Category: Lapindo di Media

  • Medco dan Bumi Resources Topang Indeks

    Medco dan Bumi Resources Topang Indeks

    Jakarta: Indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia sempat terpuruk hingga ke 1.244 di sesi pembukaan, mengikuti kejatuhan indeks bursa regional. Tapi akhirnya ditutup menguat 8,707 poin (0,69 persen) ke posisi 1.264,816 dari posisi Senin 1.256,109.

    Analis PT Financorfindo Nusa, Edwin Sebayang, mengungkapkan, harga saham perbankan menguat karena telah memasuki area jenuh penjualan. Aksi korporasi yang dilakukan Medco Energi mampu menahan kejatuhan indeks.

    “Laba Bumi Resources yang melebihi perkiraan para analis juga turut memicu pergerakan indeks kali ini,” ujarnya. Edwin memprediksi indeks Rabu besok masih berpeluang naik di kisaran 1.244-1.295.

    TEMPO Interaktif/Selasa/03 Maret 2009|21:54 WIB

  • Gas Liar Muncul di Ketapang

    Sebelumnya, sekira dua bulan, warga RT 09 dan 08 mulai mencium bau gas namun sumber semburan gas ini baru ketahuan setelah warga Ketapang kebanjiran sejak Selasa (24/2) lalu. Banjir yang menggenangi pemukiman warga ini memunculkan gelembung-gelembung gas dipermukaan air.

    “Semburan wis ono dua bulan, ono banyu dadi ketok, sudah ada dua bulan, ada air jadi kelihatan,” tutur Agus Setiawan (28 tahun), warga RT 03 Ketapang.

    Warga menjadikan buble-buble gas ini sebagai mainan. Semburan yang di pinggir kali diberi kaleng roti yang dilubangi dan bisa dinyalakan atasnya. Warga Ketapang berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan baru ini. Mereka tak tahu betul bahaya gas-gas liar ini.

    Fenomena buble gas ini bukan hal baru di kalangan korban Lapindo. Sebelumnya buble-buble, gas ini juga muncul di desa Siring Barat, Jatirejo Barat, Besuki dan Mindi, Porong. Buble di Jatirejo Barat, menurut catatan Kapanlagi.com dan Tempointeraktif akhir Febuari tahun lalu, menyebabkan beberapa orang yang menghirupnya harus dilarikan ke rumah sakit.

    Ketua RT 8 Ahmad Sofa sudah melaporkan kejadian ini kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan hari Jumat (27/2) beberapa orang BPLS ditemani sekretaris desa Ketapang mendatangi tempat kejadian. Menurut Suharjo (39 tahun), warga RT 08, setelah menengok lokasi semburan selama setengah jam BPLS menyatakan tempat tersebut masih aman.

    Suharjo mendengar informasi tersebut dari obrolan petugas BPLS dengan sekretaris desa. Secara langsung informasi tentang seberapa berbahayanya semburan gas ini terhadap kehidupan warga belum disampaikan pada warga.

    Selain semburan gas rumah-rumah di RT 08 juga mengalami retak-retak di rumahnya. Yuwono, warga RT 08, yang rumahnya retak memperkirakan di Ketapang telah terjadi penurunan tanah. (mam)

  • Setelah Ingkar Janji, Lapindo Paksakan Cicilan

    Oleh Daris Ilma dan Ahmad Novik

    Pada 20 Februari 2009, PT Lapindo Brantas menyuguhkan skema baru pembayaran ganti rugi atau tepatnya jual beri tanah dan bangunan milik warga korban, yakni cicilan Rp 15 juta/bulan. Ini pengingkaran baru Lapindo setelah pada Desember 2008 lalu Lapindo mengatakan akan melakukan pembayaran dengan skema cicilan Rp 30 juta/bulan. Terhadap skema baru itu, warga korban Lapindo terbelah. Sebagian menolak keras. Sebagian lainnya terpaksa menerima.

    {mp3}Cicilan15juta1{/mp3}

  • Dari Bursa Hinggap di Senayan

    Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa pekan lalu. Sesuai dengan urutan pembahasannya, topik yang

    dibawa adalah kasus PT Antaboga Deltasekuritas, PT Bumi Resources Tbk, PT Sarijaya Permana Sekuritas, dan PT Renaissance

    Capital.

    Sepuluh menit pertama dipakai Fuad untuk membeberkan kasus pengelolaan dana investasi Antaboga, yang juga pemegang saham PT

    Bank Century Tbk. Seusai pembahasan Antaboga, ia beralih ke Bumi. Tapi baru saja Fuad hendak membuka mulut, mendadak pemimpin

    rapat Olly Dondokambey angkat bicara.

    Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu meminta pembahasan Bumi ditunda. Olly mengusulkan agenda rapat

    tersebut lebih baik mendahulukan kasus-kasus pasar modal yang secara langsung merugikan kepentingan masyarakat umum.

    Usulan ini diamini oleh anggota-anggota komisi lainnya. Walhasil, pembahasan mengenai Bumi pun layu sebelum berkembang.

    Selain Bumi, komisi menolak membahas sengketa Renaissance Capital dengan Merrill Lynch.

    Sumber Tempo membisikkan, memang ada yang tidak biasa dalam presentasi Fuad hari itu. Ketua Bapepam, dia menyebutkan,

    menambah satu topik pada materi presentasinya dalam rapat yang sebelumnya sepakat hanya membahas persoalan Antaboga, Century,

    dan Sarijaya ini.

    Namun, manuver sang Ketua Bapepam rupa-rupanya terendus sebelum rapat dimulai. Bahan rapat setebal 23 halaman yang dibagikan

    Bapepam kepada anggota Komisi menjadi pembahasan di luar rapat.

    Di dalamnya dijelaskan kasus Bumi berawal ketika anak usaha kelompok Bakrie ini mengakuisisi tiga perusahaan tambang, yakni

    PT Dharma Henwa Tbk, PT Fajar Bumi Sakti, dan PT Pendopo Energi Batubara.

    Pembelian dilakukan bertahap pada akhir Desember 2008 dan awal Januari 2009 dengan nilai total Rp 6,18 triliun. Bapepam

    menyatakan transaksi itu masuk kategori material. Artinya, baru dapat dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan rapat umum

    pemegang saham.

    Sumber tadi kembali bertutur, Fraksi Partai Golkar terlihat paling gelisah dengan niat Bapepam memaparkan kasus tersebut.

    Gerilya politik menjelang rapat langsung dilakukan lewat seorang anggotanya dengan target menggugurkan pembahasan Bumi.

    “Saya yakin lobi itu sudah dibicarakan di antara anggota Komisi dari Fraksi Partai Golkar,” kata dia. Lobi tersebut terbukti

    sukses. Kasus Bumi sama sekali tak disentuh dalam rapat itu.

    Namun, Olly, yang memimpin rapat, mengaku tak tahu soal kesepakatan di luar rapat agar kasus Bumi tak dibahas. “Saya datang

    agak telat, dan langsung memimpin,” ujarnya kepada Tempo.

    Setahu dia, alasan rapat yang berlangsung selama dua jam tersebut tidak mengutak-atik Bumi semata-mata karena keterbatasan

    waktu.

    Begitu pun Olly mengakui kasus Bumi, Century, Sarijaya, dan Renaissance sebenarnya masuk daftar permasalahan yang dikumpulkan

    staf ahli komisi Keuangan dan Perbankan.

    Daftar itu lantas dibahas dalam rapat pemimpin komisi sepekan sebelum rapat dengan Bank Indonesia dan Bapepam digelar. Rapat

    pimpinan sepakat memprioritaskan pembahasan kasus Century dan Sarijaya. Alasannya, komisi telah dijadwalkan menerima

    pengaduan dari nasabah dua kasus tersebut sehari sebelum rapat.

    Kasus Bank Century dan Sarijaya dinilai sangat terkait dengan kepentingan publik. “Sebaliknya, kasus Bumi dianggap hanya

    melibatkan orang-orang tertentu,” kata Olly. Karenanya, ia juga bingung ketika Fuad datang membawa agenda lain pada rapat

    dengar pendapat tersebut.

    Anggota Komisi dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Marwoto Mitrohardjono, juga tidak mengetahui adanya lobi menjelang rapat

    dengan Bapepam pekan lalu. Yang dia tahu, rapat batal membahas kasus Bumi karena keterbatasan waktu. “Sebenarnya saya

    menyesal, karena ada banyak pertanyaan pada kasus itu,” ujarnya.

    Sebaliknya, Fuad mengungkapkan permintaan pembahasan Bumi justru datang dari komisi. Faktanya, kata dia, seorang anggota

    Dewan telah mengirim surat ke Bapepam beberapa waktu lalu. Isinya gawat, Fuad dituduh melindungi Bumi dalam kasus ini.

    Sontak Fuad naik darah mendengar tudingan tersebut. “Kata siapa itu? Gila apa saya,” katanya saat ditemui Tempo pekan lalu.

    Supaya tidak dianggap “main mata”, Fuad akhirnya membawa kasus Bumi ke rapat komisi.

    Tapi sumber lain di Dewan menduga keputusan Fuad membawa kasus Bumi ke rapat komisi sebagai upaya mencari dukungan politik.

    Selain sensitif bagi anggota Dewan, ia menuturkan, kasus ini sensitif bagi pemerintah.

    Sayangnya, sumber itu melanjutkan, partai-partai saat ini sedang mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi pada

    Pemilihan Umum 2009. Perilaku berjaga-jaga ini berimbas pada cara menyikapi sebuah kasus.

    Terlebih lagi, ia menganalisis, kalau kasus tersebut terkait dengan partai besar. Bumi adalah anak usaha PT Bakrie and

    Brothers Tbk, yang dimiliki keluarga Bakrie. Salah satu anggota keluarga ini menempati salah posisi strategis di Golkar.

    “Harus berhati-hati, semua harus dilihat dari kemungkinan-kemungkinan koalisi,” ujarnya.

    Tapi semua spekulasi tersebut dibantah oleh anggota Fraksi Partai Golkar, Ahmad Hafiz Zawawi. Ia memastikan tak ada niat

    partainya untuk meredam kasus Bumi, apalagi melakukan lobi politik untuk membatalkan pembahasan kasus tersebut bersama

    Bapepam.

    “Kalau ada yang bicara begitu, itu su’udzon (buruk sangka) yang berlebihan,” kata Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan ini

    saat ditemui Tempo kemarin.

    Menurut dia, ditundanya pembahasan kasus Bumi lantaran keterbatasan waktu. “Kasus Bank Century lebih penting, sampai ada

    nasabah yang mati.”

    Adapun Olly berharap bisa secepatnya membahas kasus ini. Meski begitu, dia tak bisa memastikan waktunya karena agenda Komisi

    sangat padat dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan dan Peraturan Pemerintah Pengganti

    Undang-Undang Perpajakan. “Itu semua kan juga buat kepentingan Bapepam,” katanya.

    Kepada Tempo Fuad menyatakan tekadnya menuntaskan persoalan Bumi. Dia memastikan Bapepam, yang dipimpinnya, bebas dari segala

    tekanan. Di saat krisis seperti sekarang, banyak perusahaan yang kesulitan likuiditas. “Ada yang legowo, ada juga yang ribut

    kalau merugi, terus menyalahkan broker,” ujar dia.

    Dalam kesempatan berbeda, Direktur Utama Bumi Ari Saptari Hudaya bersama Komisaris Utama Bumi Nalinkant A. Rathod

    mempertanyakan pemeriksaan yang dilakukan Bapepam. Pasalnya, mereka merasa Bumi telah menjalankan proses akuisisi sesuai

    dengan aturan. “Padahal, kalau ngobrol dengan mereka (Bapepam), selalu saya jelaskan, saya tidak tahu apakah ada kaitan

    politiknya atau tidak,” kata Ari.

    BUKAN SENGKETA PERTAMA

    Kisruh akuisisi tiga perusahaan tambang oleh Bumi Resources bukanlah cerita pertama gesekan kelompok bisnis Bakrie dengan

    otoritas pasar modal. Tercatat ada tiga kejadian penting sepanjang tiga tahun terakhir yang menunjukkan adanya letupan

    sengketa dua belah pihak.

    Maret 2006, Bapepam mencermati transaksi penjualan saham PT Arutmin Indonesia, PT Kaltim Prima Coal (KPC), dan Indocoal

    Resources Limited 100 persen kepada PT Borneo Lumbung Energi, yang merupakan afiliasi dari PT Renaissance Capital. Total

    nilai transaksi mencapai US$ 3,2 miliar. Saat itu berembus kabar tentang adanya upaya-upaya pihak tertentu “menggoreng” harga

    saham.

    Gesekan kedua terjadi pada November 2006. Saat itu Bapepam meminta anak usaha Bakrie, PT Energi Mega Persada Tbk, membatalkan

    penjualan Lapindo Brantas Inc.

    Sebelumnya, pada 19 September 2006 Energi berniat menjual Lapindo kepada Lyte Limited. Penjualan ini melalui pelepasan saham

    Kalila Energy Ltd dan Pan Asia Enterprise Ltd.

    Aksi korporasi itu bertujuan menghindarkan Energi dari kerugian lebih besar sebagai akibat semburan lumpur. Lyte adalah

    perusahaan yang berdomisili di Kepulauan Jersey, Inggris. Perusahaan ini berdiri pada 17 Januari 2006 dengan modal dasar 10

    ribu pound sterling.

    Ketua Bapepam Fuad Rahmany menolak mengesahkan transaksi tersebut karena harga jualnya terlalu murah, hanya US$ 2. Otoritas

    juga ingin mengetahui identitas pembeli, kendati alasan utama yang mencuat adalah belum jelasnya penyelesaian luapan lumpur

    Lapindo di Porong, Sidoarjo.

    Batal melego Lapindo ke Lyte, beberapa bulan kemudian terdengar kabar Energi menandatangani kesepakatan menjual Lapindo ke

    Freehold Group Limited. Bapepam kembali meminta penjualan dibatalkan dengan alasan yang sama.

    Energi akhirnya menurut dan membatalkan perjanjian penjualan yang sudah diteken pada 14 November 2006. Alasan pembatalan

    tersebut adalah banyaknya kontroversi dan penjualan Lapindo tidak dapat dipahami dan diterima pihak terkait. Kini penanganan

    lumpur ditangani oleh Minarak Lapindo Jaya.

    Berikutnya, letupan terbesar terjadi saat Bursa Efek Indonesia melakukan penghentian sementara perdagangan saham (suspensi)

    enam perusahaan Bakrie di bursa. Ini bermula pada 7 Oktober 2008, ketika saham enam emiten Bakrie kena suspensi karena

    sentimen negatif akibat rumor adanya gagal bayar repo (gadai saham) Bakrie.

    Keenam emiten itu adalah PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk, PT Bakrie Development Tbk, PT Bakrie Telecom Tbk, PT Bakrie &

    Brothers Tbk, PT Energi Mega Persada Tbk, dan PT Bumi Resources Tbk.

    Suspensi terus berlanjut hingga pada 17 Oktober 2008 saham Bakrie Sumatera, Bakrie Development, dan Bakrie Telecom kembali

    diperdagangkan. Sedangkan tiga emiten lainnya tetap kena suspensi sampai pada 29 Oktober 2008 Bakrie & Brothers kembali

    meminta perpanjangan suspensi Bumi dan Energi dengan alasan belum selesainya transaksi penjualan saham kedua perusahaan.

    Manajemen mengatakan waktu perpanjangan suspensi 10 hari sejak surat mereka tertanggal 18 Oktober 2008 belum cukup untuk

    menyelesaikan seluruh aspek perjanjian dengan calon pembeli.

    Gerah dengan suspensi yang berkepanjangan, Ketua Bapepam Fuad Rahmany mendesak grup Bakrie segera menjelaskan rencana

    divestasinya secara komprehensif. Bapepam khawatir muncul dampak terhadap pasar saham Indonesia akibat beredar rumor negatif

    dari rencana bisnis Bakrie yang tidak kunjung jelas.

    Pada 5 November 2008, Bursa Efek Indonesia mengumumkan rencana pembukaan suspensi Bumi, tapi mendadak dibatalkan karena ada

    permintaan dari pemerintah. Saat itu, berembus kabar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan jajaran pejabat eselon I

    menyampaikan permintaan mundur kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

    Tak jelas betul soal adanya intervensi pemerintah dalam penundaan pencabutan suspensi itu. Cuma, Fuad sampai harus meminta

    maaf atas kejadian ini. “Kami minta maaf kalau memang terjadi kebingungan di pasar.”

    BAPEPAM BERHAK TUNJUK AUDITOR BARU

    Bursa Efek Indonesia (BEI) menilai Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) berhak menunjuk auditor baru

    untuk memeriksa laporan transaksi yang dilakukan PT Bumi Resources Tbk.

    “Jika Bapepam memutuskan harga akuisisi tiga perusahaan itu material, mereka bisa meminta auditor lain untuk mengaudit,” ujar

    Direktur Utama BEI Erry Firmansyah saat ditemui di kantornya kemarin.

    Ia juga berpendapat, kalau hasil investigasi Bapepam nantinya menemukan harga akuisisi terlalu mahal, anak perusahaan PT

    Bakrie and Brothers Tbk tersebut berhak membantah dengan mengajukan bukti bahwa harga tersebut sesuai dengan harga pasar.

    Saat ini, Erry mengatakan penyelidikan Badan Pengawas masih belum selesai. “Kami membantu jalannya investigasi dengan

    menyediakan data-data perdagangan yang kami miliki,” tuturnya.

    Januari lalu, Bapepam mulai menyidik akuisisi Bumi terhadap tiga perusahaan tambang. Kepala Biro Penilai Keuangan Perusahaan

    Sektor Riil Bapepam Anis Baridwan mengungkapkan adanya perbedaan penilaian terhadap akuisisi itu antara Bapepam dan Bumi.

  • Menyelisik Harga Ekstrapremium dari Bumi

    Induk usaha kelompok bisnis Bakrie di bidang pertambangan batu bara, PT Bumi Resources Tbk, tumbuh menjadi produsen batu bara ternama. “Sekarang pertanyaannya adalah apakah sukses itu akan terulang,” ujar Nirwan kepada Tempo di rumahnya sebulan lalu.

    Ditemani sebatang rokok dan secangkir kopi panas, Nirwan menceritakan ihwal aksi Bumi mengakuisisi tiga perusahaan tambang yang kemudian disidik Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Umumnya orang curiga, duit Rp 6,2 triliun itu dari mana? “Kami membeli dengan skema menarik yang tidak mengganggu arus kas Bumi,” katanya.

    Cara yang dimaksud adik kandung Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie ini adalah membayar secara mencicil selama tiga tahun. Sebelum pelunasan pada tahun ketiga, perusahaan tersebut harus membuktikan kinerja seperti yang mereka janjikan. Nirwan berujar, tiga perusahaan itu ditawarkan cukup lama. “Inilah saatnya membeli, dan kami beli dengan harga bagus.”

    Tapi tidak semua orang sependapat dengan Nirwan. Analis sektor pertambangan dari Danareksa Sekuritas, Felicia Barus, misalnya. Dalam laporan analisis pada 9 Januari 2009 yang khusus menyoroti akuisisi Bumi terhadap PT Pendopo Energi Batubara, Felicia menyebut pembelian atas Pendopo terlalu mahal.

    Perbandingan sederhana disorongkan Felicia. Di dalam analisisnya, yang bertajuk “Another Day, Another Acquisition”, itu, dia mengatakan, sebelumnya, PT Darma Henwa Tbk membeli Pendopo pada harga US$ 11 juta untuk memperoleh 11 persen saham. Pembelian itu dilaksanakan pada 5 Desember 2008.

    Mengacu pada harga transaksi Darma, Felicia mengatakan mestinya nilai 100 persen saham Pendopo sekitar US$ 100 juta. Namun, nyatanya Bumi membeli 84,5 persen saham Pendopo pada harga Rp 1,304 triliun (sekitar US$ 118 juta pada kurs Rp 11 ribu per dolar AS).

    Begitu pula, dia melanjutkan, pembelian Bumi atas Darma pada harga Rp 354 per lembar saham yang diumumkan 30 Desember 2008 jauh di atas harga pasar. Pasalnya, harga pasar saham Darma pada tanggal itu hanya Rp 50 per lembar.

    Ia membeberkan, harga beli emiten berkode Dewa ini menunjukkan perkiraan price-earning ratio (PER) untuk 2009 sebesar 27 kali, lebih tinggi dari perkiraan PER Bumi sendiri, yang hanya 4,8 kali. PER dihitung dengan cara membagi valuasi saham dengan pendapatan per saham. Fungsi PER adalah menghitung nilai sebuah perusahaan dibandingkan dengan perusahaan lain sejenis. Semakin kecil PER-nya, saham tersebut semakin murah.

    Sebaliknya, Felicia menilai transaksi akuisisi terhadap PT Fajar Bumi Sakti menguntungkan karena menambah nilai sebanyak Rp 48 per lembar saham. Hadirnya Fajar juga memberi sumbangan tambahan pendapatan Bumi sebesar 7 persen selama periode 2009-2010.

    Selanjutnya, dalam analyst report berjudul “Another Acquisition that Hurts Minority Shareholders”, Felicia menjelaskan, akuisisi saham ini melibatkan pembelian dalam jumlah besar (Rp 6,2 triliun) dan waktu singkat yang memenuhi kriteria transaksi material (melebihi 10 persen perkiraan pendapatan pada 2008 atau 20 persen dari perkiraan ekuitas 2008). Konsekuensinya, berdasarkan aturan pasar modal, Bumi harus menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa guna meminta persetujuan.

    Kepala Riset BNI Securities Norico Gaman sependapat bahwa harga beli Darma Henwa sebesar lima kali dari harga pasar kelewat tinggi. Padahal, menurut dia, 50 persen saja dari harga pasar sudah tergolong harga premium. Apalagi kontribusi Darma sebagai kontraktor pertambangan belum signifikan.

    Menjawab tudingan itu, Direktur Utama Bumi Ari Saptari Hudaya mengungkapkan, semua harga beli Bumi jauh di bawah harga yang ditetapkan penilai independen. Valuasi penilai independen Bumi menetapkan harga 100 persen saham Pendopo bernilai US$ 179-198 juta. Sehingga 84,5 persen saham Pendopo mestinya berharga US$ 151 juta.

    Sedangkan 100 persen saham Darma dinilai berharga US$ 448-510 juta. Sehingga mestinya 44 persen saham Darma berharga minimal US$ 197 juta dan maksimal US$ 224 juta. Demikian pula harga 100 persen saham Fajar, yang dinilai seharga US$ 270-299 juta. Sehingga mestinya 76,8 persen saham ada pada harga US$ 207-209 juta.

    Nirwan sepakat dengan anak buahnya itu. Menurut dia, Fajar dan Pendopo adalah perusahaan tambang batu bara yang bisa mengelola batu bara berkalori rendah, dan mahir menggali di kedalaman. Sedangkan Darma adalah perusahaan kontraktor yang biasa menambang dan menyiapkan alat-alat berat. Dengan begitu, Bumi bisa siap memasok pasar energi dunia, yang diperkirakan terus naik. “Pasar dunia lagi gila-gilaan butuh energi, Bos,” ujarnya.

    Apa pun cerita kelompok Bakrie, kelihatannya pasar belum melihat titik terang dari akuisisi Bumi. Akibatnya, investor belum tertarik bertransaksi pada saham perusahaan ini. Pada 5 Januari 2009, saham Bumi masih bertengger pada harga Rp 940 per lembar. Kemarin harganya ditutup menjadi Rp 730 setelah sempat menyentuh Rp 425 per lembar pada 15 Januari lalu.

    Analis BNI Securities, M. Alfatih, mengatakan aksi korporasi perusahaan publik seharusnya menarik bagi investor. Apalagi akuisisi Bumi bisa meningkatkan kapasitas produksi batu bara. Tapi banyak sekali rumor soal transaksi itu. “Akibatnya, transaksi saham Bumi masih sempit, nilainya juga cenderung turun,” ujarnya.

    Alfatih menyebutkan, beberapa pelaku pasar menilai akuisisi itu telah mengubah struktur kepemilikan mayoritas pada perusahaan yang diambil alih. “Banyak yang menganggap harus ada tender offer (penawaran pembelian saham publik),” ujarnya. Belum lagi ada dugaan bahwa dalam transaksi itu terdapat benturan kepentingan.

    Fuad Rahmany, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, juga menduga transaksi tersebut material dan kelewat mahal. “Harga pembelian terhadap ketiga perusahaan itu tidak wajar. Saya sedang memeriksa penilai independennya,” kata dia.

    Dia berpandangan, penetapan harga beli yang tidak wajar berpotensi merugikan pemegang saham publik yang tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Karena itu, Fuad mendesak Bumi segera melaksanakan rapat umum pemegang saham untuk meminta persetujuan atas transaksi akuisisi.

    Fuad Rahmany, Ketua Bapepam:

    ALASAN HARGA MAHAL TAK MASUK AKAL

    Apakah transaksi Bumi material?
    Transaksi itu mereka pecah-pecah, jadi dianggap tidak material. Mereka bilang tidak perlu RUPS. Padahal, menurut hitungan kami, transaksi Bumi, yang mencapai Rp 6,2 triliun, itu sudah masuk formula material. Bumi sudah menjual saham ke publik sekitar 65 persen. Bukan milik pendiri awal. Walau itu dulu perusahaan keluarga, begitu masuk pasar modal, harus sadar sekarang ada orang lain yang memiliki.

    Benarkah ada pemegang saham yang terafiliasi?
    Kami melihat di tiga perusahaan itu ada pihak yang terafiliasi. Ada pemegang saham dari Bumi. Paling tidak ada mereka di sana. Itu memang sambung-menyambung dan terkait. Memang tidak langsung dan tidak kelihatan. Tapi, kalau dibuka, informasinya begitu.

    Harga pembeliannya dinilai terlalu mahal?
    Saya bilang harganya tidak wajar. Contoh, Darma Henwa harga pasarnya Rp 50, tapi mereka beli Rp 300. Yang benar saja, enam kali lipat. Alasan mereka macam-macam, tapi tidak masuk akal. Darma itu perusahaan kontraktor, tidak punya tambang, cuma jasa. Isinya gedung dan mesin-mesin saja. Masak harganya sampai Rp 2,4 triliun.

    Fajar itu perusahaan tambang. Tapi, kalau harganya Rp 2,4 triliun, tidak pantas juga. Karena dibagi jumlah batu bara yang mereka produksi, harga per ton jauh lebih mahal daripada produksi Bumi sendiri, yang selama ini sudah terkenal dan memiliki nilai. Berikutnya Pendopo. Katanya untuk pembangkit listrik. Dimulai juga belum proyeknya, kok, bisa harganya Rp 1,3 triliun.

    Siapa yang dirugikan?
    Pihak yang dirugikan yang tidak ikut-ikutan di dalam rapat. Karena sekarang yang menguasai perusahaan itu satu pihak dari pemegang saham, yang kebetulan pendirinya dulu.

    Bapepam terlambat mengetahuinya?
    Regulator selalu kalah dari sisi informasi karena ada perubahan-perubahan yang kami juga tidak tahu. Makanya di situ perlunya whistle blower.

    Motif transaksi ini?
    Karena perusahaan yang dibeli Bumi ternyata pemegang sahamnya ada kaitan, jadi patut kami curigai ada upaya menggerus uang dari Bumi. Kalau Bumi membeli kemahalan, pasti ada yang diuntungkan.

    Artinya, transaksi Bumi bisa dibatalkan?
    Saya tidak bisa bilang begitu dulu. Sebab, kalau dibatalkan, juga ada masalah hukum lagi, karena mereka sudah melakukan transaksi dan sebagainya. Inilah dampaknya kalau mereka tidak patuh terhadap aturan, bisa rumit.

    Sanksinya apa?
    Jika nanti itu terbukti, kami bisa berikan teguran atau sanksi lainnya. Tapi yang lebih penting, pemegang saham lainnya jangan diam saja. Baca aturan, gunakan hak mereka.

    Bakrie sudah berulang kali tersandung masalah di pasar modal?
    Ya, kami menayangkannya. Kami minta kepada yang lain jangan seperti itu. Kalau sudah masuk di pasar modal, itu ada aturannya, jangan seenaknya.

    Ari Saptari Hudaya, Direktur Utama PT Bumi Resources Tbk:

    YA, SEPERTI KUCINGLAH, DILEMPAR BALIK LAGI…

    Bapepam menuding transaksi Bumi material?
    Begini, tadinya Bumi memang berencana membeli ketiga perusahaan itu sekaligus. Tapi tidak bisa karena pemiliknya berbeda dan negosiasinya lain. Nah, jadi pengumumannya satu-satu.

    Pendapatan Bumi tahun ini sekitar US$ 4 miliar. Keuntungannya sekitar US$ 600 juta. Jadi kami punya kapitalisasi cukup besar. Punya pendapatan cukup besar. Penasihat hukum kami mengatakan transaksinya tidak disatukan, terpisah-pisah, di bawah ketentuan materialitas.

    Benarkah harga pembeliannya terlalu mahal?
    Kami membeli cadangan batu bara. Pendopo mempunyai cadangan 600 juta ton atau 1 miliar ton. Kalau US$ 200 juta dibagi 600 juta ton berapa sih? US$ 30 sen. Itu murah.

    Sekarang kita lihat Fajar. Memang lebih mahal ketimbang Pendopo, tapi mereka punya keahlian mengebor tambang bawah tanah serta pengetahuan mencampur batu bara. Ini yang tidak pernah saya sampaikan ke luar.

    Sedangkan Darma Henwa itu bukan soal magis. Mereka bekerja sendiri sudah menghasilkan 12 juta ton. Artinya, tidak susah menghitungnya. Dari 9 juta ton naik menjadi 12 juta ton. Selain itu, saya bisa punya alat-alat berat, ban, dan sebagainya. Saya akan dorong mereka menjadi operator besar.

    Bagaimana soal benturan kepentingan?
    Ceritanya, Pendopo punya kontrak pertambangan batu bara generasi ketiga. Tapi kontrak itu tidak digunakan. Lalu pada 2007 pemegang saham Pendopo meminta bantuan keuangan US$ 10 juta ke Arutmin, anak usaha Bumi.

    Sejak itu Bumi terus mempelajari aktivitas bisnis Pendopo. Saya ikutin terus. Rupanya lokasinya dekat sungai besar. Artinya, kalau saya bikin pembangkit listrik, airnya gampang. Nah, Pendopo itu sampai pada tahap harus sudah memulai produksi sekarang ini.

    Adapun Fajar pada 1982 dimiliki orang lain sebelum keluarga Tabusalla masuk. Karena Andi Tabusalla dekat dengan keluarga Bakrie, beliau minta tolong. Pada 1991 Bakrie mulai pegang saham di situ, tapi belum menjadi pengendali.
    Kemudian pada 1997, krisis moneter terjadi. Kalian bisa hitung, kelompok Bakrie memotong-motong asetnya. Semua barang dijual sebagai bagian dari penyelesaian utang kepada para kreditor.

    Tapi benar nama pengurus perusahaannya tidak berubah. Kontrolnya tetap dipegang oleh kami. Karena ada program selama lima tahun, yang baru berakhir 28 Desember 2008. Ketika program itu selesai, kreditor-kreditornya minta tolong menjualkan aset satu per satu itu. Maka Bumi membeli lagi dari kreditor itu. Ya, seperti kucinglah, dilempar balik lagi… (tertawa).

    Banyak rumor negatif beredar?
    Itulah. Dulu waktu kami membeli kembali PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk tidak ada yang ribut. Tapi kenapa sekarang ribut?

  • Jejak Tiga Transaksi

    Semula Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Fuad Rahmany menganggap informasi yang mampir ke telinganya tidak istimewa. Sepintas isinya hanya aksi korporasi biasa: PT Bumi Resources Tbk membeli tiga perusahaan tambang batu bara.

    Ketika itu, awal Januari 2009, ia sedang sibuk mengurusi kasus raibnya dana nasabah PT Sarijaya Permana Sekuritas. Menurut Fuad, informasi itu diterimanya ketika sedang menyiapkan konferensi pers Sarijaya. “Mereka (Bumi) melaporkan sudah melakukan transaksi,” ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

    Tapi berita susulan yang datang bertubi-tubi membuat Fuad terperanjat. Diduga transaksi senilai Rp 6,2 triliun itu masih ada hubungan afiliasi. Harga pembelian ketiga perusahaan itu juga diduga kelewat mahal. Singkat kata, ada potensi benturan kepentingan di sana.

    Dugaan benturan kepentingan menjadi pintu masuk Bapepam dalam mengusut transaksi ini. Pasalnya, jika ini terbukti, Bumi tidak bisa begitu saja merampungkan transaksi akuisisi. Persetujuan pemegang minoritas (independen) dalam rapat umum pemegang saham luar biasa menjadi sebuah keharusan. Tidak ada persetujuan, tak ada transaksi.

    Dengan pertimbangan ini, Bapepam bergerak cepat. Fuad meminta yahoo.9msk.ru Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam Sardjito menyelisik kasus ini. Belakangan, Sardjito mengungkapkan telah menerbitkan surat perintah penyidikan atas pembelian tersebut dengan dugaan benturan kepentingan.

    Ramainya pemberitaan transaksi ini bermula ketika Bumi, perusahaan tambang batu bara yang terafiliasi dengan Grup Bakrie, membeli tiga perusahaan tambang, yakni PT Darma Henwa Tbk, PT Fajar Bumi Sakti, dan PT Pendopo Energi Batubara. Pembelian ini dilakukan secara bertahap mulai akhir Desember 2008 dan awal Januari 2009 dengan nilai total sekitar Rp 6,2 triliun.

    Pembelian dalam jumlah besar ini memicu reaksi pasar yang hebat. Beredar luas rumor yang menyatakan bahwa transaksi tersebut berbau benturan kepentingan. Harga pembelian juga dinilai kemahalan, terutama untuk kelompok Bakrie yang sedang dililit utang.

    Akibatnya, saham Bumi, yang semestinya naik setelah akuisisi, justru terjerembap cukup dalam. Dari posisi Rp 940 per lembar pada 5 Januari lalu menjadi tinggal Rp 425 per lembar pada 15 Januari.

    Bereaksi cepat, Bursa Efek Indonesia pada 8 Januari berkirim surat kepada manajemen Bumi, meminta penjelasan seputar transaksi tersebut. Sebanyak 20 pertanyaan mengenai tata cara pembayaran, latar belakang pemegang saham ketiga perusahaan, sampai kinerja keuangan disampaikan kepada manajemen.

    Jawaban dari Sekretaris Perusahaan Dileep Srivastava pada 14 Januari lalu dianggap Direktur Pencatatan Bursa Eddy Sugito tidak memuaskan. Bursa pun kembali mengirim surat pertanyaan kedua yang, antara lain, meminta kejelasan soal laporan penilaian aset (valuation report) yang tidak dicantumkan. “Sehingga sulit menilai apakah transaksi itu kemahalan atau tidak,” ujar Eddy.

    Bapepam juga dibuat meradang. Fuad Rahmany menyatakan Bumi Resources Tbk telah melakukan transaksi tanpa sepengetahuan institusinya. “Kami belum lakukan apa-apa, kok, tapi mereka sudah bertransaksi. Saya tidak pernah kasih persetujuan,” kata dia.

    Penelusuran Tempo melalui Indonesian Coal Book 2008-2009 menemukan kejanggalan kepemilikan saham pada beberapa perusahaan tersebut. Buku tersebut menuliskan, pemilik PT Fajar Bumi Sakti adalah PT CMA Indonesia sebesar 89,23 persen, PT Mukti Prabawa Perkasa 10,66 persen, dan PT Bakrie Mining Service Corporation 0,1 persen.

    Disebutkan pula, perusahaan tambang batu bara ini berlokasi di Tenggarong, Kutai Kartanegara; berkantor di Wisma Bakrie, Jakarta; dan menjadi anak usaha PT Bakrie Investindo sejak 1992.

    Adapun CMA (Capital Managers Asia) diketahui sangat erat kaitannya dengan kelompok Bakrie. Anindya Bakrie, yang kini menjabat Direktur Utama Bakrie Telecom Tbk, juga menjadi Direktur Operasional Capital Managers Asia Pte Ltd, yang berpusat di Singapura.

    Data dari Accounting and Corporate Regulatory Authority di Singapura menjelaskan, perusahaan ini didirikan pada 2000. Pemegang sahamnya adalah Robertus Bismarka Kurniawan dan Nalinkant Amratlal Rathod. Robertus saat ini menjabat sebagai Direktur ANTV, stasiun televisi yang didirikan kelompok Bakrie. Sedangkan Nalinkant adalah Komisaris Utama Bumi dan Direktur Utama Bakrie & Brothers.

    Saat dimintai konfirmasi, juru bicara Fajar Bumi Sakti, Andi Muchtar, mengaku tidak tahu perihal perubahan struktur kepemilikan perseroan. Ia hanya mengetahui kepemilikan perusahaan sudah di tangan Grup Bakrie sejak 1992. Bakrie, kata dia, masuk melalui PT Bakrie Tondongkura Pratama, yang membeli 100 persen saham pemilik lama.

    Bakrie Tondongkura, dia melanjutkan, sudah gulung tikar pada 1995-1996. “Sejak itu, yang kami tahu Grup Bakrie masih pemilik Fajar Bumi Sakti,” katanya ketika dihubungi Tempo, Senin pertama Februari lalu.

    Andi mengungkapkan belum ada perubahan dalam akta notaris perusahaan. Pada akta itu, Nalinkant A. Rathod duduk sebagai Komisaris Utama. “Saya tidak ingat sejak kapan Pak Nalin jadi Komisaris Utama di sini, sudah lama,” ujarnya.
    Ia melanjutkan, Direktur Utama Fajar Bumi Yufli Gunawan dan Direktur Andi Pravidia dulu bekerja di Capital Managers Asia Pte. Yufli menjabat Direktur Utama sekitar dua tahun lalu, menggantikan Azis Marsuki. “Ketika menjabat Direktur Utama, Azis dibantu direkturnya, Charlie Kasim,” katanya.

    Tempo menemukan, nama Charlie Kasim sekarang masih bertengger sebagai Direktur Keuangan PT Visi Media Asia, induk perusahaan pemilik stasiun televisi TVOne. Charlie juga menempati posisi yang sama di situs berita VIVAnews.com. Kedua media ini terafiliasi dengan kelompok usaha Bakrie.

    Saat ditemui akhir Januari lalu, Direktur Utama Bumi Ari Saptari Hudaya dan Komisaris Utama Bumi Nalinkant A. Rathod membantah adanya konflik kepentingan dalam transaksi tersebut. Nalin memastikan kepemilikan Bakrie di Fajar sudah dilepas sejak krisis pada 1997. “Saat krisis, Bakrie menjual aset-asetnya, tapi namanya di perusahaan memang tidak diubah,” ujar dia.

    Tapi akta perubahan Fajar Bumi Sakti hasil rapat umum pemegang saham pada 16 Juni 1997 menunjukkan, justru ketika itu, Bakrie Investindo dan Nirwan Dermawan Bakrie memperbesar porsi sahamnya di Fajar. Berdasarkan akta ini pula, pada 1 September 2000 Fajar didaftarkan di Kantor Pendaftaran Perusahaan Jakarta Selatan.

    Di dalam akta itu dituliskan, modal Bakrie Investindo, yang sebelumnya menempatkan Rp 6,732 miliar (sebanyak 67.320 lembar saham), bertambah menjadi Rp 27,72 miliar (sebanyak 277.200 lembar). Sedangkan Nirwan memperbesar modal dari Rp 68 juta (680 lembar saham) menjadi Rp 280 juta (2.800 lembar saham). Sehingga total modal dasar naik dari Rp 10 miliar menjadi Rp 28 miliar.

    Masih mengacu kepada buku Indonesian Coal Book, jejak Bakrie di Pendopo Energi, yang berdiri pada 20 November 1997, juga tampak jelas. Buku itu menyebutkan pemilik mayoritas saham Pendopo Energi Batubara adalah PT Bakrie Capital Indonesia sebanyak 90 persen, sedangkan sisanya PT Barito Putra 10 persen.

    Selanjutnya, di Darma Henwa, terdapat rekam jejak kepemilikan saham Long Haul dan Capital Managers. Keduanya sampai 28 November 2008 dilaporkan masih memegang saham masing-masing 11,53 persen dan 8,97 persen. Tapi, pada laporan bertanggal 30 Desember 2008, keduanya lenyap dari daftar pemegang saham berjumlah 5 persen atau lebih.

    Jejak Long Haul bertaburan di kelompok usaha Bakrie. Penelusuran Tempo menemukan Long Haul memiliki saham sebanyak 8,08 persen di PT Bakrie Telecom Tbk sampai 30 Januari 2009. Perusahaan ini juga menggenggam 21,51 persen saham Bakrie & Brothers sampai 31 Januari 2009. Bahkan, sampai 31 Maret 2008, Long Haul masih memiliki 18,9 persen saham Bumi.

    Siapa pemilik Long Haul? Masih jadi misteri sampai sekarang. Cuma, pada 2003, sewaktu ribut-ribut mengenai divestasi 51 persen saham PT Kaltim Prima Coal, yang merupakan anak usaha Bumi, pernah terungkap pemilik perusahaan yang beralamat di Charlestown, Pulau Nevis, Karibia, ini.

    Beberapa di antaranya adalah pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo B. Sulisto, Iman Taufik, dan Kusumo Martorejo. Ketiganya sampai sekarang masih menjabat komisaris Bumi. “Saya sendiri, Iman Taufik, Kusumo, dan teman-teman di Kadin menjadi pemegang saham di sana,” ujarnya ketika itu.

    Namun, ketika dimintai konfirmasi kembali soal ini pada Jumat lalu, Suryo membantah pernah mengatakan memegang saham Long Haul. Sambil tergelak di ujung telepon, ia mengungkapkan tidak pernah memegang saham Long Haul dan tidak mengetahui siapa pemegang sahamnya.

    Meski begitu, dalam penjelasannya kepada otoritas bursa, nama Capital Managers, Bakrie Capital, Bakrie Investindo, dan Long Haul memang sudah tidak ada lagi dalam struktur kepemilikan saham tiga perusahaan itu. Sebagai gantinya, muncul nama Ancara Properties Ltd dan Indomining Resources Holding Ltd.

    Dua perusahaan yang berdomisili di Republik Seychellesdi, Samudera Hindia, ini secara tidak langsung menguasai 99,9 persen saham Fajar dan 95 persen Pendopo. Bumi Resources Investment, anak usaha Bumi, membeli saham Fajar dan Pendopo dari mereka. Sedangkan Bumi masuk ke Darma setelah membeli 80 persen saham Zurich Assets International Ltd dari Goodrich Management Corporation.

    Kalangan analis berbeda pendapat mengenai maksud dari transaksi Bumi ini. Seorang analis yang enggan disebutkan namanya menduga transaksi ini hanyalah trik sebagian pemegang saham untuk mengambil uang dari Bumi untuk menutupi utang induk usahanya.

    Namun, analis lainnya condong pada dugaan bahwa transaksi ini hanya bertujuan “menggoreng” saham Bumi yang sempat terpuruk akibat krisis keuangan dunia. Ia pun tidak melihat upaya tersebut sebagai langkah Bakrie & Brothers untuk menggerus keuntungan Bumi demi melunasi semua kewajiban-kewajibannya.

    Argumentasinya, jumlah uang muka yang dibayarkan kepada ketiga perusahaan itu sedikit sekali. Sedangkan sejumlah besar sisanya dicicil dalam tempo tiga tahun. Keanehan lainnya, Fajar dan Pendopo belum tergolong perusahaan yang menghasilkan batu bara cukup banyak. “Masih greenfield, kenapa dibeli?” kata analis itu.

    Semua spekulasi di atas dibantah Direktur Utama Bumi Ari S. Hudaya. Ia berujar ketiga perusahaan tersebut telah lama diincar Bumi. Contohnya, Pendopo, ujar dia, mulai dipantau sejak perusahaan itu meminta bantuan keuangan ke Bumi pada 2007. Menurut Ari, perusahaan ini punya kontrak tambang generasi ketiga, tapi tidak diapa-apakan.

    Dia memastikan ketiga perusahaan tersebut dibeli semata-mata untuk mendukung bisnis Bumi. Fajar Bumi, ia membeberkan, dibeli karena sudah memiliki keahlian dan pengalaman menggali batu bara bawah tanah. Kualitas batu bara yang dihasilkannya juga sudah cukup tinggi, mencapai 6.200 kilokalori.

    Adapun Darma Henwa, kata dia, dibeli untuk menjamin pasokan alat-alat berat bagi dua anak usahanya, yaitu Arutmin dan Kaltim Prima Coal. “Saya akan dorong Darma menjadi operator besar,” kata Ari. Darma juga disebut akan memperkuat posisi tawar Bumi menghadapi kontraktor-kontraktor lainnya.

    Sedangkan Pendopo dibeli karena mempunyai keahlian di bidang gasifikasi (pengolahan batu bara menjadi gas) dan pengembangan pembangkit listrik. “Di sini Bumi akan menjadi pemasok batu baranya,” ujar Ari.

    Ia pun membantah adanya benturan kepentingan di antara pihak-pihak yang memiliki ketiga perusahaan. Dia juga membantah adanya keterkaitan antara Long Haul dan Bakrie.

    Ari membenarkan bahwa dulu Long Haul pernah memiliki saham di Bumi, Arutmin, dan Bakrie Capital. Tapi itu bukan berarti ada hubungan kepemilikan saham antara Long Haul dan kelompok Bakrie. “Asosiasinya orang selalu ke sana, dikait-kaitkan. Buat apa saya bantah, didiamkan saja,” kata dia.

    Walau bantahan Ari sudah cukup detail, rupanya Bapepam punya pandangan sendiri. Dalam perbincangan dengan Tempo, Fuad Rahmany mengaku sudah memegang bukti-bukti bahwa transaksi tersebut material. Artinya, nilainya mencapai 10 persen dari pendapatan atau 20 persen terhadap ekuitas.

    Selain itu, Bapepam memperoleh bukti-bukti adanya afiliasi alias keterkaitan di antara para pemegang sahamnya. Nyambung-nyambung, tektok-tektok. “Memang tidak langsung dan tidak kelihatan. Tapi, kalau dibuka, informasinya begitu,” ujar dia. Bapepam pun berpendapat harga beli ketiga perusahaan tersebut kelewat mahal.
    Fuad berjanji akan menuntaskan penyidikan kasus ini setelah selesai melakukan valuasi independen terhadap nilai transaksinya. “Kalau tidak tuntas, orang akan menganggap di pasar modal Indonesia itu bisa seenak-enaknya,” kata dia.

  • Perempuan-Perempuan Tangguh

    Tapi ini bukan bayangan, bukan imajinasi. Ini fakta yang sudah dua tahun setengah ini berlangsung di dekat kita, sangat dekat. Ini kisah ribuan suami yang pekerjaannya direnggut bencana lumpur Lapindo, sementara istri-istri dan anak-anak perempuan, dengan segala keterbatasannya, dipaksa menanggung beban keluarga semuanya. Ya, semuanya.

    Perempuan itu, Asfeiyah namanya (45 tahun), masih tegak sebagai ibu rumah tangga di Pasar Baru Porong. Suaminya Pak Sanep (45 tahun), sebelum bencana Lapindo, adalah seorang pengrajin emas, tapi sudah lebih dari tiga tahun tidak bekerja lagi.

    “Orangnya bodoh, buta huruf, bisa baca tapi tak bisa nulis, jadi pemalu,” Asfeiyah mencoba menerangkan kenapa suaminya jadi pengangguran.

    Suaminya memang berhenti jadi perngrajin emas beberapa tahun sebelum bencana lumpur. Saat itu, keluarga Asfeiyah masih tinggal di Renokenongo. Asfeiyah menjadi tukang jahit dan suaminya bekerja serabutan.

    “Kalau ada yang mengajak bekerja, (ya bekerja), kalau tidak ya tidak. Nggak bisa cari sendiri,” jelas Asfeiyah.

    Di Renokenongo, sebelum bencana Lapindo, Asfeiyah sering mendapat orderan dari tetangga yang minta dibikinin baju. Seminggu dua kali dia dapat order, itu menurut itungan paling jarang bagi Asfeiyah.

    “Lumayan bisa dapat 50 ribu (per potong),” jelas Asfeiyah. Kehidupannya di Renokenongo memang sulit tapi di pengungsian lebih sulit lagi. Sekarang tak ada lagi orang yang minta dibikinin baju, kalau ada paling-paling cuma tambal baju alias vermak.

    Kalau boleh memilih, Asfeiyah tentu memilih untuk bertempat tinggal di rumahnya di Renokenongo. Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Bencana lumpur Lapindo datang begitu tiba-tiba dan tak memberi pilihan lain pada Asfeiyah sekeluarga selain pindah ke pengungsian di Pasar Baru Porong. Dan ini bagai mimpi buruk buatnya. Semua anggota keluarganya tak satupun yang bekerja dan dia satu-satunya yang banting-tulang untuk semua anggota keluarga.

    Tiap hari Asfeiyah musti mengumpulkan uang 50 ribu rupiah untuk makan semua keluarga, dan beberapa bulan terakhir ini pendapatannya sering kurang dari itu.

    Hanya pada bulan 2-8 Asfeiyah bisa bekerja normal sebagai penjahit. Pada bulan-bulan itu banyak orderan dari perusahaan-perusahaan pakaian. Kalau dia bisa menyelesaikan sesuai tenggat, tiap minggu 400.000 rupiah bisa dia dapatkan. Dan ini berarti Asfiyah musti enam belas jam di mesin jahit tiap harinya. Mulai jam 4 pagi sampai jam 4 sore dan jam 8 malam hingga jam 11.

    Setelah perjuangan panjang dan melelahkan karena sering dikibuli Lapindo selama 2 tahun lebih, Asfeiyah dan keluarga-keluarga lain di Pasar Baru Porong yang tergabung Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo (Pagar Rekorlap) mendapatkan 20 persen uang aset mereka. Meski tak sesuai keinginan, warga tak bisa menolak cara pembayaran yang dilakukan Minarak Lapindo, yakni dengan cara mencicil.

    Bulan ini Asfeiyah mendapatkan cicilan yang keempat dan karena tidak ada pekerjaan dia menggunakan uang tersebut untuk modal dagang pakaian. Meski tak ramai, Asfeiyah tiap harinya bisa dapat pemasukan sekitar 30.000 rupiah sementara uang untuk makan semua keluarganya adalah 50.000. Asfeiyah tak punya pilihan lain selain menggunakan uang rumahnya untuk makan. Bayangan untuk bisa mendapat rumah lagi pun perlahan-lahan mulai dia hapus.

    “Yang penting semua keluarga bisa makan, Mas,” kata Asfeiyah.

    Marah, sedih, putus asa, perasaan-perasaan ini dipendam Asfeiyah karena tak ingin keluarganya pecah.

    “Kalau marah, cek-cok, takut kehilangan suami,” tutur Asfeiyah. “Tapi kalau nggak marah nggak tahan, Mas.”

    Tak hanya Asfeiyah yang dipaksa menjadi tulang punggung keluarga. Ribuan lainnya mengalami nasib serupa. Seorang ibu warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I juga mengalami nasib yang sama. Nama ibu itu, Noor Hani (44 tahun), kini mengontrak rumah di Sidokare, Sidoarjo. Alasannya tentu jelas karena rumahnya sudah punah dimakan lumpur.

    Bu Hani, begitu siswa Madrasah Aliyah Khalid bin Walid biasanya memanggil namanya, adalah guru di MA tersebut. Sebelum ada lumpur, suaminya Hendra Jaya (44 tahun) punya bengkel reparasi dinamo di rumahnya. Dia sudah punya langganan dari tetangga-tetangga di sekitarnya. Namun lumpur Lapindo menenggelamkan bengkel itu dan suaminya pun praktis tidak bisa bekerja lagi.

    Bagi guru swasta yang gajinya tak lebih dari 100 ribu rupiah per bulan dan suami yang menganggur tentu bencana Lapindo jadi pukulan yang berat bagi keluarga ini. Keluarga ini mesti pontang-panting untuk menutup kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Dengan tiadanya pemasukan Hani mencoba memperkecil pengeluaran. Caranya dengan mengurangi jatah makan sehari-hari.

    “Berasnya saya kurangi dan ganti singkong yang sama mengandung karbohidrat,” Hani berusaha menahan air matanya saat mengatakan ini.

    Hani juga berusaha supaya dapat pemasukan tambahan. Dia melukis dan bikin gambar meja-kursi belajar dan suaminya diminta membikin barangnya. Namun itu belum cukup menutupi kebutuhan keluarga. Hani lantas berdagang keliling pakaian dan kue supaya asap dapurnya tak padam.

    Empat orang anaknya tak semuanya bisa menerima kesulitan ini. Hanum Anggraini (15 tahun), anak pertamanya yang duduk di SMU II Sidoarjo, bisa menerima kenyataan ini dan bisa bersabar.

    “Tapi yang kecil suka protes, saya mencoba mengarahkannya dengan agama,” tutur Hani. Tapi namanya juga anak-anak masih suka rewel dan protes.

    Tak hanya ibu-ibu yang rumahnya sudah terendam lumpur yang merasakan dampak bencana Lapindo ini. Ibu Crhristina, warga Glagaharum, juga merasakan dampak tidak langsung bencana Lapindo.

    Christina adalah istri Hafidz Affandi, kepala desa Glagaharum periode 1990-1998 dan 1998-2007. Keluarganya cukup terpandang dan kaya. Tanahnya luas, punya toko bangunan, dan pabrik sepatu di pasar wisata Tanggulangin.

    Setelah tidak jadi kepala desa, praktis pendapatan mereka bertumpu dari toko bangunan dan pabrik sepatu. Toko ini sebelum ada lumpur mendatangkan pendapatan yang luar biasa besar bagi keluarga Christina. Seharinya bisa 9-12 juta. Saat itu, semua kebutuhan delapan anaknya bisa dipenuhi bahkan berlebih.

    Misalnya, semua anaknya kalau sudah masuk SMP pasti dibelikan sepeda motor dan dibikinkan SIM. Lalu kalau anaknya minta dibelikan laptop atau sepatu yang harganya jutaan, saat itu juga akan dibelikannya.

    “Dulu kalau mau datang ke pesta kawan-kawannya, pasti bajunya baru,” kenang Crhistina.

    Sekarang semua sudah berubah. Sejak Bencana Lapindo dua tahun lalu, satu per satu langganan Christina hilang.

    “Dulu langganan saya dari Siring, Ketapang, Kedungbendo, Jatirejo, Renokenongo, dan lainnya,” tutur Christina. Sekarang desa-desa itu sudah tenggelam dalam lumpur dan tak ada lagi pesanan buat Christina. Pendapatannya menurun drastis hingga 500 ribu hingga 1 juta seharinya.
    Lima dari 6 karyawannya di toko bangunan dia pulangkan dan kini tinggal dia dan seorang pelayan toko yang masih bertahan. Gudang-gudang tempat penyimpanan semen dan kayu juga sekarang kosong karena permintaan yang terus berkurang.

    Akhir tahun lalu, Christina meminjamkan secara gratis gudang ini untuk Yayasan Khalid bin Walid dan digunakan untuk sekolah. Christina tak tega melihat gedung sekolah Khalid bin Walid di Renokenongo tenggelam.

    “Saya juga punya banyak anak yang masih sekolah, bagaimana kalau ini menimpa saya,” tutur Christina. [mam]

  • Empat Lawan Satu: Hanya Promosi Bakrie

    Imam (30 tahun), korban asal Jatirejo, bahkan hafal apa saja yang dibicarakan Bakrie dalam acara tersebut. Setidaknya ada enam perkataan Bakrie yang dia garisbawahi: (bencana Lapindo) karena fenomena alam, para korban yang tidak punya surat dikasih rumah, waktu Bakrie datang ke Sidoarjo dicium tangannya, putusan pengadilan menetapkan Lapindo tidak bersalah, ada provokasi, dan yang dilakukan Bakrie sesuai dengan Peraturan Presiden.

    Satu-per satu pernyataan Bakrie ini ditanggapi oleh Imam. Menurutnya, tidak benar kalau bencana ini adalah fenomena alam, ini karena kesalahan teknis pemboran. Lebih lanjut menurut Imam, dari awal Lapindo ingin membeli tanahnya.

    “Pernah ditawar tapi tidak dikasihkan, izinnya buat peternakan,” tutur Imam. Lebih jauh, Imam merujuk pada ahli-ahli geologi dunia di Cape Town yang memutuskan lumpur Lapindo disebabkan oleh kesalahan pemboran. Sementara, gempa Yogja, yang kerap diklaim Lapindo sebagai penyebab, terlalu jauh untuk menjadi pemicu semburan lumpur.

    Soal para korban tak bersurat yang dikasih rumah ditanggapi keras oleh Imam. Menurutnya, Lapindo pernah bilang hanya mau membayar korban yang memiliki surat dan itu juga yang dilaksanakan Lapindo hingga sekarang. Kemudian, soal kedatangan Bakrie di Sidoarjo yang disambut dengan cium tangan, menurut Imam itu tidak benar. Dia tidak pernah melihat Bakrie datang ke Sidoarjo. Bahkan kalau, misalnya, Bakrie datang ke Sidoarjo akan digasak ramai-ramai karena sudah menyengsarakan banyak orang.

    Imam juga tidak sepakat dengan putusan pengadilan yang memutus Lapindo tidak bersalah. Menurutnya, pengadilan bukan ahli pemboran dan tidak mempertimbangkan sisi kemanusiaan dari para korban. Ada provokasi terhadap korban lumpur juga ditolak oleh Imam. Menurutnya korban yang menuntut haknya itu memang benar korban yang belum dilunasi haknya. Tentang langkah Lapindo yang sesuai dengan Perpres itu juga tidak benar, karena berkali-kali Lapindo mangkir dan tidak sesuai dengan keputusan presiden.

    Lilik Kamina, korban di PBP, juga menanggapi sinis acara Empat Lawan Satu. Dia bilang kalau acara itu hanya untuk mempromosikan Lapindo dan Bakrie. “Lihat saja tak ada korban yang diberi kesempatan bicara.” [mam]

  • Koalisi Korban Lapindo Demo Tuntut Penuntasan Kasus Lapindo

    K3L ini terdiri dari Gerakan Pendukung Perpres 14/2007 alias GEPPRES (tuntutan: cash and carry), Laskar Korban Lumpur atau Lasbon Kapur (tuntutan: 20% cash dan 80% diganti rumah), Pengungsi Pasar Baru Renokenongo atau Persatuan Warga Renokenongo Korban Lapindo alias Pagar Rekorlap (belum tuntas 20% dan belum menentukan sikap untuk 80%), dan Persatuan Warga Perum TAS I alias tim 16.

    Koalisi ini terbentuk karena kesamaan nasib sial, yakni: hampir tiga tahun tak satupun kelompok yang sudah tuntas tuntutannya. Mereka juga merasa satu gubernur baru, yang belum genap seminggu dilantik, yaitu: pasangan Sukarwo dan Syaifullah Yusuf.

    Korban mendemo pasangan gubernur baru Jawa Timur.

    Korban mendesak gubernur untuk berkomitmen kepada korban Lapindo. Akhir Januari lalu Sukarwo sesumbar akan segera menyelesaikan kasus Lapindo. Kasus Lapindo masuk dalam agenda 100 hari pertama Gubernur.

    Korban lumpur tak begitu yakin dengan sesumbar ini dan ingin kerja nyata Pakde Karwo. Zainal Arifin, koordinator aksi, bilang gubernur musti berkomitmen dan mendesak pemerintah mengambil alih proses ganti rugi lewat dana apapun.

    Korban lainnya Sumitro menuntut pemerintah untuk memberikan dana talangan untuk para korban.

    Haji Sunarto, pimpinan Pagar Rekorlap, menyatakan akan memboikot pemilu jika persoalan korban ini tidak selesai sampai pemilu 2009. “Jika sampai pemilu 2009, ganti rugi korban belum terselesaikan, maka kami akan memboikot pemilu. Buat apa memilih pemimpin jika tidak perduli dalam penderitaan kami,” tegas Sunarto.

    Usai menemui perwakilan korban, Sukarwo bilang meminta persiden Susilo Bambang Yudoyono untuk mendesak PT lapindo Brantas untuk segera membayar sisa ganti rugi 80% yang sudah telat hampir satu tahun.

    Selain itu Sukarwo berjanji kepada ribuan masa akan mencarikan dana talangan dari pemerintah daerah maupun pusat untuk ganti rugi semua korban.

    Warga membubarkan diri setelah Sukarwo mengumbar janji [vik]

  • Korban Lapindo Meluruk Kantor Gubernur

    Oleh Ahmad Novik dan Daris Ilma

    SURABAYA – Ribuan korban Lapindo dari berbagai kelompok menggelar aksi damai di Gedung Grahadi, Surabaya. Mereka menuntut Gubernur Jawa Timur yang baru terpilih, Soekarwo, untuk mendesak pemerintah pusat mengambil alih penanganan ganti rugi korban.

    {mp3}AksiGrahadi{/mp3}

     

  • Tim 16 Kembali Demo BPLS dan Minarak Lapindo

    Tim 16 Kembali Demo BPLS dan Minarak Lapindo

    “Ada sekitar 2000 sepeda motor dengan satu truk komando, satu motor dua orang,” tutur Ruli Syarif Hidayat (49 tahun), salah seorang warga TIM 16. Warga menuntut Minarak Lapindo Jaya melaksanakan janji yang diucapkan di depan presiden bulan Desember lalu.

    Saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memarahi Nirwan Bakrie, bos Minarak Lapindo Jaya dan Adik Abu Rizal Bakrie, di depan menteri-menteri terkait dan pengurus BPLS terkait tidak kelar-kelarnya persoalan korban Lapindo.

    Setelah pertemuan ini Nirwan Bakrie berkomitmen untuk segera membayar 80 % sisa uang aset korban Lapindo. Caranya dengan dicicil 30 juta perbulan plus 2,5 juta untuk memperpanjang kontrak. Kesepakatan ini sebenarnya tidak sesuai dengan mekanisme seperti di peraturan presiden yang mengatur perlunasan 20-80 dengan jangka waktu sebelum masa kontrak dua tahun habis.

    Namun setelah hampir tiga tahun tak ada kejelasan perlunasan 80 % warga menerima pola cicil-mencicil ini. Warga ingin supaya perlunasan segera kelar. Meski warga sudah memberi toleransi dengan menerima pola cicilan ini namun MLJ kembali mangkir dari omongannya sendiri.

    “Kurang dari 2 % dari TIM 16 yang dicicil sesuai dengan janji (3 Desember),” tutur Rulli. Sisanya ada yang dicicil 15 juta dan ada pula yang dicicil 2,5 juta.

    TIM 16 meminta supaya MLJ segera menuntaskan persoalan ini. Hingga jam 4 sore ini belum ada solusi antara warga TIM 16 dengan MLJ. [mam]

    FOTO: Courtesy of Steven Lenakoly (detiksurabaya)

  • Pakde Karwo Genjot 100 Hari, Kasus Lumpur Terberat

    Pelantikan pasangan ini memang memungkinkan untuk dipercepat dengan telah ditolaknya pengajuan gugatan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Ka-Ji) ke Makhamah Konstitusi (MK).

    KarSa pun memberikan apresiasi tinggi terhadap keputusan MK tersebut. Hal ini disampaikan Soekarwo-Saifullah Yusuf dalam jumpa pers di kantor kuasa hukum Todung Mulya Lubis di Meyapada Tower, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (4/2).

    Menurut Pakde Karwo, panggilan akbrab Soekarwo, dirinya sangat menghargai bahwa MK tidak lagi mengambil alih masalah Pilkada Jatim. “Kami mengambil pelajaran bahwa suatu gugatan ada titik hentinya, dan (keputusan) MK sudah tepat,” kata Pakde Karwo sambil tersenyum.

    Meski kurang sepekan, Soekarwo langsung menyampaikan program 100 hari pertama pemerintahannya sebagai gubernur. Bahkan ia sudah menyiapkan crash program untuk mengatasi berbagai masalah mendesak di Jatim.

    Ada lima masalah yang akan menjadi fokus perhatiannya dalam 100 hari pertama tugasnya. Pertama adalah penyediaan air bersih, kedua mengusahakan pengobatan gratis bagi masyarakat miskin, ketiga PKL mungkin akan digusur namun direlokasi ke tempat yang lebih memadai.

    Sedangkan program keempat yang menjadi perhatiannya adalah kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo. “Bagi warga yang masuk dalam peta terdampak, kami akan mengusahakan untuk segera mendapatkan pelunasan pembayaran ganti ruginya. Sedangkan yang tidak masuk peta terdampak, kami usahakan untuk memperbaiki kesejahteraan warga,” katanya.

    Untuk program kelima, pasangan yang sama-sama berkumis tebal ini memilih perbaikan infrastruktur diutamakan dengan memperbaiki jalan provinsi yang rusak. “Motto kami, tiada hari tanpa tambal jalan,” ungkap Soekarwo.

    Meski persoalan lumpur Lapindo ditempatkan di urutan keempat program 100 hari, H Zainul Lutfi, salah satu pengusaha tas di Tanggulangin yang terdampak lumpur, mengaku masih menggantungkan harapan besar. Dalam kurun tiga tahun semburan lumpur hingga sekarang, penrajin tas di Tanggulangin masih merasakan dampaknya. “Ya, sejak adanya semburan lumpur itu, benar-benar terasa bagi kami,” ujarnya.

    Ia berharap, duet pemimpin baru di Jatim ini dapat mengembalikan kejayaan Tanggulangin seperti dulu sebelum terdampak semburan lumpur. “Siapapun pemimpinnya, harus ada terobosan untuk memajukan kembali kerajinan tas dan sepatu yang ada di Tanggulangin,” tambahnya.

    Korban Lumpur

    Namun kasus Lapindo dipastikan bukan pekerjaan ringan bagi Pakde Karwo. Sejumlah pekerjaan berat terkait perbaikan infrastruktur di kawasan terdampak semburan lumpur serta masalah sosial juga masih menumpuk. Antara lain, relokasi infrastruktur Jalan Raya Porong, Jembatan Tol Porong – Gempol serta rel KA, yang saat ini masih menyisakan masalah terkait pembebasan lahan.

    Masalah ini memerlukan perhatian ekstra karena infrastruktur tersebut merupakan urat nadi perekonomian di Jawa Timur. “Ibarat manusia, Sidoarjo adalah leher, orang mau ke Malang, ke Banyuwangi, lewat Sidoarjo,” kata Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menggambarkan pentingya pembangunan infrastruktur di kawasan Porong dan sekitarnya.

    Pembayaran ganti rugi warga korban lumpur, yang hingga kini juga masih terkatung-katung, karena pihak Lapindo yang akhirnya memberikan opsi pembayaran ganti rugi skema jual beli lahan terdampak lumpur dengan cara dicicil.

    Belum lagi kawsan terdampak lumpur yamg makin meluas serta ganti rugi yang diambilkan dari dana pemerintah juga belum sepenuhnya sesuai keinginan warga korban lumpur.

    “Permasalahan ini harus segera diselesaikan dan ini adalah tugas pemimpin baru Jatim,” tambah Suharjo, korban lumpur asal Perum TAS.

    Ia menaruh harapan yang besar bagi duet pemimpin Jatim terpilih untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang menyangkut hak dari korban Lumpur yang mencapai 12.000 kepala keluarga (KK) ini.

    Seperti diketahui, akibat semburan lumpur panas itu, sedikitnya ada 12.886 kepala keluarga (KK) yang telah menjadi korban. Hingga terakhir, sebanyak 150 KK warga Desa Renokenongo masih menunggu pembayaran ganti rugi 20 persen.

    Menurut Andi Darusalam Tabusalla selaku Vice President Minarak Lapindo Jaya, per 22 Januari 2009, dari 8150 berkas, pembayaran lunas sebesar 80 persen dari lahan bersertifikat telah dilakukan terhadap 1.443 berkas. Sedangkan yang mengajukan cash and resettlement sebanyak 418 berkas, sehingga totalnya 1.861 berkas. “Sedangkan pembayaran 80 persen secara cicilan, yang sudah diselessaikan sebanyak 1.675 berkas,” kata Andi, Rabu malam.

    Korban lumpur yang memilih relokasi dan memesan rumah di KNV (Kahuripan Nirwana Village) sejauh ini berjumlah 1.584 unit. Pihak Minarak menyiapkan lahan seluar 400 hektare, dan kini sudah diselesaikan sekitar 335 unit. Rumah yang sudah ditempati sebanyak 200 KK.

    Orang dekat Aburizal Bakrie ini mengaku hingga 22 Januari 2009 lalu, total dana yang telah dikeluarkan sebanyak Rp 3,2 triliun.

    Selain masalah lumpur, penyediaan air bersih bagi seluruh penduduk Jatim juga bakal sulit diselesaikan oleh pasangan baru ini. Di perkotaan seperti Surabaya yang menjadi pusat pemerintahan saja, belum 100 persen warganya mendapat air bersih. Ada kantong-kantong permukinan yang disebut zona merah di Surabaya utara yang hampir mustahil ditembus jaringan air bersih.

    Sementara di wilayah pedalaman, seperti di Kabupaten Kediri, kesulitan mendapat air bersih selalu menjadi cerita lumrah tiap kali musim kemarau. Misalnya warga Desa Surat, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, berebut air keruh dengan ternak, hewan andalan mereka yang juga butuh minum.

    Begitu juga dengan program kedua yang tak kalah memusingkan. KarSa harus menyediakan layanan pengobatan yang ideal bagi jutaan warga miskin Jawa Timur. Padahal sampai sekarang masih kerap terdengar keluhan warga yang merasa ditolak ketika berobat di rumah-rumah sakit milik pemerintah provinsi.

    Sementara untuk program ketiga, penataan PKL, selama ini sudah banyak ditangani pemerintah kota/kabupaten masing-masing. Sehingga tidak akan terlalu sulit bagi pasangan ini.

    Tugas mengurus jalan provinsi yang rusak di Jatim bukan perkara mudah. Akibat banjir dan dan tanah longsor sejak Desember 2007-Februari 2008, setidaknya 39 ruas jalan provinsi rusak berat yang beberapa di antaranya belum tuntas perbaikannya hingga kini. Belum lagi ruas jalan penting yang hingga sekarang belum jelas penanganannya, karena konflik dengan pemerintah Kota Surabaya, yaitu Jalan Kalianak yang berstatus jalan provinsi.

    Apalagi dalam beberapa pekan mendatang, beberapa daerah yang tahun lalu dihajar banjir dan tanah longsor seperti Bojonegoro, Jember, Pasuruan dan Ngawi harus kembali bergelut dengan bencana yang sama yang artinya kemungkinan jalan di kawasan itu rusak sangat besar. dtc/iit/sas

  • Pasokan Air Dihentikan Sumur Tercemar Lumpur Lapindo

    Menurut Humas BPLS, Achmad Zulkarnaen, pada pasal 15 wilayah di luar peta terdampak tidak lagi mendapat bantuan sosial berupa air bersih. Akibatnya, pasokan air yang biasanya dikirim ke 10 desa yang dianggarkan lewat APBN 2008 terhitung sejak Desember sudah habis.

    “Sejak pertengahan Januari kemarin, pasokan diputus karena anggaran APBN 2009 tidak bisa mengeluarkan itu dan payung hukumnya tidak ada,” tutur Izul, sapaan Achmad Zulkarnaen, Rabu (4/2).

    Dikatakan Izul, meski tidak ada payung hukumnya, BPLS sudah mengajukan ke Dewan Pengarah di Jakarta. Tujuannya, supaya masyarakat dari 10 desa itu bisa menikmati air bersih. Air yang dipasok oleh BPLS waktu itu untuk kebutuhan memasak dan minum warga sekitar, karena air tanah di wilayah itu tidak layak konsumsi.

    “Dalam pengajuan itu, Dewan Pengarah menyarankan agar dicarikan celah payung hukumnya karena menyangkut kebutuhan masyarakat,” ungkapnya.

    Ke-10 desa yang pasokan air bersihnya diputus yakni Mindi, Jatirejo, Klakah, Ketapang, Glagah Arum, Gempolsari, Kalitengah, Gedang, Keboguyang, dan Pamotan. Pascapemutusan pasokan air sejak pertengahan Januari lalu, warga harus membeli air. Biasanya, warga tinggal mengambil air di tandon yang sudah disediakan.

    Setelah tidak dikirim, Izul mengaku sudah mengantisipasinya sejak Oktober 2008. Pemutusan pengiriman air mudah menimbulkan gejolak karena masalah yang dihadapi sangat bervariasi. Selain itu, air tanah (sumur) warga sudah tidak layak konsumsi karena tercemar oleh luapan lumpur.

    “Sekarang kami sudah koordinasi dengan Pemkab Sidoarjo dan tinggal menunggu waktu saja. Mudah-mudahan hasilnya positif dan warga bisa menikmati air bersih lagi,” jelasnya.

    Selama 2008, 137 tandon tersedia di 10 desa itu mulai ukuran 1.000 liter hingga 5.000 liter. Tahun ini, rencananya ditambah lagi 23 tandon sehingga totalnya 160 unit. mif

  • Korban Lumpur Lapindo Galang Dukungan Dewan

    Korban lumpur yang kemarin mendatangi gedung Dewan itu terdiri atas perwakilan kelompok TIM 16 (terdiri atas 16 rukun warga di Perumahan Tanggulangin Sejahtera), Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (Geppres), dan Paguyuban Rakyat Renokenongo Menolak Kontrak (Pagar Rekontrak), Perwakilan Warha Perum Tas 1 (PW), serta Perwakilan Korban Lumput Tiga Desa (Gempur 3 D).

    Sumitro, Koordinator Perwakilan Warga Perum Tas, mengatakan sebanyak tiga fraksi di DPRD Jawa Timur telah sepakat menggulirkan kembali dana talangan untuk korban ganti rugi.

    Tiga fraksi tersebut adalah Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. “Bahkan pimpinan Dewan juga telah memberikan dukungan secara tertulis,” kata Sumitro.

    Tak hanya anggota Dewan, koalisi korban lumpur, kata dia, juga akan mendatangi para kiai dan ulama terpandang di Jawa Timur untuk memberikan dukungan kepada korban lumpur. “Setelah mendapat dukungan secara tertulis, kami akan ke Jakarta menghadap pemerintah pusat,” kata dia.

    Ia mengatakan korban lumpur telah lama terkatung-katung atas pembayaran ganti rugi yang dijanjikan PT Lapindo. “Kalau pemerintah percaya dengan Lapindo, seharusnya mereka bersedia memberikan dana talangan,” katanya.

    Anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo, Sulkan Wariono, mengatakan dana talangan ini perlu karena PT Minarak Lapindo Jaya selaku juru dibayar kerap kali plinplan saat melakukan pembayaran. “Kesepakatannya dibayar 30 juta, tapi realisasinya hanya Rp 15 juta,” ujarnya.

    Ia menilai dana talangan diperlukan karena rakyat terlalu lama menderita. “Kemarin juga ada pertemuan di pendopo dengan Bupati Win Hendarso, yang turut mendukung mendesak pemerintah pusat memberikan dana talangan untuk ganti ragi korban lumpur,” katanya.

    Ketua DPRD Jawa Timur Fathorrosyid mengatakan desakan koran lumpur Lapindo agar pemerintah memberikan dana talangan ini pernah direkomendasi DPRD Jawa Timur beberapa tahun lalu. “Namun, saat ini belum ada jawaban dari pemerintah pusat. Kami juga berupaya agar dana talangan bisa disetujui oleh pusat,” kata Fathorrosyid. DINI MAWUNTYAS

  • Karsa Janjikan Akan Langsung Bekerja

    Tiga program tersebut adalah perbaikan jalan rusak, penataan pedagang kaki lima, serta penuntasan kasus Lapindo. Untuk jalan rusak, Syaifullah berjanji dalam seratus hari kepemimpinannya akan memperbaiki seluruh jalan rusak di Jawa Timur. “Untuk kasus Lapindo, warga di luar peta terdampak akan diberi ganti rugi,” katanya.

    Syaifullah menyatakan hal ini setelah kemarin Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur mengumumkan hasil rekapitulasi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur. Berdasarkan rekapitulasi KPU, pemilihan Gubernur Jawa Timur dan Wakil Gubernur Jawa Timur dimenangkan oleh pasangan Karsa dengan perolehan 7.660.861 suara. Sedangkan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji) mendapatkan 7.626.757 suara.

    Namun, hasil penghitungan suara ini ditolak kubu Kaji karena menganggap ada sejumlah pelanggaran dalam pemilihan ulang di Bangkalan, Sampang, serta penghitungan ulang di Pamekasan.

    Ketua KPU Jawa Timur Wahyudi Poernomo mengatakan akan mengirimkan hasil pemilihan Gubernur Jawa Timur ke Presiden, Menteri Dalam Negeri, Mahkamah Konstitusi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat. KPU juga mempersilakan kubu Kaji untuk mengajukan keberatan jika mereka tidak puas atas hasil penghitungan suara yang dilakukan KPU. “Mereka berhak mengajukan gugatan tiga hari sejak hari ini,” ujar dia.

    Kepolisian Daerah Jawa Timur meminta Panitia Pengawas Pemilihan Umum Jawa Timur segera memproses berbagai temuan pelanggaran pemilihan ulang di Bangkalan dan Sampang. “Kalau ada unsur pidananya, kami segera bisa menyidik,” kata Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, Inspektur Jenderal Polisi Herman Surjadi Sumawiredja. ROHMAN TAUFIQ | DINI MAWUNTYAS

  • Ayu Anita, Potret Anak Korban Lumpur Lapindo

     

    Ayu Anita nama gadis itu, orangnya mungil dan cantik, kulitnya putih, tutur katanya pelan. Dia seorang yang pendiam, mungkin ingin menyembunyikan kepedihannya yang kelam.

    Saat saya mengunjunginya malam tadi dia sedang menengok orangtuanya yang sudah sakit-sakitan di pengungsian Pasar Baru Porong. Ibunya menemani kami ngobrol, adik-adiknya bermain di sekitar bilik pengungsian yang sempit dan panas.

    Dua minggu sekali dia menengok mereka, sekedar membagi sedikit kelebihan rezeki yang dia kumpulkan bersusah-payah.

    “Sehari saya dapat sepuluh ribu, sejak dua tahun lalu tak pernah naik,” tutur Ayu.

    Ayu bekerja di sebuah warung kopi sederhana di Pasar Wisata Tanggul Angin sejak dua tahun lalu. Keputusan untuk bekerja diambilnya setelah lumpur Lapindo menenggelamkan rumahnya di Renokenongo. Tak hanya menenggelamkan rumah tapi juga merenggut lahan pertanian yang selama ini disewa bapaknya Kayat untuk penyambung hidup. Setelah bencana itu, Mutmainah, ibunya, juga tak lagi bisa bekerja sebagai pedagang kupang, sejenis kerang kecil. Saat itu Ayu masih duduk di bangku kelas I MA Khalid bin Walid.

    Setelah lumpur menenggelamkan desa Renokenongo. Pasangan Kayat dan Mutmainah beserta 6 anak-anaknya mengungsi di Pasar Baru Porong bareng ribuan warga korban lumpur lainnya.

    Sejak tinggal di pengungsian Ayu tak lagi bisa berangkat sekolah, alasannya, banyak; dia tak punya sepeda untuk ke sekolah yang jaraknya 3 km, orangtuanya tak punya uang untuk membayar sekolah, adik-adiknya perlu makan dan bapak-ibunya tidak lagi bekerja.

    Maka seorang kawannya menawari Ayu untuk bekerja di sebuah warung kopi, Ayu tidak dapat menolaknya. Hingga sekarang Ayu masih bercita-cita ingin menyelesaikan sekolahnya tapi keadaan memaksanya untuk tetap bekerja. [mam]

  • Korban Lumpur Minta Lapindo Beri Kepastian

    Menurut Ketua Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo (Rekorlap) Sunarto, pernyataan tersebut untuk mendapatkan kepastian kapan uang muka ganti rugi 20 persen bagi warga yang belum menerima.

    “Kami tidak mau berlarut-larut. Kami ingin agar Lapindo memberi kepastian itu dalam pernyataan di atas kertas bermaterai,” ucap Sunarto, Rabu (21/1) di Sidoarjo.

    Ia menambahkan, bila belum ada kepastian mengenai nasib 150 warga yang belum menerima uang muka ganti rugi, mereka akan berangkat ke Jakarta mengadukan persoalan tersebut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pertemuan korban lumpur pada awal Desember 2008 dengan Presiden disepakati penyelesaian uang muka ganti rugi 20 persen sebelum 2008 berakhir.

    Masih berlangsung

    Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabussala menyatakan, sama sekali tidak ada maksud untuk mempermainkan korban lumpur. Ia mengatakan bila proses pembayaran ganti rugi tersebut masih terus berlangsung. Ia juga berharap warga bersabar menunggu penyelesaian pembayaran tersebut.

    Sejak November 2006, sekitar 2.000 jiwa korban lumpur dari Desa Renokenongo tinggal di Pasar Porong Baru sebagai tempat pengungsian. Hingga saat ini, mereka masih menempati pasar tersebut karena belum seluruh warga menerima uang muka ganti rugi. Sebelumnya, pada September 2008, seluruh warga telah menerima uang kontrak selama dua tahun senilai Rp 5 juta, uang evakuasi Rp 500.000 untuk masing-masing keluarga, serta uang jatah hidup per jiwa Rp 300.000 selama enam bulan dari Minarak.(APO)

  • Pedagang Sayur Mulai Menempati Pasar Baru Porong, Pengungsi Terganggu

    Para pedagang ini mulai pindah secara bertahap sejak 10 Januari lalu. Sebelumnya, mereka berdagang di depan stasiun Porong, di tanah milik Perusahan Jawatan Kereta Api (PJKA). Meski penjualan bagus namun lokasi sempit, tanahnya becek kalau hujan.

    “Sekarang tanah itu akan digunakan perbaikan stasiun,” tutur Iwan, seorang pedagang rempah di Pasar Baru Porong.

    Belum genap sepuluh hari mereka berdagang, mereka sudah didemo oleh para pengungsi korban Lapindo, yang menempati PBP sejak luapan lumpur dua setengah tahun lalu, yang merasa terganggu dengan kehadiran mereka.

    Pengungsian yang sumpek jadi tambah sumpek, selain itu, soal keamanan juga menjadi alasan terganggunya para pengungsi. Sesuai perjanjian para pengungsi ini tidak mau meninggalkan PBP sebelum Minarak Lapindo Jaya membayar 20% aset mereka yang tenggelam lumpur.

    “Pengungsian jadi tambah sumpek, selain itu soal keamanan juga,” tutur Darmi, seorang pengungsi yang tidak bisa keluar dari bilik pengungsiannya karena mobil-mobil sayur parkir tepat di depan biliknya.

    Untuk mencegah terjadinya keributan antara pedagang dan para pengungsi. Dinas Pasar dan Himpunan Pedagang Pasar sudah berunding dengan tokoh pengungsi.

    “Untuk sementara dikasih garis batas di mana pedagang tidak boleh berjualan di batas itu,” tutur Darmi.

    Selain itu, para pengungsi juga dibagi penghasilan dengan menjaga toilet sementara petugas pasar mengurusi parkir dan kebersihan.

    Tuntutan para pengungsi sederhana mereka mau dilunasi pembayaran 20% aset mereka yang sudah 2,5 tahun ini belum juga tuntas dibayarkan. Mereka akan meninggalkan Pasar Baru Porong kalau tuntutan ini dilunasi. (lilik)

  • Pemerintah Diminta Kucurkan Dana Talangan

    Menurut Ketua Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo (Rekorlap) Sunarto, masih ada sekitar 150 berkas milik korban lumpur dari Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, yang uang muka ganti rugi 20 persen belum lunas. Bila sampai 20 Januari 2009 uang muka tersebut belum dilunasi, warga berencana akan berangkat ke Jakarta mengadu ke DPR.

    “Kami akan mendesak pemerintah melalui DPR agar mengeluarkan dana talangan guna pembayaran uang muka ganti rugi. Dengan turunnya harga minyak dunia, kami pikir dana talangan tersebut tidak akan memberatkan beban keuangan negara,” ucap Sunarto, Kamis (15/1) di Sidoarjo.

    Hal serupa dikemukakan Paring Waluyo, pendamping korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (Geppres). Ia mendesak supaya pemerintah pusat mengucurkan dana talangan untuk membayar sisa uang ganti rugi sebesar 80 persen yang tersendat hingga kini. Menurut dia, pemerintah seharusnya memiliki tanggung jawab terhadap warganya ketika sedang tertimpa musibah.

    Korban lumpur tidak bisa menunggu lama karena mereka sangat membutuhkan uang untuk biaya kontrak rumah dan biaya hidup. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya memerhatikan nasib warganya dengan segera mengucurkan dana talangan,” kata Paring.

    Dewan Pengarah Panitia Khusus Lumpur Sidoarjo DPRD Sidoarjo Jalaluddin Alham mengatakan, pengucuran dana talangan yang diambilkan dari APBD atau APBN jelas menyalahi aturan. Menurut dia, dana talangan bagi korban lumpur di dalam peta terdampak sama sekali bukan tanggung jawab pemerintah, melainkan PT Minarak Lapindo Jaya.

    “Di dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007 diatur jika tanggung jawab di dalam peta merupakan tanggung jawab Minarak, sedangkan untuk wilayah di luar peta menjadi tanggung jawab pemerintah,” tutur Jalaluddin.

    Bila dana talangan tersebut akan dikucurkan, kata Jalaluddin, Perpres No 14/2007 tersebut harus dubah terlebih dahulu. Itu pun harus dibarengi dengan pemberian jaminan berupa aset-aset milik Lapindo Brantas Inc yang selanjutnya membayar ganti rugi tersebut kepada pemerintah. (APO)

  • Penggantian Aset Korban Yang Tak Kunjung Beres

    Tim 16 Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I (Tim 16 Perum TAS I), yang 3 Desember 2008 lalu harus menandatangani kesepakatan skema cicilan 30 juta per bulan itu, kecewa. Seribuan massa dari Perumtas I ini mendemo Istana Negara pada 2-3 Desember. Mereka menuntut pembayaran 80 persen sesuai dengan Peraturan Presiden 14/2007, yakni paling lambat satu bulan sebelum masa kontrak rumah habis. Sementara, masa kontrak rumah mereka sudah habis bahkan lima bulan sebelumnya.

    Karena demo ini presiden memanggil Nirwan Bakrie, bos Lapindo Brantas sekaligus adik Menkokesra Abu Rizal Bakrie, dan beberapa menterinya, antara lain Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Menteri Pekerjaan Umum-cum- Ketua Dewan Pengarah BPLS Djoko Kirmanto, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Kapolri Bambang Hendarso Danuri dan Kepala Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Sunarso.

    Perwakilan Tim 16 kemudian diminta membuat kesepakatan dengan Lapindo dan Pemerintah. Setelah 4 jam negosiasi, Djoko Kirmanto menyampaikan hasil rapat di muka wartawan. “Pembayaran dilakukan secara bertahap, yaitu Rp 30 juta setiap bulan hingga selesai atau lunas. Bersamaan dengan jatuh tempo pembayaran itu, juga diberi uang sebesar Rp 2,5 juta untuk memperpanjang sewa kontrak rumah,” ujar Djoko dalam jumpa pers seusai negosiasi.

    Terhadap kesepakatan baru itu, menurut Djoko, Presiden minta semua pihak taat. Pembayaran tidak boleh terhenti. Bagaimana pelaksanaannya?

    Ternyata melenceng dari kesepakatan. Kus Sulaksono dari Tim 16 menyebutkan, dia hanya ditransfer 15 juta sehari setelah kesepakatan dan 15 Desember ditransfer lagi 15 juta. Sementara uang 2,5 juta untuk memperpanjang kontrak tidak diberikan.

    “Seharusnya MLJ membayar cicilan pertama kami 32,5 juta dengan rincian 30 juta untuk cicilan pertama dan 2,5 juta untuk tambahan kontrak satu tahun lagi, akan tetapi warga hanya dicicil 15 juta. Ini tidak sesuai dengan kesepakatan tertanggal 3 Desember kemarin,” kata Kus Sulaksono. “Kami akan menyurati presiden dengan memperlihatkan kenyataan di lapangan,” tambah Sulaksono. Jika surat ini tidak ditanggapi, rencananya, Tim 16 akan berbondong-bondong ke Jakarta dengan massa yang lebih besar.

    Kelompok korban lain, Geppres, Gerakan Pendukung Perpres 14/2007, tak kalah terpuruknya dari warga Tim 16 Perumtas 1. Hingga kini mereka belum menerima bayaran 80 persen. Kelompok ini menolak pola cicilan dalam pembayaran 80 persen, karena ini bertentangan dengan Perpres.

    Menurut Zaenal Arifin, anggota Geppres dari Renokenongo, pola cicilan ini akan memnyebabkan konflik antar warga, konflik keluarga dan membuat penderitaan baru bagi warga. Arifin mencontohkan, aset tanah yang dimiliki warga rata-rata milik beberapa orang ahli waris. “Coba bayangkan saja jika warga harus dicicil 30 juta dan hak warisnya ada 2 sampai 10 dalam satu keluarga, maka harus dibagi berapa? Dan memerlukan waktu berapa lama?” jelas Arifin.

    Dengan kenyataan seperti itu, Suparman, 52 tahun, anggota Geppres dari Jatirejo, khawatir tak bisa lagi mendapat rumah. Pasalnya uang 20 persen yang dia dapatkan telah habis untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Suparman dan keluarganya mempunyai aset tanah seluas 683 meter persegi dan bangunan seluas 427 meter persegi. Dan akan menerima sisa pembayaran 80 persen  sebesar Rp. 1,058,800,000,-.

    Masalahnya, tanah harus dibagi 10 hak waris sedangkan bangunan harus dibagi 4 hak waris. Jika skema pembayaran 80 persen dilakukan secara dicicil maka Suparman akan membagi setiap bulan sebesar 3 juta kepada ke-10 anggota keluarganya. Sementara, ini akan memakan waktu tiga tahun lebih untuk melunasi sisa pembayaran 80 persen milik Suparman dan keluarganya. 

    “Kami bingung jika kami harus dicicil 30 juta. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Bayangkan aja dengan uang 3 juta per bulan, bisa dibuat apa,” tegas Suparman. Tentu saja, harapan Suparman untuk punya rumah lagi bisa tinggal mimpi.

    Oleh karena itu, Suparman dan kelompok Geppres masih menolak skema pembayaran 80 persen secara dicicil sebesar 30 juta. Mereka tetap akan menuntut penyelesaian sisa pembayaran 80 persen secara tunai.

    ***

    Pagar Rekorlap, Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo, yang dulu bernama Pagar Rekontrak, Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak, tak kurang parah nasibnya. Hingga kini, sebagian besar anggota kelompok ini belum mendapatkan uang 20 persen dari aset mereka. Sudah dua tahun setengah korban dari kelompok ini mengungsi di Pasar Baru Porong.

    “Jangankan 80 persen, 20 persennya saja belum dibayar,” tutur Pitanto, salah seorang penggiat Pagar Rekorlap.

    Lilik Kamina, penggiat Pagar Rekorlap lainnya, mengatakan, sesuai Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) yang diterima korban pada 8 September 2008, harusnya Minarak Lapindo Jaya membayar 20 persen 15 hari setelahnya. Seperti biasanya, tanpa rasa bersalah, Minarak mangkir.

    “Baru korban yang nilai 20 persennya kurang dari 80 juta yang dibayar. Yang di atas 90 juta, hingga saat ini baru mendapat cicilan 4 kali 15 juta atau baru terima 60 juta,” tutur Lilik Kamina.

    Ada 563 kepala keluarga yang tergabung dalam Pagar Rekorlap, kalau ditotal ada 1.921 jiwa. Mereka berasal dari 14 RT Desa Renokenongo. Dari 563 keluarga, ada 465 berkas aset. Nilai 20 persen aset mereka berkisar dari 9 juta rupiah hingga 956 juta rupiah. Lebih dari 130 berkas yang nilai 20 persen di atas 90 juta dan baru mendapat bayaran 15 juta empat kali. Warga terpaksa menerima pola pembayaran semacam ini.

    “Kalau diserahkan langsung pasti kami tolak, tapi karena langsung masuk rekening, ya, terpaksa kami terima.”

    Selain itu ada 8 warga yang salah ketik nomor rekeningnya. Ini adalah kesalahan teknis yang dilakukan oleh Minarak tapi warga yang harus menanggung resikonya. “Hingga saat ini 8 orang itu belum mendapatkan 20 persen,” tutur Lilik Kamina. Orang-orang Pagar Rekorlap masih akan menempati pengungsian Pasar Baru hingga semua aset dibayar dua puluh persennya.

    ***

    Kelompok Bonek Korban Lumpur, dari warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera yang menerima pola resettlement, juga merasa tertipu. Harusnya pada Oktober 2008 lalu mereka sudah mendapatkan rumah.

    Pola resettlement atau biasa disebut warga korban lumpur sebagai “rumah (dan) susuk” adalah pola dimana korban dibikinkan rumah baru di kompleks Kahuripan Nirvana Village (KNV) dan sisanya dibayarkan tunai. Namun hingga saat ini warga belum mendapatkan rumah maupun susuk (kembalian uang).

    Sejak awal Desember lalu, 4000-an pendukung Laskar Bonek melakukan aksi menutup pintu masuk KNV. Mereka bikin spanduk bertuliskan sebuah kutipan lagu dangdut yang populer di kalangan warga.

    “Kau yang berjanji, kau yang mengingkari
    Sungguh terlalu kau Bakri…!!! Kepada kami…”

    Dari sekitar 4000an jiwa, rumah yang sudah dibangun di KNV, saat ini, baru 337 unit. Sekitar 218 unit sudah serah terima dan 119 kosong.

    Selain itu mereka juga menuntut pembangunan perumahan yang sudah disetujuinya segera diselesaikan dan berstatus SHGB/sertifikat, jaringan listrik segera dimasukkan. Bagi warga yang sudah menerima kunci agar segera dibuatkan akte jual beli, dan uang kembalian agar segera dicairkan.

    Aksi ini sengaja dilakukan, karena mereka sudah menuruti apa yang ditawarkan pihak Minarak Lapindo Jaya akan tetapi sampai saat ini pun belum terselesaikan pembengunan rumahnya. “Kami akan betahan disini sampai semua bangunan rumah dan kembalian uang yang sudah kami tandatangani dalam ikatan Jual baeli (PIJB) terselesaikan. Seharusnya bulan Oktober lalu kami sudah menempati dan menerima kembalian uang,” kata Khamim, 35 tahun, koordinator Laskar Bonek.

    “Sekaligus aksi kami sengaja membuktikan kepada masyarakat luas, bahwa selama ini pihak Pemerintah dan Minarak mengembor-gemborkan KNV sebagai solusi terbaik bagi korban lumpur, ternyata tidak. Kami sudah capek dengan janji-janji. Segera selesaikan pembangunan rumah dan uang kembaliannya agar kami bisa menata hidup kami,” tandas Khamim. [novik/imam]