Blog

  • Desa Jatirejo Siaga Satu

    Desa Jatirejo Siaga Satu

    SIDOARJO –  Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), mengimbau masyarakat Desa Jatirejo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo, menjauhi lokasi bangunan bagian dapur rumah yang ambles.

    “Apalagi kondisi dapur rumah yang ambles tersebut berada di tepi Jalan Raya Porong dengan arus lalu lintas yang cukup tinggi,” kata Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnaen, Sabtu (5/6).

    Imbauan tersebut dikeluarkan dengan alasan kondisi tanah di sekitar dapur rumah yang ambles itu sangat mungkin meluas.

    Diterangkan, kondisi permukaan tanah yang berada di sebelah barat pusat semburan tidak stabil, dan dari amblesnya rumah tersebut dapat diketahui jika arah patahan di bawah tanah dari pusat semburan mengarah ke barat. Sebelumnya, kejadian rumah ambles ini terjadi di Desa Siring.

    “Kami juga memasang garis pembatas dengan jarak lebih dari lima meter dari lokasi dapur rumah warga yang ambles,” tegas Zulkarnaen.

    Selain imbauan meninggalkan dapur, BPLS juga meminta warga tidak menyalakan api di dekat lokasi dapur ambles itu.

    Amblesan tanah ini ternyata tidak hanya mengancam Desa Jatirejo dan Siring tetapi juga mengancam beberapa desa yang ada di sekitarnya.

    “Desa-desa tersebut diantaranya Siring dan Mindi yang saat ini memang sudah tidak layak ditempati warga lagi,” katanya.

    Di beberapa desa tersebut, kata dia, juga sudah sering muncul semburan baru disertai dengan semburan gas yang mudah terbakar. Namun dilapangan gas-gas yang mudah terbakar tersebut, juga digunakan oleh warga untuk keperluan memasak setiap harinya.

    Zulkarnaen juga tidak menyangkal bahwa semburan gas dan lumpur tersebut juga berakibat pada buruknya kualitas air sumur milik warga.

    (c) SURYA Online

  • Empat Tahun Bersama Racun Lapindo

    Empat Tahun Bersama Racun Lapindo

    Bambang Catur Nusantara – Awal Januari 2010 gelembung-gelembung gas mulai menyeruak dari halaman rumah Irsyad. Mantan petani dari Besuki Timur ini terkaget-kaget.

    Ia sangat cemas karena gas ini menyala saat tersulut api. Meski hanya berlangsung beberapa hari, kejadian ini bisa menunjukkan betapa ia dan warga Besuki Timur, Ketapang, Mindi, Jatirejo Barat, Siring Barat, Gedang, dan desa-desa di sekitar pusat semburan hidup sangat tidak aman. Selama empat tahun, tak kurang dari 180 semburan dan gelembung gas dijumpai. Kondisinya dibiarkan, beberapa ditangani, selebihnya hanya ditandai papan bertulis berbahaya.

    Emisi gas hidrokarbon pada semburan dan gelembung yang ditemukan di Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi mencapai 441.200 ppm, delapan puluh kali lipat lebih di atas ambang baku yang hanya 5.000 ppm (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 129 Tahun 2003). Adapun batas ambien pada udara 0,24 ppm dilampaui dengan adanya temuan hingga 55.000 ppm, yang berarti 229.100 kali lipat dari ambang baku. Temuan tim pelaksana pemantauan permukiman bentukan Gubernur Jawa Timur tahun 2008 ini ditindaklanjuti dengan surat rekomendasi kepada Presiden.

    Apa lacur, Presiden mengeluarkan Perpres No 48/2008 yang justru menunjuk daerah lain sebagai prioritas terdampak. Baru tahun 2009 dikeluarkan Perpres No 40/2009 yang mengatur evakuasi melalui bantuan sosial bagi warga di wilayah Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi (tiga RT).

    Dengan pembiaran kondisi sejak lumpur menyembur pada 29 Mei 2006, tidak mengherankan jika ditemukan peningkatan jumlah penderita ISPA di Porong. Berdasar data puskesmas setempat, penderita ISPA tahun 2007 tercatat 46.652 warga, meningkat dua kali lipat dari tahun 2006 yang hanya sekitar 23.000. Buruknya kualitas air juga menunjukkan dampak peningkatan pasien perempuan dengan gangguan kesehatan reproduksi. Tren ini tahun 2008 tercatat pada pos layanan kesehatan Puskesmas Jabon yang pernah ada di wilayah pengungsian eks Tol Besuki.

    Bahaya logam berat

    Temuan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim melalui riset kandungan logam berat dan polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) juga menunjukkan dilampauinya ambang batas kelayakan. Logam berat jenis kadmium (Cd) dan timbal (Pb) ditemukan melebihi baku mutu pada seluruh 20 titik sampel pada 2007/2008 dengan jumlah rata-rata mencapai 0,3063 miligram per liter (mg/l), atau 100 kali lipat lebih di atas ambang baku mutu yang ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan No 907/2002 yang hanya 0,003 mg/l. Adapun kandungan kromium (Cr) dan tembaga (Cu) masih di bawah ambang baku.

    PAH jenis crysene juga ditemukan melebihi baku hampir di seluruh titik sampel di area lumpur dan kawasan sekitarnya, sedangkan Ben(z)anthracene ditemukan di tiga titik sampel. PAH merupakan senyawa organik yang berbahaya dan bersifat karsinogenik. Tidak menyebabkan terbentuknya tumor ataupun kanker secara langsung, tetapi dalam sistem metabolisme tubuh akan diubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan sangat berpotensi menyebabkan timbulnya tumor dan risiko kanker (UNEP, 2001). Dampaknya juga tidak bisa dilihat seketika. Butuh waktu 5 hingga 10 tahun untuk menemukan potensi kanker paru-paru; kanker kulit; dan kanker kandung kemih bagi manusia yang pernah terpapar dalam waktu lebih dari delapan jam.

    Kematian Ibu Jumi, Tiyami, Luluk, Sutrisno, Yakub, dan beberapa warga lainnya pada kurun 2008-2009 dengan sebab yang tidak terdiagnosa jelas seharusnya menjadi catatan penting bagi aparatus pemerintah untuk melakukan tindakan khusus dan memonitor secara intensif. Ibu Jumi membesar perutnya setelah setahun semburan lumpur, setahun berikutnya ia meninggal.

    Asal lumpur dari kedalaman lebih dari 9.000 kaki juga patut dicurigai membawa segala macam kandungan mineral dan berbagai zat berbahaya lainnya. Ditemukannya logam berat, berbagai jenis hidrokarbon, dan PAH tak menutup kemungkinan masih dapat dijumpai jenis senyawa radioaktif yang memiliki dampak lebih signifikan.

    Pengolahan lumpur sebelum digelontor ke laut melalui Sungai Porong juga harus dilakukan. Jika tidak, keseluruhan wilayah Selat Madura akan tercemar (Walhi, 2006). Apalagi tambak-tambak yang menggantungkan pasokan air tawar dari sungai porong dan air laut Selat Madura. Produksi udang organik terbesar dari wilayah timur Sidoarjo, dengan nilai ekspor sekitar Rp 800 miliar per tahun, juga tak mungkin dapat dipertahankan jumlah dan kualitasnya.

    Hasil panen bandeng yang telah merosot pada tambak-tambak di Permisan dan sekitarnya merupakan indikator kuat tidak normalnya kualitas air. Bisa dibayangkan, jika kandungan logam berat dan zat-zat berbahaya lainnya terakumulasi secara terus-menerus pada biota yang dikonsumsi, maka dampak lumpur Lapindo akan kian meluas.

    Kerusakan ruang hidup dan hilangnya aset warga yang penyelesaiannya hanya dinilai sebatas material tanah dan bangunan adalah penghinaan logika. Sawah milik Irsyad sebagai lahan produksi yang tidak bisa diolah sejak tahun pertama semburan hanyalah satu dari sekian puluh ribu lahan warga yang terdampak lumpur. Sekitar 80-an hektar sawah yang pernah terendam lumpur di desa Besuki tidak menyisakan syarat tumbuh bagi padi. Irsyad dan petani lain pernah sekali mencoba. Meski padi tumbuh hidup, tidak ada bulir padi yang dihasilkan. Pemerintah dan perusahaan setali tiga uang melihat dampak lumpur hanya terkait dengan kerusakan fisik yang ada. Irsyad dan ribuan warga lain yang wilayahnya tidak masuk dalam peta terdampak 22 Maret 2007 tidak pernah dilihat sebagai korban.

    Tindakan mendesak

    Racun dan kandungan berbahaya tentu tidak bisa diselesaikan dengan papan pengumuman tanda bahaya. Kehancuran ekologis kawasan muara Sungai Porong, pesisir timur Sidoarjo, dan Selat Madura juga tidak bisa disulap dengan melakukan pembangunan fisik sepanjang tepian sungai. Apalagi menutupi bahaya dan risiko lumpur Lapindo dengan program turisme yang dicanangkan atau sulap dengan melakukan pembangunan fisik sepanjang tepian sungai.

    Pengalokasian uang rakyat hingga Rp 7,210 triliun sampai tahun 2014 dalam Rencana Tindak Pembangunan Jangka Menengah untuk penanganan lumpur Lapindo tidak akan pernah cukup ketika berhitung dampak-dampak yang kompleks dan meluas. Penanggulangan dan pemulihan yang dilakukan senyatanya hanya untuk pencitraan.

    Tindakan untuk mencari tahu zat-zat berbahaya, pemulihan kualitas lingkungan, pemeriksaan medis, dan pemulihan ekonomi sosial warga seharusnya dilakukan tanpa menunggu kondisi lebih buruk. Evakuasi warga dan pembatasan kunjungan pada wilayah berbahaya di sekitar semburan lumpur dan gas mutlak dilakukan.

    Bambang Catur Nusantara Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur

    artikel ini pernah dimuat (c) KOMPAS cetak

  • Lumpur Lapindo dan Hukum Usang

    Lumpur Lapindo dan Hukum Usang

    Subagyo – Tanggal 29 Mei 2010 merupakan ulang tahun keempat bubur lumpur Lapindo di Sidoarjo. Data penghancuran ekologi (termasuk manusia di dalamnya) di Kecamatan Porong, Tanggulangin dan Jabon, Sidoarjo, itu mudah didapatkan di internet. Hingga akhir 2009 sekitar Rp 4 triliun uang negara (APBN) tersedot di situ.

    Kasus lumpur itu menjadi salah satu bukti kedigdayaan Grup Bakrie, yang membuat hukum negara ini lumpuh tak berdaya, menjadi barang usang.

    Walhi pernah mengajukan gugatan perdata kepada Lapindo Brantas Inc, korporasi terkait, serta pemerintah. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan Walhi dengan alasan bahwa semburan lumpur Lapindo terjadi karena bencana alam.

    Hakim menggunakan keterangan ahli yang diajukan pihak Lapindo sebagai alat bukti, padahal keterangan ahli itu bukan alat bukti dalam hukum acara perdata. Itu melanggar standar hukum pembuktian menurut Pasal 1886 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Pasal 164 Herzienne Inlandsche Reglement (HIR).

    Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 29 Mei 2007, yang mengandung hasil audit kinerja operator Blok Brantas itu, sama sekali tidak digubris. Padahal, audit BPK merupakan alat bukti akta otentik yang mempunyai kekuatan hukum sempurna, dalam hukum acara perdata.

    Gugatan YLBHI juga kandas. Mulanya, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat bahwa Lapindo telah lalai (salah) dalam melakukan pengeboran. Namun, putusan itu dianulir oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung (MA).

    Setelah itu, Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim), pada masa Kapolda Anton Bahrul Alam, mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) perkara pidana Lapindo. Padahal, Kapolda Jatim sebelumnya, Herman S Sumawiredja, amat yakin bahwa Lapindo bersalah sehingga sudah menetapkan 13 tersangka.

    Menurut buku hukum acara pidana (KUHAP), tersangka boleh ditetapkan jika alat buktinya cukup. Lalu, mengapa alat bukti yang cukup itu berubah menjadi tidak cukup?

    Kejaksaan sukses menjadi penjaga gawang agar perkara pidana Lapindo tidak masuk ke pengadilan. Caranya, Kejaksaan mengembalikan berkas perkara kepada penyidik Polda Jatim secara berulang-ulang, dengan petunjuk (P 19) yang berubah-ubah, beranak-pinak. Apakah semua itu atas kehendak penguasa kapital? Sudah bukan rahasia lagi hukum Indonesia memang gampang dibeli.

    Kini, bola hukum perkara Lapindo tinggal di tangan Komnas HAM. Tim Adhoc Pelanggaran HAM yang Berat dalam Kasus Lumpur Panas Lapindo masih bekerja untuk menemukan alat bukti pelanggaran HAM berat perkara lumpur itu, termasuk adanya unsur ”kesengajaan”.

    Dalam perkara Lapindo, Lapindo dan pejabat yang memberi izin pengeboran gas bumi di Sumur Banjar Panji-1 (BJP-1) Porong itu jelas sengaja melanggar hukum. Jarak sumur pengeboran itu dengan permukiman penduduk terlalu dekat (menurut BPK, sekitar lima meter).

    Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia Nomor 13-6910-2002 tentang Operasi Pengeboran Darat dan Lepas Pantai di Indonesia, sumur-sumur pengeboran harus berjarak sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, perumahan, atau tempat-tempat lain di mana sumber nyala dapat timbul.

    Pengeboran sumur BJP-1 juga tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo (Perda Nomor 16 Tahun 2003, yang waktu itu belum diubah). Peruntukan lokasi tanah Sumur BJP-1 tersebut adalah untuk kegiatan industri non kawasan, bukan untuk pertambangan.

    Ketika hal itu ditanyakan kepada Imam Utomo, Gubernur Jatim waktu itu, apakah itu terkait perubahan RTRW Provinsi Jatim, dia melemparkan pertanyaan kepada Bupati Sidoarjo. Lalu, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso melemparkan tanggung jawab ke pemerintah pusat (BP Migas) yang memberikan rekomendasi izin tersebut.

    Pihak Lapindo dan pejabat yang memberikan izin secara hukum dianggap sengaja melakukan pengusiran penduduk sipil karena pengeboran di sumur BJP-1 yang berdekatan dengan permukiman penduduk, akibatnya sudah bisa dipikirkan sejak semula jika terjadi kecelakaan pengeboran.

    Penjajahan modern dilakukan korporasi. Senjata nasionalisme jadi tidak mempan, apalagi jika penjajahnya bangsa sendiri, yang menggunakan otak para ahli putra-putri negeri sendiri. Apa kita akan menyerah begitu saja?

    Subagyo Advokat; Mantan Anggota Tim Investigasi Komnas HAM dalam Kasus Lumpur Lapindo

    (c)cetak.kompas.com

  • After 4 Years of Mud, Sidoarjo Blame Question Lingers

    lumpur100115_08_thumb150_150JAKARTA – Green groups blasted the government on Friday for failing to seriously consider and take action on the lives ruined as a result of Lusi, the gigantic mud volcano which continues to spew toxic sludge in Sidoarjo, East Java, four years after it erupted.

    The disaster has inundated hundreds of hectares of land, leaving thousands homeless, but the controversy does not end there, green groups pointed out. (more…)

  • Lumpur Lapindo: 4 Tahun Pembiaran

    Lumpur Lapindo: 4 Tahun Pembiaran

    SURABAYA – Selama 4 tahun lumpur lapindo tidak saja menghilangkan ruang hidup puluhan ribu warga, namun juga rusaknya lingkungan yang ada di sekitar semburan. Tidak adanya jasa layanan alam di wilayah Porong dan sekitarnya merupakan indikator meluasnya dampak kandungan berbahaya lumpur lapindo. Sawah-sawah dan tambak-tambak tidak lagi bisa didayagunakan sejak semburan lumpur terjadi daan pembuangannya ke sungai porong. Badan-badan publik yang menangani banyak sektor terkait lumpur lapindo juga cenderung tertutup dalam memberikan informasi terkait masalah lumpur lapindo. Cukup sulit bagi warga maupun masyarakat mendapatkan informasi detail dari dinas-dinas maupun departemen terkait. 

    Padahal informasi terkait tingkat hidrokarbon di udara yang telah mencapai 55.000 ppm, dari ambang batas normal yang hanya 0,24 ppm sangat penting untuk diketahui masyarakat. Data ini berdasarkan surat rekomendasi Gubernur Jawa Timur tanggal 24 Maret 2008. Kondisi yang menyebabkan meningkatnya penderita ISPA pada tahun 2007 hingga lebih dari 46 ribu jiwa, 2 kali lipat dari penderita tahun 2006 yang hanya 23ribu, harusnya diinformasikan sejak awal.

    Kandungan hidrokarbon yang sedemikian tinggi dapat mengakibatkan sesak nafas bahkan tercekik pada manusia. Pada kandungan 1000 ppm saja, paling lama 8 jam waktu yang aman terpapar gas ini. Sementara korban semburan lumpur Lapindo sudah bertahun-tahun dibiarkann tinggal bersama gas hidrokarbon sekitar mereka. Tidak heran jika kemudian terjadi kematian warga yang tidak terdiagnosa dengan baik penyebabnya. Walhi Jawa Timur mencatat sekurangnya 5 warga telah meninggal akibat buruknya kondisi lingkungan yang ada.

    Berdasar temuan awal riset WALHI Jawa Timur, ditemukan pula tiga jenis logam berat dalam lumpur, yaitu Tembaga, Timbal, dan Kadmium. Dan rata-rata kandungannya lebih dari 2000 kali batas baku yang diperbolehkan. Ditemukan pula jenis Polycyclic Aromatic Hydrocarbon(PAH), yaitu Crysene dan Benz(a)anthracene dalam lumpur lapindo.. Senyawa kimia ini bersifat karsinogenik atau memicu terjadinya tumor dan kanker dengan pengaruhnya pada metabolisme tubuh. Senyawa PAH ini sulit terurai di air, lumpur, maupun ketika menjadi debu. ‘Bisa dibayangkan bagaimana nasib kedepan warga yang selama ini hidup bersama gas-gas berbahaya ini selama 4 tahun’, ungkap Bambang Catur Nusantara, direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur.

    Dengan daya rusak yang demikian kompleks dan meluas, selayaknya pemerintah lebih serius menangani lumpur lapindo. Tidak saja pada fisik infrastruktur maupun hilangnya aset warga, namun secara keseluruhan ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan pemulihan lingkungan. ‘Korban lapindo berserak dimana-mana tanpa penanganan yang pasti dari pemerintah, harusnya monitoring kualitas kesehatan dan melakukan assitensi kepada warga yang sedang memulihkan hidup mereka’, tegas Catur. Langkah-langkah inisiatif tidak perlu menunggu hingga kondisi lebih buruk terjadi. Masalah lumpur lapindo sangatlah serius, tidak selayaknya pemerintah hanya menangani sebatas kerusakan infrastruktur saja. Perencanaan, tindakan, dan informasi yang akurat terkait berbagai penanganan dampak yang bisa ditimbulkan harus disajikan oleh pemerintah agar masyarakat bisa paham situasi yang terjadi.

    Pemerintah juga harus mendesak Lapindo Brantas menyelesaikan kewajiban mereka yang telah terlambat bertahun-tahun memberikan penggantian atas hilangnya aset hidup warga. Penggunaan uang rakyat melalui APBN yang telah mencapai 4 triliun dan pengalokasian sejumlah lebih dari 7 triliun untuk lima tahun kedepan juga harus diperjelas penggantiannya oleh Lapindo Brantas. Pemerintah memiliki kewenangan memaksa kepada perusahaan untuk segera menyelesaikan kewajiban. Jika tidak segera dilakukan, warga yang telah dihancurkan ruang hidupnya akan semakin tidak jelas nasibnya.

    Untuk mengingatkan kondisi 4 tahun semburan lumpur yang karut marut, Walhi Jawa Timur mendukung upaya warga untuk melawanan pembungkaman dengan bersama-sama menerbitkan buku 29 cerita korban lumpur yang ditulis oleh kaum muda korban lapindo dan akan di launching pada 29 Mei di desa Besuki, Jabon. Buku yang mengungkap cerita dampak ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dan pendidikan ini akan mengingatkan semua pihak untuk melihat resiko industri migas. Dengan buku ini, warga di wilayah lain juga bisa belajar lebih kritis terhadap aktivitas industri migas dan melakukan perlawanan sebelum resiko seperti lumpur lapindo terjadi. ‘Wilayah seperti Jombang, selayaknya melawan aktivitas perusahaan migas yang saat ini sedang melakukan uji seismik lebih dari 10 ribu titik di 18 kecamatan wilayah itu’, pesan Catur.

    Siaran Pers Walhi Jawa Timur

    (c) kanal News Room

  • Sekilas Buku 29 Cerita Menentang Bungkam

    Sekilas Buku 29 Cerita Menentang Bungkam

    Sidoarjo – “Buku ini mengumpulkan serpihan-serpihan ingatan, agar cerita tak turut karam,” tulis Mujtaba Hamdi, penyunting buku 29 Cerita Menentang Bungkam, dalam pengantarnya di buku ini. Buku ini juga sebagai jawaban citra yang dibangun oleh Bakrie, melalui media-media yang dia modali, bahwa: Tanah korban telah diganti rugi dengan uang triliunan. Warga telah kaya raya. Dan dibumbui dengan ujaran Lapindo dan Bakrie tak bersalah. 

    Di buku ini diceritakan betapa lumpur telah merusak berbagai sendi kehidupan warga di 19 Desa di tiga kecamatan. Di wilayah ekonomi misalnya, lumpur Lapindo telah menghajar tanpa ampun usaha-usaha kecil milik warga. Hubungan harmonis keluarga, relasi sosial, juga tempat bermain anak, juga tak luput dari hajaran lumpur Lapindo dan itu terpotret abadi di buku ini. Di cerita-cerita lain, di dalam buku ini, lumpur juga merusak tradisi dan kesenian yang selama ini tumbuh di masyarakat mayoritas muslim tradisional.

    Yang tak kalah rusaknya, akibat lumpur Lapindo, adalah bidang pendidikan. Ceritanya memotret dari dekat salah satu dari 33 sekolah yang remuk dihajar lumpur. Buku ini juga menyajikan cerita soal kerusakan-kerusakan lingkungan akibat lumpur Lapindo. Di sektor hukum, Moneygram money order yang juga ada di buku ini, juga bercerita soal bagaimana sulitnya para korban menuntut haknya.

    Untuk memudahkan para pembaca buku ini dikelompokkan dalam 7 bagian. Setelah Pendahuluan, dilanjutkan bagian-bagian yang disesuaikan dengan sendi-sendi yang dirusak oleh Lapindo: Ekonomi, Sosial, Budaya, Pendidikan, Lingkungan, Hukum, dan Politik.

    Kekuatan buku ini adalah semua cerita ditulis oleh 8 orang korban Lapinda dan dari sudut pandang mereka dan cerita-cerita ini sangat berbeda dengan citra yang dibangun oleh Bakrie dan media-media yang didanainya. Buku ini juga memetakan luasnya cakupan kerusakan yang diakibatkan oleh lumpur Lapindo dan tak sesederhana seperti yang dibayangkan Bakrie yang hanya menilai kerusakan pada tanah, sawah dan rumah.

    (c) Kanal News Room

  • Kejahatan Sistemik Bakrie

    Kejahatan Sistemik Bakrie

    Untuk semua kehilangan itu, Minarak Lapindo Jaya (MLJ) hanya memberikan ganti-rugi dengan membeli tanah, rumah, dan sawah para korban. Itupun yang menurut peraturan presiden selesai dalam dua tahun setelah bencana, hingga kini, baru 60 persen korban yang telah menerima ganti rugi ini. Tak ada ganti rugi soal kesehatan, pendidikan, sosial, dan pencemaran lingkungan.

    Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono tak bisa berbuat banyak untuk menekan Abu Rizal Bakrie supaya segera menyelesaikan tanggungjawabnya. Bahkan dalam revisi Perpres terbarunya SBY justru membagi tanggungjawab Lapindo dengan membebankan pembayaran ganti rugi tiga desa di luar peta, pada kas negara dan kas negara juga membayari semua tanggung jawab sosial selain tanah-sawah-rumah.

    Di ranah hukum; gugatan perdata yang diajukan YLBHI maupun banding yang diajukan Walhi, kalah di pengadilan dan tuntutan pidananya pun dihentikan. Di ranah politik: karir politik Bakrie kian mencorong dengan memenangi bursa pencalonan ketua umum Partai Golkar dan bahkan menggusur Sri Mulyani dan Bakrie juga menjadi ketua harian partai koalisi dan semua orang tahu posisi itu sama dengan posisi wakil presiden bayangan. Bahkan lebih.

    Awal bulan April lalu, pernikahan putra Bakrie digelar di hotel berbintang Jakarta dengan biaya milyaran dan presiden SBY dan mantan menteri luar negeri Alwi Shihab jadi saksi pernikahan ini. Tak hanya itu; wakil presiden dan banyak pejabat tinggi lainnya juga ikut berpesta.

    Orang-orang dekat Bakrie seperti Andi Alfian Mallarangeng, kini melenggang menuju kursi Partai Demokrat 1 (meskipun akhirnya kalah) dan Yuniwati Teryana, vice president External Relation Lapindo Brantas, Inc, Gesang Budiarso, Anggota Dewan Komisaris MLJ, dan Bambang Prasetyo Widodo, direktur operasional MLJ, mengincar posisi bupati Sidoarjo.

    Pemerintah Jawa Timur juga patah arang dan menyerah menangani kasus Lapindo dan bisa dibayangkan ngeri akibatnya kalau Jawa Timur dipimpin oleh orang-orang Bakrie.

    Bakrie juga memodali banyak media (online, cetak, TV) dan media-media ini tidak membicarakan keburukan Bakrie dan serempak mendorongkan opini bahwa Lumpur Lapindo disebabkan oleh gempa Jogjakarta 26 Mei 2006. Opini ini dibantah dengan lantang oleh para geolog internasional dalam pertemuan ilmiah para geolog di Capetown, Afrika Selatan. Dari 42 geolog yang hadir, hanya 3 orang, yang menyatakan hubungan lumpur dengan gempa.

    Semua ini adalah kejahatan dan ketidakadilan yang sistemik.

    Bakrie bisa saja menguasai semua lini kekuasaan di negeri ini namun tidak pada ingatan kami sebagai korban lumpur Lapindo yang merasakan langsung semua penderitaan akibat Lumpur ini. Untuk mengenang empat tahun penderitaan kami, kami menyelenggarakan rangkaian acara:

    • Pentas seni dan workshop
    • Launching buku, “29 Cerita Menentang Bungkam, Aneka Suara dan Tuturan Korban Lumpur Lapindo”
    • Penerbangan Balon Harapan

    Pentas seni diisi dengan berbagai pertunjukan anak-anak korban Lapindo, dan peluncuran buku, yang merupakan acara puncak, akan mendatangkan semua penulis buku ini yang juga merupakan karya anak-anak korban Lapindo yang menunjukkan berbagai lini kerusakan Lapindo : Ekonomi, Sosial, Budaya, Pendidikan, Hukum, dan Politik dari kacamata anak-anak korban Lapindo. Dan acaranya akan ditutup dengan Penerbangan Balon Harapan. *

    Press Release – Posko Keselamatan Korban Lumpur Lapindo, Porong, Sidoarjo

    (c) Kanal News Room

  • SBY Dituding Lindungi Bakrie dalam Kasus Lumpur Lapindo

    SBY Dituding Lindungi Bakrie dalam Kasus Lumpur Lapindo

    Jakarta – Empat tahun sudah Sumur Banjar Panji I di Desa Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo Jawa Timur, menyemburkan lumpur sehingga menenggelamkan kawasan di sekitarnya. Tidak adanya langkah konkret dari pemerintah berujung tudingan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah melindungi kepentingan kelompok usaha milik Aburizal Bakrie, Lapindo Brantas.

    “Sampai sekarang saya percaya bahwa SBY tahluk kepada kepentingan usaha grup Bakrie. Terbukti, hingga kini tidak ada keberanian politik dari Presiden SBY untuk menyeret pemilik saham ke pengadilan terkait masalah semburan lumpur akibat proses pengeboran perusahaan milik Ical itu,” ujar Ketua Institut Hijau Indonesia, Chalid Muhammad, di Jakarta, Jumat (28/5).

    Chalid menegaskan, terpilihnya Ical sebagai Ketua Harian Sekgab Koalisi makin menyurutkan harapan akan adanya penegakan hukum terhadap pemilik grup Bakrie tersebut. “Terpilihnya Ical semakin mempertegas kuatnya posisi Bakrie. Dia tidak akan bisa disentuh dalam konteks penegakan hukum terkait kasus semburan lumpur Lapindo,” tandasnya.

    Alih-alih menyeret dalang semburan lumpur yang merugikan masyarakat di sejumlah kawasan di Sidoarjo, SBY malah menunjuk Ical sebagai Koordinator Sekretariat Gabungan Koalisi partai politik pendukung pemerintah. “Keduanya ibarat dua sejoli dalam kasus lumpur Lapindo. SBY memainkan peranan penting dalam melindungi kepentingan Bakrie sehingga kelihatannya dia tidak akan berani untuk menuntut pertanggungjawaban Ical terhadap para korban Lapindo,” imbuh Direktur Eksekutif Wahana Lingkungah Hidup Indonesia (Walhi) Berry Nahdian Furqan.

    Chalid melanjutkan, publik hanya akan melihat hasil akhir dari upaya Satgas Pemberantasan Mafia Hukum untuk mengkaji kembali SP3 yang dikeluarkan Kapolda Jawa Timur terkait dugaan pidana dalam kasus semburan lumpur Lapindo. “Kita patut meragukan komitmen SBY dalam pemberantasan praktik mafia hukum selama pemerintah tidak mendesak pertanggungjawaban Ical terkait kasus Lapindo yang telah menyedot anggaran negara dalam jumlah besar. Saya siap menarik kembali pernyataan ini, dan saya bersedia menyampaikan permohonan maaf jika di kemudian hari SBY terbukti mampu menegakkan keadilan dengan menginstruksikan aparat penegak hukum untuk meneruskan penyelidikan terhadap dalang kasus Lapindo,” tegasnya.(Oki Baren)

    (c) primair online

  • Media Tak Konsisten Beritakan Lumpur Lapindo

    Surabaya – Pengamat media massa dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Yayan Sakti Suryandaru menilai media massa tidak konsisten dalam pemberitaan mengenai semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas di Sidoarjo.

    “Hasil riset yang kami lakukan pada Januari-Desember 2008, ada ketidakkonsistenan media dalam memberitakan Lapindo, terutama dalam pemilihan kata,” katanya saat ditemui di kampus Universitas Surabaya (Ubaya), Rabu.

    Ia menyebutkan, sebagian besar media cetak lokal dan nasional lebih memilih menggunakan istilah “Lumpur Sidoarjo” daripada “Lumpur Lapindo”.

    “Ketidakkonsistenan itu sangat terlihat pada media-media cetak lokal, seperti Surya dan Jawa Pos. Kadang-kadang mereka menggunakan istilah `Lumpur Lapindo`, tapi tidak jarang juga menggunakan istilah `Lumpur Sidoarjo`,” katanya di sela-sela seminar “Menggugat Hak Warga Negara: Kasus Lumpur Lapindo”.

    Menurut Yayan, media cetak yang konsisten menggunakan istilah “Lumpur Lapindo” hanya Kompas. “Sampai sekarang pun Kompas masih tetap menggunakan istilah Lumpur Lapindo,” kata Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unair itu.

    Sementara pada periode riset tersebut, dia menyatakan, harian Media Indonesia dan Surabaya Post tetap menggunakan istilah “Lumpur Sidoarjo”.

    “Hal itu tidak terlepas dari faktor kepemilikan media cetak tersebut,” katanya mengutip hasil riset berjudul “Analisis Framing dalam Pemberitaan Lumpur Lapindo” yang dilakukannya dua tahun lalu itu.

    Ia menambahkan, pemilihan istilah dalam pemberitaan bencana semburan lumpur panas oleh media massa itu tidak terlepas dari pengaruh PT Lapindo Brantas dan pemerintah.

    (c) ANTARA News

  • Penerbitan SP3 kasus Lapindo sulit dilacak

    Penerbitan SP3 kasus Lapindo sulit dilacak

    JAKARTA: Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus semburan lumpur PT Lapindo Brantas diduga erat terkait dengan kekuasaan yang dimiliki pihak tertentu sehingga sulit diusut. 

    Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki mengatakan penerbitan SP3 oleh Polda Jawa Timur pada Agustus 2009 harus dicurigai. Menurut dia, hal tersebut tidak terlepas dari persoalan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.

    “Ini terdapat sejumlah keanehan. Oleh karena itu penerbitan SP3 harus dicurigai. Ini juga menyangkut orang-orang yang memiliki kekuasaan,” ujar Teten kepada pers usai menghadiri peluncuran situs resmi Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum, hari ini.

    Ketika ditanya apa yang harus dilakukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Teten menuturkan yang dikhawatirkan adalah hambatan politik dan psikologis terhadap kasus tersebut.

    Walaupun demikian, Teten meminta agar Satgas Pemberantasan Mafia Hukum segera melakukan koordinasi dengan instansi penegak hukum terkait dalam dugaan praktik mafia hukum. Pada 29 Mei 2010, akan diperingati sebagai 4 tahun semburan lumpur Lapindo yang hingga kini masih menyisakan banyak persoalan HAM dan lingkungan di kawasan Sidoarjo, Jawa Timur.

    Pada 7 Agustus 2009, Polda Jatim menerbitkan SP3 dan menyatakan kasus Lapindo bukan perkara pidana. Alasannya, belum ada ahli yang bisa membuktikan korelasi antara sebab semburan lumpur dan keberadaan sumur pengeboran.

    Manajer Advokasi Area Kritis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Hendrik Siregar mengatakan tragedi kemanusiaan di kawasan Sidoarjo justru tak kunjung usai. “Inilah potret telanjang perselingkuhan pengurus negeri dengan pebisnis. Buah perselingkuhanan inilah faktor kuat berlarutnya penuntasan kasus Lumpur Lapindo,” ujarnya dalam sebuah siaran pers bersama dengan 12 LSM.

    Menurut Hendrik, penanganan ala kadarnya justru berpotensi meluaskan daya rusak luapan lumpur. Persoalan sosial kian meluas seiring dibuangnya lumpur Lapindo ke Kali Porong menuju laut.

    Jatam menilai buangan ini akan masuk dan merusak tambak, serta meracuni udang dan ikan di dalamnya. Hendrik menyatakan kerusakan meluas sehingga mengganggu sekitar 40%- 50% produksi perikanan laut Jawa Timur.(msb) (Anugerah Perkasa)

    (c) Bisnis Indonesia online

  • Lumpur Lapindo Akibatkan Bangunan Retak

    Lumpur Lapindo Akibatkan Bangunan Retak

    SURABAYA – Hasil penelitian Tim Kajian Kelayakan Pemukiman menunjukkan, tanah di sekeliling pusat semburan lumpur Lapindo pada radius 1,5 kilometer mengalami penurunan. Sementara itu, tanah di Desa Siring Barat dan Jatirejo justru naik hingga 30 sentimeter. Perubahan struktur tanah ini mengakibatkan pemukiman dan bangunan di sekitarnya retak-retak.
    Karena tanah di sekeliling kolam penampungan amblas, maka otomatis muncul pula tanah di sisi lain yang naik akibat tekanan.

    Ketua Tim Kajian Kelayakan Pemukiman (TKKP) Profesor Nyoman Sutantra dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya mengatakan, turunnya permukaan tanah pada radius 1,5 kilometer di sekitar pusat semburan lumpur disebabkan tekanan beban lumpur dalam kolam penampungan. Beban inilah yang akhirnya menekan tanah di sekitar pusat semburan sehingga permukaan tanah turun dengan disertai munculnya gelembung-gelembung lumpur bercampur gas.

    Sejak bulan November 2009, TKKP mencatat rata-rata penurunan tanah di sekitar kolam lumpur Lapindo mencapai 10 sentimeter tiap bulan. Karena itu, dalam enam bulan tercatat  penurunan tanah hingga 60 sentimeter dengan titik penurunan tertinggi di ruas Jalan Raya Porong. “Karena tanah di sekeliling kolam penampungan amblas, maka otomatis muncul pula tanah di sisi lain yang naik akibat tekanan. Tanah yang naik sekitar 30 sentimeter kami temukan di sisi barat dan utara Desa Siring Barat dan Jatirejo,” kata Profesor Nyoman Sutantra, Rabu (19/5/2010) di Surabaya.

    Akibat kondisi ini, kini pemukiman warga dan bangunan di 13 desa Kecamatan Porong dan Tanggulangin tak layak dihuni karena mengalami retak-retak. Beberapa daerah tersebut, antara lain Siring Barat, Jatirejo, Mindi, Pamotan, Ketapang, Besuki, dan Gempolsari.

    Menurut Profesor Nyoman Sutantra, TKKP masih terus memeriksa tingkat kelayakan sejumlah pemukiman di dua kecamatan tersebut. Kriteria kelayakan diukur dari tingkat penurunan tanah, kadar gas methan yang mudah terbakar pada gelembung-gelembung gas yang muncul, kondisi air, dan ancaman jebolnya tanggul penahan lumpur. “Dalam dua hingga tiga minggu ke depan TKKP akan merumuskan rekomendasi yang kemudian disampaikan ke Gubernur Jatim. Apabila memang pemukiman warga dan lingkungan benar-benar tak layak, maka warga harus dievakuasi,” ujarnya.

    (c) KOMPAS.com

  • Teatrikal Jelang 4 Tahun Lumpur Lapindo

    Teatrikal Jelang 4 Tahun Lumpur Lapindo

    JAKARTA, – Berbagai pihak terus mengkritik luapan lumpur Lapindo sejak semburan pertama di desa Renokenongo, Porong Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 Mei 2006 hingga saat ini. Kritikan kepada pemerintah serta PT Minarak Lapindo Jaya itu dilakukan dengan berbagai cara.

    Kini, menjelang empat tahun lumpur menyembur, sekelompok anak muda kembali mengkritik dan menyatakan prihatin atas tenggelamnya 12 desa sehingga 14.000 keluarga kehilangan tempat tinggal akibat lumpur panas Lapindo.

    Kumpulan anak muda tanpa embel-embel identitas kelompok itu menggelar aksi di Taman Ayodya, Barito, Jakarta Selatan. Mereka menaruh berbagai makanan di atas meja dan mempersilahkan siapa saja untuk memakannya. Nasi ditaruh di atas ember hitam, mie goreng, toge, bakwan, serta sayur disuguhkan di wadah seadanya. Di depan meja dipasang spanduk kecil bertuliskan “gratis untuk semua”.

    Mita, salah satu peserta aksi, mengatakan, makanan itu sebagai bentuk kritikan bahwa warga Porong butuh makan. “Makan adalah hak manusia tapi Lapindo telah menghilangkan hak makan mereka. Mereka butuh makan, bukan lumpur,” lontar dia, Sabtu (15/5/2010).

    Mereka juga memasang spanduk besar di salah satu pohon. Spanduk itu mengkritik salah satu perusahaan yang tergabung dalam Bakrie Group. Spanduk itu bertuliskan “Ngoceh 100 jam non stop. Sampe lupa kalau ada saudara kita yang tenggelam”.

    Di puncak aksi, mereka melakukan aksi treatikal yang diperankan oleh empat orang diiringi dentuman drum. Dua orang berpakaian rapih dengan dasi di leher terus menelpon sedangkan dua lagi dengan mengenakan celana sekolah menderita terkena lumpur. “Hilang.. Tenggelam…,” teriak salah satu peserta menutup aksi.

    “Pemerintah dan Lapindo hanya bisa ngoceh tanpa ada realisasi. Selalu bilang sudah ditangani, sudah selesai, baik-baik aja. Tapi nyatanya sampe sekarang lumpur masih menyembur,” lontar Mita.

    (c) KOMPAS.com

  • Empowering Children Community in Porong

    Empowering Children Community in Porong

    The onset of mudflow disaster was at 10.00 p.m., on 29 May 2006. It was initiated by leakage of hydrogen sulfide (H2S) gas in the area of gas exploration rig in Banjar Panji 01, managed by Lapindo Brantas Inc. (Lapindo) in Renokenongo Village. The seepage was first characterized with the burst of white smoke from cracked ground. The height of the smoke about 10 meter. The white gas followed with mudflow to the land of local people.

    The mudflow certainly leads to serious traffic jams and distortions in toll road and railway transportation flows. The State Owned Railway Enterprise (PT. Kereta Api) sometimes has to heighten the railway sleepers due to the mudflow. The local people sadly have to evacuate their homes and stay in evacuation points , especially in the Hall of Kedung Bendo Village, Porong Sector Police Department and Pasar Baru Market that is newly constructed by the Regency Government of Sidoarjo. (more…)

  • Peta Tidak Lagi Relevan

    Peta Tidak Lagi Relevan

    SIDOARJO – Semakin meluasnya dampak semburan lumpur lapindo menghadirkan kekhawatiran bagi warga yang tinggal disekeliling tanggul penahan lumpur Lapindo, terutama mereka yang tidak termasuk kedalam wilayah peta area terdampak. Selama ini Pemerintah melalui BPLS selalu memakai dalih Peraturan Presiden yang telah dikeluarkan untuk membagi wilayah mana saja yang punya hak disebut korban dan memperoleh penanganan. Hal ini semakin dikeluhkan warga yang wilayahnya dirasa sudah tidak lagi layak ditinggali.

    “Sekarang ini wilayah yang terkena dampak semakin luas, bubble muncul dimana-mana, rumah-rumah sudah retak, pendapatan masyarakat menurun, kenapa korban masih harus dipecah-pecah dalam dan luar peta” demikian gugat M. Irsyad warga desa Besuki yang merasakan daerahnya sudah rusak parah tapi tidak bisa menuntut pertanggungjawaban karena wilayahnya tidak masuk peta versi Perpres. “Mestinya dengan kondisi begini, tidak perlu ada lagi pemisahan dengan peta, semua korban yang merasa dirugikan oleh semburan lumpur mesti mendapatkan penanganan” lanjutnya.

    Persoalan peta dan non peta memang telah menjadi masalah kronis untuk korban lumpur, wilayah-wilayah yang hendak menuntut tanggung jawab kerusakan harus terlebih dahulu mendapat pengakuan dalam peta area terdampak sebelum bisa mendapat ganti rugi, padahal, masih menurut Irsyad, masyarakat yang terkena dampak seburan lumpur Lapindo sudah sangat luas, melebihi wilayah yang dicantumkan dalam peta area terdampak. “Sejak dulu saya selalu menganggap bahwa pembagian peta itu diskriminatif, kita sama-sama jadi korban, wilayahnya sama-sama rusak, tapi pemerintah sibuk membuat peta saja” gugat Irsyad lebih lanjut.

    Sementara itu, bagi Jarot , warga desa Siring Barat, pemisahan kebijakan dengan peta juga dianggap sudah tidak memungkinkan lagi. “Seharusnya sudah harus ada kebijakan yang menyeluruh, yang bisa diberlakukan untuk semua korban” ujar Jarot. Wilayah desa Siring Barat sendiri sudah sangat parah dengan munculnya bubble-bubble gas dihampir semua sudut desa itu.

    Persoalan ini juga mendapat perhatian dari Wakil Ketua Pansus lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo, Mundzir Dwi Ilmiawan (32 Tahun). Mundzir menyatakan bahwa persoalan tersebut sudah dibawa ke Menteri PU dan mengatakan bahwa selanjutnya akan didorong bahwa penyelesaian warga yang terkena dampak semburan bukan lagi dibagi-bagi menurut Perpres dan Peta, akan tetapi secara menyeluruh dan berlaku umum. “Jadi kita menganggap bahwa semua persoalan itu disebabkan sumber yang sama, lumpur itu, penyelesaiannya mesti dengan satu kebijakan yang bisa meng-cover semua korban” tutur Mundir. Apa yang dibutuhkan korban lumpur Lapindo sekarang adalah penanganan yang cepat, karena wilayah mereka telah sangat rusak, sementara mereka masih harus menunggu untuk mendapat penanganan. “Peta itu sudah tidak lagi relevan” tegas Mundzir tentang penyelesaian kasus luapan lumpur Lapindo.(re)

    (c) Kanal News Room

  • SBY and Mudlake Tourism

    lapindowisata_thumb_medium250_221A few days ago, President Susilo Bambang Yudhoyono visited the Lapindo mudflow area in Sidoarjo, East Java. SBY suggested to use the mud lake as a geological tourist site.

    Yet SBY could only appeal half-heartedly to PT Lapindo Brantas to finalise the delayed settlement when the site was finally bought off to compensate the loss of the disaster’s long-list victims.

    Activists and volunteers who have worked with Lapindo victims claimed the idea to transform the mudlake into tourism village as non-sense. Victims only hope that Indonesian government soon could put an end to their suffering.

    The financial settlement to compensate the loss for the majority of the victims has not been yet finalized amid the Presidential Regulation no. 14, 2007 through Sidoarjo Mudflow Mitigation Agency. (more…)

  • Nasib Warga Empat Desa Korban Lumpur Lapindo tak Jelas

    Nasib Warga Empat Desa Korban Lumpur Lapindo tak Jelas

    SIDOARJO – Nasib ribuan warga korban luapan lumpur Lapindo di empat desa, yakni Siring Barat, Jatirejo Barat, Mindi (Kecamatan Porong), dan Besuki Timur Kecamatan Jabon, kian tak jelas. Meski desanya dinyatakan tak layak huni akibat terkena dampak semburan lumpur, namun mereka belum pernah mendapatkan ganti rugi.

    Perwakilan warga Desa Besuki Timur, M Adib Rosadi mengatakan, kepastian tentang ganti rugi warga itu akan ditentukan dari hasil survei Tim Pengkajian Kelayakan Pemukiman (TPKP) Institut Sepuluh Nopember (ITS). “Namun survei yang sudah berjalan berbulan-bulan itu belum juga selesai, warga jadi resah menunggu dalam ketidakpastian,’ kata Adib kepada wartawan, Rabu.

    Dia mengungkapkan, sebenarnya empat desa di atas sudah dinyatakan tak layak huni sejak beberapa tahun lalu oleh tim independen Pemprov Jatim namun belum dimasukkan dalam peta terdampak. Saat ini, tim ITS dan Unair survei lagi terkait kondisi kawasan sekitar lumpur yang tidak layak huni. “Tapi masih belum dimasukkan ke dalam peta terdampak,” ujarnya.

    Dia menjelaskan, saat tiga desa yaitu Desa Besuki, Pejarakan, dan Kecungcangkring masuk ke dalam peta terdampak dan pemberian ganti rugi diproses, kawasan Besuki Timur ditinggalkan. Warga yang terdiri dari tujuh RT ini terus mengupayakan agar mendapatkan ganti rugi.

    Keluhan yang sama disampaikan Djarot, perwakilan dari Siring Barat. Menurut dia, selama ini selain kesal, warga juga bingung terkait soal penentuan sebuah kawasan masuk peta terdampak. Untuk kawasan Mindi, misalnya, hanya tiga RT yang dimasukkan kawasan tanggap darurat dan hanya diberi jatah hidup bersama dengan Siring Barat dan Jatirejo Barat.

    Sedangkan sebanyak 18 RT di Desa Mindi, tidak masuk kawasan tanggap darurat. “Kami menuntut agar empat kawasan itu masuk dalam peta terdampak dan segera diberi ganti rugi,” tandasnya.

    Para warga berharap agar pemerintah serius terkait tuntutan warga ini. Apalagi, kata Djarot, saat kunjungan SBY beberapa saat lalu sudah menekankan perlunya percepatan penyelesaian permasalahan lumpur. Warga juga menanyakan mengenai kelanjutan hasil survei kawasan di sekitar lumpur.

    Untuk diketahui, kawasan Besuki Timur berada di sisi timur tanggul lumpur. Sedangkan Mindi, berada di sisi selatan tanggul. Demikian pula Jatirejo Barat dan Siring Barat berada di sebelah barat tanggul. Rumah warga saat ini sudah retak karena adanya penurunan tanah serta bermunculan bubble gas.

    Sementara itu, TPKP dari ITS hingga saat ini baru menuntaskan 55 persen tindakan survei terhadap 13 desa di sekitar semburan lumpur. Hal itu diungkapkan Wakil Ketua II TPKP, Anggraeni, Rabu. Menurut dia, hasil yang dicapai TPKP masih 55 persen saja. “Namun hasil survei itu diserahkan kepada pemerintah, karena kami tidak berhak untuk mengumumkan,” katanya.

    Menanggapi lambannya survei yang dilakukan TPKP tersebut, Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo mendesak agar survei itu segera diselesaikan karena menilai kawasan 13 desa itu sudah tak layak huni. “Sehingga hasil survei bisa segera diserahkan ke Badan Pengarah BPLS untuk selanjutnya ditentukan diberi ganti rugi atau tidak,” ujar ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo, Sulkan Wariono.

    Sulkan mengaku prihatin dengan nasib ribuan warga empat desa tersebut. Mereka sudah terombang-ambing dengan kondisi yang ada saat ini. Bahkan, warga sudah empat tahun menunggu kejelasan nasibnya. Dia mencontohkan daerah yang belum jelas statusnya itu seperti Siring Barat, Jatirejo Barat, Mindi, Kecamatan Porong dan Besuki Timur, Kecamatan Jabon, terombang-ambing apakah mendapat ganti rugi atau tidak. “Jadi kami berharap agar survei segera diselesaikan biar ada kepastian ganti rugi pada warga di kawasan semburan lumpur,” tandasnya.

  • Relokasi Tol Abaikan Nasib Warga

    Relokasi Tol Abaikan Nasib Warga

    SIDOARJO – Relokasi jalur transportasi yang rusak akibat lumpur Lapindo masih menyisakan persoalan. Belakangan, seperti sering diberitakan, tingkat kerusakan Jalan Raya Porong dan jalur rel kereta api makih parah. Adapun ruas tol Porong-Gempol sudah putus sejak ledakan pipa gas pada 22 November 2006. Namun, banyak warga merasa diabaikan dalam proses pembebasan tanah untuk relokasi jalur transportasi. Warga juga menjadi sasaran aksi intimidasi dan penyerobotan tanah oleh pihak aparat pemerintah dan perusahaan.

    Warga menilai, Panitia Pembebasan Tanah (P2T) Kabupaten Sidoarjo dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tidak pernah melibatkan masyarakat setempat dalam menentukan harga tanah. Pada awalnya, harga tanah warga langsung ditawar oleh pihak P2T dan BPLS dengan harga Rp 80 ribu per meter persegi untuk tanah sawah, sedangkan Rp 120 ribu per meter persegi untuk tanah kering. “P2T dan BPLS seharusnya melibatkan kami pemilik lahan untuk menentukan harga tanah yang akan dibuat untuk relokasi tol,” kata Purwo Edi, warga Desa Wunut.

    Pemerintah sendiri, melalui BPLS, menganggarkan Rp 1,5 triliun untuk relokasi ruas tol Porong-Gempol. Diperkirakan, relokasi tol, jalur arteri, dan rel kereta yang dirancang secara terpadu akan membutuhkan lahan 132,26 hektar. Ada beberapa desa di tiga kecamatan (Kecamatan Tanggulangin, Kecamatan Porong, dan Kecamatan Jabon) yang akan dilewati, di antaranya Desa Kalisampurno, Desa Wunut, Desa Pamotan, Desa Kesambi, Kelurahan Porong, Desa Kebonagung dan Desa Kedungcangkring.

    Intimidasi

    Menurut warga, pada Mei 2008, pihak P2T dan BPLS melakukan pelaksanaan penawaran harga sembari mengancam warga. “Pada waktu itu pihak P2T dan BPLS melakukan tawaran ke warga dengan mengancam. Masyarakat yang tidak mau dengan harga Rp 80 ribu untuk tanah sawah dan Rp 120 ribu untuk tanah kering akan dilakukan konsinyasi (dikirim ke pengadilan) oleh pihak P2T dan BPLS,” tutur Edi.

    Akhirnya tidak ada kata sepakat antara warga dengan P2T dan BPLS soal harga tanah. Lalu pada bulan September 2008, pihak P2T dan BPLS melakukan penawaran kembali. Kali ini dengan harga Rp 90 ribu sampai Rp 105 ribu per meter persegi untuk tanah sawah. Lagi-lagi, warga merasa kecewa. “Penetapan harga tanpa mengajak warga berunding terlebih dahulu,” ungkap Edi.

    Tak lelah, pada November 2008, pihak P2T dan BPLS melakukan pertemuan dengan warga di Kecamatan Porong dan Kecamatan Tanggulangin dan langsung memutuskan sendiri harga tanah. Tanah sawah dihargai Rp 120 ribu per meter persegi. Tawaran ini dinilai final, dan warga yang tidak setuju mendapat ancaman.

    Kastawi, warga Desa Simo, Kecamatan Porong, menuturkan, pihak perngkat desa melakukan intimidasi terhadap warga. Warga yang tidak setuju dengan harga Rp 120 ribu per meter persegi akan diperkarakan di pengadilan dan tanah akan diuruk tanpa mempedulikan pemilik tanah. “Warga yang tidak setuju dengan kesepakatan harga ditakut-takuti oleh aparat desa,” ungkap pak Tawi,  panggilan akrab Kastawi.

    Penyerobotan

    Selain tidak trasparannya penetapan harga tanah, masalah lain timbul. Warga Desa Wunut, Kecamatan Porong, merasa memegang kepemilikan atas tanah sanggar, tanah ganjaran, tanah tersier, dan tanah tangkis. Namun, aparat melakukan pembebasan tanah begitu saja, tanpa memberitahu warga pemilik. Alasannya, tanah-tanah tersebut sudah merupakan tanah kas desa, hak kepemilikan berada pada pemerintahan desa.

    “Perangkat desa menganggap tanah ganjaran, sanggar, tanah tersier, dan tanah tangkis sebagai tanah kas desa, dan diklaim sebagai tanah mereka. Padahal tanah tersebut kepemilikannya atas nama warga Desa Wunut,” tutur Purwo Edi

    Di samping itu, warga juga mengalami masalah penyerobotan tanah. Ada sedikitnya empat warga yang telah melaporkan perusakan dan penyerobotan tanah ke Polres Sidoarjo pada 1 Maret 2010. Pasalnya, tanah warga yang belum menyepakati skema pembebasan tanah diuruk sirtu begitu saja oleh PT. Waskita Nusantara I, kontaktor perusahaan yang menggarap relokasi tol.

    Ripai, warga Desa Wunut, misalnya, mendadak menemui tanaman padi yang digarapnya rusak oleh urukan sirtu. Ripai menyewa tanah sawah milik Sampurno, yang proses pembebasan lahan belum menemukan kata sepakat antara pihaknya dan pihak P2T dan BPLS.

    Tanah milik Sudiro dan Purwo Edi mengalami nasib nyaris serupa. Tanah mereka disewa PT. Waskita Nusantara I tanggal 30 November 2009 dengan luas sewa 275 meter persegi, yang digunakan untuk jalan alat berat. Kenyataannya, tanah tersebut diuruk melebih luas ukuran sewa. Tanah milik Sudiro diuruk seluas 325 meter persegi, sedangkan tanah Purwo Edi seluas 100 meter persegi. Akibatnya, Sudiro dan Edi tidak bisa menanami lahan mereka.

    “Ini sudah menyalahi aturan sewa PT. Waskita Nusantara I. Dulu mereka menyewa tanah saya seluas  125 meter persegi. Ternyata yang diuruk sirtu luasnya mencapai 450 meter. Jadi yang diserobot PT. Waskita Nusantara I luasnya mencapai 325 meter,” kata Sudiro dengan nada kesal.

    Mereka sempat melayangkan somasi kepada PT. Waskita Nusantara I untuk memberhentikan kegiatan, namun tak digubris. Kemudian mereka melaporkan ke Polres Sidoarjo atas kasus penyerobotan tanah, perusakan lahan sawah, dan kebohongan publik. Sejauh ini, pihak kepolisian dikabarkan masih melakukan penyelidikan. (vik)

    (c) Kanal News Room

  • Semburan Baru Merusak Makam

    Semburan Baru Merusak Makam

    SIDOARJO – Sedikitnya enam makam ambrol akibat munculnya gelembung gas bercampur lumpur di Desa Jatirejo, Porong, Sidoarjo. Gas itu muncul pada Minggu (2/5) di sungai sebelah Pemakaman Umum yang berada persis di belakang Masjid Nurul Azhar, sebelah barat Jalan Raya Porong.

    Gas muncul di sungai yang berbatasan dengan tanah pemakaman. Akibatnya, tembok pembatas pemakaman ambrol, yang diikuti longsornya tanah pemakaman. Enam makam yang jadi korban akhirnya dimakamkan kembali menjadi satu di tanah yang masih tak terkena longsor. Sementara, untuk menahan longsoran, di sisi semburan gas dipasang karung pasir. Belum diketahui siapa keluarga dari enam kuburan yang terkena longsor ini. Warga Desa Jatirejo sudah “bubar” dan sudah tercerai-berai pasca semburan lumpur Lapindo pertama kali pada 2006.

    Petugas yang biasa menangani pemakaman warga Jatirejo, yang disebut modin, juga tidak tahu siapa keluarga dari keenam jenazah dalam makam tersebut. “Saya tidak tahu sama sekali, bahkan soal jenazah yang dikuburkan kembali, saya juga tidak diberitahu oleh pihak BPLS,” ujar Imron, modin Desa Jatirejo.

    Peristiwa ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi warga yang keluarganya dimakamkan disitu. Ibu Kasmani, warga Siring Barat RT 12, khawat ir jika semburan baru yang semakin besar bisa menghilangkan pemakaman di Jatirejo. Dua orang keluarga Ibu Kasmani dikuburkan di sana. “Ada makam adik dan ibu saya. Saya khawatir ikut tenggelam jika semburan tersebut semakin membesar,” ucap Kasmani.

    Warga Jatirejo pun takut memakamkan keluarganya di sana. Beberapa saat setelah peristiwa amblesnya tanah makam tersebut, ada warga Jatirejo meninggal. Muhammad Iskandar (30), warga Jatirejo yang sekarang mengontrak di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera II (TAS), awalnya bermaksud memakamkan ayahnya di Pemakaman Umum Jatirejo. Almarhum Duladi, sang ayah, meninggal pada Minggu malam (2/5).

    “Sebenarnya kita mau menguburkan Bapak di pemakaman Jatirejo, tetapi tidak jadi. Takut tenggelam, sebab semburan baru muncul di sebelah makam,” tutur Iskandar sebelum pemakaman ayahnya. Akhirnya alma rhum Duladi dimakamkan di Pemakaman Umum Desa Kalisampurno, Tanggulangin.

    Warga Jatirejo berharap BPLS juga memperhatikan permasalahan ini. Bukhori (47), yang keluarga besarnya dimakamkan di Pemakaman Umum Jatirejo, mengharapkan pihak BPLS serius menangani semburan baru di dekat makam tersebut. Jika dibiarkan, Bukhori khawatir kuburan keluarganya juga ikut ambles. “Kami berharap ada penanganan serius dari pihak BPLS untuk mengatasi semburan baru itu. Kami tidak ingin kehilangan kuburan keluarga saya,” ujar Bukhori. (vik)

    (c) Kanal News Room

     

  • Sidoarjo Menanti Bahaya

    Sidoarjo Menanti Bahaya

    Lupakan angan-angan menjadikan Porong sebagai kawasan wisata geologis. Meski gagasan itu datang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, anggaplah ide ini kebablasan. Bagaimana bisa menarik wisatawan datang ke Porong kalau kawasan itu sudah hancur lebur? Menuju kawasan itu saja susahnya bukan main, jalanan macet. Hanya pelancong kurang kerjaan yang akan datang.

    Di atas tanah, gas metana bermunculan, bahkan bisa menembus jalanan beraspal. Tak bisa dibayangkan apabila ada percikan api di sekitar itu–atau sekadar puntung rokok yang terbuang dekat semburan. Api akan berkobar dan ini membahayakan pengguna jalan. (more…)

  • Metana di Atas, Gerowong di Bawah

    Metana di Atas, Gerowong di Bawah

    LEBIH dari 60 anak harus berbagi bangku dalam satu ruang kelas di Sekolah Dasar Negeri Ketapang, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo. Anak-anak itu ada yang duduk di kelas II, IV, dan V. Mereka berimpitan bukan karena jumlah ruang kelas yang terbatas, melainkan akibat munculnya lumpur cair dan gas metana di beberapa titik kompleks sekolah, sejak tiga pekan lalu. Memang harus ada murid yang diungsikan karena gas metana, selain beracun, mudah terbakar.

    Tentu tidak hanya di sekolah itu. Di sejumlah tempat dalam radius sekitar satu kilometer dari pusat semburan lumpur, gelembung gas ini sudah mulai keluar tiga tahun silam. Sejak semburan pertama muncul di area sumur eksplorasi minyak dan gas Banjar Panji 1, milik Lapindo Brantas Inc., Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 Mei 2006, sekarang sudah muncul lebih dari 170 titik yang mengeluarkan gas. Jumlahnya akan terus bertambah.

    Yang juga memprihatinkan, semburan gas metana itu keluar di setidaknya empat titik di Jalan Raya Porong, jalur antarkota yang sangat ramai dilalui kendaraan-rata-rata dilewati 167 ribu kendaraan per hari. Permukaan jalan raya yang pejal dan tebal pun akhirnya menyerah dan ditembus gas. “Daya dorong bubble (gelembung) sebenarnya sangat kuat. Kalau kita ingat, dulu bubble juga pernah menjebol tembok bendungan. Tapi mungkin jalan raya memang sangat tebal,” kata Deputi Bidang Operasional Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Sofyan Hadi Djojopranoto.

    Gas muncul karena semburan lumpur Lapindo mengakibatkan bagian bawah tanah gerowong. Dari gerowongan itu, air asin dan panas menggerus tanah dan membuat gas metana, yang berasal dari lapisan lebih atas, naik dan menyembur ke permukaan tanah.

    Gerowongan bawah tanah ini juga menciptakan ancaman tambahan: tanah ambles. Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyatakan ruas Jalan Raya Porong sepanjang dua kilometer sudah ambles sampai 1,4 meter sejak Desember silam.

    Luas daerah yang ambles dan terkena efek semburan gas metana, kata ahli geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Amien Widodo, diperkirakan bakal mencapai radius tiga kilometer dari pusat semburan. “Fenomena ini akan terus menggejala,” ujarnya.

    Ekspansi lumpur yang makin tak terkendali ini adalah gara-gara jebolnya tanggul cincin yang menjadi tanggung jawab Lapindo pada 22 Maret 2009. Tanggul cincin itu ambrol akibat tanah di bawahnya terus tergerus dan gerowong, sehingga permukaan tanah pun turun. Padahal, selama tiga tahun, tanggul itulah yang menggiring lumpur sehingga mengalir hanya ke saluran pembuangan di selatan semburan. Setelah tanggul itu jebol, lumpur pun makin encer dan terus menggedor-gedor tanggul terluar.

    Tampaknya, ancaman ambles di Jalan Raya Porong tetap tinggi. Meski ada yang menyarankan jalan tersebut ditutup, Gubernur Jawa Timur Soekarwo memutuskan tetap membuka jalan raya dan rel kereta api di Porong. “Secara akademik bisa dipastikan Porong aman,” katanya setelah bertemu dengan Kepala Tim Kajian Kelayakan Permukiman Profesor Nyoman Sutantra dan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono, Sabtu dua pekan lalu.

    Agar lebih “aman”, Badan Penanggulangan Lumpur membangun menara pipa pembuang gas metana seperti tampak di samping rel di Porong. Di ujung pipa itu tampak api menyala-nyala. “Ada gas yang disalurkan melalui relief (pipa saluran), tapi di jalan raya kan tidak mungkin dibuat relief,” kata Sofyan Hadi.

    “Jaminan” Gubernur Soekarwo tidak menghilangkan kecemasan banyak pihak. Sebab, bila tanah terus ambles, tanggul bisa jebol dan lumpur panas akan menerjang Jalan Raya Porong. Amien Widodo mengusulkan memasang detektor gas metana dan pengukur penurunan permukaan tanah di kawasan itu. Petugas akan menyalakan sirene jika terjadi kondisi bahaya. “Jalan Raya Porong harus segera direlokasi jika jalan arteri selesai dibangun,” kata Amien. Padahal, jika pembangunannya lancar, jalan arteri Porong-Gempol sepanjang 11 kilometer yang disebut sebagai pengganti itu baru akan kelar dibangun pada Maret 2011.

    Sampai saat ini, penduduk di sekitar lumpur Lapindo berusaha menyesuaikan diri dengan hadirnya gas-gas berbahaya di sekitar mereka. Seperti yang terjadi di SD Negeri Ketapang. Mereka mengosongkan lima ruang kelas yang sudah diserang semburan gas metana. Selain beracun, gas itu merusak bangunan sekolah. Lantai ruang kelas ambles dan sebagian lagi terangkat. Dindingnya retak-retak.

    Para murid pun tampak terbiasa hidup di dekat gas berbahaya itu. Gozhi Dwi Putra, siswa kelas VI, misalnya, pada Selasa siang pekan lalu asyik bermain sepak bola di halaman sekolah bersama teman-temannya. Ia tampak tidak cemas terhadap gas metana di halaman belakang sekolah dan sejumlah ruang kelas. “Sudah biasa,” katanya. (Nur Khoiri, Eko Widianto, Rohman Taufiq, Anwar Siswad)

    (c) majalah.tempointeraktif.com