Tag: korban lapindo

  • KOMNAS HAM Rekomendasikan Pemulihan Hak Korban Lapindo

     

    Korbanlumpur.info – Sidoarjo, 21 Juli 2017

    Emir Firdaus selaku wakil ketua DPRD Kabuoaten Sidoarjo memberikan sambutan mengawali dialog hasil audit HAM yang dilakukan oleh Komnas HAM. Ia berharap hasil audit HAM dalam kasus Lapindo bisa memberikan gambaran yang jelas atas persoalan Lapindo karena sampai saat ini masih banyak persoalan yang belum diselesaikan. Ia juga mengharap terjadi dialog antara warga, baik dalam peta terdampak maupun di luar peta, yang sudah selesai pemenuhan ganti rugi maupun yang belum.

    Nur Khoiron, wakil ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berterimakasih atas fasilitasi DPRD Kabupaten Sidoarjo sehingga Komnas HAM bisa melakukan dialog dengan warga korban lumpur Lapindo. Ia dan tim diberi mandat oleh sidang paripurna Komnas HAM untuk melakukan kajian atau audit atas pengelolaan permasalahan lumpur Lapindo sejak 2006 hingga 2017. Melalui surat mandat paripurna 2015 ia diberi tugas memeriksa semua model kehadiran negara dalam penyelesaian kasus lumpur Lapindo.

    Apapun bentuk bencana, baik disebabkan oleh kejadian alam maupun hal lainnya, ada situasi hilang atau terganggunya hak korban. Dalam kasus lumpur Lapindo juga terjadi hal yang sama dan itu perlu dipulihkan atau reparasi. Ia berharap tim Komnas HAM saat ini adalah tim terakhir untuk merespon pengaduan kasus Lapindo. Sebelumnya telah banyak tim-tim yang dibentuk guna merespon pengaduan warga korban.

    “Setiap korban berhak diberi upaya pemulihan, dalam HAM, upaya ini dikenal sebagai reparasi. Modelnya bisa rehabilitasi, ganti rugi, dan sebagainya,” kata Khoiron.

    Komnas HAM Ham diberi mandat oleh undang-undang sebagai lembaga independen yang tidak masuk dalam kelembagaan eksekutif maupun yudikatif, namun ia bisa berdiri pada keduanya untuk pemenuhan hak asasi manusia.

    Pembelajaran selama selama tahun dalam pengelolaan lumpur Lapindo bisa menjadi rujukan agar tidak membuat kesalahan yang sama dalam pengelolaan bencana serupa. Ia berharap ada masukan dari warga atas bagian rekomendasi laporan agar bisa lebih kuat.

    Hasil Audit HAM
    Dalam penyampaian isi laporan, Khoiron memaparkan bahwa Komnas HAM adalah satu-satunya lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk memantau pemenuhan HAM di Indonesia. Ia juga bertugas memberikan penyuluhan HAM. Kewenangan lain adalah melakukan mediasi atas kasus-kasus yang menimbulkan dampak terhadap terpenuhinya HAM masyarakat.

    Ia dan tim diberi tugas sidang paripurna untuk memeriksa kehadiran negara dan perusahaan dalam melakukan pemulihan korban. Ia mengulangi dan menegaskan,”kejadian bencana selalu memberi dampak mengurangi atau menghilangkan hak-hak warga”.

    Saat ini laporan akhir masih dalam proses penyempurnaan sehingga belum bisa dibagikan. Ia kemudian menyampaikan ringkasan lima bab laporan yang terdiri: pertama, latar belakang kenapa ada tugas memeriksa pemenuhan HAM dalam kasus Lapindo oleh Komnas saat ini maupun tim-tim sebelumnya.

    Komnas pernah memeriksa kasus Lapindo sesuai UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM berkaitan kemungkinan terjadinya pelanggaran berat HAM. Komnas melakukan penyelidikan dan hasilnya disampaikan dalam sidang paripurna. Sayangnya dugaan pelanggaran berat HAM yang disampaikan oleh tim penyelidik belum bisa diterima dalam sidang paripurna Komnas HAM.

    Namun, setelah keputusan sidang paripurna ternyata masih ada pengaduan-pengaduan warga. Komnas kemudian melakukan pemeriksaan sehingga bisa merumuskan pembelajaran penting agar tidak terjadi pengulangan tindakan pelanggaran HAM yang sama dalam kasus serupa dimasa mendatang.

    Pada bab dua, ia paparkan prinsip-prinsip HAM yang mrndasari mengapa negara wajib melakukan pemulihan dan pemenuhan HAM korban bencana. Bab ini juga memaparkan kenapa perusahaan juga punya kewajiban dalam perlindungan, pemulihan, dan pemenuhan HAM karena dalam UU biasanya hanya menyebutkan aktor utama hanya negara. Dalam perkembangannya, norma HAM secara internasional telah mewajibkan perusahaan untuk melakukan perlindungan HAM.

    Dalam praktiknya memang didapati kesulitan jika aktor pelanggar HAM bukan negara, namun Komnas HAM telah menemukan landasan-landasan agar perusahaan juga berkewajiban melakukan pemenuhan HAM seperti negara.

    Bab tiga memaparkan bagaimana tanggjawab negara dan perusahaan dalam pemenuhan HAM korban Lapindo secara runut sejak awal dibentuk Timnas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo hingga dana talangan di era presdien Joko Widodo. Pada beberapa bagian disebutkan masih belum jelasnya status penyebab semburan lumpur dan masih menjadi perdebatan hingga saat ini cukup menyulitkan pemulihan korban.

    Badan ad hoc BPLS dibentuk melalui perpres sejak 2007. Mekanisme yang dijalankan dalam penanganan korban yang diatur dalam kebijakan publik ternyata menggunakan landasan hukum perdata melalui mekanisme jual beli. Ini menjadi problem dalam pemulihan HAM korban hingga saat ini.

    Ada temuan-temuan proses pemulihan yang tidak dilakukan oleh negara maupun perusahaan. Misalnya ada banyak hak-hak korban Lapindo yang belum berkaitan dengan pulihnya lingkungan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan hak dasar lainny . Dalam ranah HAM meski telah dilakukan pemulihan-pun ada hal yang masih perlu diukur yang dalam HAM dikenal sebagai satisfaction. Istilah ini berkaitan dengan terpenuhi atau tidaknya kepuasan korban atas pulih atau tidaknya hak mereka.

    BPLS memang membuat definisi kasus lumpur Lapindo sebagai bencana geologi, namun definisi ini tidak ada landasan hukum dalam UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Tanpa landasan regulasi dalam pengelolaan bencana, pemenuhan HAM ternyata dilakukan melalui asset based, sehingga korban yang diidentifikasi hanya berdasar kepemilikan aset dan bukan individual yang memiliki hak dasar melekat sebagai manusia. Dalam kasus Lapindo, warga yang tidak memiliki aset tidak bisa ditangani pemulihan HAM-nya. Bahkan jika memeriksa kasus Lapindo lebih mendalam, pemulihan hak-hak dasar seperti lingkungan yang baik, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi tidak bisa diperoleh oleh korban.

    Pada bab empat, Komnas HAM telah menganalisis, tidak ada mekanisme landasan hukum yang digunakan menjadi rujukan dalam penegakan hukum terhadap usaha bisnis yang telah membawa dampak pelanggaran HAM. Dalam kasus Lapindo, negara juga tidak melakukan seruan untuk upaya-upaya bantuan kemanusiaan selama sebelas tahun semburan lumpur. Dalam kasus lapindo, negara dan perusahaan tidak memiliki data persebaran korban. Ini menjadi indikator tidak dilakukannya upaya pemulihan HAM korban Lapindo.Pemerintah dan perusahaan dinilai gagal menghentikan semburan lumpur. Tidak ada data terkini karena tidak dilakukan upaya penghentian maupun pencari-tahuan informasi mengenai lumpur Lapindo, dampak, dan para korbannya. Sehingga nampak bahwa korban Lapindo belum pulih hak-haknya sebagai manusia.

    Bab terakhir yang dipaparkan berkaitan dengan rekomendasi. Rangkuman rekomendasi terdiri kepada presiden, menteri pu, bnpb, pemerintah daerah, penegak hukum, legislatif.

    Salah satu rekomendasi Komnas HAM kepada Presiden republik Indonesia adalah untuk mengevaluasi model pemulihan hak korban melalui mekanisme jual beli karena ada dampak-dampak lanjutan bagi korban Lapindo.

    UUPLH 32/2009 bisa menjadi landasan dalam pembangunan yang berdampak pada lingkungan yang bisa memberikan ruang bagi negara untuk melindungi HAM warga sejak masa awal perencanaan kegiatan usaha. UU No 39/1999 tentang HAM juga menjadi landasan bagi pemenuhan hak anak, hak perempuan, dan hak atas lingkungan yang baik sehingga komnas merekomendasi agar dilakukan inventarisasi data terhadap korban bencana.

    Rekomendasi kepada pemerintahan daerah salah satunya adalah merumuskan rencana tata ruang wilayah (RTRW) agar pengelolaan wilayah bencana kedepan bisa lebih jelas. Yang lain, Komnas HAM juga memberikan rekomendasi agar proses ganti rugi fasilitas sosial dan fasilitas umum bisa dilakukan agar korban bisa memulihkan kehidupan sosial mereka.

    Sebagi penutup pemaparan, Khoiron meminta masukan dan komentar atas rekomendasi yang dibuat agar lebih mengena dan bisa ditindaklanjuti dalam pemulihan HAM korban lapindo oleh para pihak.

    Dialog
    Dimoderasi oleh ketua pansus lumpur lapindo, Mahmud, dialog dimulai dengan penyampaian Sungkono, korban Lapindo dan juga anggota DPR RI. Ia menyampaikan ada dinamika Perpres yang semakin tidak menguntungkan posisi warga. Misalnya penggantian kerugian warga didasarkan peta terdampak yang bisa berubah sewaktu-waktu. Penanganan sangat lambat terhadap korban yang sejak masa awal menjadi korban, salah satunya adalah para warga yang memiliki usaha di dekat lokasi semburan dan lahannya terbenam lumpur. Padahal dalam Perpres warga korban disebutkan secara jelas sebagai warga yang memiliki aset tanah dan bangunan di lokasi terdampak. Untuk itu ia meminta agar proses pemulihan awal bisa disegerakan penggantian aset warga korban Lapindo. Keputusan MK seharusnya bisa menjadi landasan pemenuhan hak-hak semua warga korban Lapindo. Rapat komisi DPR selalu merekomendasi kepada pemerintah untuk melakukan itu, namun tidak pernah terealisasi.

    Ketua Pusat Penanganan Lumpur Sidoarjo (PPLS) Dwi Sugiyanto menyampaikan perlu ada penajaman rekomendasi terutama penanganan dalam PAT. Misal kepada presiden bisa direkomendasi dilakukan pemenuhan ganti rugi kepada keseluruhan korban, termasuk kepada pengusaha yang menjadi korban. Memang negara sudah berusaha dengan mengalokasikan dana antisipasi 773M pada tahun 2015, namun ini belum semua korban bisa terpenuhi.

    Ia juga menyampaikan, pendanaan akan sangat mempengaruhi proses pengelolaan lumpur Lapindo dalam PAT terutama berkaitan dengan pemulihan infrastruktur. Untuk memudahkan PPLS menjalankan tugasnya, maka persoalan ganti rugi mestinya sudah diselesaikan.

    Seismik 3 Dimensi sudah diupayakan dilakukan, namun ini belum disetujui kementerian keuangan karena dilihat sebagai upaya mencari tahu potensi migas saja, padahal seismik ditujukan untuk mitigasi bencana.

    Dalam upaya meningkatkan kenyamanan warga maka pemulihan infrastruktur perlu dilakukan serius. Upaya konkrit pengendalian lumpur adalah dengan pengelolaan volume lumpur dengan pengendalian infrastruktur yang terstruktur. Elevasi lumpur terus menurun menandakan adanya penurunan muka tanah secara m=enyeluruh di kawasan sekitar semburan.

    Untuk fasos dan fasum, PPLS memprioritaskan penggantian tanah-tanah waqaf yang landasan aturannya bisa menggunakan peraturan yang sudah ada. Pengamanan aset bisa dilakukan melalui upaya penyelesaian administratif aset warga, misalnya memfasilitasi proses sertifikasi aset warga.

    Sungkono menyela, ia menyampaikan agar ada rekomendasi yang lebih konkrit pada penyelesaian ganti rugi korban lumpur Lapindo keseluruhan warga tanpa membedakan status sebagai pengusaha atau bukan karena sudah ada putusan MK yang menjadi landasan.

    Anggota DPRD lain yang juga menjadi korban Lapindo dari Desa Jatirejo, H Maksum memberikan masukan agar komnas HAM bisa lebih memerinci dan medetailkan model penyelesaian pemenuhan ham korban lapindo, naik korban dalam PAT dan diluar PAT. Ia menceritakan pada saat awal memang ada opsi ganti rugi, ada opsi cash and carry (tunai), resettlement (relokasi), dan juga ada yang tidak jual aset. Di desa Jatirejo misalnya warga tidak tahu apa dasar keputusan harga lahan yang diputuskan pemerintah dan perusahaan. Padahal sebelum ada semburan lumpur harga tanah di Jatirejo sudah lebih dari harga yang ditentukan dalam ganti rugi yang hanya sebesar 120 ribu per meter persegi untuk tanah sawah. Banyak juga aset-aset tanah waqaf yang digunakan kegiatan pendidikan yang belum terealisasi ganti rugi hingga saat ini.

    Ritonga, ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo(GPKLL) merekomendasi agar komnas merekomendasi pemerintah tidak melakukan dikotomi warga pengusaha dalam mendapatkan ganti rugi. Ia mengusulkan agar DPR RI tidak mengesahkan APBN jika masih terjadi dikotomi pemberian ganti rugi. Demikian juga kepada DPRD Sidoarjo agar tidak mengesahkan APBD Sidoarjo.

    Sementara itu perwakilan nadhir musholla dan masjid di Porong menyampaikan bahwa baru dalam kasus penanganan Lapindo ada istilah tanah banci. Misalnya ada yang secara sertifikat tanah kering namun dalam realisasinya digunakan utk pertanian karen BPLS melandasakan pada peruntukan aktual, sehingga ini menjadi sengketa bertahun-tahun. Sebisa mungkin penanganan pemulihan aset-aset tanah kolektif warga bisa dikembalikan kepada warga secepatnya. Ini berkaitan dengan kepercayaan iman bahwa pemulihan tanah waqaf adalah kewajiban penerima waqaf agar tidak berdosa.

    Korban Lapindo lainnya, Supari menceritakan, ada banyak yang tidak bisa memulihkan diri paska semburan Lapindo meski telah menerima ganti rugi. Ini seharusnya diperhatikan oleh pemerintah agar bisa ditangani karena penggantian aset tidak bisa seluruhnya bisa menjadi dasar penilaian pemulihan korban. Masih ada banyak warga yang tidak bisa membangun kembali rumah, tidak mendapat pekerjaan, pendidikan dan juga berkaitan dengan kesehatan. Tidak banyak pihak yang memiliki kepedulian untuk melihat hal-hal seperti ini. Yang selalu dilihat oleh publik adalah warga korban sudah menerima ganti rugi dan masalahnya selesai.

    Djuwito, dari Renokenongo juga menyampaikan memang ada banyak korban Lapindo yang belum pulih dan ketinggalan dalam penyelesaian ganti rugi. Keputusan MK bisa mejadi dasar pelaksanaan ganti rugi terhadap warga yang belum diganti.

    Yang menarik ada pernyataan Jon Subianto, dari Gedang, yang mengharap Komnas HAM bekerja karena panggilan dan rasa kemanusiaan. Ia mencontohkan dirinya yaang istrinya sakit-sakitan sehingga ia sampai disarankan untuk kawin lagi. Penting disampaikan kepada Presiden agar penanganan korban lapindo harus konprehensif seperti masalah kesehatan dan lingkungan. Hal serupa disampaikan pula oleh Ikhwan dari Glagaharum. Ia pernah mendapati di desa Glagaharum terjadi warga meninggal dalam jumlah banyak dan beruntun. Perlu ada jaminan kesehatan yang diprioritaskan bagi korban lumpur Lapindo sehingga bisa berobat diwilayah manapun dan mendapat jaminan pembiayaan dan penanganan medis.

    Kepala BPBD Sidoarjo, Dwijo, menyampaikan agar rekomendasi Komnas HAM ditajamkan mengenai penyelesaian fasum dan fasos sehingga lebih ada landasan bagi para pihak untuk menyelesaikannya. Sementara ketua Pansus lumpur Lapindo, Mahmud, mengharap rekomendasi terkait tata ruang bisa ditajamkan karena belum ada rekomendasi berdasar geologi sejauh mana radius aman bagi kegiatan pembangunan. Ini penting untuk pengelolaan pembangunan kedepan.

    Khoiron menyambut baik kesluruhan masukan para pihak. Laporan akhir akan dilakukan paling akhir Agustus yang hasilnya bisa diunduh pada website Komnas HAM dan untuk korban lapindo jika menginginkan bentuk cetak bisa diupayakan untuk mendapatkannya.

    Pertemuan Warga
    Sehari sebelumnya (20/7) tim Komnas HAM juga melakukan dialog dengan korban Lapindo di Pasuruan. Mereka mendapat banyak masukan terkait situasi pemulihan hak-hak korban Lapindo. Irsyad menyampaikan setidaknya rekomendasi Komnas HAM agar tidak terjadi hal serupa lumpur Lapindo dikemudian hari bisa dibuat rekomendasi tegas yang melarang kegiatan industri migas di dekat permukiman warga.

    Dewan Nasional Walhi, B Catur Nusantara yang juga hadir dalam dialog memberikan masukan kepada Komnas HAM agar merekomendasi pemulihan lingkungan kepada para pihak pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Ia juga berharap rekomendasi Komnas HAM kepada seluruh jajaran pemerintah daerah untuk segera melakukan segala upaya untuk proses pemulihan korban Lapindo. Upaya ini bisa dimulai dengan melakukan inventarisasi sebaran seluruh korban dan status pemulihan kehidupan mereka saat ini.

    “Upaya pemulihan lingkungan harus dilakukan sebagai bentuk pemenuhan dan pemenuhan hak korban Lapindo dan warga yang tinggal di sekitar area semburan.  Dalam berbagai penelitian telah diketahui sebagian wilayah ini mengandung logam berat timbal dan kadmium dalam jumlah tinggi yang bisa mempengaruhi kesehatan warga. Lingkungan yang pulih bisa menjadi faktor utama untuk memulihkan kesehatan dan perekonomian warga,” terangnya. (c)

  • Desa Hendak Dihapus, Korban Lapindo Menolak

    Selasa, 02 Februari 2016

    Korban Lapindo berdialog dengan pegawai Kelurahan Siring (foto: Eko W)

    Porong – Pembayaran ganti rugi 80% korban Lapindo yang tergabung dalam peta 22 Maret 2007 silam secara keseluruhan sudah terealisasi pada September 2015 lalu. Namun hal ini bukan menjadi akhir dari permasalahan yang dihadapi oleh para korban Lapindo terutama yang berasal dari desa Siring Timur. Wacana pengahapusan desa mereka telah disosialisasikan oleh Pemkab Sidoarjo pada November 2015 di Kecamatan Porong. Desa-desa yang akan dihapus dalam peta administrasi kecamatan Porong yakni Siring, Jatirejo, dan Renokenongo.

    Sejumlah delapan warga korban Lapindo mendatangi kantor kelurahan Siring untuk menanyakan hasil dari sosialisasi penghapusan desa oleh DPR Komisi 10 pada bulan Januari 2016. Harwati (39) salah satu warga desa Siring Timur ikut mendatangi kantor kelurahan Siring yang berada di Kelurahan Gedang. Ia menanyakan apa saja yang dibahas dalam sosialisasi tersebut kepada pemerintahan kelurahan. Selain itu, ia juga menanyakan apakah aset desa juga dibahas dalam sosialisasi tersebut.

    Inisiatif penghapusan desa dan kelurahan oleh pemerintah kabupaten Sidoarjo tidak bisa diterima oleh Korban Lapindo dari desa Siring. Mereka memandang penghapusan desa dan kelurahan seharusnya mempertimbangkan banyak hal. Salah satunya terkait kejelasan aset-aset desa yang menjadi bagian yang terdampak lumpur Lapindo. Warga melihat, ada beberapa aset desa dan kelurahan yang masih luput dari pendataan. Di Kelurahan Siring saja sudah ditemukan persoalan demikian. “Iya ada dua aset yag belum disebutkan yaitu lumbung dan bangunan NU yang sampai sekarang masih dipertanyakan oleh warga,” terang Harwati.

    Kedua aset yang diterangkan Harwati, pernah dilakukan pembayaran 20% dan diambil oleh salah satu tokoh masyarakat. Sementara pembayaran 80% tidak diambil. Dana ganti rugi lumbung dan bangunan NU tidak jelas kemana, awalnya dipercayakan kepada ketua RT namun sampai sekarang tidak ada informasi status dana pengganti tersebut.

    Harwati menerangkan, selain aset desa itu, masih ada bangunan publik yang seharusnya diperjelas statusnya. Bangunan sekolah SD 1 Siring, jalan desa, dan fasilitas umum lainnya selayaknya juga diurus karena menjadi aset kolektif warga.

    Korban Lapindo dari desa Siring sepakat akan menindaklanjuti masalah rencana pengahapusan desa dengan mengumpulkan lebih banyak lagi korban Lapindo yang kini tinggal di berbagai wilayah. Mereka berencana mengumpulkan bukti data aset desa yang dimiliki Siring saat masih berstatus desa hingga menjadi kelurahan.

    Dalam waktu dekat, mereka berencana menindaklanjuti menyikapi rencana ini dengan mendatangi berbagai pihak. “Saya dan kawan-kawan sudah sepakat akan meneruskan masalah ini, bahkan nanti kita juga akan mengirimkan surat keberatan serta audiensi ke DPRD,” tutur Harwati. (Eko W)

     

  • Aset Minarak Lapindo bakal Dilelang

    Aset Minarak Lapindo bakal Dilelang

    PEMERINTAH akan melelang aset tanah bekas luapan lumpur PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) senilai Rp3 triliun jika dalam waktu empat tahun Lapindo  tidak mampu mengembalikan dana talangan pemerintah Rp781 miliar.

    “Tanahnya itu kita lelang nanti. Kan suatu saat akan berhenti lumpur itu. Kalau sudah berhenti lumpur itu, tanah itu akan berharga kembali,” ujar Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil di kantornya, Jakarta, kemarin.

    Sebelumnya, pemerintah memutuskan menalangi ganti rugi sebesar Rp781 miliar kepada korban lumpur Lapindo di wilayah terdampak. Pasalnya, perusahaan milik keluarga Bakrie itu menyatakan tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar tanah yang tersisa 20% dari area terdampak tersebut.

    Pemerintah menyiapkan dananya dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) APBN Perubahan 2015 untuk segera dibayarkan ke masyarakat (Media Indonesia, 19/12).

    Sofyan menambahkan, jika memang dana talangan sudah kembali diterima pemerintah dana tersebut dapat digunakan pada postur anggaran selanjutnya. Pemerintah pun menjamin untuk memperkuat tanggul di daerah lumpur Lapindo.  “Tanggul sudah ada di anggaran PT sekarang (PT Minarak Lapindo Jaya),” pungkas Sofyan.

    Total ganti rugi kewajiban Lapindo akibat lahan yang terdampak lumpur, menurut Sofyan, sebesar Rp3,8 triliun. Sementara itu, pihak MLJ telah menuntaskan pembayaran ganti rugi sekitar Rp3,03 triliun.

    Wakil Presiden Jusuf Kalla meyakini dana talangan Lapindo  akan disetujui DPR.  “Disetujui. MK (Mahkamah Konstitusi) katakan (pembayaran ganti rugi) rakyat harus diselesaikan,” ujar JK di kantornya.

    Menurut dia, tidak ada yang dirugikan dengan langkah itu, baik pemerintah maupun Lapindo.

    Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menilai hal itu baru sebagai rencana. “Biarlah dibicarakan dengan DPR. Menurut saya, pasti tidak begitu adanya karena semua sudah berproses,” kata Agus.

    Ia menyarankan pemerintah sebaiknya melanjutkan apa yang sudah dilakukan SBY dan memperkuat yang sudah ada. “Apa yang sudah dilaksanakan SBY cukup bagus. Jangan cari masalah lagi,” ucapnya.

    Minta bukti tertulis

    Saat menanggapi hal itu, warga korban lumpur Lapindo mengaku belum sepenuhnya memercayai pemerintahan Jokowi-JK akan benar-benar membayar ganti rugi mereka.

    Warga meminta Jokowi membuat bukti tertulis terkait dengan keputusan pemerintah akan melunasi ganti rugi yang sebenarnya menjadi kewajiban PT MLJ.

    “Kami menginginkan bukti yang bisa dijadikan dasar hukum. Kalau bukti tertulis itu sudah ada, kami para korban lumpur baru percaya,” kata Juwito, 70, koordinator korban lumpur.

    Warga tetap akan berkeras melarang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo beraktivitas di tanggul titik 42 Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Warga mengklaim tanah tempat tanggul itu dibangun masih milik mereka sepanjang ganti rugi itu belum diberikan. (HS/SU/Kim/X-6)

    Irene Harty

    Sumber: http://www.mediaindonesia.com/hottopic/read/7019/Aset-Minarak-Lapindo-bakal-Dilelang/2014/12/20%2008:52:00

  • Aset Tanah Lumpur Lapindo Bisa Dikuasai Negara

    suarasurabaya.net – Mursid Mudiantoro SH, kuasa hukum korban lumpur Lapindo, Minggu (20/10/2013) mengatakan, jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi yang dia layangkan, maka negara wajib membayar sisa ganti rugi yang saat ini belum dibayarkan oleh Lapindo Brantas Inc.

    Dan meskipun hanya sisa ganti rugi senilai sekitar Rp 800 miliar yang harus dibayar, tapi seluruh tanah di dalam peta terdampak nantinya bukanlagi milik Lapindo melainkan milik negara.

    “Duit yang pernah dikeluarkan Lapindo itu bagian dari CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan. Jadi nanti meskipun yang dibayarkan negara hanya sebagian kecil ganti rugi, tapi aset tanah di dalam peta terdampak adalah milik negara,” kata Mursid, ketika berbincang dengan suarasurabaya.net, Minggu (20/10/2013).

    CSR ini, kata dia, setidaknya telah sesuai dengan Undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sehingga apa yang telah dikeluarkan oleh Lapindo memang bisa masuk kategori sebagai bagian dari CSR.

    Mursid juga mengatakan, yang digugat adalah APBN 2013 bukan APBN 2014, karena di APBN 2013 terdapat anggaran ganti rugi untuk warga korban lumpur. Sedangkan di APBN 2014 belum tentu ada pemberian ganti rugi.

    “Memang APBN 2013 sebentar lagi selesai, tapi saya yakin MK akan cepat menyelesaikan gugatan ini,” kata Mursid. Dalam aturan, gugatan ke MK memang hanya memerlukan waktu maksimal 60 hari. Artinya, sebelum dua bulan MK sudah harus memutus gugatan yang dilayangkan ini.

    Sekadar diketahui, warga korban Lapindo yang berada di dalam peta terdampak, saat ini melakukan uji materi terkait undang-undang pemberian ganti rugi ke MK. Dengan gugatan ini, negara diharapkan bisa mengambil alih tugas Lapindo untuk membayar ganti rugi di dalam peta terdampak. (fik)

    Sumber: http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2013/126000-Aset-Tanah-Lumpur-Lapindo-Bisa-Dikuasai-Negera

  • Alasan Korban Lapindo Menggugat ke MK

    Alasan Korban Lapindo Menggugat ke MK

    suarasurabaya.net – Mursid Mudiantoro SH, kuasa hukum korban lumpur lapindo yakin Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN khususnya pasal 9 ayat 1 huruf a tentang anggaran ganti rugi untuk korban lumpur.

    Keyakinan ini kata Mursid, karena adanya sejarah panjang problem penanggulangan dampak lumpur lapindo yang dimulai dari kesepakatan tanggal 22 maret 2007 antara Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Sidoarjo, dan PT Lapindo Brantas Inc tentang penetapan peta tedampak.

    Atas kesepakatan itulah lantas keluar Peraturan Presiden nomor 14 tahun 2007 tanggal 8 April 2007 mengenai pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo dan memerintahkan pada Lapindo untuk membeli seluruh tanah warga di dalam peta terdampak.

    Peta terdampak sendiri meliputi areal di Desa Siring, Jatirejo, Kedungbendo, Ketapang dan Renokenongo yang secara total jumlah dokumen bangunan dan tanah mencapai 13.237 berkas dengan nilai jual beli mencapai Rp 3,828 triliun lebih. Jumlah ini belum termasuk ganti rugi dengan sistem business to business terhadap 26 perusahaan yang juga tenggelam karena lumpur dengan nilai ganti rugi Rp 529 miliar lebih.

    “Dari total ganti rugi ini, ternyata hingga saat ini masih ada Rp 800 miliar yang belum dibayarkan Lapindo,” kata Mursid ketika berbincang dengan suarasurabaya.net, Minggu (20/1/2013). Padahal, sesuai amanat perpres, proses ganti rugi maksimal harus dibayarkan dua tahun setelah tragedi lumpur. Saat ini sudah memasuki tahun ke tujuh tragedi tersebut.

    Selain itu, ganti rugi bagi warga dan perusahaan di dalam peta terdampak juga harusnya lunas sebelum pelunasan ganti rugi di luar peta terdampak. Kenyataannya, saat ini seluruh ganti rugi di luar peta terdampak sudah lunas. “Jadi ada banyak kejanggalan di sini,” kata dia.

    Terkait status hukum, kata Mursid, juga telah ada putusan Mahkamah Agung pada 3 April 2009 yang menolak permohonan kasasi YLBHI, serta adanya putusan PT Jakarta pada 13 Juni 2008. Atas dasar ini, secara hukum Lumpur di Sidoarjo bukanlah kesalahan pengeboran, melainkan karena adanya fenomena alam.

    Polda Jawa Timur pada 5 Agustus 2009 juga telah mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dan menyatakan jika tidak ada unsur pidana dalam tragedi lumpur.

    Tak hanya itu, Mursid juga menemukan adanya pernyataan dari Lapindo jika mereka sudah tidak sanggup lagi membayar. “Saat ini sudah waktunya negara yang mengambil alih untuk memberikan ganti rugi bagi warga,” kata dia.

    Sekadar diketahui, saat ini warga dan pengusaha korban lumpur memang menggugat ke Mahkamah Konstitusi dan berharap negara bisa mengambil alih pembayaran ganti rugi. (fik)

    Sumber: http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2013/125999-Alasan-Korban-Lapindo-Menggugat-ke-MK

  • Korban Lapindo Uji Undang-Undang Ganti Rugi ke MK

    Korban Lapindo Uji Undang-Undang Ganti Rugi ke MK

    suarasurabaya.net – Korban Lapindo yang berada di dalam peta terdampak mengajukan uji materi terhadap Undang-undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN khususnya pasal 9 ayat 1 huruf a tentang anggaran ganti rugi untuk korban lumpur.

    Pemohon mendalilkan bahwa tidak ada keadilan dalam undang-undang tersebut. “Korban di luar peta terdampak dapat ganti rugi dari APBN, sedangkan yang di dalam peta terdampak tidak dapat, ini yang kami uji,” kata Mursid Mudiantoro, kuasa hukum pemohon ketika berbincang dengan suarasurabaya.net, Minggu (20/10/2013).

    Menurut Mursid, korban lapindo yang memberikan kuasa pada dirinya, tidak hanya mayarakat melainkan juga para pengusaha korban lumpur yang hingga saat ini tak kunjung mendapatkan pelunasan ganti rugi.

    Sebagai korban lumpur, kata Mursid, baik warga maupun perusahaan yang ada di dalam peta terdampak yaitu empat desa Siring, Renokenongo, Kedungbendo, dan Jatirejo merasa tidak mendapatkan perlakuan yang adil karena ganti rugi dibebankan ke Lapindo, sedangkan di luar mereka ganti rugi dibayar oleh pemerintah dan tahun ini sudah lunas.

    Menurut Mursid, mereka mendaftarkan gugatan ke MK pada 19 September dengan nomor perkara 83/PUU-XI/2013. Dalam gugatan ini, sebagai pemohon adalah enam orang yaitu Siti Askabul Maimunah, dan Rini Arti warga Renokenongo; serta empat orang lagi adalah para direktur perusahaan korban lumpur.

    Beberapa direktur perusahaan yang ikut menggugat di antaranya adalah direktur CV Mitra Jaya Sidoarjo; PT Victory Rottanindo; PT Pramono Irindo Jaya; serta PT Oriental Samudera Karya.

    Keenam orang ini lantas menguasakan gugatannya ke tiga orang pengacara yaitu Mursid Mudiantoro, Mustofa Abidin, dan Imam Syafi’i yang kesemuanya adalah para advokat pada kantor Law Office Mursyid, Syamsul dan Partners. “Rencanannya jadwal sidang perdana akan digelar minggu ini,” kata Mursid. (fik)

    Sumber: http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2013/125993-Korban-Lapindo-Uji-Undang-Undang-Ganti-Rugi-ke-MK

     

  • Polisi Kembali Bubarkan Aksi Korban Lapindo

    Polisi Kembali Bubarkan Aksi Korban Lapindo

    Sidoarjo – Sampai hari ini (22/5), puluhan korban Lapindo masih melakukan aksi pendudukan tanggul di Titik 22. Warga kesal karena Lapindo tidak segera melunasi sisa pembayaran ganti rugi aset tanah dan bangunannya. Mereka bertekad melarang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) melakukan aktivitas di atas tanggul. Warga merasa masih punya hak atas tanah yang kini dijadikan tanggul itu. Mereka menghalangi alat berat BPLS yang sedang melakukan penguatan tanggul di Titik 21, di Desa Siring, Kecamatan Porong.

    Polisi membongkar gubuk korban Lapindo
    Polisi membongkar gubuk korban Lapindo

    (more…)

  • Tolak 80% Dicicil, Warga Geppres Aksi Tutup Jalan Raya Porong

    Tolak 80% Dicicil, Warga Geppres Aksi Tutup Jalan Raya Porong

    Sekitar 750 orang warga korban lumpur Lapindo melakukan aksi menutup jalan di jalan raya Porong-Gempol pada hari Kamis (04/12). Aksi yang sempat menyebabkan kemacetan sepanjang 5 kilometer ini dilaksanakan oleh warga yang tergabung dalam Gerakan Pendukung Peraturan Presiden No. 14 tahun 2007 atau Geppres.

    Aksi ini dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap perwakilan warga yang sedang berada di Jakarta. Sejak tanggal 30 November 2008, sejumlah 40 orang perwakilan warga berangkat ke Jakarta guna menuntut kejelasan mengenai pembayaran sisa ganti rugi 80%. Dua hari berikutnya perwakilan warga Geppres bertambah hingga pencapai 70 orang.

    Perwakilan warga Geppres bertolak ke Jakarta bersama dengan 1.500 orang warga korban yang berasal dari Perumtas yang telah berangkat ke Jakarta lebih awal, yaitu pada hari Sabtu (29/11). Sebelum keberangkatan baik warga yang tergabung dalam Geppres maupun Perumtas telah menyusun agenda bersama yang akan mereka sampaikan pada Presiden.

    Seperti yang dituturkan Rafi’i, salah seorang warga yang tergabung dalam tim relawan Desa Jatirejo, terdapat tiga tuntutan bersama yang telah disusun oleh perwakilan Tim Geppres bersama denga Tim 16 dari Perumtas. Ketiga tuntutan tersebut yaitu, 1) pembayaran sisa ganti rugi 80% segera dilaksanakan terhadap semua jenis sertifikat tanah warga, 2) Petok D, Letter C, dan SK Gogol sama kedudukannya dengan Sertifikat Hak milik sesuai dengan risalah menteri dan Perpres No. 14/2007, dan yang terakhir pembayaran 80% harus dikawal seperti pada pembayaran 20%.

    Dalam rapat koordinasi itu juga disepakati untuk membentuk tim negosiator yang nantinya akan menemui presiden dan menyampaikan tuntutan. Tim negosiator sendiri terdiri dari 3 orang dari perwakilan Geppres dan 2 orang dari Tim 16.

    “Hari senin itu (1/12) perwakilan Geppres diundang rapat oleh Tim 16 Perumtas. Mereka menyatakan tim Geppres tidak lagi tergabung dengan Perumtas,” tutur Samanuddin, Koordinator Lapangan dari desa Jatirejo. Dan pada hari Rabu kemarin (3/12), sejumlah 1500 orang warga dari Perumtas melakukan aksi dengan mengepung istana Presiden.

    Dalam aksi tersebut, sejumlah 9 orang perwakilan dari Tim 16 Perumtas akhirnya melakukan pertemuan dengan Presiden. Dalam pertemuan itu disepakati pembayaran sisa ganti rugi 80% untuk warga korban Lapindo akan dibayar secara cicil.  Besarannya yaitu 30 juta rupiah setiap bulannya. Sedangkan perwakilan Geppres menyatakan menolak sistem pembayaran sisa ganti rugi 80% dibayar cicil.

    Mereka menilai model pembayaran itu tidak sesuai dengan Perpres No. 14 tahun 2007. Pada saat itu mereka melakukan aksi di Kedutaan Belanda untuk meminta tempat mengungsi di negara tersebut. Perwakilan warga Perumtas menyatakan pembayaran 30 juta perbulan hanya untuk warga Perumtas.

    Aksi yang dilakukan warga dari Geppres di jalan raya Porong-Gempol dimaksudkan sebagai bentuk dukungan terhadap aksi yang dilakukan oleh tim Geppres yang ada di Jakarta. Aksi tersebut dimulai pada pukul 08.30 WIB. Mereka menolak skema pembayaran ganti rugi 80% secara cicilan dan menuntut pembayarannya dibayar lunas segera. Sejumlah besar aparat kepolisian dari Polres Sidoarjo diturunkan untuk mengamankan aksi ini.

    Aksi yang sebelumnya  berjalan lancar ini akhirnya berujung ricuh. Aparat kepolisian memaksa para peserta aksi untuk tidak menutup keseluruhan badan jalan.  Upaya tersebut mendapatkan perlawanan dari pihak warga hingga terjadi beberapa kali bentrokan fisik dengan aparat. “Kendala kami salah satunya karena warga dari 4 desa ini belum saling mengenal satu sama lain. Jadi kami tidak tahu siapa warga yang memulai kericuhan. Malahan ada sebagian aparat kepolisian berpakaian preman yang ikut memprovokasi warga,” ungkap Rafi’i.

    Sejumlah warga mengalami luka memar akibat merasakan pentungan aparat keamanan. Peserta aksi yang kebetulan sebagian besar perempuan tidak sanggup menghadapi tindakan represif oleh aparat keamanan.

    Dalam kericuhan ini setidaknya ada 3 orang yang warga yang diamankan oleh pihak keamanan. Mereka adalah Iskak, warga Jatirejo RT 11, Sungkowo RT 12, dan Sugeng, juga dari Jatirejo RT 8. Setelah kericuhan mereda, warga selanjutnya menuju Pasar baru Porong sembari menunggu kabar dari perwakilan mereka di Jakarta.

    Pada saat yang sama, perwakilan warga yang berada di Jakarta tengah bertemu dengan Kapolda Metro Jaya. Mereka berharap Kapolda Metro Jaya dapat memfasilitasi pertemuan mereka dengan Presiden SBY. Warga Geppres yang menunggu di Pasar Baru Porong juga menanti kejelasan tentang 3 orang warga yang diamankan oleh aparat keamanan dari Polres Sidoarjo.

    “Kapolres meminta perwakilan warga sebanyak 5 orang untuk melepasakan warga yang ditahan. Teman-teman kami itu juga didampingi oleh 5 orang pengacara. 3 orang dari YLBHI dan dua lagi dari Malang,” ujar Samanuddin.

    Hingga pukul setengah 5 sore warga belum juga mendapatkan kejelasan mengenai status 3 orang warga yang ditahan tersebut. Mereka pun memutuskan untuk menuju ke Mapolres Sidoarjo guna menuntut agar ketiga teman mereka dibebaskan. Sekitar 200 orang warga yang datang kembali mendapatkan blokade kawat berduri dari aparat kepolisian. Namun tidak sampai terjadi bentrok seperti aksi pada siang harinya.

    Menjelang malam perwakilan warga yang ada di dalam kantor Mapolres Sidoarjo menemui warga yang berada di luar kantor. Sempat terjadi perdebatan antara perwakilan warga yang ada didalam dengan warga yang ada di luar. Bahkan warga yang ditahan pun akhirnya keluar juga menenangkan warga. “Bapak-bapak silahkan pulang dulu saja,  anak dan istri sudah menunggu dirumah. Saya dan teman-teman yang lain sudah ada yang urus,” ujar salah seorang warga yang ditahan. Baru pada keesokan pagi harinya, (Jum’at,5/12) ketiga orang warga resmi dibebaskan. (mas)

  • Kesepakatan SBY-Lapindo dan Tim 16 Perumtas Menyisakan Persoalan

    Gerakan  Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo  kecewa terhadap SBY, yang seolah tidak berdaya menghadapi Lapindo Brantas. Sikap marah yang ditunjukkan SBY tidak bisa diartikan sebagai keseriusan SBY menuntaskan kasus ini. Sebab, dengan kewenangan yang dimilikinya, harusnya Presiden dapat mengambil tindakan  jauh lebih tegas, dibanding saat ini yang kerap melindungi pemilik PT Lapindo Brantas. seperti yang selama ini terjadi. Kompromi yang dilakukan SBY,  memperlihatkan kelemahan SBY sebagai pimpinan Republik ini. Lagi-lagi,  korbanlah yang terus dirugikan.

    Pasal 15 ayat (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 tentang Badan PenanggulanganLumpur Sidoarjo menyatakan, dana jual beli bertahap untuk area peta terdampak versi 4 Desember 2006, sebanyak 20% dibayarkan dimuka, sisanya paling lambat sebulan sebelum belum masa kontrak rumah dua tahun habis. Celakanya, ketentuan tersebut hanya  di atas kertas. Prakteknya, berbagai janji dan kesepakatan tersebut disendat-sendat. Sampai kontrak warga korban Lumpur, termasuk warga Tim 16 Perumtas habis, sisa uang mereka tak dilunasi. Bahkan masih banyak pembayaran 20%  yang belum dilunasi. 

    Langkah-langkah SBY-JK menangani semburan lumpur panas Lapindo, cenderung menguntungkan keluarga Bakrie – pemilik Lapindo dan mengalahkan warga. Diantaranya,  Pertama. Perpres No. 14 Tahun 2007, yang salah satunya mengatur pembayaran dan membagi warga dalam kelompok di dalam peta terdampak dan diluar peta. Status warga korban berubah menjadi mitra jual beli. Ini belum selesai, pengelompokan di dalam dan di luar peta, proses pembayaran yang ditunda-tunda dan bentuknya kerap berubah, membuat warga korban  terpecah belah satu sama lain.

    Kedua. Diskriminasi juga dilakukan PT Lapindo Brantas terhadap warga korban yang memiliki tanah dengan status letter C, petok D atau belum bersertifikat. Meskipun Pemerintah dan Badan Pertanahan Nasional telah menjamin bahwa para korban ini berhak atas jual beli menurut Perpres 14 tahun 2007, tapi perusahaan ngotot tak mau membayar.  Ketiga.  Penegakan hukum yang seolah mandek ditempat. Kinerja para penegak hukum sangatlah buruk, terkesan tak berdaya mengurus kasus ini, Penyidikan polisi juga tidak transparan dan tak mengalami kemajuan.

    Keempat. Penanganan semburan lumpur dan perusakan lingkungan sekitarnya. Di lapang, warga berhadapan  dengan  konflik, ketidakpastian dan tinggal di lingkungan yang tidak sehat, akibat semburan lumpur dan gas serta jatuhmiskin.

    Ketidakadilan diatas terus berlangsung. Kesepakatan terakhir warga korban Tim 16 Perumtas, yang baru ditandatangani SBY, disaksikan para menterinya, membuat nasib warga makin tidak pasti dan justru menyisakan berbagai persoalan. Mengapa begitu?

    Pertama. Kesepakatan serupa telah dilakukan satu setengah tahun lalu – bersama SBY, dan sekarang berulang lagi tanpa kepastian. Dari tuntutan jual beli tunai 100%, pemerintah dan Lapindo memaksakannya menjadi  tunai 20% : 80%. Dan kini, angka 80% untuk warga tim 16 Perimtas berubah menjadi cicilan sebulan Rp 30 juta,dan uang kontrak 2,5 juta. Artinya,  Presiden melanggar Perpresnya sendiri.

    Kedua. Perubahan kesepakatan ini menjadi alat efektif memecah belah warga, karena pemerintah menutup mata terhadap fakta beragamnya kelompok warga korban Lapindo di lapang. yag menuntut , akibat penanganan selama ini. Tak hanya kelompok yang tergabung dalam Tim 16, yang jumlahnya 4 ribuan orang. Ada kelompok-kelompok lain  yang masih menuntut pembayaran tunai cash and carry sesuai Perpres No. 14 Tahun 2007. Oleh karenanya, kesepakatan yang dibuat delegasi Tim 16 dengan PT Lapindo – SBY sebenarnya hanya mengikat  pihak-pihak yang bernegosiasi saja, bukan seluruh korban.

    Ketiga. Tidak ada jaminan bahwa persoalan yang diahadapi warga korban lainnya seperti yang tidak bersertifikat dan berada di luar peta are terdampak akan dapat diselesaikan dengan baik pasca kesepakatan ini. Merujuk kepada pengalaman yang sudah-sudah, persoalan di lapangan selalu saja menempatkan korban pada posisi yang tidak menguntungkan.

    Mencermati situasi ini, Gerakan  Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo  menyampaikan:

    1. Logika “Bantu yang Kaya Lebih Dulu, Yang miskin Belakangan”, yang ditunjukkan pemerintah RI dalam menanggapi aksi korban lumpu Lapindo kali ini menunjukkan kembali politik anti-rakyat dari pemerintahan SBY. Dalam keadaan sebelum krisis keuangan, apalagi sekarang, Pemerintah harus mendahulukan kepentingan korban lumpur Lapindo daripada kepentingan PT Lapindo, yang beralasan tak mampu membayar sesuai kesepakatan. Pemerintah justru harus mempercepat pembayaran, bukan memperpanjang masa pencicilanpembayaran. Ironis, Menteri Keuangan bisa mengantisipasi penyuntikan dana ke lembaga-lermbaga keuangan, tetapi melayani warga negaraIndonesia yang serba lemah tidak ada tanggapan sama sekali, justru menunda penuntasan hak.
    2. Menyerukan warga korban Lapindo terus bersatu dan menuntut hak-haknya termasuk membayaran  tunai 80%. Terus menyuarakan tuntutannya, termasuk kebutuhan dasar dan layanan kesehatan.
    3. Menyerukan media membantu korban Lapindo, dengan tak mengaburkan kesepakatan Tim 16 dengan PT lapindo Brantas – SBY, sebagai kesepakatan seluruh korban Lapindo.
    4. Pemerintah melakukan sosialisasi dengan benar kepada masyarakat tentang negosiasi yang telah dilakukan, mencakup siapa yang melakukan negosiasi, hasil negosiasi, impilikasi dari hasil negosiasi tersebut. Termasuk menjelaskan kepada publik dan korban bahwa negosiasi hanya dilakukan antara PT Lapindo dengan Tim 16, bukan dengan keseluruhan korban.
    5. Mendesak aparat keamanan menghentikan pendekatan represif dalam menangani aksi-aksi dan protes warga korban Lapindo, baik di dalam peta maupun luar peta terdampak.

    Kontak Media:
    Wardah Hafidz (UPC), 08161161830 – Bambang Sulistomo(GMLL)0818103674 – Berry Nahdian Forqan (WALHI) 08125110979 – Chalid Muhammad (aktivis lingkungan) 0811847163 – Firdaus Cahyadi (Satu Dunia) 0081513275698 – Siti Maimunah (Jatam) 0811920462 – Taufik Basari (LBHM) 081586477616 – Usman Hamid (Kontras), 0811812149

    Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo:
    Jatam, Kontras, Walhi, Satu Dunia, LBH Masyarakat, GMLL, UPC, Uplink, Imparsial,  YLBHI, LBH Jakarta, ICEL, Lapis Budaya, Elsam, Yappika, HRWG, Air Putih, TIFA

  • Tanggul Jebol, Risen Tenggelam

    tanggul_jebolBencana yang ditakutkan warga dusun Risen, Desa Glagaharum, akhirnya benar-benar terjadi. Selasa (18/11), puluhan pria dan wanita, tua dan muda, warga Risen RT 01 sampai RT 05, tampak panik sambil sesekali menggigil kedinginan. Jalanan yang biasanya terasa lengang itu tiba-tiba berubah menjadi arena ketangkasan: secepat mungkin mereka membawa barang-barang dan harta yang masih tersisa untuk dibawa mengungsi.

    Luput (50) warga Desa Renokenongo RT 07 yang menyaksikan kejadian menuturkan, sejak pukul empat sore sesudah hujan deras mengguyur, air semakin tidak tertampung oleh tanggul baru itu. “Lebih lima tempat yang jebol,” ujar Luput. Sementara Samsul (45) warga Glagaharum mengatakan bahwa air sudah masuk ke rumah sampai setinggi lutut. “Yang di timur lebih parah lagi,” sambung Samsul.

    Sebenarnya sudah sejak beberapa hari setelah hujan mulai rutin mengguyur wilayah Porong dan sekitarnya, warga sudah was-was akan keselamatan mereka.

    “Semalam sudah siap-siap. Kita memang khawatir kalau-kalau tanggul jebol,” tutur Samsul. Tapi apa daya, mereka sama sekali tidak dapat informasi apapun dari BPLS tentang ketahanan tanggul, jadi mereka harus berjaga-jaga sendiri untuk keselamatan hidupnya. “Tiap malam selalu jaga-jaga, apalagi hujan deras begini,” ucap Samsul lebih lanjut.

    Dengan melubernya air ke rumah mereka, sekitar 400-an keluarga dipaksa untuk mengungsikan harta bendanya ke tempat yang lebih aman. Sebagian warga menitipkan harta benda mereka di rumah kerabatnya. Sebagian masih membawanya ke eks-jalan tol Gempol (Desa Besuki). Banyak juga yang masih belum tahu benar akan menyelamatkan barangnya ke mana, semua diangkut asal luput dari air yang menggenangi rumah. [re]

  • Korban Lumpur Lapindo Aksi Di Jakarta dan Porong

    Korban Lumpur Lapindo Aksi Di Jakarta dan Porong

    Mustinya 80% ini dibayar sebulan sebelum bulan Agustus lalu; sesuai dengan ikatan jual beli yakni dilunasi sebulan sebelum kontrakan mereka habis. Terhitung mulai Agustus lalu sudah tiga bulan lebih Minarak Lapindo Jaya, sebagai kasir Lapindo Brantas untuk pembayaran ini, mangkir.

    “Sudah lebih tiga bulan kami belum dibayar juga. Yang 20% sudah habis untuk biaya kontrakan dan kebutuhan ekonomi kami sehari-hari,” ujar Multajam selaku koordinator aksi yang dilakukan warga di pintu keluar jalan tol tersebut.

    Peraturan Presiden (Perpres) 14/2007 menjelaskan sistem pembayaran yang akan dilakukan adalah model Cash and Carry atau model 20-80, yang mengatur pembayaran 20% dimuka dan sisanya dibayarkan paling lambat  1 bulan sebelum masa kontrak rumah(2 tahun) habis. Namun dalam perjalanannya PT. Minarak Lapindo Jaya menawarkan 2 macam skema ganti rugi baru yaitu Cash and Resettlement dan Cash dan Relokasi. Kedua skema ini dinilai warga akan sangat merugikan warga dan tidak sesuai Perpres.

    Aksi serupa juga dilakukan di Jakarta. Pada 9 November kemarin sekitar 150 warga korban Lapindo yang tergabung dalam Gerakan Pendukung Perpres 14/2007 (GEPPRES) mengirimkan sekitar 150 orang perwakilan dalam rangka menuntut percepatan pembayaran sisa 80% aset mereka ini.

    Rencananya para korban ini akan menuntut ketegasan pemerintah untuk mendesak PT. Minarak Lapindo Jaya untuk segera melakukan realisasi 80% ini. Mereka akan melakukan aksi ke istana negara untuk bisa bertemu langsung dengan Presiden SBY dan mendesak Presiden untuk mengeluarkan petunjuk pelaksanaan percepatan pembayaran sisa ganti rugi mereka.

    Sehari sebelum aksi warga di pintu keluar jalan tol tersebut, perwakilan warga yang ada di Jakarta juga melakukan aksi di depan istana negara.  Dan pada hari ini perwakilan korban juga melaksanakan mimbar bebas didepan kantor YLBHI  di Jakarta. “Aksi yang kami laksanakan disini sebagai bentuk dukungan terhadap perwakilan kami yang sedang berjuang di Jakarta” tambah Multajam. [mas]

  • Batal Dibayar 20%, Pengungsi Pasar Baru Tutup Tanggul

    “Kami hanya ingin bersilaturahmi dan mengenang saat-saat kami masih di desa ini, sekaligus meminta kejelasan kapan 20%nya akan dibayar?” tutur Sunoko, warga Renokenongo. “Kami hanya hanya dapat kertas, tulisan surat bukti pembayaran (Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) yang ditandatangani 16 September 2008). Katanya uang akan cair 2 minggu lagi. Namun setelah kami cek lagi rekening kami masih kosong. ”

    Data soal berapa jumlah warga Renokenongo yang belum dibayar 20% simpang siur. Menurut warga ada sekitar 1000 kepala keluarga belum mendapatkan pembayaran. Namun menurut Ahmad Zulkarnaen, humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, ada 495 berkas permohonan pembayaran yang masuk bulan Agustus 2008. Yang jelas semua berkas ini belum dibayar.

    Pihak BPLS yang kami mintai konfirmasi mengenai hal ini menyatakan telah melakukan pendekatan terhadap warga untuk menyelesaikan masalah ini, “warga Renokenongo pada bulan Juli 2008 telah kami mintai data aset untuk selanjutnya kami verifikasi dan diserahkan ke fihak PT Minarak Lapindo Jaya,” ujar Zulkarnain selaku Humas BPLS.

    Warga selanjutnya menyerahkan berkas mereka pada pertengahan Agustus untuk dilakukan verifikasi oleh pihak BPLS. Ada sebanyak 495 berkas warga yang diterima oleh pihak BPLS. Proses verifikasi sendiri berjalan hingga pertengahan september 2008. Tanggal 16 september 2008 terjadi Ikatan jual beli antara warga dan pihak PT MLJ. “ Proses pembayaran sendiri harusnya dilakukan paling lambat 10 hari setelah terjadinya ikatan jual beli terjadi. Kami telah menghimbau kepada warga bahwa dalam ketika proses pembayaran sedang berlangsung penanggulan juga akan tetap dilaksanakan. Tapi setelah lebih dari satu bulan warga tidak dibayar juga, akhirnya mereka melakukan penutupan tanggul.” Lanjut Zulkarnain.

    PT Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar dari PT Lapindo Brantas menyatakan, terlambatnya proses pembayaran diakibatkan oleh terjadinya krisis keuangan global yang berdampak pada perusahaan induk mereka. Pernyataan itu dikeluarkan oleh PT MLJ ketika dimintai konfirmasi oleh pihak BPLS mengenai keterlambatan proses pembayaran ini. “Kami ini orang kecil pak, gak ngerti sama krisis global-krisis global yang dibilang sama orang-orang itu. Kami hanya ingin hak kami yang 20 % dibayar dulu, biar bisa dingin hati warga ini.” Ujar Darto, 50 tahun, salah seorang warga yang ikut aksi penutupan tanggul.

    Sebelumnya warga juga mendapat pernyataan akan mendapatkan tambahan jatah hidup untuk satu bulan ketika proses pembayaran telah lewat dari waktu yang ditentukan. “Tapi sampai satu setengah bulan waktunya sudah lewat kami tetap tidak dapat apa-apa sama sekali. Itu yang ngomong pak Suliyono, orang BPLS juga” lanjut Darto. Menurut Zulkarnain ketika kami konfirmasi, seharusnya memang ada pemberian tambahan jatah hidup selama satu bulan ketika terjadi keterlambatan proses pembayaran. “Aturannya memang PT MLJ memberikan tambahan jadup ketika pembayaran 20% itu belum juga terbayar dua minggu setelah terjadi ikatan jual beli. Di pasar baru porong sendiri ada sekitar 2000 jiwa yang tinggal. Jadi PT MLJ harus mengeluarkan dana sekitar 600 jutaan untuk membayar jadup untuk satu bulan.” Ujar Zulkarnain.

    Warga sendiri bertekad untuk tetap menduduki tanggul hingga uang pembayaran sebesar 20 persen itu cair. “Kami kurang apa lagi, Pak? kami sudah nurut banget. Ditawarkan resettlement, kami ikut. dilarang demo, kami gak ikut-ikut demo. Tapi sekarang kami ditipu lagi, kami selama ini merasa tidak diperlakukan secara manusiawi. Mana keadilan sosial bagi warga indonesia itu?”ungkap Darto.
    Warga tidak akan membiarkan penanggulan dilanjutkan hingga ada kejelasan mengenani pembayaran 20 persen kapan akan dibayarkan, “saya ini sudah 55 tahun, sudah bau tanah. Tapi sebelum saya mati, saya musti berjuang mempertahankan hak-hak kami. Kalau seperti ini terus, sampai mati pun saya tidak akan terima. Arwah saya akan datangi Si Bakrie itu, saya mintai dia pertanggungjawaban,” tandas Darto. [mas]
     

  • GMKI Mendukung Korban Lapindo

    Meski pola pembayaran 20%-80% telah diatur dalam perpres 17/2007 namun Lapindo hanya membayar 20 % dan itupun baru sebagian yang dibayar sementara yang 80% belum sama sekali dibayar. Beruntung Novik telah menerima 20 % dan dia mengisahkan bagaimana Lapindo mangkir; 80% yang mustinya dibayar setelah uang kontrakan abis beberapa bulan lalu hingga kini belum dibayar. Presiden sebagai pihak yang mengeluarkan Perpres diam saja ketika Lapindo Brantas mengingkari skema ini.

    “Hampir tiga tahun kami ditelantarkan, tanpa ada kepastian kapan kami bisa kembali hidup normal seperti dulu” tutur Novik.

    Kondisi warga luar peta tak kalah buruk, Iwan misalnya, harus banyak rugi ketika tambaknya semakin lama semakin turun produksinya. Kondisi buruk ini, yang bikin Iwan geram dan memaki ketidakmampuan pemerintah melindungi warganya.

    “Bagi saya Presiden sudah tidak becus melaksanakan tugasnya” kata Iwan dengan nada tinggi. Iwan juga menantang mahasiswa yang ada disitu untuk terlibat dalam penanganan permasalahan korban Lapindo. “Kalau memang takut untuk bergerak membantu perlawanan korban Lapindo, lebih baik tanggalkan status kemahasiswaan kalian”.

    Peserta Kongres sendiri pada sesi tanya jawab, lebih banyak memberikan dukungan bagi perjuangan korban Lapindo, bagi mereka duka korban Lapindo adalah duka Indonesia, karena itu perjuangan Korban juga mesti didukung oleh semua elemen bangsa tidak terkecuali mahasiswa yang telah terlanjur dicap sebagai agen perubahan dalam masyarakat.

    Panitia Kongres ini, Yordan Batara-Goa ketika dimintai konfirmasi, menyatakan dukungannya terhadap perjuangan korban. “Saya juga berharap dalam forum kongres ini, dimunculkan hasil yang bisa memberi solusi bagi pergumulan warga yang menjadi korban.” [re/mam]

     

  • Koran Tempo – Jangan Hambat Kasus Lapindo

    Polisi kukuh menyimpulkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo disebabkan oleh kelalaian dalam pengeboran. Pernyataan ini pernah disampaikan ke DPR oleh Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri, yang kini menjabat Kepala Kepolisian RI. Tapi, menurut Bambang, jaksa meminta tambahan saksi ahli yang menyatakan semburan itu sebagai bencana alam.

    Itulah yang membuat berkas kasus lumpur Lapindo terombang-ambing. Polisi dan jaksa memiliki pandangan berbeda. Masalahnya, kompromi bukan pilihan terbaik karena hasilnya justru akan mengendurkan jerat hukum yang telah dipasang polisi.

    Kengototan jaksa sungguh aneh karena para ahli geologi dunia pun cenderung menyatakan semburan lumpur dipicu oleh pengeboran. Inilah pandangan yang dominan dalam konferensi American Association of Petroleum Geologists di Cape Town, Afrika Selatan, baru-baru ini. Hanya sedikit ahli yang sepakat bahwa semburan itu merupakan dampak gempa di Yogyakarta.

    Pengeboran yang dilakukan Lapindo berbahaya karena tidak menggunakan casing secara penuh. Badan Pemeriksa Keuangan, yang pernah mengaudit kasus ini, juga mendapat keterangan penting dari Dinas Survei dan Pengeboran BP Migas. Intinya, proses pencabutan pipa dan mata bor dari kedalaman 7.415 kaki, sehari sebelum semburan terjadi pada 29 Mei 2006, menyebabkan “well kick” terlambat diantisipasi. Peralatan pengeboran pun sering rusak. Menurut auditor BPK, kontraktor yang ditunjuk Lapindo diduga menggunakan beberapa peralatan bekas atau tidak memenuhi standar kualitas.

    Jaksa mestinya berpegang pada fakta seperti itu. Mengarahkan kasus lumpur Lapindo ke perdebatan apakah semburan itu berkaitan dengan gempa atau tidak hanya akan mengaburkan persoalan. Sepanjang ditemukan bukti yang cukup adanya kelalaian dalam pengeboran, kasus ini layak dibawa ke pengadilan.

    Persoalan ini tak akan berlarut-larut andaikata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera turun tangan. Perbedaan pendapat antara jaksa dan polisi seharusnya bisa diatasi karena kedua institusi ini di bawah kendali langsung Presiden. Jangan sampai khalayak menilai pemerintah sengaja membiarkan kasus ini menjadi terkesan rumit, sehingga akhirnya tak jelas siapa yang mesti bertanggung jawab atas penderitaan warga Sidoarjo.[Editorial Koran Tempo, 31/10]

  • AAPG Day 2: showdown at the Lusi corral

    Things were a bit different from the other sessions at this conference: photographers and cameramen were roaming the room, and on my way in I had a press release from Lapindo Brantas thrust into my hands, informing me that most of the previously reported findings were based on ‘incorrect data’, and that this would be the first time ‘official data’ were presented to the scientific community. It transpired that this was also stretching the truth a bit; as the session unfolded it became apparent that this was more an issue of which data (specifically, which of the various measurements and estimates of borehole pressure) should be used, and how to interpret them. Contrary to their own press office, then, Lapindo Brantas – to their credit – seem to have been quite open about sharing their records with any interested party, even if they might disagree with how it is then used.

    The debate consisted of two talks from the pro-earthquake camp, followed by questions, then two talks from the pro-drilling camp, followed by more questions and a general discussion, ending with a poll of the audience. Below I’m summarising from notes I took during the session; as such, there may be some unintentional inaccuracies.

    First up was Adriano Mazzini, who reviewed his arguments that the eruption was the result of the Yogyakarta earthquake reactivating a pre-existing fault that runs through the area. Main points:

    • There is clear evidence of displacement along this fault after the eruption, and other small mud eruptions also occurred along its trace at the time Lusi erupted. This does indeed signal that this fault acted as a conduit for upwelling fluids.
    • However, the question of what triggered this trigger – the ultimate cause of the fault suddenly becoming an open pathway for mud – is still open. The timing of the fault reactivation is not known, so it could just as easily have been the result of stresses induced by a nearby well blow-out as by an earthquake. In support of the latter, pressure losses in well at the time of the earthquake might indicate that there were measurable stresses being induced in the subsurface, more than is assumed by the pro-drilling camp.
    • Lusi’s eruption has been abnormally lengthy; natural mud volcano eruptions tend to last a few days (and in this respect it seems that Lusi also differs from the other eruptions in the area he talked about, which were further from the borehole). It might be something to do with this being an entirely new system, but it could just as easily be a sign of unnatural influences on the triggering of the eruption.
    • This area of Indonesia is “ideal”, both in terms of prevailing tectonic, structural and lithological conditions, for the formation of mud volcanoes, and the existence of a highly suitable ‘piercement structure’ (the fault) in the area meant that an eruption was only a matter of time. This last point would become important in the later discussion.

    The next speaker, from Lapindo Brantas, was the person who oversaw the borehole, which mades his slightly defensive tone entirely understandable. The talk aimed to use data from the borehole to demonstrate that a blow-out had not occurred.

    • The most important claim was that there was no evidence of the well being connected to Lusi’s plumbing, which you would expect if a well blow-out was the trigger. For example, following the eruption of Lusi they performed an “injection test”, where drilling mud was pumped into the borehole. As they did this, the pressure in the well slowly built up, which can only happen if the well is sealed; if there was a breach in the well, the fluid would escape.
    • The pressure losses at around the time of the earthquake talk prompted the decision to case the unsealed part of the borehole before drilling deeper. As they were puling out the drill string to do so on the 28th May, there was a ‘kick’ in the hole – an increase in pressure due to fluid entering from the surrounding rock. The pressure increase from this kick, and whether it was enough to trigger a blow-out, is one of the major sticking points of this whole argument.
    • The pro-drilling people have published calculations that indicated that it was more than high enough to trigger a blow-out. It was claimed here that these calculations were performed incorrectly, and should give much lower (and safe) pressures. I can’t claim enough expertise to tell if these criticisms were valid or not.
    • Either way, borehole records after the kick are inconsistent with it being the result of a well blow-out.

    The first speaker from the pro-drilling camp, Mark Tingay, gave a very nice presentation which actually addressed the pros and cons of both theories, although he was clear which he favoured.

    • Earthquake reactivation of the fault seems unlikely from the calculated differential shear stresses it induced in the area around Lusi (for more details you can read Maria’s post on this, since she was involved in this study). He had a nice plot to illustrate this point, which I reproduce schematically here.

      lusidebatefig.png

      Basically, the earthquakes which are known to have triggered mud volcanism (green dots) were either larger and/or closer to the induced eruptions than Lusi was to the Yogyakarta earthquake (big red dot), and other seismicity in the area prior to the eruption (orange dots) appears to have induced similar, or in some cases greater, differential stresses. There is of course a lot of uncertainty about how strong the fault was (how large a differential stress you need to cause it to fail), but the point is that there was nothing special about the May 27th earthquake in terms of the force it exerted in the area.

    • The apparent disconnection of the well from Lusi could be due to the lower part being sealed off due to it being blocked by rock fragments from the blow-out (which is apparently quite common), or shearing.
    • The evidence following the kick is “unclear”, but the stresses that it induced were an order of magnitude larger than those due to the earthquake
    • This was a problematic hole, with lots of pressure losses and kicks, and the ‘drilling window’ – the range of pressures where the drilling mud will safely just sit there – was very narrow. This was a result of the well design being based on holes drilled through this sequence quite a distance away, where the underlying carbonates were not overpressured. However, in another well very close by, the carbonates were under extremely high pressure, and they almost lost that well to a blow-out when they hit them. By not taking this into account, it would have been nearly impossible to stop a blow-out following the kick.
    • There is a series of linear surface fractures leading between the well and the Lusi vent, which have not erupted any mud but are an indication of sub-surface fracturing.

    The final presentation was by Richard Davies, the person whose paper implicating the drilling kicked off my interest in this subject.

    • This talk was a review of the events in the well leading up to the Lusi eruption. It was a very good summary, but most of the points have been covered in my accounts of the previous speakers.
    • However, in the middle of the talk, proving that for every expert there is an equal and opposite expert, another (non Lapindo Brantas) drilling engineer came up to the stage to show us how all the well pressure data was consistent with the initial kick being due to a blow-out (I think that the main argument was that you had pressure losses after the hole was sealed).

    The discussion following the talks emphasised a couple of other points of disagreement, such as the shaking intensity in the Lusi region from the May 27th earthquake: the pro-drillers say I-II, pro-quakers claim IV. Mazzini also argues that the eruption is entirely sourced within the mudstones with the water produced by clay minerals reacting to form illite and water, whereas Davies et al. say that the water is mainly from the underlying carbonates. It is a lot of water, although I guess it would be hard to claim the earthquake would cause the carbonates to breach.

    However, more interesting was that several people picked up on the suggestion that this was clearly a prime area for mud volcano formation, and wondered quite loudly why the hell any drilling was being done there in the first place. To sum up the mood, one questioner complimented the second speaker for standing up there to defend the drilling, when it really should be the geologists who told him to drill there in the first place. It’s a good point; perhaps the focus should be less on the drilling practice on this specific well, because whatever your procedures and safety precautions, accidents can and do happen, and more on well siting decisions in general, particularly decisions to drill in “primed” areas like this one, where the margin for error is rather slim.

    This attitude might explain why in the closing straw poll, more than 50% of the audience was willing to blame the whole mess on the drilling. Only a tiny fraction thought that the earthquake was solely to blame, with roughly equal numbers of the remaining half either thinking it could have been both, or finding it inconclusive either way. In conclusion, it was a very interesting session, and was conducted in a very fair-minded and respectful manner given the contentious nature of the debate.

    Sumber: http://scienceblogs.com/highlyallochthonous/2008/10/aapg_day_2_showdown_at_the_lus.php?

  • Tidak Mungkin, Gempa Yogya —> bikin mud volcano di Porong ?

     

    Saya tertarik dengan argumen pribadi Dr. Awang Harun (dari BP Migas)
    dan Dr. Andang Bachtiar (ex ketua IAGI), secara terpisah, yang ” sepakat
    ” (koreksi :Pak ADB justru lebih yakin dipicu pengeboran, koreksi rdp)
    merujuk gempa Yogya sebagai pemicu semburan lumpur di Porong.
    Disebutkan ada 5 titik semburan, terbentuk pada 29 Mei 1 Juni, dan jika
    dihubungkan dengan garis akan embentuk arah barat daya – timur laut.
    Orientasi ini earah dengan sesar regional di wilayah ini, dan kalo mau
    ditarik lagi lebih jauh juga searah dengan sesar Opak yang jadi
    penyebab gempa Yogya. Jika orientasi
    barat daya – timur laut ini diperpanjang, akan nampak aris imajiner
    yang menghubungkan sesar Opak – Sangiran Dome – Porong. Sehingga
    semburan ini ihipotesiskan sebagai likuifaksi, gejala biasa dalam uatu
    gempa, seperti yang ditemukan juga di Jetis Bantul) dan Prambanan
    (Klaten) dalam bentuk semburan air berlumpur ” (menurut versi penduduk,
    seperti ikutip media lokal Kedaulatan Rakyat dan Wawasan). Gempa Yogya
    di sebut2 mereaktivasi sesar lokal di Porong, sehingga menghasilkan
    semburan lumpur, dan ini adalah murni musibah.

    ***

    Terkait itu, ada beberapa pertanyaan pak Rovicky :

    1. Apakah likuifaksi bisa terjadi di tempat yang jaraknya > 200 km dari sumber gempa ?

    Sebab, dalam pendapat saya, intensitas di lokasi tersebut sudah
    kecil. Jika saya mencoba menghitung dengan menggunakan persamaan
    atenuasi intensitas ln I ln Io = k.x dengan koefisien atenuasi (k) =
    -0,00387 (berdasarkan titik acuan kota Yogya dan Semarang) erta
    intensitas hiposenter (Io) = 8,7 (untuk Mw = 6,3) pada jarak (x) = 200
    km intensitasnya 4 MMI dengan percepatan maksimal 2,3 % G), sementara
    pada jarak (x) = 250 km intensitasnya menurun sedikit menjadi 3 MMI
    (dengan percepatan maksimal 1,4 % G).
    Catatan intensitas dari stasiun BMG Surabaya dan Karangkates (Malang)
    menunjukkan angka 2 – 3 MMI untuk Surabaya (jarak +/ – 250 km dari
    hiposenter) dan 3 – 4 MMI untuk Malang (jarak + / – 230 km dari
    hiposenter), artinya tidak berbeda jauh dengan perhitungan.
    Fokuskan ke sekitar Surabaya. Dengan intensitas 3 MMI itu, dimana
    getarannya setara dengan getaran akibat melintasnya sebuah truk besar
    bila kita berdiri di tepi jalan raya, apakah bisa gempa Yogya tadi
    menghasilkan likuifaksi disini ? Bila kita merujuk ada kasus gempa Loma
    Prieta 1989 (Mw = 6,9) di California, radius terjauh likuifaksi terjadi
    adalah sebesar 110 km dari episenter gempa. Kita logikakan saja, dengan
    Mw gempa Yogya lebih kecil (6,3) bukankah ” seharusnya ” radius terjauh
    likuifaksi < 110 km ?

    (catatan : dalam perhitungan saya, jika dianggap koefisien atenuasi
    gempa Loma Prieta sama dengan gempa Yogya, dengan kedalaman hiposentrum
    17 km, pada jarak 110 km dari episentrum, intensitasnya sebesar 6 MMI
    dengan percepatan puncak 12,3 % G, jauh lebih besar dari intensitas di
    Porong).

    2. Apakah gempa Yogya bisa mereaktivasi sesar lokal di Porong ?

    Di sisi timur sesar Opak telah dideteksi ada 74 buah sesar minor
    dengan panjang bervariasi antara 1 km hingga 4 km, yang tersebar di
    wilayah Gunungkidul – Klaten. Sesar minor terjauh ada di wilayah
    kecamatan Bayat (Klaten). Sesar2 minor ini dipastikan merupakan sumber2
    afershocks gempa Yogya. Kalo saya menghitung dengan persamaan
    empirisnya Ambrosey dan Zatopak (1968, saya kutip dari artikelnya Dr.
    George Pararas Carayannis) mengenai hubungan antara panjang sesar (L)
    dan magnitude gempa (M) : log L = 1,13 M + K, dimana untuk gempa Yogya
    K = – 5,34 (dengan Mw = 6,3 dan L = 60 km), maka jika sesar minor
    memiliki panjang (L) 1 – 4 km, gempanya memiliki magnitude (Mw) 4,7 –
    5,3.

    Masalahnya sekarang, jika gempa Yogya memang mampu mereaktivasi
    sesar lokal di Porong, tidak bisa tidak sesar lokal itu harus bergeser
    bukan, meski nilai pergeserannya mungkin sangat kecil hingga tidak
    menimbulkan retakan di permukaan tanah. Mari kita berandai-andai,
    anggaplah pergeseran tersebut meliputi segmen sepanjang 1 km dalam
    sesar lokal itu, maka ” seharusnya ” sudah diiringi gempa dengan Mw =
    4,7.
    Jika segmen yang bergeser hanya 200 m, gempa yang terjadi memiliki Mw =
    4,1. Bukankah moment magnitude (Mw) sebesar ini masih bisa dideteksi
    dengan mudah oleh seismograf2nya BMG dan USGS. Apalagi USGS memberi
    batasan hanya gempa2 dengan Mw > 3,5 saja yang akan
    didokumentasikan. Sementara, sejauh yang saya tahu, stasiun2 BMG di
    Surabaya dan Karangkates hanya melaporkan adanya guncangan akibat gempa
    Yogya saja, namun tidak menyebutkan adanya gempa lain atau aftershocks
    dengan episentrum di sekitar Porong.

    3. Apakah energi gempa Yogya dirambatkan oleh sesar2 hingga sampai ke Porong ?

    Sesar Besar Jawa Tengah Van BammelenIni
    masih terkait dengan pertanyaan no. 2. Mengikuti pendapat pak Awang dan
    pak Andang, saya mencoba menarik garis imajiner terusan sesar Opak ke
    arah timur laut. Saya juga mencoba menarik garis imajiner yang
    menghubungkan sumur Banjar Panji 1 – Purwodadi – Mojokerto – Sangiran,
    titik2 dimana terdapat mud volcano atau sumber air asin. Hasilnya bisa
    dilihat pada gambar ” situasi bp1 sangiran.jpg “.
    Menarik sekali bahwa garis imajiner yang menghubungkan Banjar Panji 1 –
    Purwodadi – Mojokerto – Sangiran ternyata menyusuri sisi selatan
    Pegunungan Kendeng, dimana menurut van Bemmelen disini terdapat ” sesar
    Simo ” yang longitudinal terhadap pulau Jawa.
    Sementara garis perpanjangan sesar Opak, justru melintas amat jauh
    terhadap Porong. Perpanjangan sesar Opak justru melintasi sesar
    pembatas Bawean High – Tuban Graben di Laut Jawa. Menarik juga, bahwa
    lintasan perpanjangan sesar Opak di Pegunungan Kendeng dan geosinklin
    Jawa utara ditandai dengan banyaknya sesar2 lokal yang orientasinya
    sebagian besar paralel dengan sesar Opak.
    Dalam pendapat saya, koq tidak ada ya hubungan segaris antara mud volcano di Porong dengan sesar Opak.
    Terkecuali jika dikatakan sesar Opak yang berarah barat daya – timur
    laut ini bersambung dengan ” sesar Simo ” yang berarah barat – timur,
    dimana titik persambungannya ada di sekitar Sangiran. Namun, logikanya,
    jika hal seperti itu yang terjadi, seharusnya terdeteksi juga
    aftershock di sepanjang ” sesar Simo ” bukan ? Karena energi gempa
    Yogya “seharusnya ” merambat di sini.
    Apalagi menurut van Bemmelen, sesar Opak adalah bagian dari sesar
    transversal yang membelah Jawa dari selatan ke utara. Sesar transversal
    ini (saya mengistilahkannya dengan ” sesar besar Jawa Tengah “) menjadi
    tempat berdirinya gunung2 api Merapi, Merbabu, Telomoyo, Ungaran hingga
    berakhir pada sesar Glagah di utara. Memang sesar besar ini juga
    berpotongan dengan perpanjangan ” sesar Simo “, namun titik potongnya
    jauh di utara dari sesar Opak, di tempat yang sekarang menjadi kerucut
    Gunung Merapi. Sesar Opak justru berpotongan dengan sesar longitudinal
    dari sisi utara Pegunungan Selatan (Pegunungan Sewu) di sekitar
    Prambanan, dan dari sini saya bisa memahami mengapa sesar2 minor produk
    gempa Yogya kebanyakan ada di Gunungkidul utara dan Klaten dengan
    sebagian besar berarah arah barat laut – tenggara, sehingga salah satu
    daerah yang kerusakannya sangat parah (selain Parangtritis – Prambanan)
    adalah Kecamatan Gantiwarno – Wedi – Bayat (sebelah tenggara
    Prambanan). Gambaran tentang sesar besar Jawa Tengah ini bisa dilihat
    di ” sesar besar jawa tengah.jpg “.

    BPJ-1 to Sangiran4.
    Jika gempa Yogya menyebabkan mud volcano di Porong, mengapa gempa yang
    sama juga tidak menyebabkan peningkatan aktivitas mud volcano Bledug
    Kuwu atau membangkitkan kembali aktivitas Sangiran Dome ?

    Apalagi dua tempat terakhir itu lebih dekat terhadap pusat gempa
    dibanding Porong. Dan sejauh ini tidak ada peningkatan jumlah lumpur di
    Kuwu ataupun bangkitnya kembali Sangiran Dome. Peningkatan aktivitas
    hanya ada di Gunung Merapi dan ini bisa dipahami mengingat dari
    Prambanan ke arah utara ada sesar yang langsung menuju ke Merapi.
    Sehingga rambatan energi gempa Yogya, setelah melintasi sesar Opak,
    sangat mungkin berbelok menyusur sesar tadi,sehingga dapur magma Merapi
    menerima tambahan energi.

    ***

    Saya merasa, mengaitkan gempa Yogya dengan mud volcano di Porong
    jauh panggang dari api. Gempa memang punya kemampuan likuifaksi, tapi
    jangkauannya juga terbatas. Apalagi, merujuk hasil penelitian BMG
    seperti dipaparkan Tiar Prasetya, gelombang primer dalam gempa Yogya
    tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terkutubkan
    (terpolarisasi) hingga seakan-akan membentuk pola bunga melati.
    Pengutuban ini menjadi faktor penjelas mengapa kerusakan parah – selain
    di sepanjang jalur sesar Opak – hanya dialami sebagian kota Yogya ,
    tepatnya mulai dari kompleks kampus IAIN dan Tamansiswa ke arah timur.
    Bagian barat kota Yogya, demikian juga dengan kecamatan Gamping, Sedayu
    dan Sentolo, relatif mengalami kerusakan ringan.

    Jalur kerusakan berat ke barat menghampiri Srandakan – Purworejo dan ke timur melintasi Pacitan. Kalo sumbu
    polarisasi ke timur ini diteruskan, posisinya juga jauh dari Porong, pak Rovicky.

    Demikian pendapat dan pertanyaan saya pak Rovicky. Matur nuwun atas pencerahannya.

    Wassalamu’alaykum

    Ma’rufin

     

  • Tidak Mungkin, Gempa Yogya —> bikin mud volcano di Porong ?

     

    Saya tertarik dengan argumen pribadi Dr. Awang Harun (dari BP Migas)
    dan Dr. Andang Bachtiar (ex ketua IAGI), secara terpisah, yang ” sepakat
    ” (koreksi :Pak ADB justru lebih yakin dipicu pengeboran, koreksi rdp)
    merujuk gempa Yogya sebagai pemicu semburan lumpur di Porong.
    Disebutkan ada 5 titik semburan, terbentuk pada 29 Mei 1 Juni, dan jika
    dihubungkan dengan garis akan embentuk arah barat daya – timur laut.
    Orientasi ini earah dengan sesar regional di wilayah ini, dan kalo mau
    ditarik lagi lebih jauh juga searah dengan sesar Opak yang jadi
    penyebab gempa Yogya. Jika orientasi
    barat daya – timur laut ini diperpanjang, akan nampak aris imajiner
    yang menghubungkan sesar Opak – Sangiran Dome – Porong. Sehingga
    semburan ini ihipotesiskan sebagai likuifaksi, gejala biasa dalam uatu
    gempa, seperti yang ditemukan juga di Jetis Bantul) dan Prambanan
    (Klaten) dalam bentuk semburan air berlumpur ” (menurut versi penduduk,
    seperti ikutip media lokal Kedaulatan Rakyat dan Wawasan). Gempa Yogya
    di sebut2 mereaktivasi sesar lokal di Porong, sehingga menghasilkan
    semburan lumpur, dan ini adalah murni musibah.

    ***

    Terkait itu, ada beberapa pertanyaan pak Rovicky :

    1. Apakah likuifaksi bisa terjadi di tempat yang jaraknya > 200 km dari sumber gempa ?

    Sebab, dalam pendapat saya, intensitas di lokasi tersebut sudah
    kecil. Jika saya mencoba menghitung dengan menggunakan persamaan
    atenuasi intensitas ln I ln Io = k.x dengan koefisien atenuasi (k) =
    -0,00387 (berdasarkan titik acuan kota Yogya dan Semarang) erta
    intensitas hiposenter (Io) = 8,7 (untuk Mw = 6,3) pada jarak (x) = 200
    km intensitasnya 4 MMI dengan percepatan maksimal 2,3 % G), sementara
    pada jarak (x) = 250 km intensitasnya menurun sedikit menjadi 3 MMI
    (dengan percepatan maksimal 1,4 % G).
    Catatan intensitas dari stasiun BMG Surabaya dan Karangkates (Malang)
    menunjukkan angka 2 – 3 MMI untuk Surabaya (jarak +/ – 250 km dari
    hiposenter) dan 3 – 4 MMI untuk Malang (jarak + / – 230 km dari
    hiposenter), artinya tidak berbeda jauh dengan perhitungan.
    Fokuskan ke sekitar Surabaya. Dengan intensitas 3 MMI itu, dimana
    getarannya setara dengan getaran akibat melintasnya sebuah truk besar
    bila kita berdiri di tepi jalan raya, apakah bisa gempa Yogya tadi
    menghasilkan likuifaksi disini ? Bila kita merujuk ada kasus gempa Loma
    Prieta 1989 (Mw = 6,9) di California, radius terjauh likuifaksi terjadi
    adalah sebesar 110 km dari episenter gempa. Kita logikakan saja, dengan
    Mw gempa Yogya lebih kecil (6,3) bukankah ” seharusnya ” radius terjauh
    likuifaksi < 110 km ?

    (catatan : dalam perhitungan saya, jika dianggap koefisien atenuasi
    gempa Loma Prieta sama dengan gempa Yogya, dengan kedalaman hiposentrum
    17 km, pada jarak 110 km dari episentrum, intensitasnya sebesar 6 MMI
    dengan percepatan puncak 12,3 % G, jauh lebih besar dari intensitas di
    Porong).

    2. Apakah gempa Yogya bisa mereaktivasi sesar lokal di Porong ?

    Di sisi timur sesar Opak telah dideteksi ada 74 buah sesar minor
    dengan panjang bervariasi antara 1 km hingga 4 km, yang tersebar di
    wilayah Gunungkidul – Klaten. Sesar minor terjauh ada di wilayah
    kecamatan Bayat (Klaten). Sesar2 minor ini dipastikan merupakan sumber2
    afershocks gempa Yogya. Kalo saya menghitung dengan persamaan
    empirisnya Ambrosey dan Zatopak (1968, saya kutip dari artikelnya Dr.
    George Pararas Carayannis) mengenai hubungan antara panjang sesar (L)
    dan magnitude gempa (M) : log L = 1,13 M + K, dimana untuk gempa Yogya
    K = – 5,34 (dengan Mw = 6,3 dan L = 60 km), maka jika sesar minor
    memiliki panjang (L) 1 – 4 km, gempanya memiliki magnitude (Mw) 4,7 –
    5,3.

    Masalahnya sekarang, jika gempa Yogya memang mampu mereaktivasi
    sesar lokal di Porong, tidak bisa tidak sesar lokal itu harus bergeser
    bukan, meski nilai pergeserannya mungkin sangat kecil hingga tidak
    menimbulkan retakan di permukaan tanah. Mari kita berandai-andai,
    anggaplah pergeseran tersebut meliputi segmen sepanjang 1 km dalam
    sesar lokal itu, maka ” seharusnya ” sudah diiringi gempa dengan Mw =
    4,7.
    Jika segmen yang bergeser hanya 200 m, gempa yang terjadi memiliki Mw =
    4,1. Bukankah moment magnitude (Mw) sebesar ini masih bisa dideteksi
    dengan mudah oleh seismograf2nya BMG dan USGS. Apalagi USGS memberi
    batasan hanya gempa2 dengan Mw > 3,5 saja yang akan
    didokumentasikan. Sementara, sejauh yang saya tahu, stasiun2 BMG di
    Surabaya dan Karangkates hanya melaporkan adanya guncangan akibat gempa
    Yogya saja, namun tidak menyebutkan adanya gempa lain atau aftershocks
    dengan episentrum di sekitar Porong.

    3. Apakah energi gempa Yogya dirambatkan oleh sesar2 hingga sampai ke Porong ?

    Sesar Besar Jawa Tengah Van BammelenIni
    masih terkait dengan pertanyaan no. 2. Mengikuti pendapat pak Awang dan
    pak Andang, saya mencoba menarik garis imajiner terusan sesar Opak ke
    arah timur laut. Saya juga mencoba menarik garis imajiner yang
    menghubungkan sumur Banjar Panji 1 – Purwodadi – Mojokerto – Sangiran,
    titik2 dimana terdapat mud volcano atau sumber air asin. Hasilnya bisa
    dilihat pada gambar ” situasi bp1 sangiran.jpg “.
    Menarik sekali bahwa garis imajiner yang menghubungkan Banjar Panji 1 –
    Purwodadi – Mojokerto – Sangiran ternyata menyusuri sisi selatan
    Pegunungan Kendeng, dimana menurut van Bemmelen disini terdapat ” sesar
    Simo ” yang longitudinal terhadap pulau Jawa.
    Sementara garis perpanjangan sesar Opak, justru melintas amat jauh
    terhadap Porong. Perpanjangan sesar Opak justru melintasi sesar
    pembatas Bawean High – Tuban Graben di Laut Jawa. Menarik juga, bahwa
    lintasan perpanjangan sesar Opak di Pegunungan Kendeng dan geosinklin
    Jawa utara ditandai dengan banyaknya sesar2 lokal yang orientasinya
    sebagian besar paralel dengan sesar Opak.
    Dalam pendapat saya, koq tidak ada ya hubungan segaris antara mud volcano di Porong dengan sesar Opak.
    Terkecuali jika dikatakan sesar Opak yang berarah barat daya – timur
    laut ini bersambung dengan ” sesar Simo ” yang berarah barat – timur,
    dimana titik persambungannya ada di sekitar Sangiran. Namun, logikanya,
    jika hal seperti itu yang terjadi, seharusnya terdeteksi juga
    aftershock di sepanjang ” sesar Simo ” bukan ? Karena energi gempa
    Yogya “seharusnya ” merambat di sini.
    Apalagi menurut van Bemmelen, sesar Opak adalah bagian dari sesar
    transversal yang membelah Jawa dari selatan ke utara. Sesar transversal
    ini (saya mengistilahkannya dengan ” sesar besar Jawa Tengah “) menjadi
    tempat berdirinya gunung2 api Merapi, Merbabu, Telomoyo, Ungaran hingga
    berakhir pada sesar Glagah di utara. Memang sesar besar ini juga
    berpotongan dengan perpanjangan ” sesar Simo “, namun titik potongnya
    jauh di utara dari sesar Opak, di tempat yang sekarang menjadi kerucut
    Gunung Merapi. Sesar Opak justru berpotongan dengan sesar longitudinal
    dari sisi utara Pegunungan Selatan (Pegunungan Sewu) di sekitar
    Prambanan, dan dari sini saya bisa memahami mengapa sesar2 minor produk
    gempa Yogya kebanyakan ada di Gunungkidul utara dan Klaten dengan
    sebagian besar berarah arah barat laut – tenggara, sehingga salah satu
    daerah yang kerusakannya sangat parah (selain Parangtritis – Prambanan)
    adalah Kecamatan Gantiwarno – Wedi – Bayat (sebelah tenggara
    Prambanan). Gambaran tentang sesar besar Jawa Tengah ini bisa dilihat
    di ” sesar besar jawa tengah.jpg “.

    BPJ-1 to Sangiran4.
    Jika gempa Yogya menyebabkan mud volcano di Porong, mengapa gempa yang
    sama juga tidak menyebabkan peningkatan aktivitas mud volcano Bledug
    Kuwu atau membangkitkan kembali aktivitas Sangiran Dome ?

    Apalagi dua tempat terakhir itu lebih dekat terhadap pusat gempa
    dibanding Porong. Dan sejauh ini tidak ada peningkatan jumlah lumpur di
    Kuwu ataupun bangkitnya kembali Sangiran Dome. Peningkatan aktivitas
    hanya ada di Gunung Merapi dan ini bisa dipahami mengingat dari
    Prambanan ke arah utara ada sesar yang langsung menuju ke Merapi.
    Sehingga rambatan energi gempa Yogya, setelah melintasi sesar Opak,
    sangat mungkin berbelok menyusur sesar tadi,sehingga dapur magma Merapi
    menerima tambahan energi.

    ***

    Saya merasa, mengaitkan gempa Yogya dengan mud volcano di Porong
    jauh panggang dari api. Gempa memang punya kemampuan likuifaksi, tapi
    jangkauannya juga terbatas. Apalagi, merujuk hasil penelitian BMG
    seperti dipaparkan Tiar Prasetya, gelombang primer dalam gempa Yogya
    tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terkutubkan
    (terpolarisasi) hingga seakan-akan membentuk pola bunga melati.
    Pengutuban ini menjadi faktor penjelas mengapa kerusakan parah – selain
    di sepanjang jalur sesar Opak – hanya dialami sebagian kota Yogya ,
    tepatnya mulai dari kompleks kampus IAIN dan Tamansiswa ke arah timur.
    Bagian barat kota Yogya, demikian juga dengan kecamatan Gamping, Sedayu
    dan Sentolo, relatif mengalami kerusakan ringan.

    Jalur kerusakan berat ke barat menghampiri Srandakan – Purworejo dan ke timur melintasi Pacitan. Kalo sumbu
    polarisasi ke timur ini diteruskan, posisinya juga jauh dari Porong, pak Rovicky.

    Demikian pendapat dan pertanyaan saya pak Rovicky. Matur nuwun atas pencerahannya.

    Wassalamu’alaykum

    Ma’rufin

     

  • Conclusive Vote on Cause of Indonesian Mud Volcano

    Professor Richard Davies
    Professor Richard Davies

    A Durham University scientist has played a key role in helping determine the cause of the Java mud volcano, Lusi.

    Two years’ of global public debate over the possible causes of Lusi has finally concluded. A resounding vote of international petroleum geologists from around the globe, including Durham University geologist Professor Richard Davies, concluded the mud volcano was triggered by drilling of a nearby gas exploration well.

    This may have implications for compensation of the local population affected. (more…)

  • TEMPO Interaktif – Pengusutan Hukum Kasus Lapindo Buntu

    "Tanpa itu, hasil konferensi hanya sebagai referensi kita," kata Mulyono,
    kepala seksi penerangan hukum kejaksaan tinggi, di Surabaya kemarin.

    Dalam pertemuan geolog dunia itu mayoritas peserta mengatakan semburan lumpur
    yang sudah berlangsung sejak Mei 2006 tersebut akibat kesalahan pengeboran.

    Kepolisian Daerah Jawa Timur telah menetapkan 13 orang sebagai tersangka.
    Namun, sampai saat ini pengusutan hukum kasus semburan lumpur tersebut masih
    menemui jalan buntu.

    Kejaksaan menilai penyidikan yang dilakukan Polda Jawa Timur belum sempurna
    meskipun telah empat kali dilimpahkan.

    Kepala Polda Jawa Timur Irjen Herman Surjadi Sumawiredja beberapa waktu yang
    lalu meminta kejaksaan segera menyatakan sempurna (P-21) atas berkas perkara
    Lapindo.

    "Kasus lumpur terjadi karena kesalahan dan kelalaian. Saya hanya berharap
    kejaksaan sesegera mungkin memprosesnya sehingga semuanya bisa mendapatkan titik
    terang," kata Herman.

    Juru bicara Lapindo, Yuniwati Teryana, mempertanyakan pemungutan suara dalam
    konferensi di Afrika Selatan itu. “Diskusi ilmiah, yang seharusnya untuk
    mengungkapkan kebenaran ilmiah, namun diakhiri dengan voting, tidak lazim dalam
    forum ilmiah,” kata Yuniwati melalui siaran pers. AQIDA | KUKUH SW | ROHMAN
    TAUFIQ

     

  • KOMPAS – Geolog Dunia Yakin Lumpur Tak Dipicu Gempa

    ”Pemungutan suara diambil setelah empat presentasi dan tanya jawab hingga dua
    setengah jam,” kata ahli pengeboran minyak anggota Drilling Engineers Club (DEC)
    Susila Lusiaga kepada wartawan di Jakarta, Kamis (30/10). Kamis pagi, ia dan
    ahli perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Rudi Rubiandini baru tiba dari
    Cape Town.

    Sejauh ini, hasil pemungutan suara itu menjadi dukungan terbesar bahwa
    semburan lumpur tak terkait gempa. Sebaliknya, terkait pengeboran sumur
    Banjarpanji- 1 (BP-1).

    Sebelumnya, secara individu dan dalam kelompok-kelompok kecil, para geolog
    dan ahli pengeboran menyatakan pengeboranlah pemicu utama, yang dibantah
    geolog-geolog lain. Dua kubu pun tercipta.

    Atas dasar hasil pemungutan suara itu pula, Gerakan Menutup Lumpur Lapindo
    (GMLL) meminta pemerintah serius menanggapinya. Bahkan, pemerintah didesak
    menjadikan hasil diskusi itu sebagai salah satu bukti penguat kasus gugatan
    hukum terhadap Lapindo Brantas Inc.

    ”Sikap (pemungutan suara) itu jelas dari para pihak independen yang
    meyakinkan dan dapat dipercaya. Itu layak dipertimbangkan,” kata Taufik Basari
    dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, salah satu anggota GMLL.

    Berdasarkan hasil pertemuan di Cape Town, GMLL akan menyurati Presiden.
    Intinya, meminta agar penanganan hukum dan sosial diperbaiki.

    ”Surat akan segera kami kirim dalam waktu dekat,” kata salah satu deklarator
    GMLL Letjen Mar (Purn) Soeharto.

    Dihubungi di Cape Town, geolog yang juga Senior Vice President PT Energi Mega
    Persada Bambang Istadi mengatakan, pemungutan suara tidak mewakili pendapat
    geolog seluruh dunia. Lama presentasi dan diskusi juga terbatas.

    ”Namun, kesempatan itu membuka peluang menentukan kerja sama menentukan
    kejadian sebenarnya,” kata dia. Ia dan Nurrochmat Sawolo, Senior Drilling
    Adviser PT Energi Mega Persada, memaparkan fakta dan data seputar pengeboran
    sumur BP-1 dalam sesi diskusi tersebut.

    Rencananya, lanjut Bambang, Lapindo akan mengadakan forum diskusi tertutup,
    termasuk mengundang geolog Inggris Richard Davies, yang menyatakan pengeboran
    sebagai pemicu semburan, untuk membaca dan menganalisa data serta fakta
    pengeboran. ”Mari saling terbuka, tanpa prasangka. Analisa data dari hasil
    lapangan,” kata dia.

    Penderitaan warga

    Di tengah pembahasan geolog tingkat dunia, London, Inggris, dan Cape Town,
    Afrika Selatan, puluhan ribu warga korban lumpur masih tinggal dalam
    kekhawatiran. ”Warga fokus pada tuntutan yang belum juga dipenuhi,” kata
    pendamping warga, Paring Waluyo.

    Saat ini, tak sedikit warga yang belum menerima ganti rugi 20 persen. Apalagi
    sisa 80 persennya. Kelompok warga yang menerima skema pindah tempat tinggal dan
    kembalian pun, mengeluhkan sistem pengangsuran kembalian.

    ”Semua skema yang dipilih warga untuk ganti rugi, menyisakan kekecewaan
    karena pembayaran tersendat dan itu terus bertambah,” kata Paring. Sementara
    itu, semburan lumpur terus terjadi tanpa solusi lain, selain penanggulangan dan
    mengalirkan ke sungai yang terkendala.

    Pihak Lapindo, hingga awal September 2008, mengaku telah mengucurkan dana Rp
    4,39 triliun untuk berbagai keperluan. (GSA)

    http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/31/01082166/geolog.dunia.yakin.lumpur.tak.dipicu.gempa