Blog

  • Indoleaks Rilis Lumpur Lapindo Bukan Bencana Alam

    Indoleaks Rilis Lumpur Lapindo Bukan Bencana Alam

    Jakarta – Indoleaks merilis data-data soal ‘bencana’ lumpur Lapindo. Data-data yang merupakan hasil penelitian seorang konsultan minyak asal Amerika Serikat Simon Wilson itu menyebutkan, lumpur Lapindo yang hingga kini menggenangi sebagian wilayah Sidoarjo, Jawa Timur itu bukanlah bencana alam.

    Menurut Wilson, peristiwa banjir lumpur itu terjadi sekitar 2 Juni 2006. Kejadian itu, boleh jadi disebabkan karena alat bor yang dicabut dari sumur bor oleh operator pengeboran, PT Lapindo Brantas.

    “Sekitar tengah malam 28 Mei 2006 ketika sumur itu dalam kondisi yang tidak stabil dan membutuhkan perbaikan untuk mengatasi kehilangan sirkulasi,” kata Wilson dalam laporannya yang dirilis oleh Indoleaks seperti yang diterima detikcom, Jumat (10/12/2010). Indoleaks merupakan semacam ‘wikileaks’.

    Wilson menilai, tindakan PT Lapindo Brantas itu tidak kompeten dan telah malanggar panduan pengeboran minyak yang baik (good oilfield practices). “Menurut pendapat saya, dengan terus menerus menarik pipa di sumur itu suatu tindakan yang ceroboh dan kalalaian,” kata Wilson.

    Wilson menyebutkan ada beberapa penyebab lumpur terus menerus keluar dan akhirnya menenggelamkan rumah warga Sidoarjo. Namun penyebab utamanya adalah pengeboran minyak yang tidak profesional, dilakukan oleh PT Lapindo Brantas.

    Pendapat Wilson ini semakin menguatkan bahwa insiden yang disebabkan oleh PT Lapindo Brantas tersebut bukanlah bencana alam. Jika peristiwa itu benar-benar kecelakaan, maka perusahaan milik grup Bakrie itu, yang saat itu melakukan pengeboran, harus bertanggung jawab.

    Sebelumnya, tim ilmuwan Inggris yang dipimpin Profesor Richard Davies dari Universitas Durham, menyatakan para pengebor gas bersalah atas timbulnya masalah lumpur Lapindo di Jawa Timur. Menurut mereka, ada kaitan antara semburan lumpur tersebut dengan pengeboran di sumur eksplorasi gas oleh perusahaan energi lokal PT Lapindo Brantas.

    Hasil penelitian itu dimuat jurnal Marine and Petroleum Geology. Tim yang dipimpin oleh para pakar dari Universitas Durham, Inggris menyatakan, bukti baru semakin menguatkan kecurigaan bahwa musibah lumpur Lapindo disebabkan oleh kesalahan manusia (human error).

    “Mereka telah salah memperkirakan tekanan yang bisa ditoleransi oleh sumur yang mereka bor. Saat mereka gagal menemukan gas setelah mengebor, mereka menarik alat bor keluar saat lubang sangat tidak stabil,” kata Durham.

    PT Lapindo Brantas sendiri telah membantah sebagai pemicu musibah itu dengan kegiatan pengeboran gas yang dilakukannya. Menurut PT Lapindo, lumpur itu diakibatkan oleh gempa bumi di Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelumnya.

    Bantahan PT Lapindo Brantas ini mendapat dukungan dari Senayan. Tim pengawas lumpur Lapindo DPR menyimpulkan, semburan lumpur disebabkan faktor alam sehingga sulit ditanggulangi. Keputusan itu kontan saja mengundang kontroversi. ( Ken Yunita)

    (c)  detikNews

  • Warga Meminta Informasi Jamkesmas

    {mp3remote}http://dc192.4shared.com/img/449034233/e1b981a5/dlink__2Fdownload_2FEIdABwAG_3Ftsid_3D20101210-222404-397260a1/preview.mp3{/mp3remote}

    oleh : Hisam Ulum dan Ahmad Novik

    Pada 20 Oktober 2010 sekitar 20an warga Besuki Timur, Kecamatan Jabon, mengirimkan surat permintaan informasi terkait Jaminan Kesehataan Masyarakat (Jamkesmas) ke pihak Dinas Kesehatan Sidoarjo. warga berharap bisa mengetahui layanan kesehatan terkain jaminan kesehatan yang sudah di programkan pemerintah. Apalagi warga semakin menderita sejak lumpur Lapindo menghancurkan perekonomian mereka. Setidaknya, dengan diketahuinya informasi mengenai layanan kesehatan tersebut, warga bisa mendapatkan layanan kesehatan lebih baik.

  • Kisah Waras dan Jamkesmas

    {mp3remote}http://dc227.4shared.com/img/386391390/bde1c0f0/dlink__2Fdownload_2Fo159xdpW_3Ftsid_3D20100918-011954-120df714/preview.mp3{/mp3remote}

     

    Oleh : Daris Ilma  dan Ahmad Novik

    Tidak adanya perhatian khusus dan informasi yang jelas soal kesehatan dari pihak terkait membuat persoalan tersendiri bagi korban lumpur Lapindo

  • 18 Pelanggaran HAM Lapindo Diabaikan

    18 Pelanggaran HAM Lapindo Diabaikan

    JAKARTA – Pemerintah dinilai mengabaikan rekomendasi Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengenai 18 butir pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam kasus lumpur Lapindo. Dengan mengabaikan rekomendasi tersebut, artinya, pemerintah telah melanggar Undang-Undang.

    Demikian yang disampaikan Komisioner Komnas HAM, Syafruddin Ngulma Simeulue dalam jumpa pers “Catatan Komnas HAM terhadap situasi HAM 2010, di Hotel Sahid, Jakarta, Jumat (10/12/2010).

    “Rekomendasi 18 butir pelanggaran HAM sudah kami sampaikan pada Presiden dan DPR, tapi tindak lanjutnya belum ada. Padahal dalam Undang-Undang ada aturan rekomendasi Komnas HAM itu untuk ditindak lanjuti,” katanya.

    Adapun pelanggaran-pelanggaran HAM yang ditemukan Komnas HAM dalam kasus Lapindo antara lain pelanggaran hak atas perumahan, hak pendidikan, hak anak, hak atas kesehatan, hak perempuan, dan hak pekerja.

    “Ada 18 hak yang tidak ada kaitannya dengan proses hukum seperti hak anak, tapi harus dipenuhi pemerintah,” kata Syafruddin.

    Pemerintah, lanjut dia, seharusnya memenuhi hak-hak para korban yang dilanggar tanpa harus menunggu proses hukum kasus Lapindo selesai atau menunggu pembuktian adanya dugaan pelanggaran HAM berat.

    “Itu harus dipenuhi, dihormati, dilindungi negara. Tidak ada kaitannya dengan SP3 (Surat Penghentian Proses Penyidikan) perkara itu, proses hukum pidana atau menunggu dugaan pelanggaran HAM berat,” katanya.

    Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menambahkan, pemerintah, baik pusat maupun daerah merupakan pemangku tanggung jawab utama dalam pemenuhan HAM warga negara. Namun, peran pemerintah dalam penegakkan HAM, terutama peran pemerintah daerah, dinilai masih kurang hingga saat ini.

    (c) KOMPAS.com

  • Kasus Lapindo, Media Massa Gagal Bangun Sikap Kritis

    Kasus Lapindo, Media Massa Gagal Bangun Sikap Kritis

    Firdaus Cahyadi – Mungkin semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo adalah kasus lingkungan hidup dan hancurnya peradaban sebuah masyarakat yang terbesar di Indonesia bahkan di dunia. Besarnya kasus itu membuat media massa di negeri ini ‘berlomba’ menurunkan berita mengenai kasus tersebut.

    Dalam liputannya, media massa yang berada di bawah Group Bakrie biasanya menyebut istilah lumpur Lapindo dengan lumpur Sidoarjo atau lumpur Porong. Bahkan ada pula media massa di luar Group Bakrie yang sok netral dengan menyebutnya sebagai lumpur panas.

    Terkesan netral memang, namun sejatinya penyebutan lumpur Lapindo menjadi lumpur Sidoarjo, lumpur Porong dan lumpur panas itu sejatinya telah menghilangkan perusahaan Lapindo (salah satu bagian dari Group Bakrie) dari pusaran kasus itu. Akibatnya, masyarakat sebagai pembaca media gagal memahami secara utuh kasus itu, karena salah satu pihak yang ada di dalam pusaran kasus itu dihilangkan. Apakah ini sebuah kesengajaan? (more…)

  • Perlu Niat Politik Hentikan Semburan

    Perlu Niat Politik Hentikan Semburan

    Hal itu mengemuka dalam Seminar Nasional Empat Tahun Lumpur Sidoarjo bertajuk ”Pengelolaan Lumpur Sidoarjo dalam Perspektif Teknik dan Ilmu Kebumian”, Selasa (30/11) di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

    Sebagai pembicara, Deputi Pengendalian Pencemaran Kementerian Lingkungan Hidup MR Karliansyah, Ketua Dewan Pembina Ikatan Ahli Geologi Indonesia Andang Bachtiar, dan Deputi Operasional Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Sofyan Hadi.

    ”Dari segi keilmuan, peluang untuk menghentikan semburan lumpur di Sidoarjo ada. Itu sangat bergantung pada kemauan politik pemerintah,” kata Andang. Menurut dia, salah satu faktor kesulitan upaya penghentian semburan adalah tiadanya informasi dan data terbaru tentang kondisi di bawah permukaan pada area semburan lumpur. Padahal, data itu sangat diperlukan sebelum mengambil tindakan penanganan. Data terakhir tentang kondisi di bawah permukaan di wilayah itu dibuat tahun 1990.

    Menurut Andang, alat untuk mengetahui kondisi di bawah permukaan tanah bernama Seismik Tiga Dimensi (3D Seismic). Dibutuhkan dana sekitar Rp 20 miliar untuk memakai alat itu dan mendapatkan data.

    Sofyan mengatakan, pihaknya tengah meneliti dan mengkaji penggunaan alat 3D Seismic. BPLS merencanakan dan menyediakan anggaran untuk pengadaan alat itu pada 2011.

    Sofyan menggarisbawahi jika penanganan dampak sosial harus diutamakan. Jika dilakukan upaya penghentian semburan dengan biaya tinggi tetapi pembayaran ganti rugi korban lumpur belum terselesaikan, akan timbul kecemburuan sosial.

    Sebenarnya berbagai upaya untuk menutup semburan telah dilakukan, tetapi belum berhasil. Upaya itu antara lain penggunaan bola-bola beton, snubbing unit, dan relief well. (APO)

    (c) Kompas

  • Penyakit Aneh Mewabah Di Desa Besuki

    Puluhan warga di RT 01 Desa Besuki terjangkit penyakit aneh. Salamun(55) misalnya, keluarganya yang berjumlah tujuh orang hampir seluruhnya menderita penyakit ini. Awal mula gejala yang dirasakan adalah demam disusul linu pada sekujur tubuh. Berikutnya kaki mengalami pembengkakan dan lumpuh untuk beberapa hari. Rata-rata kelumpuhan dialami setelah lima hari demam.

    Arif(13), cucu Salamun sudah lebih delapan hari menderita penyakit ini. Sebelumnya ia sudah dibawa ke dokter di kawasan Mindi, dan didiagnosa hanya karena kelelahan. Setelah mendapatkan obat yang diberikan, kondisinya membaik dan kembali bisa bersekolah. Namun dua hari setelahnya, kakinya membengkak dan nyaris tidak bisa berjalan hingga saat ini.

    Saat ditemui pada kamis(25/11), pihak keluarga sedang membawanya ke puskesmas karena kondisinya yang makin parah. Ia diminta menjalani rawat inap di puskesmas. Namun karena kekhawatiran persoalan biaya, keluarganya membawanya kembali ke rumah. Sulisno ayah Arif, berencana memenuhi persyaratan Jamkesmas untuk meringankan biaya dan segera bisa melakukan perawatan bagi bocah kelas V MI Maarif Darul Ulum ini. Dokter yang menangani Arif, Jahro, menyatakan gejala yang dideritanya mirip penyakit Chikungunya. Hal ini juga dikuatkan dengan pengakuan beberapa warga yang menyatakan bahwa menjangkitnya penyakit ini berawal dari gigitan nyamuk.

    Cerita yang sama dialami oleh Alfina(21), ia dan beberapa keluarganya mengalami hal yang sama. Saat ini kakinya bengkak dan tidak bisa berjalan. Saat ditemui ia hanya bisa tergeletak tak berdaya.

    Kawasan besuki yang dikelilingi tanggul lumpur di sebelah barat dan genangan bekas lahan sawah yang terendam lumpur cukup rentan untuk perkembangan berbagai jenis nyamuk. Bisa jadi penyakit ini akan terus berkembang mewabah ke seluruh warga Besuki. Karena sudah lebih dari 12 orang yang mengalami hal serupa, harusnya ada penanganan yang serius dari pejabat kesehatan setempat sebelum mewabah lebih luas. (hisyam)

  • Hakim Tolak Gugatan Transparansi, Warga Kecewa

    Hakim Tolak Gugatan Transparansi, Warga Kecewa

     

    Sidang yang tidak dihadiri oleh kuasa hukum dari penggugat sempat mundur dari jadwal. Rencananya sidang digelar pukul 10.00, namun baru pukul 14.30 sidang mulai dibuka untuk umum. Gugatan warga ini berawal ketika pada Juni 2010 lalu, 5 warga yang mewakili 70 warga pemilik lahan dari Desa Wunut, Desa Pamotan, Desa Simo, Desa Juwet Kenongo, Desa Kebon Agung, Kecamatan Porong dan Desa Ketapang, Desa Kali Sampurno, Kecamatan Tanggulangin mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Sidoarjo. Mereka menggugat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Bupati Sidoarjo, Panitia Pembebasan Tanah (P2T) dan PT Sucofindo Appraisal Utama terkait transparansi harga tanah yang digusur untuk relokasi tol Porong-Gempol dan arteri.

    Dalam putusannya, majelis hakim juga menyatakan tidak sependapat dengan saksi ahli yang menyebutkan hasil penelitian Tim Appraisal mengenai harga tanah tergusur harus diinformasikan ke pemilik lahan. Menurut hakim, tidak ada dalil yang menguatkan keharusan dibukanya informasi tersebut ke pemilik lahan. Berdasarkan hal itu, hakim memutuskan bahwa hasil penelitian tersebut merupakan rahasia negara dan hanya diserahkan ke pihak Panitia Pembebasan Tanah (P2T), sementara warga tidak boleh mengetahui hasil penelitian Tim Appraisal tersebut.

    Terang saja, hasil keputusan sidang gugatan itu membuat warga penggugat kecewa. Warga penggugat yang turut hadir menyaksikan sidang tersebut menganggap majelis hakim tidak cermat mengamati bukti-bukti yang sudah disajikan dalam persidangan. Kastawi, salah satu penggugat, menyatakan banyak dalil yang menunjukkan hasil penelian Tim Appraisal itu bisa ditunjukkan ke pemilik tanah. Di antaranya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 2007 yang menyatakan hasil penelitian merupakan salah satu pedoman yang harus digunakan untuk musyawarah pengadaan tanah.

    “Padahal Peraturan Kepala BPN No. 03/ 2007 sudah jelas menyatakan hasil penilaian Tim Appraisal itu sebagai pedoman musyawarah pengadaan tanah. Kalau  majelis hakim menolak gugatan dan mengangap hasil penilaian Tim Appraisal itu rahasia negara, itu akan merugikan pemilik tanah,” ungkap Kastawi setelah keluar dari persidangan. “Sekarang saja warga yang sudah mau menerima tanahnya dibebaskan banyak yang tidak bisa membangun rumah kembali,” tambahnya.

    Purwoedi, warga penggugat lainnya, juga menyangkal hasil keputusan majelis hakim tersebut. Pasalnya, hakim menyatakan lahan yang dimiliki Purwoedi bukan miliknya tetapi masih milik orang tuanya, sehingga Purwoedi dianggap tidak berhak mengajukan gugatan. “Majelis hakim di persidangan menyatakan tanah saya masih milik orang tua saya, jadi saya tidak berhak mengajukan gugatan. Padahal tanah itu sudah diwariskan ke saya,” kisah Purwoedi dengan kesal.

    Dengan ditolaknya gugatan warga yang tanahnya digusur untuk reloksi tol Porong-Gempol dan jalur arteri, warga berencana akan mempelajari hasil keputusan majelis hakim tersebut dan akan  mengajukan banding. Setelah sidang ditutup, warga langsung meninggalkan Pengadilan Negeri Sidoarjo. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

     

  • Kulit Tangan Endang Masih Melepuh

    Kulit Tangan Endang Masih Melepuh

    Saat ini tangan kirinya masih memerah akibat tersambar api 7 Juli 2009 lalu.

    Menurut Erli Cendrawasih, 47, istri Oki Andrianto, kondisi Endang, belum pulih. Bahkan luka akibat tersambar api bisa dibilang masih cukup parah. Kulit tangan kirinya masih melepuh. “Kulitnya tampak masih merah,”ujarnya, Sabtu (20/11).

    Endang kini tinggal bersama adiknya, di Gempol Pasuruan. Menurutnya meski telah dirawat di RSD Sidoarjo dan sempat dirawat di RS Pusdik Gasum Porong, dia masih butuh perawatan. “Kami hanya bisa membelikan salep kulit,” tuturnya.

    Erli mengaku tak sanggup membawa Endang ke rumah sakit. Keluarganya kini telah bangkrut sejak ledakan gas membakar sebagian isi rumahnya, 7 Juli 2009 lalu.

    Sementara itu, Purwaningsih, 51, masih tergolek di RS Katolik St Vincentius a Paulo (RKZ) Surabaya hingga Sabtu (20/11). Hadi Wiyanto, suami korban bercerita jika istrinya masih terbaring dalam ranjang ruang inap Paviliun 12/92. “Persiapan mau dioperasi,”katanya.

    Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo Mahmud Untung bakal meminta klarifikasi RSD Sidoarjo terkait kejadian itu. Jika benar RSD meminta paksa pulang dua pasien itu, pihaknya merasa prihatin. “Kami yakin rumah sakit punya prosedur standar pasien bisa pulang atau tidak. Namun kami tetap akan cek masalah ini,” tandasnya.

    (c) Surya

  • Pasien Korban Gas Lapindo Dipulangkan Paksa dari RS

    Pasien Korban Gas Lapindo Dipulangkan Paksa dari RS

    Pasien lainnya, yakni Devi Purbawiyanto, 23, nasibnya sama. Meski tidak lagi pindah rumah sakit, warga Desa Siring Barat RT 3/RW 1 Kec Porong ini mengaku dua kakinya masih perih karena luka bakar akibat semburan gas, pada 7 September 2010 silam. “Meski secara fisik sudah kuat, namun kaki saya masih nyeri,” ucapnya, Jumat (19/11).

    Devi yang juga anak Ny Purwaningsih ini terpaksa hidup nebeng di rumah kontrakan kerabatnya, Ny Eviyanto, di Perum Sidokare Indah Blok H/19 Sidoarjo. Dia tinggal di rumah itu sejak diminta pulang RSD Sidoarjo, 13 Oktober 2010 lalu. “Meski belum sembuh, ibu juga diminta pulang sejak dua minggu lalu,” bebernya.

    Devi menyatakan tidak menerima penjelasan panjang lebar dari RSD Sidoarjo saat diminta pulang. Seorang perawat RSD Sidoarjo hanya menyampaikan dirinya boleh pulang. Hanya saja dia diminta rawat jalan setelah diminta pulang RSD Sidoarjo. Berbekal uang bantuan yang diberikan teman sesama jemaat gereja, keduanya memeriksakan kondisi luka bakar tersebut.

    Selama ini biaya perawatan di RSD Sidoarjo ditanggung dana bantuan Pemkab Sidoarjo melalui Bupati Sidoarjo kala itu Win Hendrarso senilai Rp 15 juta dan ditambah bantuan Wagub Jatim Saifullah Yusuf Rp 5 juta.

    Dana ini diberikan kepada keduanya saat dua pejabat tersebut menjenguk korban di RSD Sidoarjo, September lalu. Biaya perawatan juga ditanggung Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). “Namun BPLS hanya membantu untuk sebulan, padahal kami berada di RSD hampir 1,5 bulan,” ucap Devi lirih.

    Kini Devi bingung dengan nasib ibunya yang masih dirawat di RKZ Surabaya. Ibunya telah tergolek di RKZ Surabaya hampir dua pekan. Saat pulang dari RSD Sidoarjo, kondisi Ny Purwaningsih belum pulih. Indikasinya luka bekas percikan api bubble masih mengeluarkan darah. “Pantatnya juga masih lengket, kayaknya (luka) masih basah,” ujar Devi.

    Dia menyatakan keluarga merujuk ibunya ke RKZ atas inisiatif sendiri. Biaya pengobatan ditanggung sendiri. Namun biaya itu berasal dari bantuan sejumlah teman-temannya, sesama jemaat sebuah gereja di Gempol Pasuruan. “Kami sendiri sudah tidak punya uang lagi,” katanya.

    Humas RSD Sidoarjo, Ahmad Zainuri, membantah memaksa pulang kedua pasien tersebut. Mereka dibolehkan pulang karena secara medis kondisinya sudah membaik. Kedua pasien sudah dilepas infusnya dan juga sudah bisa minum obat secara oral (melalui mulut). “Mereka dibolehkan pulang dengan catatan tetap butuh rawat jalan,” tandasnya dihubungi Surya, Jumat (19/11).

    Dia menyatakan, RSD Sidoarjo telah merawat pasien itu sesuai kemampuan. Devi telah dirawat selama 35 hari. Selama waktu itu, Devi sudah menjalani pencucian luka sebanyak tiga kali. Sedangkan Ny Purwaningsih telah dirawat selama 53 hari dan menjalani pencucian luka selama lima kali.

    Meski begitu, pihak RSD Sidoarjo mengaku belum tahu kondisi terakhir kedua korban. Saat diberitahu jika kini Ny Purwaningsih tergolek di RKZ Surabaya hampir dua pekan, Zainuri mengaku belum tahu. “Kalau tentang itu kami belum tahu,” ujarnya seraya berjanji mengecek informasi tersebut.

    Pemulangan paksa kedua pasien luka bakar semburan gas ini cukup ironis. Sebab kedua pasien ini sempat dijanjikan bakal dirawat sembuh total. Wagub Jatim Saifullah Yusuf bahkan sempat menyatakan jika RSD Sidoarjo tidak mampu menangani pasien itu, RSU Dr Soetomo siap merawatnya.

    Dalam kunjungan 14 September 2010 itu, rombongan Gus Ipul (panggilan Saifullah Yusuf disertai asisten Kesejahteraan Masyarakat Pemprov Jatim Edy Purwinarto, Dirut RSU Dr Soetomo, Slamet R Yuwono dan Kepala Dinkes Jatim, Pawik Supriadi. Sebelumnya, Rabu 8 September, Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, Ketua DPRD, Dawud Budi Sutrisno, dan Wakil Bupati Saiful Ilah juga datang menjenguk. Bupati Win yang kini telah lengser dan digantikan Saiful Ilah kala itu juga berjanji, Pemkab Sidoarjo menjamin seluruh pembiayaan kedua korban hingga sembuh. “Pembiayaannya digratiskan. Selain itu, pemkab juga akan memberi bantuan dana untuk keluarga mereka,” kata Bupati Win.

    Kedua korban itu terluka bakar usai bubble di halaman rumah Oki Andrianto, 55, warga Siring Barat Kec Porong, tiba-tiba terbakar, Selasa (7/9) silam. Kobaran api membara di kubangan semburan berdiameter 10 meter ini. Api lantas menjalar ke bangunan rumah yang sudah tidak dihuni pemiliknya tersebut.

    Selain rumah Oki, percikan api juga menghanguskan rumah milik Suncono, 55. Sebuah warung juga tersambar api meski tak ludes. Hanya TV dan perabot rumah tangga yang hangus. Warung ini milik Ny Purwaningsih, 51, yang juga tersambar api hingga terluka bakar. Selain dia, anaknya, Devi Purbawiyanto, 23, juga terluka bakar di sekujur tubuhnya. nain

    (c) Surya

  • APBN Menyiram Lumpur Lapindo

    APBN Menyiram Lumpur Lapindo

    EMPAT tahun sudah lumpur panas Lapindo merendam masa depan rakyat Sidoarjo, Jawa Timur. Masyarakat kehilangan rumah tinggal, harta, sawah, dan lebih-lebih kehilangan harapan.

    Mereka hidup di tenda-tenda tanpa ada kepastian entah sampai kapan. Padahal, kepastian itulah yang sedang ditunggu rakyat Sidoarjo. Namun, tiada kunjung datang.

    Mereka bertanya kepada bupati, gubernur, dan juga kepada Presiden.

    Tetapi bukan jawaban yang mereka peroleh. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun balik bertanya, kapan kasus lumpur Lapindo berakhir. Presiden risau. Kepala Negara mengeluh. Presiden berharap ada solusi permanen agar APBN tidak terus-menerus diguyurkan setiap tahun untuk menyiram lumpur Lapindo.

    Sejak lumpur Lapindo menyembur di bumi Sidoarjo pada Mei 2006, pemerintah sudah mengambil sejumlah langkah. Presiden membentuk Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo melalui Keppres No 13 Tahun 2006.

    Setahun tim itu bertugas, tak ada tanda-tanda masalah bisa teratasi. Presiden lalu membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo melalui Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007. Sejak itu dana APBN mulai mengalir ke lumpur Lapindo. Kini kocek negara sudah terkuras Rp4,3 triliun untuk menyumbat bencana lumpur Lapindo.

    Kita heran ketika Presiden mengeluh mengenai lumpur Lapindo yang tak kunjung berakhir. Justru Presidenlah yang semestinya memberi jawaban mengapa lumpur Lapindo yang sudah berusia empat tahun itu tak kunjung reda.

    Bukankah Presiden sudah membentuk sejumlah lembaga untuk menanggulanginya? Apa hasilnya? Dana APBN Rp4,3 triliun sudah mengalir ke lumpur Lapindo, apa manfaatnya? Berapa banyak dana APBN lagi harus digelontorkan ke Sidoarjo untuk menyumbat sumber lumpur Lapindo?

    Negeri ini berada di pusat berbagai bencana alam. Letusan gunung api, gempa, tsunami, setiap saat bisa menjadi kenyataan buruk bagi anak bangsa ini. Kita butuh dana besar untuk menggerakkan setiap elemen penyelamatan saat bencana tiba.

    Bertambah celaka, lumpur Lapindo terus menggerogoti APBN. Sampai kapan? Presiden semestinya memberi jawaban yang menenangkan publik. Yang menenteramkan rakyat.

    Publik telah lelah bertanya. Yang ditunggu adalah jawaban pemerintah. Ataukah kita masih menyerahkan kepada alam untuk menjawab? Astaga!

    (c) mediaindonesia.com

  • Volume Lumpur Lapindo Berkurang, Waspadalah

    Volume Lumpur Lapindo Berkurang, Waspadalah

    SURABAYA- Penurunan volume semburan lumpur Lapindo, jangan dianggap sebagai kabar gembira dulu. Pasalnya penurunan itu bisa jadi malah harus diwaspadai sebagai tanda akan terjadinya penurunan lapisan tanah yang masif.

    Menurut Ahli Geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Amin Widodo, ada dua kemungkinan penyebab turunnya volume semburan Lapindo.

    Penyebab pertama, bisa jadi karena tersumbat. Ini ditandai dengan munculnya beberapa semburan baru di sekitar Porong. “Akhir-akhir ini kan muncul semburan baru di mana-mana. Bisa jadi karena di pusat semburan terjadi penyumbatan,” kata Amin di Surabaya, Rabu (3/11/2010).

    Kemudian, lanjut Amin, kemungkinan kedua karena material semburan yang berada di bawah perut bumi sudah menipis. “Ini sangat berbahaya, karena ancaman penurunan tanah akan terjadi. Hanya saja hal itu belum diukur seberapa jauh ancaman itu,” katanya.

    Menipisnya material yang ada di bawah permukaan bumi di Porong ini memicu terjadinya rongga-rongga kosong. Rongga-rongga kosong itu luasnya juga belum terukur.

    Namun dari beberapa peristiwa penurunan tanah yang menyebabkan rumah beberapa warga hilang tertelan bumi, membuktikan bahwa rongga itu cukup luas. “Bila lapisan atasnya mengalami penekanan maka penurunan tanah tidak bisa dihindarkan,” katanya.

    Jika rongga-rongga kosong ini terjadi secara luas, maka yang harus diwaspadai adalah terjadinya penurunan tanah secara luas.(ful)

    (c) .okezone.com

  • Ada Bupati Baru, Korban Lapindo pun Terusir

    Ada Bupati Baru, Korban Lapindo pun Terusir

    SIDOARJO—Terhitung sejak 1 November 2010, warga Sidoarjo resmi mempunyai Bupati dan Wakil Bupati baru, H Saiful Ilah dan MG Hadi Sucipto. Akankah ada perubahan nasib korban Lapindo? Alih-alih mendapat harapan baru, korban lumpur Lapindo justru diusir dari Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Sidoarjo. Pihak Kepolisian Resor Sidoarjo membubarkan paksa puluhan korban Lapindo yang menginap di pelataran gedung dewan sejak 6 Agustus 2010 tersebut.

    Warga korban Lapindo dari Desa Jatirejo, Renokenongo, Kedungbendo, dan Siring itu terpaksa menginap di gedung dewan demi menuntut sisa pembayaran 80 persen aset mereka yang seharusnya dibayar oleh PT Minarak Lapindo sesuai Perpres 14/2007 secara tunai, bukan dicicil. Namun, karena berkali-kali PT MLJ ingkar janji, warga menuntut agar pemerintah mengambil alih pembayaran aset tersebut. Berbagai macam aksi dan orasi dilakukan, namun pemerintah maupun Lapindo tidak memberikan respon positif.

    Jumat siang (29/10/2010), setelah lebih 80 hari bertahan di gedung dewan, warga justru harus menerima kenyataan lebih pahit lagi. Mereka diusir dari lokasi oleh pihak kepolisian. Kepolisian juga minta agar warga membersihkan poster dan tenda-tenda yang ada. Sebenarnya, warga sudah membereskan poster dan tenda sejak Rabu (27/10/2010). Setelah itu, mereka datang ke gedung dewan hanya dengan menggelar tikar tanpa spanduk maupun atribut aksi lainnya. Namun, kepolisian tetap membubarkan paksa puluhan korban Lapindo yang terkategorikan dalam Peta Area Terdampak (PAT) Perpres 14/2007 tersebut.

    Sekitar pukul 10.45 Jumat siang itu, sejumlah polisi datang dan mengancam agar warga meninggalkan gedung dewan dalam waktu 15 menit. Spontan saja warga yang kebanyakan perempuan itu kaget, lalu terjadi ketegangan antara polisi dan warga. Insiden itu membuat salah satu warga pingsan. Fitri, perempuan yang jatuh pingsan itu, langsung dilarikan ke RS DKT (Polri) Sidoarjo, yang tidak jauh dari lokasi.

    “Saya datang ke gedung dewan untuk menuntut hak saya agar cepat dibayar, soalnya sudah dua bulan saya belum bayar kontrakan. Lah, kok malah diusir,” ucap Fitri saat terbaring di ruang unit gawat darurat (UGD). “Sudah dua bulan masa kontrakan rumah saya habis. Sampai sekarang saya belum bisa bayar kontrakan. Daripada mikirin terus uang kontrakan, ya, saya datang ke gedung dewan bersama warga lainnya,” lanjut Fitri, korban Lapindo asal Desa Jatirejo ini.

    Koordinator aksi, Zainal Arifin, menyayangkan tindakan polisi membubarkan paksa warga tersebut. “Sudah dua hari kami tidak bermalam di sini. Dan tempat kami aksi sudah kami bersihkan. Tapi kebanyakan warga tidak punya rumah, ya, mereka kembali ke sini untuk menuntut haknya,” ujar Zainal setelah insiden Jumat siang itu. Warga yang merasa tuntutannya belum dipenuhi akhirnya pindah bertahan di sekitar alun-alun Sidoarjo. Mereka enggan meninggalkan lokasi sebelum tuntutan dipenuhi. “Kami tidak akan mengakhiri aksi kami sebelum tuntutan kami terpenuhi,” kata Wiwik, warga asal Desa Siring.

    Zainal melanjutkan, warga hanyalah menuntut hak pembayaran secara tunai aset-aset yang telah ditenggelamkan Lapino. “Kami di sini menuntut pembayaran 80 persen aset kami sesuai Perpres 14/2007,” ujarnya. Dan karena Lapindo berkali-kali mangkir, bahkan terhadap warga yang menerima skema cicilan sekali pun, Zainal dan warga lainnya menuntut pemerintah mengambil alih. “Kami menuntut pemerintah mengambil alih penanganan peluansan aset-aset kami,” tandas Zainal. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Donasi Publik untuk Pendidikan Korban Lapindo Kembali Disalurkan

    Donasi Publik untuk Pendidikan Korban Lapindo Kembali Disalurkan

    SIDOARJO – Sejumlah anak korban lumpur Lapindo kembali menerima bantuan pendidikan dari donasi publik yang digalang koalisi masyarakat sipil peduli korban Lapindo. Donasi tersebut diserahkan langsung oleh perwakilan Posko Keselamatan Korban Lapindo kepada pihak sekolah dengan disaksikan para wali murid.

    Distribusi bantuan pendidikan tahap ketiga ini mencakup 38 siswa yang duduk di bangku kelas 1 hingga kelas 6 MI Ma’arif Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, yang merupakan salah satu desa yang tenggelam oleh lumpur Lapindo pada Mei 2006. Gedung MI Ma’arif Jatirejo turut tenggelam dan tidak mendapat kompensasi dari Lapindo maupun pemerintah. Muhammad Chisom, bertindak mewakili Yayasan MI Ma’arif, menerima langsung bantuan hasil solidaritas publik tersebut.

    “Saya mewakili Yayasan MI Ma’arif Jatirejo sangat berterima kasih kepada masyarakat luas. Semoga bantuan ini bermanfaat,” ujar Chisom. Ia mengungkapkan rasa gembiranya di tengah kenyataan bahwa Lapindo maupun pemerintah seolah tidak peduli dengan hilangnya hak pendidikan anak korban Lapindo meski sesungguhnya hal tersebut menjadi tanggung jawab mereka. “Kami merasa senang sekali dengan bantuan ini. Setidaknya masih ada dari masyarakat yang peduli atas pendidikan korban Lapindo,” imbuh Chisom.

    Pria berkacamata tersebut berharap, dengan adanya bantuan pendidikan dari masyarakat luas tersebut, pemerintah tergugah dan lebih memperhatikan korban Lapindo. “Kami sampai saat ini masih belum memiliki gedung sendiri. Dengan adanya bantuan dari masyarakat luas ini, kami berharap pemerintah mau sedikit peduli dan memperhatikan nasib anak didik kami,” kata Chisom. Hingga saat ini, MI Jatirejo berpindah-pindah menyewa ruang belajar dari satu tempat ke tempat lainnya.

    Para orang tua murid yang hadir pun mengungkapkan rasa terimakasih kepada masyarakat luas. Uswanti, wali murid dari Waida Widiawati, merasa sangat terbantu. “Saya sangat terbantu sekali dengan bantuan pendidikan ini. Apalagi uang ujian anak saya kemarin masih belum bayar,” ujarnya. Sejak lumpur Lapindo muncrat, perekonomian keluarga Uswanti amburadul. Pabrik tempatnya dan suaminya bekerja tenggelam oleh lendut panas Lapindo. Sementara, hingga saat ini, uang pembayaran atas aset tanah dan bangunan mereka dari Lapindo yang dicicil Rp 15 juta per bulan sering tidak diperoleh. Bahkan belakangan macet hingga lima bulan.

    Dengan menanggung biaya sekolah dua anak, Uswati merasa terbebani. “Dulu sebelum ada Lapindo, biaya sekolah anak saya tidak menjadi beban. Tapi setelah pabrik kerupuk tempat saya bekerja tenggelam, saya jadi menganggur. Dan tempat kerja suami saya sekarang pindah di Gedangan, Sidoarjo. Gajinya habis buat transport dan makan setiap hari,” kisah perempuan 35 tahun tersebut usai serah terima donasi.

    Para wali murid dan kepala sekolah berharap kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan nasib pendidikan mereka dan segera dibangunkan gedung sekolah baru.  Sehingga, proses belajar mengajar di MI Maarif Jatirejo ini menjadi lancar seperti sebelum meletupnya lumpur Lapindo.

    Bantuan yang salurkan ke 38 siswa sebesar Rp 8.389.000 itu rencananya akan digunakan untuk membiayai uang ujian dan biaya buku selama satu tahun ajaran. Pihak Posko masih akan terus mendistribusikan donasi publik ke anak-anak korban lumpur Lapindo yang telah dilanggar hak-haknya. Solidaritas masyarakat luas melalui donasi pendidikan ini bisa dilakukan melalui Aksi Seribu Rupiah. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Sidang Gugatan Warga Melawan BPLS Digelar

    Sidang Gugatan Warga Melawan BPLS Digelar

    SIDOARJO – Pengadilan Negeri Sidoarjo kembali menggelar sidang kasus pembebasan tanah relokasi tol Porong-Gempol dan arteri Jalan Raya Porong pada Rabu (27/10/2010). Ini sebagai kelanjutan gugatan puluhan warga dari Kecamatan Porong dan Kecamatan Tanggulangin yang terkena gusuran relokasi infrastruktur tol dan arteri yang rusak akibat lumpur Lapindo. Agenda sidang kali ini adalah penyampaian kesimpulan kedua pihak. Tergugat dan penggugat menyampaikan kesimpulan ke majelis hakim yang dipimping Suryawati.

    Sidang ini berawal ketika pada Juni 2010 lalu, 5 warga yang mewakili 70 warga pemilik lahan dari Desa Wunut, Desa Pamotan, Desa Simo, Desa Juwet Kenongo, Desa Kebon Agung, Kecamatan Porong dan Desa Ketapang, Desa Kali Sampurno, Kecamatan Tanggulangin mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Sidoarjo. Mereka menggugat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Bupati Sidoarjo, Panitia Pembebasan Tanah (P2T) dan PT Sucofindo Appraisal Utama terkait transparansi harga tanah yang digusur untuk relokasi tol Porong-Gempol dan arteri.

    Dari perjalan persidangan, Saiful Arif, kuasa hukum penggugat dari LBH Surabaya mengatakan, hasil penilaian tim appraisal itu seharusnya juga diinformasikan ke pemilik tanah. Sehingga proses musyawarah terkait harga tanah bisa berjalan lebih baik. “Bukti-bukti di persidangan menunjukkan bahwa hasil penelitian itu hak yang harus diberikan pemilik tanah. Sebab hasil penelitian itu dilakukan secara independen profesional. Sehingga itu juga harus diberikan ke pemerintah maupun pemilik tanah,” ujarnya.

    Arif menolak kesimpulan dari tergugat. Pihak tergugat menyimpulkan bahwa hasil penelitian tersebut merupakan rahasia negara dan hanya diserahkan ke pihak P2T, sedangkan warga pemilik tanah tidak boleh mengetahui hasil penelitian tersebut. Menurut Arif, aturannya sudah jelas, bahwa peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 2007 menyatakan hasil penelitian merupakan salah satu pedoman yang harus digunakan untuk musyawarah pengadaan tanah. “Kalau musyawarah tidak memiliki pedoman, bagaimana musyawarah akan berjalan baik? Jelas akan merugikan pemilik tanah,” ujarnya.

    Sidang yang digelar PN Sidoarjo tidak berlangsung lama. Setelah menerima berkas penyampaian keputusan dari kedua pihak, majelis hakim menyatakan sidang ditunda sampai tanggal 10 November 2010 dengan agenda penyampaian keputusan.

    Puluhan warga penggugat turut menyaksikan jalannya persidangan. Mereka berharap majelis hakim mencermati dengan jeli bukti-bukti dan saksi-saksi yang disajikan di persidangan. Sehingga, hasil-hasil penelitian harga tanah tidak lagi menjadia rahasi negara dan bisa dikonsumsi oleh siapa pun.

    “Saya berharap majelis hakim mengabulkan gugatan kami, bahwa hasil penelitian dari tim apprasial mengenai harga tanah tidak lagi rahasia. Sehingga pemilik tanah tidak dirugikan,” ujar Kastawi, salah satu pemilik tanah yang ikut mengajukan gugatan. “Kasus ini kan kasus baru. Jika majelis hakim mengabulkan maka tidak ada lagi warga mengalami kerugian atas tanahnya yang dipergunakan untuk kepentingan negara,” tambahnya. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Hampir 80 Hari Menginap di Gedung Dewan, Warga Tak Menyerah

    Hampir 80 Hari Menginap di Gedung Dewan, Warga Tak Menyerah

    SIDOARJO – Sudah hampir 80 hari puluhan warga korban lumpur Lapindo menginap di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo, namun tidak ada tanggapan positif dari negara dan Lapindo. Warga yang berasal dari lima desa tersebut terus menuntut agar pelunasan 80 persen atas aset tanah dan bangunan mereka yang ditenggelamkan lumpur dibayar tunai sesuai Perpres 14/2007, dan bukan melalui skema cicilan. Mereka rela bertahan dan meninggalkan pekerjaan dan anak – istri  (yang sebagian tinggal di luar kabupaten) demi menuntut hak.

    Syamsun, misalnya, memiliki anak yang masih balita. Ia rela meninggalkan anak dan istrinya untuk menggelar aksi di Gedung Dewan ini. Mbah Sun, panggilan akrabnya, pun harus meninggalkan pekerjaannya. “Sudah dua bulan anak saya terpaksa saya tinggal. Saya hanya pulang seminggu sekali, itu pun hanya mengambil pakaian dan kembali lagi ke tempat aksi ini,” kata Mbah Sun. Sampai hari ini Mbah Sun belum menerima sisa pelunasan 80 persen dari Lapindo meski Perpres 14/2007 mengharuskan pembayaran tersebut diselesaikan pada 2008. Mbah Sun tak menyerah demi memperjuangan 80 persen tersebut. “Pekerjaan saya tinggal,” tambahnya.

    Agus, pria asal Desa Jatirejo, juga terpaksa menitipkan anak – istrinya di rumah mertuanya di Jember. Ia pun meninggalkan pekerjaan, dan selama aksi di Gedung Dewan sejak 6 Agustus 2010 lalu ini ia tak memperoleh penghasilan. Tak menyerah, Agus mulai memutar otak. Ia lalu menjalin pertemanan dengan pedagang mie ayam yang mangkal di depan tempat aksi. Pria yang juga mempunya anak satu ini pun ditawari berjualan buah segar dan rujak manis. Tanpa pikir panjang, Agus langsung menyetujui tawaran tersebut.

    Namun, saat itu Agus juga tidak langsung berdagang karena tidak adanya modal. Mengetahui Agus tidak punya modal, pedagang mie ayam tersebut berbaik hati memberikan modal kepada Agus sebesar Rp 200 ribu. Agus langsung menggunakan uang itu untuk membeli buah-buahan di Pasar Larangan, Sidoarjo. Ia iris-iris buat tersebut dan lalu dijualnya setiap hari di depan Gedung Dewan. “Modal dan rombong dipinjami pedagang mie ayam, Mas,” cerita Agus sembari mengupas buah di tenda tempatnya aksi.

    Sehari Agus dapat memperoleh keuntungan lumayan, sekitar Rp 20-30 ribu. “Dan setelah seminggu, saya kembalikan modal Rp 200 ribu ke pedagang mie ayam,” ujarnya. Selain berdagang buah dan rujak manis, pada malam harinya Agus dan sejumlah teman lain membantu parkir di sekitar alun-alun Sidoarjo. “Hasilnya lumayan, bisa beli rokok, kopi dan gula untuk teman-teman. Dan sebagian uang hasil jualan buah bisa dikasih ke istri di Jember,” tutur Agus.

    Toh, ketika ditanya sampai kapan menginap di Gedung Dewan, Agus dan Syamsun mengaku bahwa mereka tidak ingin berlama-lama. Mereka berharap agar PT Minarak Lapindo Jaya segera mengabulkan tuntutan warga untuk melunasi sisa 80 persen secara tunai sesuai dengan Perpres 14/ 2007. Jika PT MLJ tidak mampu memenuhi tuntutan warga, mereka berharap pemerintah mengambil alih penanganan pelunasan aset tersebut, sehingga warga bisa segera pulang dan berkumpul dengan keluargan. (novik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Akibat Lumpur Lapindo, Bangunan Bekas Ruko Ambles 6 Meter

    Akibat Lumpur Lapindo, Bangunan Bekas Ruko Ambles 6 Meter

    SIDOARJO—Semburan lumpur Lapindo tak henti menebarkan dampak-dampak lanjutan. Kali ini sebuah bangunan di Desa Jatirejo ambles hingga sekitar enam meter, mirip dengan amblesnya bangunan milik warga Desa Siring beberapa waktu lalu. Tempat kejadian berjarak kurang 50 meter dari Jalan Raya Porong, dan berdekatan dengan jaringan rel kereta api. Ini membuat pihak PT KA Daop VIII khawatir dan langsung melakukan pemeriksaan jaringan rel.

    Peristiwa amblesnya bangunan bekas ruko yang terletak di Desa Jatirejo RT 01/01 itu pertama kali diketahui Kariono, warga Jatirejo yang berada tak jauh dari lokasi, pada Rabu (20/10/2010). “Kejadiannya sekitar jam 06.00 pagi. Saya lihat bangunan bekas ruko itu ambles saat saya keluar dari rumah,“ cerita pensiunan TNI AD tersebut. Bangunan ini dulu pernah dijadikan usaha pembuatan kompor minyak oleh warga bernama Marwan. Di lokasi bekas bangunan ini juga terdapat bubble gas yang sudah lama menyembur dan sempat berhenti.

    Petugas Badan Penanggulanagan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang berada di tempat kejadian masih belum berani mengukur berapa kedalaman dan lebar penurunan tanah (land subsidence) yang mangakibatkan bangunan di atasnya ikut amblas. Land subsidence terjadi akibat gerowongnya tanah di bawah permukaan lantaran lumpur yang terus menyembur dari bawah. BPLS juga belum bisa mendeteksi semburan gas yang keluar karena kondisi tanah yang masih labil. Sampai saat ini, tempat kejadian diberi garis kuning oleh BPLS.

    Dengan amblesnya bangunan yang tidak jauh dari rel kerata api koridor Sidoarjo-Gempol tersebut, pihak PT KA masih menggunakan jalur kereta api tapi laju diturunkan menjadi 10 km/jam dari semula 20 km/jam. “Kami saat ini masih melakukan pemantauan secara intensif selama 24 jam. Jika penurunan tanah di sekitar rel kereta api ini semakin memburuk, kita akan terus berkoordinasi dengan BPLS,” ungkap Hary Soebagiyo, salah satu petugas PT KA Daop VIII, yang siang itu memantau di lapangan.

    Tidak pelak, amblesnya bangunan bekas ruko Pasar Buah Jatirejo itu membuat warga yang tinggal tidak jauh dari lokasi khawatir jika penurunan tanah meluas ke tempat mereka tinggal. Mbah Kasih, 80 tahun, terlihat cemas. Rumah Mbah Kasih tepat berseberangan dengan lokasi. Saat kejadian, perempuan yang tinggal dengan cucunya ini tidak tahu sama sekali. “Kulo pas kejadian mboten semerap. Semerap’e pas akeh tiang-tiang ningali (Saya pas kejadian tidak tahu sama sekali. Baru tahu pas banyak orang melihat),” cerita Mbah Kasih.

    Praktis saja kejadian tersebut membuat perempuan yang sehari-hari berdagang kopi ini ketakutan. “Kulo inggih wedi Mas. Lek omahku melok amles pisan yok opo? Padahal omahku enggak katut melok ganti rugi (Saya juga takut Mas. Kalo rumah saya ikut ambles juga bagaimana? Padahal rumahku tidak masuk peta ganti rugi),” kata Mbah Kasih. Desa Jatirejo RT 01/01 memang tidak tercakup dalam Peta Area Terdampak (PAT) sesuai Perpres 2007 sehingga warga tidak mendapatkan ganti rugi dalam pola jual beli tanah dan bangunan.

    Ketakutan serupa juga dialami Supriati. Jarak rumah Supriati dengan tempat kejadian kurang lebih 100 meter. “Saya jadi takut kalau dampaknya nanti bisa merembet ke rumah saya,” ujar janda 48 tahun ini. Dengan kejadian tersebut, Supriati yang berjualan nasi sejak 1995 ini berharap pemerintah lebih memperhatikan nasibnya dan warga yang lain, dan cepat mengambil tindakan.

    “Saya berharap pemerintah lebih memperhatikan nasib warga yang tinggal di sini. Saya pasrah saja ke pemerintah kalau mau direlokasi ataupun rumah saya diberi ganti rugi. Saya juga mau saja. Yang terpenting saya cepat pindah dari sini, biar bisa hidup lebih tenang,” ungkap Supriati.

    Hingga Kamis (21/10/2010), pihak PJKA masih terlihat berupaya melakukan penutupan semburan yang mengambleskan bangunan tersebut, agar penurunan tanah tidak berdampak pada rel kereta api. Humas BPLS, Ahmad Zulkanain, mangatakan BPLS akan membatu PJKA untuk berupaya menutup semburan tersebut dan memberikan wewenang penuh kepada PJKA untuk menangani semburan yang mengambleskan bangunan tersebut.

    “BPLS memberikan wewenang penuh kepada PJKA untuk menangani semburan di bekas ruko Jatirejo. Karena tanah itu punya PJKA. Kita akan membantu menyediakan material dan alat dalam upaya penutupan semburan itu,” ungkap lelaki yang biasa disapa Ijul ini. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Penyakit Ingkar Janji Lapindo Kambuh

    Penyakit Ingkar Janji Lapindo Kambuh

    SIDOARJO – Lapindo tampaknya memang mengidap penyakit ingkar janji yang akut dan mudah kambuh. Lagi-lagi PT Minarak Lapindo Jaya enggan membayar aset warga korban melalui skema cicilan Rp 15 juta/bulan. Sebelumnya PT MLJ tidak mentransfer cicilan selama lima bulan. Lalu menjelang Idul Fitri, PT MLJ hanya membayar cicilan Rp 5 juta, jauh dari angka yang dijanjikan. Dan hingga hari ini (18/10/2010), PT MLJ masih belum juga mentransfer uang cicilan ke rekening warga korban Lapindo.

    “Minarak itu sudah seenaknya tidak mencicil Rp 15 juta selama lima bulan. Dan sebelum lebaran Minarak hanya membayar Rp 5 juta. Sekarang sudah sebulan Minarak juga belum mentransfer,” ujar seorang warga Desa Ketapang, Tanggulangin, yang enggan disebut namanya.

    Bukan hanya itu, warga juga menyayangkan sikap Pemerintah yang seakan-akan tidak perduli dengan penderitaan warga. Meskipun Lapindo tidak mentranfer cicilan berbulan-bulan, Pemerintah seakan-akan tidak berdaya menghadapi Lapindo. Bahkan terkesan tidak perduli. “Lapindo sudah sering mengingkari janjinya untuk membayar cicilan, tapi sikap Pemerintah kok tidak perduli sama sekali. Seharusnya ‘kan pemerintah menekan Minarak,” ucap warga Ketapang yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang ojek tanggul tersebut.

    Tidak dibayarnya cicilan Rp 15 juta sesuai waktu yang telah disepakati membuat kebanyakan warga korban lumpur Lapindo kebingungan. Hamamik, warga asal Jatirejo, pusing saat rumah yang dikontraknya tersisa tinggal hitungan hari. Uang cicilan dari Minarak yang menjadi harapan keluarga Hamamik ternyata tidak kunjung dibayarkan. “Sudah sebulan Lapindo tidak membayar cicilan lagi. Apalagi tanggal 30 nanti masa kontrakan rumah saya mau habis. Kalau Lapindo tidak segera membayar cicilan, saya mau tinggal di mana? Sedangkan saya juga belum bisa membeli rumah,” kata pria yang sehari-hari juga mengojek di tanggul ini.

    Hamamik dan keluarga masih belum bisa membeli rumah lagi. Maklum saja, aset tanah dan bangunan miliknya masih tercatat satu surat dengan ketiga saudaranya. Artinya, jika Lapindo membayar Rp 15 juta/bulan maka harus dibagi empat orang. Praktis Hamamik hanya menerima sebesar Rp 3.750.000. “Dan uang itu selalu habis untuk kebutuhan sehari-hari dan buat biaya sekolah anak saya,” cerita Hamamik yang mengontrak di Perumahan Tanggulangin Angaun Sejahtra II (TAS) ini. “Sedangkan  saya sekarang tidak jualan susu lagi sejak Desa Jatirejo tenggelam. Jadi untuk kebutuhan sehari-hari, ya, mengandalkan cicilan dari Lapindo,” lanjutnya.

    Sementara itu, warga korban Lapindo yang tinggal di Desa Gempolsari, Tanggulangin, mengalami nasib lebih parah. Pasalnya sebanyak 20 warga sampai saat ini belum menerima ganti rugi 20 persen, padahal warga yang kebanyakan tinggal di RT 10/ RW 2 Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin,  termasuk dalam Peta Area Terdampkan  (PAT) versi Perpres 14/2007.

    “Sudah empat tahun lebih, tapi sampai saat ini saya masih belum menerima pembayaran ganti rugi 20 persen. Padahal berkas saya sudah ada di Minarak,” ungkap Suparno, warga yang kini terpaksa masih menempati rumahnya yang rawan di Desa Gempolsari. Hamamik, Suparno dan warga korban lumpur Lapindo lainnya berharap agar pemerintah lebih memperhatikan nasib mereka dan berani menekan Lapindo untuk melaksanakan tanggung jawabnya. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Warga Desak Transparansi Jaminan Kesehatan

    Warga Desak Transparansi Jaminan Kesehatan

    SIDOARJO – Warga timur tanggul lumpur Lapindo yang berada di Desa Besuki Timur, Jabon, mendesak pemerintah agar memberikan keterbukaan informasi mengenai jaminan kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan banyak warga mengeluh sulitnya memperoleh jaminan kesehatan gratis karena dinilai tidak ada dalam data pemerintah. Padahal mereka termasuk kategori miskin, apalagi setelah lumpur Lapindo melenyapkan sawah-sawah Desa Besuki.

    Hal tersebut terungkap dalam pertemuan warga Desa Besuki Timur dengan pihak Dinas Kesehatan Sidoarjo, Jumat sore (15/10/2010). Pertemuan yang diselenggarakan di salah satu rumah warga tersebut dihadiri sekitar seratus orang warga sekitar. Dr. Djoko Setijono, mewakili Dinas Kesehatan, mendapat berbagai pertanyaan dari warga, terutama mengenai Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

    “Jamkesda dikeluarkan oleh Pemprov Jatim,” terang Setijono. “Semua warga Jatim sudah dengan sendirinya memperoleh kartu Jamkesda warna abu-abu, artinya bebas biaya rawat jalan. Sedangkan bagi yang memperoleh Jamkesda warna biru, berarti bebas biaya rawat inap.”

    Warga juga bertanya mengenai layanan kesehatan khusus bagi korban Lapindo, terutama bagi warga Desa Besuki Timur yang tidak dimasukkan Peta Area Terdampak (PAT) oleh pemerintah maupun Lapindo. Warga merasa tidak ada informasi yang jelas dari pemerintah, padahal kondisi kesehatan lingkungan di sekitar tanggul kian memburuk.

    Menanggapi hal itu, Setijono mengakui memang tidak ada lagi pengobatan gratis bagi warga korban lumpur Lapindo. “Penanganan kesehatan gratis pernah ada pada awal-awal semburan, namun sekarang tidak ada lagi. Sekarang semua melalui program Jamkesmas dan Jamkesda,” ungkap Setijono yang kini juga menjadi PLT. Kepala Puskesmas Jabon ini.

    Pertanyaan banyak terlontar ketika membahas bagaimana penerima Jamkesmas dan Jamkesda ditentukan. Sebab, warga hanya tahu kartu Jamkesmas dibagi-bagikan langsung tanpa pengumuman soal pendataan sebelumnya. Sedangkan banyak warga yang miskin tidak menerima, yang menurut petugas dikarenakan tidak ada datanya. “Banyak warga yang tidak mempunyai kartu Jamkesmas,” ujar Abdul Rochim, salah satu warga Besuki. “Kami ingin tahu syarat-syarat mendapat Jamkesmas itu bagaimana. Kok katanya data dikirim dari bawah, tapi kami tidak pernah melihat ada pendataan di lapangan,” lanjutnya.

    Setijono menanggapi bahwa pihaknya tidak berwewenang mencetak kartu Jamkesmas atau Jamkesda. Pihaknya berposisi sebagai pelayan kesehatan. Penentuan penerima Jamkesmas/Jamkesda ada di pemerintahan pusat atau provinsi. “Data-datanya biasanya diambil dari statistik di kecamatan, yang kadang tidak dimutakhirkan,” terang Setijono. Misalnya, Jamkesmas 2010 didasarkan pada data 2007 atau 2008. “Makanya kadang ada penerima kartu yang bahkan orangnya sudah meninggal,” tambahnya. Karena itu, Setijono mengusulkan, jika ada pertemuan lagi, hendaknya pihak kelurahan atau kecamatan turut dihadirkan, agar bisa diklarifikasi langsung.

    Warga lainnya menanyakan soal layanan-layanan apa saja yang digratiskan. Sebagian yang hadir memang memiliki kartu Jamkesmas, namun kadang masih diminta bayar biaya-biaya obat tertentu. Ada warga yang mengalami diberi obat gratis, namun bayar suntikan. Ada yang disuruh beli obat di apotek luar. “Kalau Jamkesmas semua gratis, rawat inap sekalipun. Jamkesda tergantung kartu warna abu-abu atau biru,” ujar Setijono. “Memang kadang kami di Puskesmas tidak dikirim cairan atu suntikan dari gudang farmasi, tapi di rumah sakit semua lengkap. Jika ada masalah, bisa langsung komplain ke saya,” tambah Setijono.

    Pertemuan berlangsung selama kurang lebih dua jam. Merasa kurang lengkap, warga berencana akan menghadirkan pihak kelurahan dan kecamatan pekan depan. Selain itu, warga juga minta daftar tertulis obat atau layanan gratis bagi pemegang kartu Jamkesmas/Jamkesda. (vik/ba)

    (c) Kanal Newsroom

  • Anak Korban Lapindo Menerima Donasi Pendidikan

    Anak Korban Lapindo Menerima Donasi Pendidikan

    SIDOARJO – Sejumlah siswa SMPN 2 Jabon dan MTs Jawairul Ulum, Kecamatan Jabon, menerima bantuan donasi publik untuk pendidikan anak korban lumpur Lapindo. Penyerahan donasi gelombang kedua ini didistribusikan langsung kepada pihak sekolah dengan disaksikan pihak wali murid, Selasa (12/10/2010).

    Penerima donasi pendidikan pada tahap ini berjumlah 13 siswa. Kebanyakan mereka tinggal di  Desa Besuki Timur, Jabon, yang tidak dikategorikan Peta Area Terdampak oleh Lapindo maupun Pemerintah. Tujuh siswa bersekolah di SMPN 2 Jabon dan enam siswa berada di bangku MTs Jawahirul Ulum.

    Para wali murid merasa gembira dapat memperoleh bantuan publik yang digalang koalisi masyarakat sipil peduli korban Lapindo melalui Aksi Seribu Rupiah di berbagai kampus dan ruang publik di sejumlah kota di Indonesia, dari Aceh hingga Manado, tersebut. Chosin, orangtua murid dari M. Sulaiman yang kini duduk di bangku kelas 1 SMPN Jabon, mengungkapkan rasa terimakasihnya kepada masyarakat luas. “Saya sangat senang dan berterima kasih sekali anak saya sudah dibantu pendidikannya,”ucapnya.

    Chosin sehari-hari bekerja sebagai pedagang kupang keliling. Penghasilan ayah lima anak ini merosot tajam sejak lumpur Lapindo muncrat pada 29 Mei 2006. “Dulu saya bisa mendapat penghasilan kotor sekitar 80 ribu sampai 100 ribu rupiah. Tapi sekarang paling banter 50 ribu rupiah. Itu pun belum kepotong bensin. Dengan penghasilan segitu tidak cukup untuk membiayai kedua anak saya yang masih sekolah,” cerita pria berusia 47 tahun ini.

    Dalam kesempatan tersebut, Kepala Sekolah Mts Jawairul Ulum, Abdul Nafi, juga mengungkapkan kegembiraannya. “Saya mewakili Mts Jawairul Ulum sangat berterima kasih dengan bantuan biaya pendidikan ini. Kondisi anak-anak yang terkena dampak semburan lumpur memang memperhatinkan. Jadi mudah-mudahan bantuan pendidikan ini dapat meringankan beban para wali murid,” ungkap Nafi.

    Donasi yang diserahkan oleh perwakilan Posko Keselamatan Korban Lapindo tersebut sebesar Rp 3.150.000 untuk murid SMPN 2 Jabon dan Rp 2.004.000 untuk MTs Jawahirul Ulum. Dana tersebut mencakup biaya buku, uang ujian, dan biaya lainnya selama satu tahun ajaran. Pihak Posko masih akan terus mendistribusikan donasi publik ke anak-anak korban lumpur Lapindo yang telah dilanggar hak-haknya. Masyarakat luas bisa terlibat melalui Aksi Seribu Rupiah. (vik)

    (c) Kanal Newsroom