ganti rugi,” satu diantara warga.

    Sementara itu, AHMAD ZULKARNAIN Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), mengatakan, sebenarnya untuk bantuan sosial seperti uang kontrak rumah dua tahun Rp5 juta per KK, uang evakuasi Rp500 ribu per KK dan uang jaminan hidup Rp300 ribu per bulan per jiwa selama 6 bulan sudah ada.

    “Kalau untuk bansos tinggal mencairkan saja dananya. Sedangkan untuk ganti rugi masih menunggu payung hukumnya. Hanya itu yang saat ini bisa kami lakukan,” katanya.(ant/ipg)

  • Belasan Gas Liar Menyembur, Sidoarjo ‘Membara’

    Tapi, jika mereka ditanya, raut mereka mendadak gelisah. “Mereka takut, resah, Mas,” tutur Kurniawan, 37 tahun, Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Ketapang. Maklum saja, Desa Ketapang berjarak hanya beberapa puluh meter dari tanggul penahan lumpur Lapindo, persis hanya dibatasi Jalan Raya Porong.

    Desa Ketapang sendiri terdiri dari 14 RT. Sejumlah 2 RT, yakni RT 1 dan RT 7, berada di sebelah timur Jalan Raya Porong dan sudah tenggelam oleh lumpur Lapindo. Kedua RT terakhir ini masuk dalam Peta Terdampak 22 Maret 2007 yang ditetapkan Perpres No 14/2007. Sementara sejumlah 12 RT sisanya terletak di sebelah barat Jalan Raya Porong. Kawasan ini tidak masuk dalam area peta terdampak.

    Nyala api yang menggelisahkan warga itu berasal dari semburan gas liar (bubble gas) yang disulut. Gas ini tidak berbau. Hari Minggu (17/5) kemarin, warga RT 3 mula-mula menemukan rembesan tanah basah yang tidak biasa. Gelembung-gelembung kecil pada rembesan itu muncul tanpa henti. Sejumlah warga mencoba menusukkan bambu pada tanah basah itu, sehingga tekanan udara mengarah ke atas lebih kuat. Ketika mereka menyulut di dekat bambu tersebut, nyala api muncul. Sebagian warga lainnya langsung menyulutkan api pada gelembung-gelembung kecil di tanah basah itu.

    Warga lalu menyusun beberapa batubata di sekeliling nyala api sehingga menjadi semacam tungku, dan menaruh ketel atau panci yang berisi air di atasnya. Salah seorang warga yang berkerumun malam itu, Rabu (21/5), berusaha untuk bercanda.  “Wah, enak ini, kita tinggal urun ikan emas. Ditaruh dipanci, matang. Ngobrol-ngobrol makin gayeng ini.” Kontan saja sejumlah warga lainnya, terutama ibu-ibu, memaki. “Kalau rumahmu kobong, bagaimana coba?” sahut seorang warga.

    Mereka gelisah kalau-kalau gas liar itu jauh lebih banyak dan lebih besar dari yang muncul sekarang. Sebab, semua gas ini muncul tanpa diduga. Mereka kuatir, jangan-jangan di dalam rumah mereka sendiri juga terdapat gas-gas liar semacam. Warga sudah melaporkan adanya semburan gas-gas liar ini kepada Badan Penaggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). “Senin (18/5) kemarin, Mas. Tapi petugas itu, ya, cuma melihat. Ketika kita bertanya, petugas itu cuma menjawab ‘Kita akan laporkan ke Dewan Pengarah’,” ujar Kurniawan, Ketua BPD itu.

    Di kawasan RT 3 setidaknya terdapat tiga nyala api besar, dan satu nyala api kecil. Beberapa titik api lainnya di pekarangan dan belakang rumah penduduk dipadamkan warga sendiri. Sementara di RT 8, nyala api muncul di pinggir Sungai Ketapang. Satu nyala api besar persis berada di tubir sungai. Beberapa nyala api besar lainnya muncul di pekarangan warga, beberapa meter dari sungai.

    Terhadap kondisi ini, warga Ketapang sebetulnya masih belum mau menuntut macam-macam. “Yang penting kita itu mendapat keterangan yang jelas, apa yang sesungguhnya terjadi ini? Apa kawasan ini berbahaya, tidak layak huni, masih layak huni, atau bagaimana?” tandas Kurniawan.

    Menurut warga, BPLS selalu memberi informasi yang tidak jelas, bilang ini tidak berbahaya. Akhir Februari lalu, ketika pertama kali warga menemukan gas liar di tubir Sungai Ketapang, BPLS juga bilang itu tidak berbahaya. Kenyataannya, hanya berselang kurang dari tiga bulan, Desa Ketapang sudah ‘membara’. Belasan titik gas liar muncul di pemukiman. [ba]

  • 3 Tahun, Proses Hukum Lumpur Lapindo Masih Gelap

    “Minggu lalu sudah kita serahkan berkas yang kelima ke Kejaksaan,” ujar Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bachrul Alam kepada wartawan di ruangannya, Surabaya, Jumat (15/5/2009).

    Sebelumnya pihak kejaksaan enggan melanjutkan penanganan kasus tersebut, karena banyak saksi ahli yang mengatakan jika kasus lumpur Lapindo bukan suatu kelalaian melainkan faktor alam.

    “Perlu saksi ahli yang bisa menyatakan jika hal tersebut merupakan kelalaian,” tambah Anton.

    Lumpur Lapindo sendiri tanggal 29 Mei ini genap berumur 3 tahun namun upaya menyelesaian kasus tersebut hingga kini belum menemukan titik terang.

    “Sudah ada 13 tersangka tapi mereka belum tentu bersalah, kita lihat nanti dipersidangan,” tegas Anton.

    Namun berkas yang telah diserahkan ke Kejaksaan tersebut hingga kini belum mendapatkan tanggapan dari pihak kejaksaan.

    “Ya kita tunggu saja hasilnya nanti,” pungkas Anton.(mok/gik)

  • Semburan Gas Baru Menambah Kecemasan Warga Sidoarjo

    Semburan gas itu pertama kali ditemukan Ikhwan (45), warga Desa Siring, Senin (18/5) kemarin sekitar pukul 19.30. Awalnya, ia curiga dengan bau gas yang keluar dari sebuah sumur bor milik salah satu warga. Ikhwan lantas melaporkan temuannya itu ke Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    Kepala Divisi Gas BPLS Dodie Irmawan yang meninjau langsung ke lokasi mengatakan, semburan gas tersebut mengandung hidrokarbon dan metana. Setelah diukur dengan alat multigas detector, kadar low explossion limit (LEL/batas rendah ledakan) semburan tersebut lebih dari 100 persen. Artinya, tingkat keterbakarannya tinggi atau mudah terbakar.

    “Semburan ini mudah terbakar bila terkena api atau bahkan puntung rokok yang masih menyala. Tindakan kami untuk mengamankan semburan ini adalah dengan memasang pipa pengaman yang diarahkan ke udara bebas,” kata Dodie, Selasa (19/5) di Sidoarjo.

    Meningkatnya jumlah semburan gas semakin menambah kecemasan warga di Desa Siring. Menurut Ikhwan, warga sangat berharap agar pemerintah segera mengambil tindakan terhadap fenomena meningkatnya jumlah semburan gas di luar peta terdampak. Selama ini, warga senantiasa cemas dan tidak tahu harus berbuat apa.

    “Kami hanya mendengar bila ada rencana relokasi terhadap wilayah kami yang sudah tidak layak huni. Namun, sampai hari ini sama sekali belum ada realisasi dari pemerintah. Kami juga tidak mau tinggal di wilayah yang dikelilingi semburan gas,” kata Ikhwan.

    Selama Mei 2009, muncul 13 titik semburan baru di Desa Siring, Desa Wunut dan Desa Jatirejo, di Kecamatan Porong; serta Desa Pejarakan, di Kecamatan Jabon. Bertambahnya jumlah semburan gas tersebut disebabkan meningkatnya tekanan di bawah permukaan tanah akibat beban penumpukan lumpur di tanggul kolam penampungan lumpur. Sejak Oktober 2008, semburan lumpur tidak dialirkan ke Sungai Porong. apo/kcm

  • Pengungsi Korban Lumpur Lapindo Kesulitan Air dan Listrik

    Di lahan relokasi tersebut, pengungsi mendirikan 80 barak darurat berdinding tripleks dan beratap asbes. Rencananya, mereka akan mendirikan 140 unit barak darurat berukuran 3 meter x 5 meter. Barak tersebut dibangun untuk warga korban lumpur yang belum mem iliki rumah kontrakan.

    “Kami masih membuat sumur untuk mendapatkan air bersih. Untuk keperluan penerangan, kami akan menyewa genset karena bila memasang jaringan listrik baru dari PLN perlu biaya besar,” ucap Pitanto (47), koordinator pengungsi, Minggu (17/5) di Sidoarjo.

    Pengungsi korban lumpur di Pasar Porong Baru membeli lahan relokasi tersebut pada 19 Maret 2009 dari Pabrik Gula Kremboong. Harga tanah yang dibeli pengungsi berkisar antara Rp 75.000 hingga Rp 115.000 meter per segi. Tanaman tebu yang berada di lahan relokasi sudah ditebangi seluas lima hektar.

    Para pengungsi keluar dari Pasar Porong Baru yang mereka huni sejak November 2006 setelah menerima uang muka ganti rugi 20 persen dari Lapindo. Sedianya, pengungsi akan keluar dari pasar pada akhir April 2009 lalu. Namun, karena masih ada beberapa anak-anak di pasar tengah mengikuti ujian sekolah, rencana kepindahan ditunda hingga pertengahan Mei 2009. aris prasetyo/kcm

  • Ketika Korban Masuk Bursa Caleg

    Ketika Korban Masuk Bursa Caleg

    Dan, mari lihat beberapa tampang “lokal” itu, khususnya yang tengah memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo. Wilayah korban lumpur di sini masuk daerah pilihan (dapil) 2, yakni Kecamatan Porong, Kecamatan Krembung, dan Kecamatan Tanggulangin. Beberapa calon pun sekaligus merupakan korban lumpur. Lihat saja H.M. Maksum Zuber asal Jatirejo, Hj. Machmudatul Fathiyah dan H. Fakhrur Rozi asal Renokenongo, Sapariadi yang juga asal Renokenongo, atau Siti Muliana yang dulu tinggal sebagai pengontrak di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perum TAS) 1. Dan masih banyak lainnya. Seolah tak mau kalah, korban di luar peta terdampak resmi juga turut maju. Contohnya, Mundir Dwi Ilmiawan, warga Desa Permisan.

    Mereka menempuh jalur partai berbeda-beda. Maksum, Mahmudatul, dan Rozi memilih ‘rumah’ Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sapariadi ada di Partai Barisan Nasional. Muliana masuk Partai Hanura. Sementara Ilmiawan, atau akrab disapa Iwan, ikut Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Nah, apapun partai mereka, dari manapun asal desa mereka, dalam peta atau luar peta, pertanyaannya: sejauhmana sebenarnya komitmen mereka terhadap perjuangan korban lumpur? Apakah mereka mempertimbangkan pentingnya merebut hati korban lumpur? Apa strategi mereka menggandeng “saudara senasib”?

    “Prioritas saya kesejahteraan ekonomi dan penyelesaian kasus Lapindo,” tutur Iwan. Demi prioritas ini, Iwan juga berjanji akan meangalokasikan seratus persen pendapatannya sebagai anggota legislatif untuk usaha penguatan jaringan masyarakat, termasuk untuk perjuangan korban Lapindo.

    Sejak tahun 2006, Iwan memang terlihat aktif dalam pergerakan warga korban lumpur guna menuntut tanggung jawab Lapindo. Cuma jika dulu, dia sering terlihat bergerak lewat demonstrasi-demonstrasi, kini dia ingin “mencoba berteriak dari dalam”. Iwan mengakui, perjuangan ini butuh kerja keras. Bahkan, jika di dewan legislatif nanti akan bertentangan dengan partainya, Iwan berjanji tetap akan berpihak pada korban. Sebab, “Bukan partai yang menjadikan atau tidak saya sebagai anggota dewan. Tapi rakyat,” tandas Iwan.

    Untuk itu, Iwan pun mencoba intensif mendekati rakyat, terutama korban Lapindo. Iwan membentuk tim kampanye di tiap-tiap simpul masyarakat, selain juga menggunakan struktur ranting PDIP sendiri. Maklum, Iwan bergabung di partai banteng ini sejak 1994, dan sekarang ini menjabat sebagai Sekretaris PAC PDIP Jabon. Iwan biasanya membentuk forum-forum pertemuan untuk menyampaikan visi-misi dan menangkap aspirasi. Untuk 60 hari, misalnya, Iwan bisa menjalin komunikasi dengan 72 komunitas di Porong, Tanggulangin, Jabon, dan Krembung.

    Tapi, Iwan mengaku kesulitan menyentuh warga korban Lapindo dari dalam peta terdampak. Selain karena mereka sendiri terpencar dan datanya susah untuk didapat, juga karena, menurut Iwan, warga korban di dalam peta lebih pragmatis dalam merespon sosialisasi caleg. “Kalau korban di pinggiran (sekitar tanggul) lebih enak, lebih antusias. Tapi (korban dari) dalam peta lebih susah. Mungkin harus bawa bantuan dulu untuk bisa masuk ke sana,” tutur Iwan.

    Lain lagi dengan Muliana. Perempuan korban Lapindo dari kalangan pengontran Perum TAS 1 ini sadar, anggota dewan sekarang ini tidak bisa berbuat banyak terhadap nasib korban Lapindo. Namun, sebagai caleg dari Partai Hanura, Muli berjanji akan bersikap berbeda dari anggota dewan sekarang. “Saya akan serius membawa agenda kesejahteraan masyarakat korban Lapindo baik dalam peta maupun luar peta,” tegas Muli yang terlahir 31 tahun lalu ini. Muli juga berjanji akan menyuarakan aspirasi semua korban Lapindo, bukan kelompok tertentu saja. “Saya tidak memilih-milih mana yang akan diperjuangkan, semua akan saya aspirasikan,” ujarnya lagi.

    Muli tidak saja berjanji akan memperjuangkan nasib korban Lapindo, tapi juga melibatkan mereka dalam proses pencalonan dirinya. “Saya melibatkan beberapa kawan korban Lapindo juga untuk membantu kampanye saya, dan mereka sama sekali tanpa bayaran,” ujarnya. Ini semangat anti politik uang (money politics), menurut Muli. Dan karena tanpa uang, Muli memilih jalur personal. Muli berkunjung dari pintu ke pintu, door to door. “Setiap hari saya meyakinkan mereka, untuk kasus Lapindo ini saya serius,” tuturnya.

    Semangat anti politik uang itu akan dia pegang jika nanti duduk sebagai anggota dewan. “Jangan bicara dengan politik uang, tapi dengan hati nurani, karena ini masalah manusia,” sambung Muli. Dengan politik hati nurani, Muli berjanji akan konsisten membela korban Lapindo. “Saya akan konsisten menyuarakan kasus Lapindo ini. Dan tidak ikut dalam konstelasi yang akan memperburuk kondisi korban,” tandasnya.

    Agaknya, caleg-caleg dari kalangan korban lumpur ini sepakat untuk memperjuangan secara serius nasib saudara-saudara mereka. Seperti juga Iwan dan Muli, Sapariadi, caleg asal Desa Renokenongo juga berjanji akan menjadikan kasus Lapindo sebagai prioritas. Sapariadi mengaku pernah menjadi Ketua Forum Silaturrahmi Rakyat Korban Lumpur Lapindo, yang memperjuangkan uang kontrak, jatah hidup (jadup), dan uang boyongan rumah. Ia sendiri memutuskan untuk maju sebagai caleg dari Partai Barisan Nasional lantaran adanya dorongan dari sesama korban lumpur. Sama seperti Muli, Sapariadi tidak sepakat dengan pendekatan politik uang untuk meraih suara.

    Namun, meskipun caleg-caleg dari korban lumpur menyatakan serius akan memperjuangkan saudara mereka, warga korban lumpur sendiri tak sepenuhnya yakin akan hal itu.  Nur Cholifa, 37 tahun, warga Desa Jatirejo, misalnya. Belum lama ini, Cholifah didatangi salah satu tim sukses caleg DPRD Sidoarjo. Dia diberi wawasan, atau tepatnya diceramahi, soal pentingnya Pemilu 2009. Ia juga diberi sembako, kaos dan stiker bergambar si caleg. Toh, Cholifa pesimis caleg-caleg tersebut bisa meringankan permasalahan korban lumpur.

    “Mereka ‘kan mencalonkan sebagai caleg di DPRD Sidoarjo. Tidak mungkin bisa ngomong mampu menyelesaikan persoalan korban lumpur,” ujar Cholifa. Bahkan, Pemilu 2009 ini, bagi Cholifa, tidak akan menciptakan banyak perubahan bagi korban lumpur. “Janji-janji yang ditawarkan para caleg, menurut saya, cuma janji-janji saja. Belum tentu nanti mereka yang sudah jadi akan memperjuangkan nasib korban lumpur,” tegasnya.

    Pesimisme Cholifa ini bukan tanpa alasan. Ia punya pengalaman ketika berlangsung pemilihan gubernur (pilgub) Jatim 2008 silam. Saat itu, Cholifa juga didatangi salah satu tim sukses calon gubernur. Ia dijanjikan akan diberi modal usaha jika mau memilih calon yang ditawarkan. Tapi, setelah pilgub usai, bantuan modal belum juga diberikan. “Pada pilgub kemarin, saya disuruh nyoblos salah satu calon gubernur. Dijanjikan akan diberi modal, tapi kenyataannya tidak ada. Apalagi sekarang, banyak caleg yang menawarkan janji-janji perubahan pada korban lumpur. Saya tidak percaya,” tutur Cholifa.

    Mulyadi, 28 tahun, juga tidak antusias terhadap Pemilu 2009. Bagi pemuda asal Desa Jatirejo ini, kebanyakan parpol tidak berani berkomitmen untuk menyelesaikan kasus lumpur Lapindo. Mulyadi, yang kini tinggal di rumah istrinya di Desa Tebel, Sidoarjo, pernah ditawari menjadi salah satu tim sukses. Tapi ia menolak. Mulyadi tidak percaya adanya perubahan melalui Pemilu 2009. “Janji-janji yang ditawarkan caleg dan partai politik, untuk menuntaskan masalah korban lumpur, tidak mungkin terwujudkan. Meskipun banyak warga korban yang mencalonkan diri jadi caleg,” ujarnya.

    Ketidakpercayaan terhadap caleg dan Pemilu itu tampaknya telah menyebar luas di kalangan korban lumpur. Tapi, Safari, 48 tahun, warga Desa Kedungbendo masih berharap, janji dan komitmen para caleg dan parpol untuk memperjuangkan nasib korban lumpur bisa dibuktikan. Karena itu, Safari yang dulu tinggal di Kawasan Kompleks Angkatan Laut ini mendukung jika ada korban lumpur yang maju sebagai caleg. “Saya sangat mendukung warga korban yang mencalonkan jadi anggota legislatif, yang berani dan berkomitmen menyelesaikan kasus lumpur semuanya,” ujarnya.

    Sementara itu, Suharto, 45 tahun, asal Desa Jatirejo, mengakui memang banyak caleg dan parpol memberi janji-janji penyelesaian kasus lumpur. “Itu trik mereka meraup suara korban. Tapi seyogyanya juga bisa berkomitmen memberi penyelesaian kasus lumpur, tanpa pengecualian,” tegasnya. Meski begitu, Suharto juga mengharapkan, warga yang mencalonkan sebagai anggota legislatif itu bisa mengubah situasi korban lumpur Lapindo. Hanya saja, Suharto ragu terhadap kapasitas caleg-caleg tersebut jika akhirnya mereka nanti terpilih. Sehingga, “saya belum tahu, caleg mana yang pantas saya pilih,” ujarnya. (vik/re/ba)

  • Jalan Desa Gedang Jadi Kebun Pisang

    Jalan Desa Gedang Jadi Kebun Pisang

    Jalan Desa Gedang, Kecamatan Porong, sejak Selasa (31/03) seolah berubah menjadi kebun pisang. Di tengah jalan yang biasanya menjadi jalur alternatif ketika Jalan Raya Porong macet, berdiri pohon-pohon pisang yang ditempeli tulisan-tulisan bernada gugatan. Inilah bentuk protes warga terhadap kerusakan jalan yang ada di desa mereka.

    “Sudah banyak kecelakaan di sini karena banyaknya lobang. Apalagi ini musim hujan,” tutur Roiss Haryanto (51), warga Siring yang sekarang tinggal di Desa Gedang RT 3 RW 1. Semenjak jalan tol Surabaya-Gempol lenyap ditenggelamkan lumpur Lapindo, volume kendaraan ke arah Surabaya-Malang dan Pasuruan begitu pun sebaliknya menjadi bertumpuk di Jalan Raya Porong. Kemacetan panjang adalah kenyataan sehari-hari yang harus dialami warga yang melewati Jalan Raya Porong.

    Keadaan ini menyebabkan jalan-jalan desa seperti yang ada di Desa Gedang digunakan sebagai jalur alternatif untuk mengurangi kemacetan. Bukan hanya kendaraan pribadi saja yang melewati jalan-jalan desa ini, tetapi truk-truk besar, bus, bahkan pengangkut peti kemas juga terkadang menggunakan jalan yang tidak sesuai kelasnya tersebut. Akibatnya bisa diduga, jalan-jalan alternatif ini akhirnya menjadi hancur dan berlobang besar disana-sini.

    “Sudah pernah diperbaiki, tapi karena yang lewat (truk dan bus) besar-besar. Akhirnya rusak lagi,” terang Rois lebih lanjut.

    Warga sebenarnya tidak berusaha menghalangi kendaraan yang melewati jalan Desa Gedang ini. Mereka juga tidak menolak jalan desa mereka dipakai sebagai jalur alternatif. Tetapi karena kerusakan dan adanya lobang, pohon-pohon pisang itu dipasang untuk menghindari pengguna jalan terperosok. Juga sebagai bentuk ketidakpuasan.

    Lihatlah, mereka memasang berbagai tulisan seperti “Pejabat lihatlah jalanku”, “Iki jalan opo sawah?” dan “Mana Janjimu Pak Karwo” untuk menuntut pertanggungjawaban Pemerintah.

    “Jangan cuma ngurusi Pemilu saja, jalan ini harus segera diperbaiki,” tuntut Rois lebih lanjut.
    Sampai sekarang belum ada tanda-tanda jalan di Desa Gedang ini akan diperbaiki. Entah, apakah dibutuhkan korban jiwa terlebih dahulu sebelum mata pemerintah mau melihat kenyataan yang sebenarnya juga disebabkan kelalaian mereka sendiri.[re]

  • Gubernur Desak BPN Terbitkan Sertifikat bagi Korban Lumpur

    Dalam pertemuan dengan sembilan perwakilan korban lumpur Lapindo, Senin (30/3) di Kantor Gubernur, Surabaya, Soekarwo mengatakan, tanpa sertifikat, warga akan kesulitan mendapatkan ganti rugi. Karena itu, proses penggantian Letter C dan Pethok D menjadi sertifikat adalah langkah tepat menyiasati permasalahan pembayaran.

    Suwito, ketua Gerakan Pendukung Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Geppres), mengungkapkan, sampai saat ini PT Minarak Lapindo Jaya belum menerima atau mengakui permasalahan ganti rugi surat Letter C dan Pethok D. Padahal, pemerintah sudah bersedia mengakui bukti kepemilikan non-sertifikat tersebut.

    “Sudah ada surat resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang mengatur mekanisme jual-beli, baik yang sertifikat, maupun non-sertifikat. Tapi PT Minarak Lapindo Jaya tetap menolak untuk membayar,” ujarnya. Sejak pukul 11.00, ratusan warga korban lumpur Lapindo mendatangi kantor Gubernur Jawa Timur. Sekitar 200 warga korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam koalisi korban lumpur Lapindo tersebut ingin mengadukan tersendatnya pembayaran ganti rugi tanah bagi warga yang surat tanahnya berupa Letter C dan Pethok D.

    Pada prinsipnya, ratusan warga menuntut tiga poin, yaitu perlakuan sama terhadap status tanah non-sertifikat maupun sertifikat, penegasan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, dan tuntutan ketegasan presiden menyelesaikan ganti rugi tanah maksimal akhir tahun 2008.

    Lapindo Tetap Menolak

    Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla mengatakan, pihaknya tetap bersikukuh menolak bukti kepemilikan tanah berupa Letter C dan Pethok D bisa dijadikan akta jual beli tanah. Lapindo, menurut Andi, sudah memberikan jalan keluar bagi korban lumpur pemilik Letter C dan Pethok D berupa cash and restlement. Ia berharap agar warga mau menerima tawaran itu.

    “Tetap tidak bisa (bila Letter C dan Pethok D dijadikan akta jual beli tanah). Kami menolak itu. Solusi yang kami berikan berupa cash and restlement adalah solusi terbaik bagi pemilik berkas berupa Letter C dan Pethok D. Bila Gubernur membawa persoalan ini kepada Presiden, kita tunggu saja hasilnya,” ujar Andi.

    Wakil Ketua Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo (Rekorlap) Pitanto mengatakan, tawaran Lapindo tersebut dinilai tidak masuk akal. Pasalnya, warga kesulitan untuk mendapatkan ukuran tanah yang sebenarnya karena sudah terendam semburan lumpur. Menurut Pitanto, sangat tidak mungkin bagi warga pemilik Letter C dan Pethok D mengukur kembali luas tanah mereka.

    Skema cash and restlement adalah skema bagi pemilik Letter C dan Pethok D untuk menerima uang muka 20 persen dan sisanya, yaitu pembayaran 80 persen, dibayar dengan cara mengganti tanah milik warga yang terendam lumpur dengan luas tanah yang sesuai. 

    Senin, 30 Maret 2009 | 22:16 WIB

  • Awas Bahaya Jangka Panjang Lumpur Lapindo!

    Berdasar penelitian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur yang dilakukan 2006-2008, ditemukan zat Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH), senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik (penyebab kanker).

    Berry Nahdian Furqon Direktur Eksekutif WALHI, di Jakarta Rabu (18/3) mengatakan memang senyawa tersebut tidak menyebabkan terbentuknya tumor ataupun kanker secara langsung, kira-kira 5-10 tahun ke depan.

    Dalam sistem metabolisme tubuh akan PAH diubah menjadi senyawa Alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan berpotensi menyebabkan timbulnya tumor dan resiko kanker.

    “PAH akan sangat berbahaya khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar semburan lumpur Lapindo, beserta ancaman terhadap kerusakan ruang hidup warga jika terpapar terus menerus dalam batas waktu lama(lebih dari 24 jam) ” jelas Berry.

    Belum lagi lumpur yang dibuang ke Kali Porong, biota yang ada di sana juga akan tercemar dan mati. Itu memperparah kerusakan ekologi. Sampai saat ini belum dipastikan kapan semburan lumpur Lapindo ini akan berhenti atau bisa dihentikan.

    Bisa jadi semburan lumpur Lapindo ini akan berlangsung puluhan tahun. Maka selama itu pula logam berat dan PAH yang sangat berbahaya bagi manusia yang berasal dari perut bumi akan terus dikeluarkan.

    Ia juga mengatakan walaupun nantinya lapindo akan berhenti, butuh waktu yang lama untuk menghilangkan dampak yang telah akibatkan. “tidak akan otomatis hilang tetapi justru akan terakumulasi pada ribuan spesies hewan dan tumbuhan, ” kata Berry.

    Mengingat bahaya yang diakibatkan PAH , Berry meminta pemerintah untuk mengadakan  pemeriksaan kesehatan secara rutin dan dalam waktu yang panjang hingga sepuluh tahun ke depan bagi warga di wilayah semburan lumpur dalam radius terciumnya bau gas.

    Hal lain yang juga harus dilakukan adalah menyusun ulang rencana penanganan wilayah yang berisiko dengan adanya lumpur panas dengan melibatkan semua institusi pemerintahan di bidang kesehatan, lingkungan, ekonomi, dan sosial.

    Selain itu, pemerintah juga harus memberikan masker bagi warga yang tidak bersentuhan langsung dengan lumpur juga yang mengkonsumsi air yang terkontaminasi. ” Mereka juga butuh perlindungan, setidaknya masker masker penyaring udara untuk melindungi pernapasan,” ujar Berry.

  • Pulau Dem: Potret Kelam Pembuangan Lumpur Lapindo ke Kali Porong

    Pulau Dem, gundukan yang membentuk pulau seluas lebih dari 900 hektar di muara Kali Porong, merupakan lahan tambak produktif yang mampu memberi hidup bagi para warga. Ada 88 laban (pintu air tambak) jumlah lahan garapan di tempat itu. Area ini, menurut pihak desa, sejak 1980an mulai digunakan sebagai lahan tambak. Menurut beberapa warga lainnya, bahkan akhir tahun 1960an, atau setelah peristiwa pembantaian ’65, warga telah mulai memakai Pulau Dem sebagai lahan tambak.

    Riwayat mana pun yang benar tak mengurangi kenyataan bahwa para pionir ini pasti pekerja keras, karena bukan perkara mudah menuju daerah ini. Lokasinya ada di tengah-tengah muara Kali Porong. Area ini juga cukup jauh dengan jalanan yang tidak bersahabat. Di musim hujan, kita harus menyeberangi Kali Porong untuk mencapai Pulau Dem.

    Haji Machfud (52 tahun) adalah bagian dari para pekerja keras itu. Dengan luas tambak seluas 7,5 hektar, bapak tiga putra ini berharap bisa mencukupi kebutuhan hidupnya melalui tambak itu. Warga Dusun Pandansari RT 16 / RW 5, Desa Kedung Pandan, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, ini merasa bahwa penghasilannya yang didapat dari usaha tambak ini mencukupi. “Setidaknya 60 hingga 70 juta per panen saya dulu biasa dapatnya,” tuturnya. Dengan setahun bisa mendapat dua kali panen saja, Haji Machfud bisa menghidupi keluarganya.

    Namun, semua itu cerita masa lalu. Semenjak Pemerintah memutuskan membuang lumpur ke laut melalui Kali Porong, pelan-pelan sumber nafkah Haji Machfud menyusut. Puncaknya adalah ketika ombak besar pasang di muara laut menghajar tanggul-tanggul penghalang tambak dan menghancurkan panenan ikannya serta merusak tambaknya. “Rusak semua tambak di sana. Mungkin hanya ada tiga tambak yang luput dan masih bisa dikerjakan,” terangnya. Semua bencana itu, tutur Haji Machfud, adalah akibat pendangkalan muara karena lumpur Lapindo yang digelontorkan melalui Kali Porong.

    “Dulu arus pasang dari laut bisa mengalir lancar, bahkan sampai ke wilayah Porong sana. Tapi karena sekarang di sini (area muara) jadi dangkal, air pasang tidak bisa mengalir lewat Kali Porong, dan masuk ke tambak-tambak (di Pulau Dem),” tutur Haji Machfud.

    Sekarang tambak-tambak itu tak berbentuk lagi. Semua galengan pembatas dan laban telah hancur diterjang air pasang. Sejauh yang bisa dilihat, lahan itu menjadi perluasan laut yang menjorok masuk ke dalam pulau itu. Tidak ada pembatas apapun. Hanya air di mana-mana. Sebuah kehancuran yang jelas memukul para pekerja seperti Haji Machfud. Untuk memperbaiki tambak lagi, setidaknya harus disiapkan dana sekurang-kurangnya 50 juta. Itu pun tanpa jaminan bahwa air pasang tidak menghancurkan lagi tambak mereka. “Kawan saya sudah keluar 40 juta memperbaiki tambak. Sudah pakai bego (eskavator). Tapi juga belum selesai juga,” tambah H. Machfud.

    Jika para pemilik tambak merasa susah dengan rusaknya area tambak di daerah Pulau Dem maka para pekerja tak kalah susahnya. Jumingan (36 tahun), warga Desa Kedung Pandan, mengaku hanya menguasai cara memelihara tambak, lainnya tidak. Sehingga, ketika tambak tidak lagi bisa dikerjakan, Jumingan hanya bisa pasrah. Untuk mengatasi kebutuhan, dia mencari ikan, udang, atau kepiting yang masih bisa dicari di bekas tambak-tambak yang sudah berantakan itu.

    “Susah sekarang kerja tambak di sini,” keluh Jumingan sambil membenahi alat pancingnya dan melemparnya kembali. Dari ujung telunjuknya dia memperlihatkan betapa masifnya kerusakan yang diakibatkan oleh pendangkalan Kali Porong tersebut. “Dari ujung ke ujung, tidak ada yang tersisa. Semua sudah rusak, bahkan sekarang laban-laban sudah hilang. Mau kerja di tambak, apa yang harus dikerjakan?” tanyanya penuh kekesalan.

    Jumingan juga menuding bahwa lumpur Lapindo lah yang membuat semua jadi begini. “Dulu tidak pernah begini, air pasang besar juga tidak sampai merusak tambak. Tapi karena sungainya dangkal, air dari laut jadi masuk dan merusak tambak,” jelasnya lebih lanjut.

    Pihak Desa Kedungpandan, sebagai induk administrasi daerah Pulau Dem, bukannya tanpa usaha. Kepala Desa Kedung Pandan, Suparman, menyatakan telah membawa permasalahan ini kepada BPLS dan Pemerintah Kabupaten. Dua-duanya memberi jawaban seragam: akan diusahakan untuk mengurangi pendangkalan dan memperbaiki tanggul penahan di daerah tambak di daerah muara. Namun, hingga air pasang telah membunuh nafkah banyak orang di daerah itu, aksi nyata pihak-pihak terkait ini jauh panggang daripada api. Tidak sampai satu bulan usaha pengerukan dan pembuatan penahan air pasang, proyek tersebut tidak lagi berjalan. “Alasannya tidak ada material untuk membuat tanggul penahannya,” tutur Suparman.

    Haji Machfud juga merasa jengkel dengan lambannya perhatian pemerintah terhadap masalah mereka. “Kita (pemilik tambak) bahkan sampai harus membayar masing-masing 1 juta agar usaha perbaikan dan pengurangan pendangkalan dilakukan. Tapi tidak ada yang selesai,” katanya. Kepala Desa Kedung Pandan mengatakan bahwa uang 1 juta itu untuk ongkos pembelian solar alat-alat berat yang mengerjakan usaha pembenahan pendangkalan di muara itu. Oh, bahkan untuk sebuah tanggungjawab karena telah menyebabkan pendangkalan dan kerusakan didaerah muara, usaha pembenahannya harus memberatkan masyarakat yang telah menjadi korban kebijakan pembuangan lumpur Lapindo ke Kali Porong itu.

    Dalam ketidakjelasan siapa yang harusnya bertanggungjawab membereskan masalah di muara Kali Porong, Kepala Desa Kedung Pandan berharap agar masalah ini bisa diselesaikan dan muara Kali Porong bisa normal kembali. Ini bisa memberi kesempatan usaha untuk para petani tambak yang telah berjuang keras. “Memang baiknya lumpur tidak dibuang melalui Kali Porong, tapi sepertinya itu susah. Semoga bisa cepat diselesaikan masalah ini,” tambah Suparman.

    Sebagai korban, Haji Machfud juga bingung harus menuntut kepada siapa. “Siapa yang harus bertanggung jawab di sini? Kami ini dirugikan, mengapa tidak ada perhatian?”

    Silang sengkarut kasus ini memang menumbuhkan begitu banyak keanehan, sampai sekarang belum jelas siapa yang akan mengambil langkah perbaikan di kawasan muara Kali Porong ini. Sementara para pemilik dan pekerja tidak tahu lagi mesti ke mana meminta pertanggungjawaban dari sebuah kebijakan yang membuat mereka harus kehilangan mata pencaharian dan masa depan hidupnya.

    Ah, ya, Pak Menkokesra mungkin bisa menjawab, karena menurutnya pembuangan lumpur kelaut tidak bermasalah.[re]

  • Warga Tuntut Dana Talangan

    Oleh Ahmad Novik

    Tiga tahun korban Lapindo ditelantarkan. Berbagai pola pembayaran ganti rugi tidak dijalankan sebagaimana mestinya oleh PT Lapindo Brantas. Karena itu, warga korban menuntut agar pemerintah mengambil alih penanganan ganti rugi dengan skema dana talangan. Pakar hukum mensyaratkan bahwa pemerintah harus membuat kesepakatan yang tegas dengan pihak Lapindo terkait penggunaan dana APBN nantinya. Sementara aktivis lingkungan menyatakan bahwa tanggung jawab pihak Lapindo tidak semata ganti rugi, namun pemulihan kawasan seutuhnya.

    {mp3}DanaTalangan{/mp3}

  • Penghargaan K3 ke Lapindo Dikritik

    Suparto mempertanyakan parameter yang digunakan oleh Dinas Tenaga Kerja dalam memberi penghargaan itu. Menurut dia, parameter zero accident biasanya mengacu pada jumlah kecelakaan kerja secara personel.

    Padahal, Lapindo secara institusional adalah perusahaan yang paling banyak menyebabkan kecelakaan, baik manusia maupun alam,” katanya.

    Hal serupa juga diungkapkan oleh Direktur Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur Bambang Catur Nusantara. Menurut dia, pemerintah telah salah dalam memberi penghargaan kepada Lapindo.

    Untuk melihat Lapindo Brantas Inc, kata Bambang, pemerintah jangan hanya melihat sumur-sumur eksplorasi di blok Brantas di luar Porong yang saat ini sudah beroperasi, tapi juga harus mempertimbangkan kecelakaan di sumur Banjar Panji 1. “Saya malah curiga. Ada apa apa di balik ini semua,” ujarnya.

    Kamis kemarin, bersama 174 perusahaan lainnya, Lapindo Brantas mendapat penghargaan sebagai perusahaan yang telah menerapkan manajemen K3 dengan baik dari Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur.

    HSE Manager Lapindo Johannes Sudarsono yang hadir untuk menerima penghargaan menyambut gembira pemberian penghargaan itu. “Ini adalah prestasi gemilang bagi perusahaan migas seperti kami,” ujarnya.

    Menurut Gubernur Jawa Timur Soekarwo, penghargaan kepada Lapindo ini diberikan karena selama ini tidak ada kecelakaan kerja yang terjadi pada perusahaan ini.

    Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Sidoarjo Hisjam Rosidi, yang merekomendasikan Lapindo mendapat penghargaan K3, mengatakan bahwa penghargaan itu hanya diberikan kepada Lapindo untuk Area produksi Gas Wunut yang terletak di Desa Kedungboto, Porong. “Penghargaan ini tidak berlaku untuk area eksplorasi Banjarpanji I Desa Renokenongo, Porong, yang sekarang menyemburkan lumpur,” ujarnya.

    Menurut dia, penilaian yang dilakukan November tahun lalu itu dilakukan per area kerja. Penilaian ini mengacu pada Peraturan Tenaga Kerja Nomor 01/Men/I/2007 tentang Pedoman Pemberian Penghargaan K3. “Ada kriterianya, tidak asal-asalan,” kata Hisjam.

    Lapindo area produksi Gas Pabrik Wunut, kata Hisjam, dinilai memenuhi kriteria penilaian K3 dalam kategori sektor pertambangan.

    Penilaian itu di antaranya selama 1,2 juta jam kerja atau selama tiga tahun tidak terjadi kecelakaan kerja yang menyebabkan karyawan kehilangan dua hari kerja dan memiliki organisasi K3. Selain itu, sistem keselamatan pekerja di areal kerja di lapangan Wunut dinilai bagus. ROHMAN T | YEKTHI HM

  • Pengungsi PBP Diserbu Nyamuk

    Lokasi PBP kini ditempati oleh 593 Kepala Keluarga (KK). Bila serangan nyamuk ini dibiarkan, mereka khawatir terjangkit penyakit cikumunya ataupun demam berdarah. Untuk terhindar dari serangan nyamuk, warga melindungi diri dengan obat anti nyamuk, kipas angin, dan raket listrik.

    Lilik Kaminah, salah satu warga pengungsi, mengaku sudah terbiasa diserbu nyamuk. Setiap hari ia belanja obat anti nyamuk tapi serbuan nyamuk tak surut juga. “Sebelum tidur saya mengusir nyamuk dengan raket listrik, tapi nyamuk gak habis-habis. Ibaratnya, mati satu tumbuh seribu,” ungkapnya.

    Hal serupa disampaikan oleh Adi Susanto, warga pengungsi lainnya. Menurutnya, nyamuk yang menyerang warga pengungsi tak takut dengan obat anti nyamuk. Agar tubuhnya tidak bentol-bentol di pagi harinya, ia meringkuk di pinggir kipas angin.

    Dari pantauan pewarta warga, di sebelah barat PBP banyak tumbuh ilalang liar. Sebelah utara dan barat Terminal Porong terdapat areal persawahan yang tidak terawat. Air di saluran got terlihat banyak yang menggenang sehingga menjadi surga bagi nyamuk untuk beranak-pinak.

    Selama ini warga giat membersihkan lokasi pengungsian untuk mengurangi serbuan nyamuk sembari berharap ada kegiatan pengasapan rutin dari pihak yang berwenang. [yos]

  • Rangsang Minat Baca lewat Perpustakaan Komunitas

    Menurut M. Irsyad, pendiri perpustakaan, perpustakaan merupakan rangkaian dari kegiatan komunitas Besuki Barat. Selain mendirikan perpustakaan, komunitas ini juga membuat latihan menari yang rutin dilakukan di rumah Irsyad. Kegiatan ini diikuti oleh anak-anak dan remaja korban untuk mengisi waktu luang.

    Saat ini kegiatan di perpustakaan baru berupa penyediaan bahan bacaan yang bisa pinjam secara gratis. Koleksinya cukup beragam, ada novel, komik, buku pelajaran, dan lainnya. Namun, jumlah koleksi masih terbatas sekitar 30 judul. Sebagian besar kolaksi yang dibeli di pasar buku bekas dan sumbangan dari perorangan.

    Pengguna perpustakaan masih sedikit. Setiap hari ada 2-3 warga yang meminjam atau mengembalikan buku. Meski pengguna perpustakaan masih terbatas, M. irsyad optimis kegiatan ini berdampak positif bagi kemajuan warganya.

    Perpustakaan ditempatkan di ruang depan rumahnya sehingga warga leluasa mengakses koleksi. Uniknya, selain membaca koleksi, pengguna juga bisa mengikuti pelatihan pembuatan komik dan menari.

    Irsyad berharap ada pihak yang bisa membantu pengadaan koleksi dan memfasilitasi pengembangan minat baca di perpustakaannya. Siapa yang tertarik berpartisipasi pada ide ini?[yos]

  • Buih Gas Muncul, Warga Ketapang Keres Resah

    Ketapang Keres terletak di sepanjang tepian Sungai Gede. Daerah ini berada hanya 200 meter sebelah barat tanggul lumpur Lapindo. Karenanya, warga menganggap buih gas yang muncul merupakan dampak dari aktivitas semburan gas dan lumpur di dalam tanggul.

    Saat Sungai Gede meluap warga coba memantikkan api ke buih, hasilnya langsung menyala. Setelah itu, warga setempat melaporkan kejadian ini ke Balai Desa Ketapang, sayang Perangkat Desa justru mengembalikan laporan warga dengan alasan tidak lengkap.

    Selain buih gas, sejak munculnya luapan lumpur Mei 2006 warga Ketapang Keres terus dirugikan. Pertama, warga Ketapang Keres tidak bisa memanfaatkan air sumur sebab airnya tercemar dan bau. Untuk keperluan sehari-hari mereka membeli air Rp 1.500,- per dirijen.

    Kedua, warga terganggu oleh bau busuk dan gas yang ditimbulkan dari aktivitas luapan lumpur. Meskipun belum ada warga yang jatuh sakit, seperti sesak nafas, tapi mereka sadar tengah hidup di lingkungan yang tidak sehat.

    Warga berharap ada perhatian dari pemerintah untuk menekan Lapindo untuk menyelesaikan masalah dan mengambil langkah pencegahan sebelum muncul dampak yang lebih besar akibat aktivitas buih gas.(yos)

  • Lumpur Bisa Distop, Pelaku Bisa Diadili

    Dia adalah Josef Tupamahu, konsultan pengeboran minyak yang sudah malang melintang di dunia eksplorasi migas. Ide-idenya diungkapkan dalam diskusi terbatas di Kampus ITS, Kamis (5/3).

    Diskusi itu dihadiri sejumlah pakar geologi, fluida, dan pimpinan LPPM ITS seperti Prof Sutantra, Prof Djoni, Ir Djaja Laksana, dan juga beberapa wartawan.

    Dalam diskusi, Josef menyatakan setiap kegiatan pengeboran berisiko, termasuk semburan (blow-out) gas/minyak atau air/lumpur. Seperti yang sering dialaminya saat mengebor di Sumatera Selatan, Bojonegoro, Madura, dan juga luar negeri.

    Tetapi, begitu ada semburan, ia langsung menutupnya. Blow-out, katanya, adalah mengalirnya minyak, gas, atau cairan, dari sumur minyak/gas ke permukaan atau di bawah tanah yang tak terkontrol.

    Semburan terjadi tatkala tekanan hidrostatis lumpur pengeboran lebih kecil dibanding tekanan formasi. Mencegah ini, dipakailah alat pencegah sembur liar (blow-out preventer).

    Saat terjadi semburan lumpur, Josef mengaku telah menyarankan agar pihak Lapindo segera menyuntikkan semen ke dalam lubang semburan. “Tetapi sayang, mereka tidak melakukannya,” tegasnya.

    Meski sudah sangat terlambat, tutur Josef, semburan masih bisa diatasi. Tentu saja dengan biaya mahal. “Ini hanya dry hole (lubang kering), not gas and not oil,” tuturnya. Kalau pun ada H2S atau Co2, kadarnya sangat kecil dan tidak berbahaya.

    Josef membantah klaim bahwa semburan itu adalah mudvulcano, yakni air bercampur lumpur seperti lava. Yang ada hanyalah air terpisah dari lumpur. Hanya saja saat keluar dari perut bumi membawa serta lumpur. Pria fasih berbahasa Inggris dan Prancis ini juga menolak asumsi bahwa semburan lumpur terjadi karena gempa bumi di Jogjakarta.

    Dari pengamatan di lapangan, Josef Tupamahu sangat yakin luapan lumpur ini bisa diatasi dengan menggunakan Hukum Bernoulli, saran yang selama ini berkali-kali diteriakkan Ir Djaja Laksana.

    Lumpur, katanya, bisa dihentikan dengan membuat bendungan berdinding pipa yang dipancangkan sampai kedalaman tertentu.

    Kemudian disambung terus ke atas permukaan sampai lumpur berhenti keluar. Setelah itu, dicari koordinat pengeboran untuk mengetahui lubang semburan, dan selanjutnya disuntikan semen khusus ke dalamnya. “Hanya dalam tempo 48 jam semen itu mengering dan semua lubang itu tertutup,” tegas Josef yang sekarang bekerja di pengeboran minyak di China.

    Diakui, untuk membuat bendungan dan menyuntik semen ke dalam liang semburan, butuh dana besar. Saat ini, tinggi tanggul di pusat semburan di Panji I sekitar 13 meter. Kondisi air yang keluar dan lumpur itu tidak kencang tetapi landai saja. “Jika tanggul ini ditambah 10 meter lagi, bisa saja lumpur itu berhenti. Inilah hukum Bernoulli,” jelasnya.

    Selain mengungkap peluang menghentikan lumpur, Josef juga menyebutkan bahwa PT Lapindo Brantas Tbk yang mengeksplorasi sumur Panji I telah melanggar UU Migas. Sebab, perusahaan itu tidak segera menutup kembali semburan sehingga lumpur menyengsarakan ribuan warga Sidoarjo dan memorak-porandakan perekonomian Jatim. “Polisi bisa menyeret mereka ke pengadilan,” tegas Josef.

    Sementara itu, Prof Sutantra dan Prof Djoni dari LPPM ITS menyambut gembira ide-ide yang terungkap dalam diskusi, karena ada satu langkah maju dalam upaya menghentikan luapan lumpur. “Hasil diskusi ini akan kami bukukan dan laporkan ke Presiden,” ujar Prof Sutantra.
    Apalagi, pada 14 atau 16 Maret 2009, Presiden SBY akan berkunjung ke ITS. “Kami juga akan meminta Pak Josef Tupamahu untuk menjadi konsultasn dalam diskusi dan upaya penghentian lumpur,” jelasnya.

    Ditegaskan Sutantra, pihak ITS hanya melakukan penemuan ilmiah dan langkah yang dilakukan untuk menghentikan semburan, sedangkan dana dan pelaksanaan di lapangan tergantung pemerintah. jos

  • Bapepam-LK panggil Dirut Bumi

    Bapepam-LK panggil Dirut Bumi

    Jakarta, Bisnis.com – Bapepam-LK memanggil Dirut PT Bumi Resources Tbk terkait transaksi akuisisi tiga perusahaan batu bara senilai Rp6,18 triliun.

    “Pak Ari [Dirut Bumi, Ari S Hudaya] sudah kami periksa pekan ini,” ujar Kabiro Pemeriksaan dan Penyedidikan Bapepam-LK Sarjito kepada pers hari ini.

    Dia menjelaskan tidak tertutup kemungkinan dilakukan pemeriksaan terhadap direksi atau komisaris Bumi yang lain apabila diperlukan.

    Transaksi pembelian saham PT Pendopo Energi Batubara, PT Darma Henwa Tbk dan PT Fajar Bumi Sakti dilakukan pada akhir tahun lalu.

    Bapepam-LK mengindikasikan harga transaksi itu terlalu di atas harga pasar sehingga perlu diadakan pemeriksaan untuk membuktikan dugaan itu. (tw)

    Irvin Avriano

  • Medco dan Lapindo siapkan kerja sama gas

    Nurbaiti (06/03/2009)

    JAKARTA (bisnis.com): Penandatanganan memorandum of understanding (MoU) antara PT Medco EP dan Lapindo Brantas menunggu persetujuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

    Dirjen Migas Departemen ESDM Evita H. Legowo mengatakan Medco dan Lapindo akan memasok gas untuk jaringan gas kota di Palembang dan Surabaya yang rencananya akan dibangun tahun ini.

    “Penandatanganan MoU terkait pasokan itu akan dilakukan dalam waktu dekat. Hanya saja menunggu waktu dari Menteri ESDM. Tapi itu kan cuma formalitas saja,” ujarnya hari ini.

    Menurut dia, dengan adanya kepastian pasok batu bara tersebut, pemerintah akan segera melakukan tender pembangunan. Diharapkan akhir tahun ini pembangunan jaringan gas kota di 2 kota tersebut selesai dilakukan.

    Dia mengatakan kepastian pasokan gas dari 2 KKKS itu diperkirakan bisa memenuhi kebutuhan gas untuk proyek Palembang sekitar 1 MMCSF per hari. Sedangkan untuk kebutuhan di Surabaya akan lebih kecil lagi.

    Menurut dia, untuk tahun ini jaringan gas kota akan dibangun di Kelurahan Lorok Pakjo dan Siring Agung di Kota Palembang yang akan mengaliri 4.200 rumah serta Kelurahan Rungut Kidul dan Kalirungkut di Kota Surabaya yang akan mengaliri 3.200 rumah. (tw)

  • “Aset Bakrie Rp 40-60 Triliun.”

    Sumitro, Koordinator Koalisi Korban Lumpur: 

    Sejak lumpur panas di Porong, Sidoarjo, menyembur pada Mei 2006 lalu, sedikitnya sudah tujuh perjanjian dibuat antara korban lumpur dan Lapindo dengan pemerintah. Salah satu perjanjian itu adalah skema penyelesaian yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang tak kunjung selesai sampai sekarang. Lantaran sudah kehilangan tempat tinggal dan mata pencarian, korban lumpur Lapindo itu tak henti menuntut haknya.

    Adalah Sumitro, salah satu korban yang didaulat oleh warga untuk menjadi koordinator perjuangan tersebut. Pekan lalu, ia bersama seratus lebih warga menagih janji Lapindo melalui pengendali kelompok usaha Bakrie, Nirwan Bakrie. Hasilnya, warga dijanjikan lagi pembayaran sisa ganti rugi 80 persen dengan cara dicicil Rp 15 juta per bulan. Kepada Tempo, Sumitro membeberkan betapa sulitnya dan melelahkan usaha menagih janji itu.

    Apa hasil pertemuan dengan Nirwan Bakrie dan beberapa menteri Rabu pekan lalu?

    Sangat mengecewakan. Nirwan Bakrie mengumumkan hanya mampu membayar Rp 15 juta per berkas per bulan. Jelas kami tidak puas karena kami ingin dibayar tuntas tanpa skema cicilan.

    Alasan Grup Bakrie membayar dengan skema cicilan?

    Mereka menyebut angka Rp 40 miliar, batas maksimal kemampuan membayar ganti rugi selama setahun ini. Jumlah yang sangat tidak masuk akal. Setelah kami tekan sampai suasana memanas, keluar angka Rp 15 juta per berkas per bulan. Padahal, sebelumnya sanggup membayar Rp 30 juta per bulan. Perubahan angka itu menunjukkan bahwa Lapindo tidak jujur dengan kemampuan keuangan mereka.

    Bagaimana bisa muncul angka Rp 15 juta?

    Kami tidak tahu karena saat kami keluar, ada pertemuan lanjutan. Pertemuan itu tertutup antara Lapindo dan tiga menteri. Kami tidak dilibatkan. Kami disuruh menunggu. Di situlah kami curiga pertemuan tersebut sengaja memposisikan korban lumpur hanya untuk menerima keputusan mereka. Kami melihat kembali panggung sandiwara para menteri dan Lapindo.

    Artinya, Anda tidak lagi mempercayai peran menteri. Lantas, apa upaya selanjutnya?

    Meneruskan aspirasi warga dengan tidak lagi melalui para menteri dengan Lapindo. Kami akan sampaikan langsung ke Presiden. Caranya, kami akan ramai-ramai akan mendatangi Istana. Kalau perlu, membangun tenda sampai tuntutan kami dipenuhi. Kami juga akan ke DPR di Senayan. Target kami pemerintah harus memberikan dana talangan, itu berarti harus mendapat persetujuan DPR.

    Bukankah Menteri Sosial sudah menyatakan pemerintah tidak mengeluarkan dana talangan?

    Kami tidak akan berhenti meskipun ada pernyataan menteri begitu. Menteri itu bermaksud menjegal tuntutan korban lumpur. Kami meyakini komitmen Presiden, bukan pembantunya yang berupaya mengebiri dan memenggal keinginan Presiden. Itulah pentingnya kami bertemu Presiden. Target kami awal Maret.

    Seperti apa mekanisme pembayaran ganti rugi yang ditawarkan Lapindo?

    Ini yang samar-samar. Lapindo hanya menyampaikan bahwa keadaan ekonomi membaik dan harga saham grup Bakrie bagus, akan menaikkan nilai www.moneygrampoint.mx cicilan. Tapi, kami tidak percaya dengan janji-janji kosong itu.

    Apa kesepakatan itu di luar perjanjian 3 Desember lalu?

    Kami sebenarnya tidak mendorong penyelesaian skema cicilan Rp 30 juta per bulan. Tuntutan kami tetap sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, yang menyatakan 20 persen dibayar di depan dan penyelesaian 80 persen secara tunai dilakukan saat jatuh tempo. Tindak lanjut peraturan itu sudah dibuat dengan akta perjanjian ikatan jual beli. Jadi, untuk masing-masing korban, kapan pembayaran 80 persen sudah jelas. Tapi, peraturan itu dimentahkan dengan perjanjian 3 Desember dan keputusan Rp 15 juta kemarin. Kami anggap ini penipuan terhadap kesepakatan bersama. Kalau tidak ada titik temu, kami akan melapor ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri sebagai penipuan.

    Kalau itu dianggap penipuan, kenapa Anda tidak segera melaporkan?

    Kami mencoba bernegosiasi dengan pemerintah dan mencari cara yang aman untuk semua pihak. Namun, kalau ternyata hasilnya tidak memuaskan, kami ambil langkah tersebut, apa pun risikonya. Batas waktunya sebelum pemilu ini.

    Apa Anda punya bukti kuat bahwa Lapindo membohongi korban lumpur?

    Kepada korban di dalam peta terdampak, Lapindo selalu mengatakan akan tunduk dengan Perpres Nomor 14 Tahun 2007, tapi sampai sekarang tidak dijalankan. Ketika skema jual-beli dibuat, kami diminta bikin perjanjian di depan notaris, juga diingkari. Pada kelompok korban lain ditawarkan skema yang macam-macam seperti relokasi, tapi ternyata rumah yang dijanjikan belum seluruhnya dibangun.

    Ada lagi skema yang cicilan Rp 30 juta per bulan, kemudian dikandaskan dengan keluarnya skema pembayaran Rp 15 juta per bulan. Belum lagi ketika warga mengambil hak realisasi pembayaran 80 persen, kami diminta tanda tangan di atas kuitansi bermeterai senilai aset ganti rugi 80 persen. Ternyata, uang yang ditransfer ke rekening warga tidak sesuai dengan nilai yang tertera di kuitansi. Inilah modus penipuan itu.

    Tapi, tidak semua korban lumpur merasa tertipu?

    Bisa dibilang seluruh warga merasakan karena yang sudah jatuh tempo selalu dipanggil diminta tanda tangan pelunasan 80 persen. Bahkan, ada yang sudah tanda tangan kuitansi pelunasan 80 persen, tapi sampai hari ini duitnya belum ditransfer.

    Berapa banyak warga yang mengalami itu?

    Untuk angka pastinya saya tidak punya. Tapi, cukup banyak warga yang mengalami ini.

    Kalau Anda sendiri merasa tertipu dalam skema yang mana?

    Hak saya baru jatuh tempo akhir Februari ini. Kalau mereka tidak memanggil untuk tanda tangan pelunasan, saya akan layangkan surat resmi kepada PT Minarak Lapindo Jaya (juru bayar Lapindo) bahwa kewajiban pembayaran sudah jatuh tempo.

    Bagaimana kalau surat Anda tidak ditanggapi?

    Saya akan meminta pemerintah melakukan sita jaminan aset, baik yang berupa deposito ataupun surat berharga kepada keluarga Bakrie. Bakrie masih punya aset yang cukup untuk membayar Rp 2,95 triliun.

    Anda tahu dari mana aset Bakrie masih banyak?

    Mereka pernah bilang masih punya aset Rp 40 triliun atau Rp 60 triliun. Tinggal ketegasan pemerintah.

    YEKTHI HM

    Sumber: Koran Tempo (Edisi 23 Februari 2009)