Jakarta – Indoleaks merilis data-data soal ‘bencana’ lumpur Lapindo. Data-data yang merupakan hasil penelitian seorang konsultan minyak asal Amerika Serikat Simon Wilson itu menyebutkan, lumpur Lapindo yang hingga kini menggenangi sebagian wilayah Sidoarjo, Jawa Timur itu bukanlah bencana alam.
Menurut Wilson, peristiwa banjir lumpur itu terjadi sekitar 2 Juni 2006. Kejadian itu, boleh jadi disebabkan karena alat bor yang dicabut dari sumur bor oleh operator pengeboran, PT Lapindo Brantas.
“Sekitar tengah malam 28 Mei 2006 ketika sumur itu dalam kondisi yang tidak stabil dan membutuhkan perbaikan untuk mengatasi kehilangan sirkulasi,” kata Wilson dalam laporannya yang dirilis oleh Indoleaks seperti yang diterima detikcom, Jumat (10/12/2010). Indoleaks merupakan semacam ‘wikileaks’.
Wilson menilai, tindakan PT Lapindo Brantas itu tidak kompeten dan telah malanggar panduan pengeboran minyak yang baik (good oilfield practices). “Menurut pendapat saya, dengan terus menerus menarik pipa di sumur itu suatu tindakan yang ceroboh dan kalalaian,” kata Wilson.
Wilson menyebutkan ada beberapa penyebab lumpur terus menerus keluar dan akhirnya menenggelamkan rumah warga Sidoarjo. Namun penyebab utamanya adalah pengeboran minyak yang tidak profesional, dilakukan oleh PT Lapindo Brantas.
Pendapat Wilson ini semakin menguatkan bahwa insiden yang disebabkan oleh PT Lapindo Brantas tersebut bukanlah bencana alam. Jika peristiwa itu benar-benar kecelakaan, maka perusahaan milik grup Bakrie itu, yang saat itu melakukan pengeboran, harus bertanggung jawab.
Sebelumnya, tim ilmuwan Inggris yang dipimpin Profesor Richard Davies dari Universitas Durham, menyatakan para pengebor gas bersalah atas timbulnya masalah lumpur Lapindo di Jawa Timur. Menurut mereka, ada kaitan antara semburan lumpur tersebut dengan pengeboran di sumur eksplorasi gas oleh perusahaan energi lokal PT Lapindo Brantas.
Hasil penelitian itu dimuat jurnal Marine and Petroleum Geology. Tim yang dipimpin oleh para pakar dari Universitas Durham, Inggris menyatakan, bukti baru semakin menguatkan kecurigaan bahwa musibah lumpur Lapindo disebabkan oleh kesalahan manusia (human error).
“Mereka telah salah memperkirakan tekanan yang bisa ditoleransi oleh sumur yang mereka bor. Saat mereka gagal menemukan gas setelah mengebor, mereka menarik alat bor keluar saat lubang sangat tidak stabil,” kata Durham.
PT Lapindo Brantas sendiri telah membantah sebagai pemicu musibah itu dengan kegiatan pengeboran gas yang dilakukannya. Menurut PT Lapindo, lumpur itu diakibatkan oleh gempa bumi di Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelumnya.
Bantahan PT Lapindo Brantas ini mendapat dukungan dari Senayan. Tim pengawas lumpur Lapindo DPR menyimpulkan, semburan lumpur disebabkan faktor alam sehingga sulit ditanggulangi. Keputusan itu kontan saja mengundang kontroversi. ( Ken Yunita)
(c) detikNews


Firdaus Cahyadi – Mungkin semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo adalah kasus lingkungan hidup dan hancurnya peradaban sebuah masyarakat yang terbesar di Indonesia bahkan di dunia. Besarnya kasus itu membuat media massa di negeri ini ‘berlomba’ menurunkan berita mengenai kasus tersebut.





SIDOARJO—Terhitung sejak 1 November 2010, warga Sidoarjo resmi mempunyai Bupati dan Wakil Bupati baru, H Saiful Ilah dan MG Hadi Sucipto. Akankah ada perubahan nasib korban Lapindo? Alih-alih mendapat harapan baru, korban lumpur Lapindo justru diusir dari Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Sidoarjo. Pihak Kepolisian Resor Sidoarjo membubarkan paksa puluhan korban Lapindo yang menginap di pelataran gedung dewan sejak 6 Agustus 2010 tersebut.
SIDOARJO – Sejumlah anak korban lumpur Lapindo kembali menerima bantuan pendidikan dari donasi publik yang digalang koalisi masyarakat sipil peduli korban Lapindo. Donasi tersebut diserahkan langsung oleh perwakilan Posko Keselamatan Korban Lapindo kepada pihak sekolah dengan disaksikan para wali murid.
Para orang tua murid yang hadir pun mengungkapkan rasa terimakasih kepada masyarakat luas. Uswanti, wali murid dari Waida Widiawati, merasa sangat terbantu. “Saya sangat terbantu sekali dengan bantuan pendidikan ini. Apalagi uang ujian anak saya kemarin masih belum bayar,” ujarnya. Sejak lumpur Lapindo muncrat, perekonomian keluarga Uswanti amburadul. Pabrik tempatnya dan suaminya bekerja tenggelam oleh lendut panas Lapindo. Sementara, hingga saat ini, uang pembayaran atas aset tanah dan bangunan mereka dari Lapindo yang dicicil Rp 15 juta per bulan sering tidak diperoleh. Bahkan belakangan macet hingga lima bulan.
SIDOARJO – Pengadilan Negeri Sidoarjo kembali menggelar sidang kasus pembebasan tanah relokasi tol Porong-Gempol dan arteri Jalan Raya Porong pada Rabu (27/10/2010). Ini sebagai kelanjutan gugatan puluhan warga dari Kecamatan Porong dan Kecamatan Tanggulangin yang terkena gusuran relokasi infrastruktur tol dan arteri yang rusak akibat lumpur Lapindo. Agenda sidang kali ini adalah penyampaian kesimpulan kedua pihak. Tergugat dan penggugat menyampaikan kesimpulan ke majelis hakim yang dipimping Suryawati.
Sidang yang digelar PN Sidoarjo tidak berlangsung lama. Setelah menerima berkas penyampaian keputusan dari kedua pihak, majelis hakim menyatakan sidang ditunda sampai tanggal 10 November 2010 dengan agenda penyampaian keputusan.
SIDOARJO – Sudah hampir 80 hari puluhan warga korban lumpur Lapindo menginap di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo, namun tidak ada tanggapan positif dari negara dan Lapindo. Warga yang berasal dari lima desa tersebut terus menuntut agar pelunasan 80 persen atas aset tanah dan bangunan mereka yang ditenggelamkan lumpur dibayar tunai sesuai Perpres 14/2007, dan bukan melalui skema cicilan. Mereka rela bertahan dan meninggalkan pekerjaan dan anak – istri (yang sebagian tinggal di luar kabupaten) demi menuntut hak.
Sehari Agus dapat memperoleh keuntungan lumayan, sekitar Rp 20-30 ribu. “Dan setelah seminggu, saya kembalikan modal Rp 200 ribu ke pedagang mie ayam,” ujarnya. Selain berdagang buah dan rujak manis, pada malam harinya Agus dan sejumlah teman lain membantu parkir di sekitar alun-alun Sidoarjo. “Hasilnya lumayan, bisa beli rokok, kopi dan gula untuk teman-teman. Dan sebagian uang hasil jualan buah bisa dikasih ke istri di Jember,” tutur Agus.
SIDOARJO—Semburan lumpur Lapindo tak henti menebarkan dampak-dampak lanjutan. Kali ini sebuah bangunan di Desa Jatirejo ambles hingga sekitar enam meter, mirip dengan amblesnya bangunan milik warga Desa Siring beberapa waktu lalu. Tempat kejadian berjarak kurang 50 meter dari Jalan Raya Porong, dan berdekatan dengan jaringan rel kereta api. Ini membuat pihak PT KA Daop VIII khawatir dan langsung melakukan pemeriksaan jaringan rel.
Dengan amblesnya bangunan yang tidak jauh dari rel kerata api koridor Sidoarjo-Gempol tersebut, pihak PT KA masih menggunakan jalur kereta api tapi laju diturunkan menjadi 10 km/jam dari semula 20 km/jam. “Kami saat ini masih melakukan pemantauan secara intensif selama 24 jam. Jika penurunan tanah di sekitar rel kereta api ini semakin memburuk, kita akan terus berkoordinasi dengan BPLS,” ungkap Hary Soebagiyo, salah satu petugas PT KA Daop VIII, yang siang itu memantau di lapangan.
SIDOARJO – Lapindo tampaknya memang mengidap penyakit ingkar janji yang akut dan mudah kambuh. Lagi-lagi PT Minarak Lapindo Jaya enggan membayar aset warga korban melalui skema cicilan Rp 15 juta/bulan. Sebelumnya PT MLJ tidak mentransfer cicilan selama lima bulan. Lalu menjelang Idul Fitri, PT MLJ hanya membayar cicilan Rp 5 juta, jauh dari angka yang dijanjikan. Dan hingga hari ini (18/10/2010), PT MLJ masih belum juga mentransfer uang cicilan ke rekening warga korban Lapindo.
SIDOARJO – Warga timur tanggul lumpur Lapindo yang berada di Desa Besuki Timur, Jabon, mendesak pemerintah agar memberikan keterbukaan informasi mengenai jaminan kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan banyak warga mengeluh sulitnya memperoleh jaminan kesehatan gratis karena dinilai tidak ada dalam data pemerintah. Padahal mereka termasuk kategori miskin, apalagi setelah lumpur Lapindo melenyapkan sawah-sawah Desa Besuki.
Setijono menanggapi bahwa pihaknya tidak berwewenang mencetak kartu Jamkesmas atau Jamkesda. Pihaknya berposisi sebagai pelayan kesehatan. Penentuan penerima Jamkesmas/Jamkesda ada di pemerintahan pusat atau provinsi. “Data-datanya biasanya diambil dari statistik di kecamatan, yang kadang tidak dimutakhirkan,” terang Setijono. Misalnya, Jamkesmas 2010 didasarkan pada data 2007 atau 2008. “Makanya kadang ada penerima kartu yang bahkan orangnya sudah meninggal,” tambahnya. Karena itu, Setijono mengusulkan, jika ada pertemuan lagi, hendaknya pihak kelurahan atau kecamatan turut dihadirkan, agar bisa diklarifikasi langsung.
SIDOARJO – Sejumlah siswa SMPN 2 Jabon dan MTs Jawairul Ulum, Kecamatan Jabon, menerima bantuan donasi publik untuk pendidikan anak korban lumpur Lapindo. Penyerahan donasi gelombang kedua ini didistribusikan langsung kepada pihak sekolah dengan disaksikan pihak wali murid, Selasa (12/10/2010).
Dalam kesempatan tersebut, Kepala Sekolah Mts Jawairul Ulum, Abdul Nafi, juga mengungkapkan kegembiraannya. “Saya mewakili Mts Jawairul Ulum sangat berterima kasih dengan bantuan biaya pendidikan ini. Kondisi anak-anak yang terkena dampak semburan lumpur memang memperhatinkan. Jadi mudah-mudahan bantuan pendidikan ini dapat meringankan beban para wali murid,” ungkap Nafi.