Category: Lapindo di Media

  • Lumpur Juga Rusak Sekolah

    Perkawanan mereka retak sejak bencana lumpur Lapindo, dua tahun setengah tahun lalu. Desa mereka terendam lumpur dan mereka ikut orang tua mereka mengungsi di Pasar Baru Porong yang jauhnya 2 kilometer.

    “Saat di desa, kita hanya butuh sepuluh menit ke sekolah,” tutur Umi.

    Umi Kelas 3 Madrasah Aliyah (MA) Khalid bin Walid, sedang Ayu yang lebih muda masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs). Berangkat sekolah dari pengungsian menjadi masalah yang berat bagi kedua siswa ini. “Yo, jaraknya jauh, naik sepeda pancal,” tutur Umi.

    Jarak ini pula yang memicu rusaknya perkawanan Umi dan Ayu. Awalnya, sepeda ontel Umi rusak kemudian dia berangkat sendiri nebeng dengan kawannya. Ayu lantas tak masuk sekolah karena ini. Dia menganggap Umi tak mau lagi berangkat bareng. Selain itu Ayu juga merasa merepotkan.

    Ayu dan ibunya marah pada Umi dan sampai berhari-hari setelah itu mereka saling tidak sapa. Setelah itu Ayu tidak mau sekolah lagi dan Umi merasa bersalah. Menurutnya, Ayu berhenti sekolah karena dia meninggalkannya.

    Umi lantas menanyakan hal ini pada Ayu. Ayu menjelaskan tak punya sepeda memang jadi persoalan bagi sekolah Ayu, namun masalahnya tak hanya itu: orangtuanya juga sudah tidak mampu lagi mengongkosi sekolah Ayu.

    Menurut Ali Mas’ad, Kepala Madrasah Aliyah Khalid bin Walid, biaya bulanan sekolah ini digratiskan. Siswa hanya diharuskan membayar biaya semesteran sebesar Rp. 20.000 dan orangtua Ayu tak mampu membayar biaya ini. Setelah tiga bulan mengungsi di Pasar Baru Porong, Ayu akhirnya memilih untuk berhenti sekolah.

    “Ayu pernah bilang pengen menamatkan Tsanawi (setingkat Sekolah Menengah Pertama), tapi mau bagaimana lagi, nggak ada dana,” tutur Umi.

    Umi sempat merayu Ayu supaya mau sekolah lagi namun Ayu menolak. Cita-cita yang sederhana ini berat untuk pasangan Kayat dan Mutmainah, ayah dan ibu Ayu. Kayat bekerja sebagai buruh tani dan Mutmainah adalah pedagang kupang, jenis kerang kecil. Ayu adalah salah satu dari delapan anak pasangan ini.

    Mereka berdua menjadi pengangguran setelah lumpur Lapindo merendam Desa Renokenongo. Ayu merasa tidak mungkin lagi untuk mewujudkan cita-citanya. Dia lebih memilih untuk bekerja menjadi pelayan warung kopi di kawasan Pasar Wisata, Tanggulangin untuk membantu menghidupi keluarganya.

    Ayu keluar sekolah dua tahun lalu dan sekarang kondisinya makin buruk. Gedung sekolah Khalid bin Walid, tempat Ayu sekolah, sejak bulan lalu tak bisa digunakan lagi karena terendam air-lumpur.

    “Ini sudah ketigakalinya dan kami menyerah karena Renokenongo sudah ditanggul,” tutur Ali Mas’ad.

    Banyak siswa yang keluar sekolah karena bencana lumpur ini karena para siswa ini mengikuti orang mengungsi dari lumpur. Siswa-siswa yang masih bersekolah dipindahkan ke Desa Gelagaharum menempati sebuah gudang toko bangunan UD. Sakinah milik Christina, istri mantan kepala desa Glagaharum.

    ***

    Di sektor pendidikan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat setidaknya ada 28 sekolah Taman Kanak-kanak (TK), 33 sekolah non TK, dan dua pondok pesantren rusak akibat lumpur dan hingga saat ini tidak mendapatkan penanganan serius. Sebagian sekolah ini tutup dan sebagian masih aktif dengan nebeng ke gedung sekolah lain.

    Kalau mau dicari contoh sekolah yang nebeng ini bisa banyak sekali, sebut saja: TK Ma’arif Jatirejo, Sekolah Dasar Negeri II Jatirejo, MI Ma’arif Jatirejo, MTs dan MA Abil Hasan Asazili Jatirejo, SDN I Kedung Bendo, SDN I, SDN II dan SDN III Kedungbendo serta SMP Negeri II Porong.

    SMPN II Porong kini nebeng di gedung SMPN I Porong. “SMP I masuk pagi dan SMP II masuk siang,” tutur Muhammad Nuri, Staf Humas SMP II Porong.

    Hampir semua aset milik SMP II hilang terendam lumpur, mulai meja-kursi, laboratorium, lapangan olah raga dan hingga buku-buku pelajaran tak banyak yang bisa diselamatkan.

    “Semua sarana laboratorium, ruang guru, kelas, sirna,” tutur Kayis, Kepala Sekolah SMPN II Porong.

    Tak hanya sarana yang hilang ditelan lumpur namun SMP II juga banyak kehilangan siswanya.

    “Kelas 3 yang lulus (tahun ajaran lalu) hilang satu kelas. Sedang Kelas 3 yang sekarang juga hilang satu kelas,” tutur Diantoro (49 tahun), bagian kesiswaan SMP II. Diantoro menjelaskan masing-masing kelas biasanya diisi 35-40 siswa.

    Banyak guru yang mengeluhkan jam pelajaran sore semacam ini karena energi siswa dan pengajar sudah tinggal sisa dan membikin konsentrasi siswa dan gurunya menurun selain itu jam pelajaran juga tidak maksimal.

    Waktu masuk pagi para guru mengajar 40 menit per jamnya kini harus disunat 5 menit tiap jamnya biar bisa pulang tepat jam 5 sore.

    Perubahan ini banyak mempengaruhi prestasi belajar siswa dan prestasi-prestasi lainnya di bidang olah raga. Selain itu ketiadaan fasilitas semakin memperburuk prestasi belajar siswa. “Dulu Bahasa Inggris bisa praktek di laboratorium, sekarang tidak,” tutur Kayis.

    Sekolah-sekolah lain yang terendam lumpur Lapindo nasibnya lebih buruk lagi. SD Kedungbendo I, misalnya, sejak Januari 2007 nebeng di SDN I Ketapang. Jumlah siswa mereka turun drastis dari 571 siswa menjadi 87 siswa, bahkan, Kelas 1 dan Kelas 2 sekarang tidak ada siswanya.

    “Kelas 3 ada 28 orang, kelas 4 ada 20 karena ikut orangtuanya yang pada ngungsi, tutur Kholil (56 Tahun), guru SDN I Kedung Bendo, “Kelas 5 ada 18 orang, Kelas 6 ada 21 orang.”

    Lapindo sebagai biang bencana ini tidak ada perhatian sama sekali. Apalagi kompensasi. “Sebenarnya beberapa kali sudah ada pembicaraan dengan pihak Lapindo. Tapi urusan ini adalah wewenang kepala sekolah. Tapi mereka, ya, ngomongnya gitu-gitu aja. Tidak ada realisasinya. Kalau mau dihitung kerugian materil dari pihak sekolah sangat banyak. Alat peraga, bangku-bangku sekolah, buku-buku paket program BOS–untuk buku itu saja nilainya sekitar 20 juta lebih. Belum arsip-arsip sekolah yang juga ikut tenggelam. Kami sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi, Mas. Ya sudah biar begini-begini saja,” tutur Kholil.

    Akibat luapan lumpur Lapindo SDN Kedungbendo III juga menanggung kerugian yang tak sedikit. Murid mereka yang berjumlah 553 orang sebelum luapan lumpur tersisa cuma 30 orang setelah luapan lumpur.

    Karena sekolah mereka terendam kini mereka nebeng di SD Ketapang I awalnya.

    “Namun setelah di sana juga kena luberan lumpur, jadinya dipindahkan lagi ke sekolah ini (SDN Kalitengah I). Karena di sini hanya ada 6 kelas, maka siswa dari SD kami harus masuk siang,” tutur Muslimin, salah seorang guru SDN III Kedungbendo. “Kelas 1 sampai Kelas 4 tak ada siswanya. Sementara gurunya dulu 15 orang kini tinggal tiga orang.”

    Dinas Pendidikan hanya menyuruh pindah SD Ketapang I tanpa berusaha mengatasi persoalan ini. Sementara Lapindo sama sekali tak menaruh perhatian. “Pembicaraan sebenarnya sudah ada, tapi mau gimana lagi, ya, Mas. Nggak ada realisasinya. Kita sih nggak mengharapkan apa-apa. Kita juga bertahan di sini untuk menghabiskan murid saja,” tandas Muslimin pasrah.

    ***

    Syamsuddin Halim biasa dipanggil Pak Udin adalah guru muda di Madrasah Ibtida’iyyah (MI) Ma’arif Jatirejo dan Madrasah Aliyah (MA) Hasan As-Sadzili Jatirejo. Dia guru swasta di sekolah swasta yang terendam lumpur. 

    Honor atau biasa disebut bisyaroh di sekolah swasta tempat Pak Udin mengajar tergantung dengan jumlah siswa yang dia ajar. Di MI Pak Udin mengajar enam jam. Sebelum bencana lumpur dia mendapatkan Rp. 8.000 perjamnya dan kini menjadi Rp. 6.000. Total dia memperoleh 36.000 per bulan.

    “Transport dan makan tidak ada,” tutur Pak Udin.

    Belum lagi MI yang pindah beberapa kali sejak lumpur menyembur dan mengubur beberapa desa di beberapa kecamatan di Sidoarjo.

    “Pindah pengungsian, pindah ke Kedungboto, masuk sore ngontrak 1 tahun, pindah ke Posko Gus Dur (di pengungsian Pasar Baru Porong) Januari 2008 (hingga kini),” tutur Pak Udin.

    Tapi Pak Udin masih setia mengajar. Ia menganggap kerja ini sebagai pekerjaan akhirat. (mam/mas)

  • Korban Lumpur Akan Tagih Janji Presiden

    Menurut koordinator warga Perumtas, Koes Sulassono, korban lumpur dari Perumtas akan ke Jakarta pekan depan. “Sebenarnya kami kecewa karena ternyata kami harus kembali lagi ke Jakarta untuk mengadu ke Presiden. Padahal, bulan lalu kami sudah pernah menghadap Presiden agar membantu mempercepat penyelesaian ganti rugi, namun sampai saat ini masih juga belum lancar,” ujar Koes, Kamis (8/1) di Sidoarjo.

    Sebanyak 1.170 korban lumpur Lapindo dari Perumtas, sebagian besar masih belum menerima pembayaran sisa ganti rugi 80 persen secara utuh. Janji Minarak yang akan mencicil ganti rugi sebesar Rp 30 juta setiap bulan juga tidak terbukti. Hanya sekitar 30 orang yang menerima cicilan ganti rugi Rp 30 juta pada Desember 2008.

    “Jumlah total yang baru menerima cicilan Rp 15 juta pada Desember 2008 hanya sekitar 300 warga. Sisanya belum menerima cicilan ganti rugi yang dijanjikan,” kata Koes.

    Hal serupa dikatakan Ketua Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo (Rekorlap) Sunarto. Dari 465 korban lumpur asal Desa Renokenongo, ujar Sunarto, baru sekitar 300 orang yang telah menerima uang muka ganti rugi 20 persen. Ganti rugi tersebut diberikan pada akhir 2008 atau setelah hampir dua tahun mereka menunggu pencairan uang muka ganti rugi tersebut.

    “Jika sampai tanggal 15 Januari ini belum juga ada penyelesaian uang muka ganti rugi 20 persen, kami akan berangkat ke Jakarta pada 25 Januari untuk mengadu ke Presiden agar membantu penyelesaian ini,” kata Sunarto.

    Dewan Pengarah Lumpur Sidoarjo DPRD Sidoarjo Jalaluddin Alham mengatakan, pihaknya bisa memaklumi kekecewaan korban lumpur terkait penyelesaian ganti rugi yang masih berlarut-larut. Ia pun mendukung keputusan warga yang akan mengadu ke Presiden agar mempercepat penyelesaian pembayaran ganti rugi.

    “Silakan saja mereka berangkat ke Jakarta asal berlaku tertib selama di sana, tidak membuat onar, dan menjaga nama baik Sidoarjo,” kata Jalaluddin. (APO)

  • Kehidupan Sosial Budaya Hancur, Upaya Pemulihan Nol

    Simaklah laporan Badan Perencanaan Pembangunan (Bappenas). Pada 2007, Bappenas sudah mengeluarkan laporan mengenai kerusakan dan kerugian akibat semburan lumpur Lapindo. Di situ disebut, kerusakan dan kerugian akibat lumpur Lapindo mencapai 7,3 triliun rupiah. Lalu ditambah dengan kerugian tidak langsung yang mencakup potensi ekonomi yang hilang sekira 16,5 triliun rupiah. Di sini yang dihitung sepenuhnya adalah kerusakan fisik, meliputi bangunan dan fasilitas pada sektor perumahan, infrastruktur, ekonomi, dan sosial. Sektor sosial yang dimaksud adalah bangunan pendidikan, tempat ibadah, pondok pesantren, dan panti sosial. Sementara, kerugian tak langsung itu dihitung berdasarkan keuntungan ekonomis yang hilang akibat kerusakan-kerusakan tersebut. Praktis, ini tidak menyinggung ihwal kerugian sosial-budaya.

    Begitu pula dengan kebijakan resmi Pemerintah. “Skema penyelesaian” Pemerintah yang dituangkan lewat Peraturan Presiden 14/2007 maupun versi revisinya, Peraturan Presiden 48/2008, memperlakukan seluruh kerugian warga korban menjadi aset fisik semata. Warga korban yang memiliki aset tanah dan bangunan mendapatkan uang tunai dari aset yang dibeli Lapindo maupun Pemerintah lewat dana APBN. Sementara, warga korban yang tak punya aset akan sekadar mendapat santunan uang kontrak dua tahun dan jatah hidup beberapa bulan. Kehidupan selanjutnya? Silakan cari akal sendiri. Pekerjaan yang hilang, pendidikan yang berantakan, kesehatan yang terus menerus menurun—baik akibat kondisi lingkungan yang makin memburuk maupun akibat tekanan mental yang kian berat—juga silakan urus sendiri-sendiri. Apalagi, ihwal sosial-budaya yang “tidak konkrit”, sudah pasti tak masuk daftar pertimbangan. 

    Namun, apakah sudah semestinya seperti ini? Apakah memang masalah sosial-budaya tidak bisa, dan tidak perlu, masuk daftar kerugian? Mari dengar apa yang dikatakan Michael Cernea, profesor antropologi dari George Washington University, Amerika Serikat. Profesor Cernea mengatakan, dampak disintegrasi sosial, tercerai-berainya masyarakat, dan hancurnya budaya sangatlah serius, meskipun tak kasatmata dan tak bisa dikuantifikasi. “Rusaknya komunitas, hancurnya struktur tatanan masyarakat, tercerai-berainya jaringan formal dan informal, perkumpulan-perkumpulan, merupakan kehilangan modal sosial yang sangat mahal meski tak bisa dikuantifikasi,” tegas Profesor Cernea.

    Kehilangan modal sosial itu bisa mengarah pada pemiskinan korban dari segala sisi. Profesor Cernea sudah melihat ini setelah mengamati dampak “pemindahan paksa” akibat aktifitas pembangunan selama dua puluh terakhir ini di berbagai negara di Asia, Afrika, Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Latin. “Pemindahan paksa” (forced displacement), ya, karena penduduk tidak secara sukarela meninggalkan kampung halamannya. Tapi dipicu oleh proyek pembangunan maupun proyek eksplorasi sumberdaya alam (development-induced forced displacement). Misalnya, pembangunan waduk, jalan raya, cagar alam, pertambangan gas dan energi. Apa yang dialami korban lumpur Lapindo tak lain merupakan bentuk “pemindahan paksa” akibat pertambangan gas dan energi.

    Perpindahan paksa macam ini, kata Profesor Cernea, mengakibatkan tercerabutnya komunitas yang ada, hancurnya struktur organisasi sosial, ikatan antarpribadi, dan sendi-sendi sosial. “Ikatan keluarga cenderung hancur. Hubungan tolong-menolong yang menopang keberlangsungan hidup, paguyuban-paguyuban lokal sukarela, dan tatanan layanan mandiri masyarakat hancur sudah. Destabilisasi kehidupan komunitas cenderung melahirkan kondisi anomi, rasa tidak aman, dan rasa kehilangan identitas kultural,” tandas penulis the Economics of Involuntary Resettlement: Questions and Challenges ini.

    Yang membuat korban kian rentan dan termiskinkan, lanjut Profesor Cernea, tidak saja karena mereka kehilangan tanah dan rumah. Lebih dari itu, korban “pemindahan paksa” sekaligus mengalami kehilangan akses terhadap fasilitas sosial dan fasilitas umum, kehilangan kelompok dan jaringan sosial, bahkan terkena marjinalisasi sosial dalam lingkungan baru atau lingkungan sementara mereka tinggal. Ini berdampak lebih lanjut pada kesulitan akses terhadap pekerjaan, kesulitan pangan, bahkan kerentanan terhadap penyakit.

    Dampak ikutannya saling terkait dan bisa membuat korban makin termiskinkan lagi. Kehilangan pendapatan bisa memicu marjinalisasi, atau keterkucilan sosial, dan begitu pula sebaliknya. “Marjinalisasi ekonomi biasanya berbarengan dengan marjinalisasi psikologis dan marjinalisasi sosial. Ini muncul dalam bentuk turunnya status sosial dan hilangnya kepercayaan diri warga,” terang Profesor Cernea. Ketika korban terkucil secara sosial, ia akan semakin sulit memperoleh akses terhadap kebutuhan-kebutuhan dasarnya.

    Ini persis dengan kenyataan yang dihadapi korban Lapindo. “Kalau dulu, semasa masih di kampung, mudah saja kalau mau butuh masak. Katakanlah kalau tidak punya sayur, bumbu  dapur,  masih bisa minta tetangga. Nanti kalau kita punya gula, bisa bagi juga ke tetangga. Gotong royong gitu, Mas,” tutur Roy, seorang warga korban dari Desa Siring yang sudah tenggelam. Tapi sekarang, kata Roy, hidup makin susah, tetangga sudah tercerai-berai ke mana-mana. “Semua sekarang menjerit, Mas,” imbuh Roy.

    Pola saling menopang kehidupan tetangga itu juga tampak dalam budaya kolektif, semisal melalui acara-acara informal keagamaan dan kemasyarakatan. Ada banyak kegiatan orang desa yang mungkin tidak penting jika dinilai secara ekonomis semata. Misalnya, kegiatan keagamaan macam tahlilan setiap malam Jumat atau Minggu, dziba’an, barzanji, ziarah makam, dan seterusnya. “Dulu kami rajin dziba’an, sekarang tidak pernah lagi,” tutur Anton, pemuda dari Desa Renokenongo. Padahal rutinitas itu yang membuat individu satu sama lain seperti “saudara”, sehingga apa yang disebut dengan “modal sosial” itu terbentuk. Dan ini tidak bisa dibangun kembali dalam hitungan hari, melainkan tahunan bahkan puluhan tahun.

    Singkat kata, kerugian sosial budaya bukan saja penting, tapi bahkan merupakan taruhan hidup warga korban. Dan jika negara ini ada, tentu ia akan melakukan tindakan lebih nyata untuk mengatasi kerugian ini. Terlebih, menurut hukum dan perundang-undangan yang ada, hak-hak sosial budaya korban Lapindo telah dilanggar. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No 11/2005 menunjukkan diakuinya hak untuk menjadi bagian dari kehidupan budaya (pasal 15) dan hak atas perlindungan terhadap keluarga (pasal 9).

    Hak atas keluarga ini juga ditegaskan dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 10. Pasal 11-15 undang-undang ini juga menegaskan dilindunginya hak mengembangkan diri melalui berbagai aktifitas: pendidikan, sosial, keagamaan, budaya, seni, dan lain-lain. Undang-Undang No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 59 (f) juga menegaskan  “pemulihan sosial, ekonomi, budaya”.

    Artinya, terhadap praktik-praktik budaya, kegiatan sosial, dan ikatan kekeluargaan yang ada, negara berkewajiban untuk melakukan perlindungan. Sementara jika hal itu dirusak, negara wajib memulihkan kembali. Tapi hingga kini, negara tak kunjung hadir di Sidoarjo. [ba]

  • Kontrak Rumah Habis, Dirikan Tenda

    Rencananya, lima keluarga akan menetap di jalan tersebut hingga menerima rumah baru sebagai bentuk ganti rugi. Aksi itu merupakan bentuk protes korban lumpur yang dijanjikan menempati Kahuripan Nirwana Village (KNV), perumahan bagi korban yang dibangun PT Minarak Lapindo Jaya, pada November 2008. Namun, hingga kini mereka belum menerima kunci rumah dari PT Minarak. Padahal, masa kontrak rumah mereka habis pada Desember 2008.

    Korban lumpur membawa semua perabotan mereka, seperti lemari pakaian, kursi tamu, tempat tidur, dan peralatan dapur, ke jalan dengan menggunakan truk. Mereka akan tinggal di tenda sampai mendapatkan kunci rumah di KNV sebagai ganti rugi dengan skema permukiman kembali.

    Hadiarto (35), salah satu korban lumpur Lapindo dari Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera, sebelumnya mengontrak rumah di Kota Kediri. Setelah masa kontrak rumah selama dua tahun habis pada Desember 2008, ia bersama istri dan seorang anaknya pindah ke tenda yang mereka dirikan di jalan menuju KNV. Ia bersama keluarganya akan bertahan di tenda itu sampai mendapatkan rumah ganti rugi dari PT Minarak.

    ”Untuk memperpanjang masa kontrak rumah sudah tidak mungkin karena tidak ada uang. Saya akan bertahan di sini sampai mendapatkan kunci rumah yang dijanjikan PT Minarak Lapindo Jaya,” tutur Hadiarto.

    Selain Hadiarto, korban lainnya yang akan bertempat tinggal di tenda adalah Sukardi (57) yang sebelumnya mengontrak rumah di Surabaya. Ia akan tinggal bersama istri dan kedua anaknya.

    ”Saya dijanjikan menempati rumah di KNV paling lambat akhir Desember 2008. Sampai saat ini saya belum menerima kunci rumah dari Minarak. Sebelumnya, saya sudah menghubungi pihak Minarak sebanyak tiga kali, tapi tidak ada jawaban jelas kapan saya bisa menempati rumah di KNV,” ujar Sukardi.

    Secara terpisah, Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla mengatakan, pihaknya akan memeriksa pihak pengembang yang membangun perumahan KNV tentang keterlambatan pembangunan rumah bagi korban lumpur itu. ”Saya akan cek ke developer kapan penyerahan rumah kepada korban lumpur,” kata Andi singkat. (APO)

  • Akibat Amblesan Tanah, Rumah Korban Lapindo Roboh

    Akibat Amblesan Tanah, Rumah Korban Lapindo Roboh

    Pada saat kejadian, Bu  Astuti sedang berada di rumah salah seorang kakaknya yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. “Waktu itu suaranya besar banget. Mantu saya ini lagi ngeloni (menidurkan, Red.) anaknya. Bapaknya lagi menjahit. Saya kebetulan di rumah, lagi di belakang, rumah kakak saya. Anak-anak yang lain sudah pada berangkat kerja,” tambah Bu Astuti.

    Bagian rumah yang ambruk adalah kamar milik Astuti dan Zulkan. Namun akibat kondisinya yang sudah sangat mengkhawatirkan, kamar tersebut sudah dua minggu tidak ditempati. Retakan-retakan di dindingnya sudah sangat besar sehingga oleh Zulkan dipasangi kayu-kayu penyangga. Namun karena amblesan tanah di tempat tersebut terus saja terjadi. Retakannya pun semakin besar dan akhirnya dinding kamar tersebut ambruk juga.
    Astuti mengaku beruntung tidak sampai tertimpa reruntuhan. Sebelum kejadian, dia sedang berada di dapur untuk memasak. Reruntuhan dari kamar yang ambruk itu jatuh di dapurnya. “Kalau misalnya kejadiaannya jam tujuh-an gitu, saya bisa ketiban tembok, Mas. Untung saja tidak sampai ada yang luka,” ujar Astuti.

    Kondisi rumah Zulkan memang sudah sangat tidak layak. Di beberapa tempat terdapat retakan-retakan dan dinding-dinding yang pecah. Rontokan dindingnya pun hampir tiap hari jatuh. Oleh Zulkan bagian dinding yang retak dan pecah serta kusennya dipasangi kayu penyangga.
    Sementara, sumur dan bagian kamar mandi, dinding-dindingnya juga pecah. Bagian lantainya juga retak-retak semua. Amblesan tanah juga sangat jelas terlihat. “Sebelum kemasukan lumpur, rumah saya tidak begini, Mas. Rapih, bersih. Lantainya juga item bersih. Ditambal, pecah lagi, ditambal lagi, pecah lagi, sampai mbelenger (bosan. Red), Mas,” kisah Astuti.

    Biaya perbaikan rumah selama ini ditanggung sendiri Zulkan. Dari pekerjaan sebagai penjahit, Zulkan hanya berpenghasilan Rp. 10.000 setiap hari. Karenanya Zulkan terpaksa harus bekerja juga sebagai pengatur jalan di Jalan Raya Porong. Dari pekerjaan ini Zulkan biasanya mendapatkan Rp. 25.000 dalam sehari. Untunglah keempat orang anaknya telah bekerja dan bisa membantu perekonomian keluarga.

    Lumpur Lapindo masuk ke rumah Astuti pada 3 Januari 2008. Pada saat itu genangan lumpur tingginya sampai sepinggang orang dewasa. “Tanggal 25 Januari 2008, cucu saya yang tinggal di rumah ini lahir. Waktu kita semua masih pada tinggal di pengungsian,” ujar Astuti. Oleh keluarga Astuti, rumah tersebut akhirnya dibersihkan sendiri dari endapan lumpur Lapindo dan akhirnya bisa ditinggali lagi. 

    Namun sejak saat itu kondisi lingkungan di sekitar rumah tersebut kian hari kian memburuk. Amblesan tanah terus saja terjadi. Rumah-rumah pun dindingnya retak-retak bahkan pecah. Amblesan tanah juga menyebabkan terganggunya aliran air warga di tempat itu. Tiba-tiba saja daerah yang sebelumnya tinggi jadi rendah karena amblesan tanah. Akibatnya hampir setiap hujan deras mengguyur rumah warga kebanjiran.

    Pompa yang disediakan oleh BPLS untuk menyedot air agar tidak tergenang dinilai warga kurang bekerja maksimal. Astuti  mengaku sejak musim hujan sekarang ini saja, sudah 4 kali rumahnya kemasukan air. Salah satu kamar yang terkena masukan air mengeluarkan bau gas yang menyengat. Airnya pun seperti berminyak-minyak. “Baunya kayak elpiji. Terus, airnya kayak ngelengo-ngelengo (berminyak-minyak. Red), gitu,” ujar Astuti kembali.

    Atas kejadian ambruknya rumah warga ini, Tim 16 Kelurahan Siring Barat menyatakan telah menghubungi media dan aparat terkait dalam hal ini BPLS dan pemerintah. “Mulai dari pemerintah kecamatan sampai pemerintah kabupaten telah kami hubungi,” ujar Jarot Suseno, selaku koordinator Tim 16 Kelurahan Siring Barat. Beberapa jam setelah kejadian, Wakil Ketua DPRD Sidoarjo, Jalaludin Alham, mendatangi lokasi kejadian. Kepada keluarga Zulkan, anggota DPRD dari Partai Demokrat tersebut menawarkan untuk tinggal sementara di rumah dinasnya. Zulkan sekeluarga akan diberikan satu kamar sendiri.

    “Tapi tawaran tersebut langsung kami tolak. Soalnya kami menilai tawaran tersebut mengandung unsur politis,” tambah Jarot.

    Tim 16 Kelurahan Siring Barat selanjutnya menyatakan jika kejadian ini tidak ditanggapi serius oleh pemerintah dan aparat terkait, warga mengancam akan mendirikan tenda di jalan untuk tempat tinggal mereka. “Atau mungkin juga kami akan tidur di Kantor Humas BPLS di Desa Mindi atau kantor mereka di Sidoarjo,” lanjut Jarot.

    Astuti sendiri ketika ditanyai harapannya ke depan hanya menyatakan ingin segera pindah dari rumahnya yang sekarang. “Maunya sih, semua rumah warga yang ada di Siring Barat ini segera dibeli sama pemerintah. Biar pada bisa cepat pindah,” ungkap Astuti. [mas]

  • Warga di Wilayah Peta Terdampak Enggan Pindah

    Menurut koordinator tiga desa, Abdul Rokhim, warga enggan pindah karena belum ada kejelasan kapan pembayaran sisa ganti rugi 80 persen dilaksanakan. Warga khawatir nasib mereka terkatung-katung seperti nasib korban lumpur Lapindo lain yang hingga kini belum jelas penyelesaian ganti ruginya.

    ”Berdasar aturan perpres, pembayaran 80 persen akan diberikan Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) jika penyelesaian ganti rugi yang ditanggung Lapindo selesai. Padahal, ganti rugi yang diberikan Lapindo berlarut-larut tanpa kejelasan sampai kini,” kata Rokhim, Kamis (1/1) di Sidoarjo.

    Pada Juli 2008, tiga desa itu dimasukkan ke dalam wilayah peta terdampak lumpur karena dinyatakan tidak layak huni. Terdapat 1.666 keluarga (6.094 jiwa) yang tinggal di tiga desa itu. Pada pertengahan September 2008, mereka menerima uang muka ganti rugi 20 persen dan uang bantuan sosial dari BPLS.

    Berdasarkan perjanjian warga tiga desa dengan BPLS, setelah menerima uang bantuan sosial yang terdiri dari uang kontrak selama dua tahun senilai Rp 5 juta, uang evakuasi Rp 500.000, dan uang jatah hidup Rp 300.000 selama enam bulan, warga diberi batas waktu 90 hari untuk keluar dari tempat tinggal mereka karena desa itu akan dibangun menjadi kolam penampungan lumpur. Batas terakhir untuk pindah tanggal 31 Desember 2008.

    Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnain menjelaskan, meski batas waktu warga untuk pindah telah habis, pihaknya tidak akan serta-merta menganggap warga melanggar perjanjian. BPLS masih memberi toleransi waktu bagi warga hingga mereka memiliki tempat tinggal baru.

    ”Pemerintah perlu mendorong Lapindo agar segera menyelesaikan pembayaran ganti rugi korban lumpur sehingga kekhawatiran warga terkait sisa pembayaran ganti rugi 80 persen tidak terjadi,” kata Zulkarnain.

    Untuk uang muka ganti rugi 20 persen bagi warga di tiga desa, pemerintah melalui BPLS telah mengeluarkan dana hampir Rp 101 miliar. Jumlah itu belum termasuk uang bantuan sosial sekitar Rp 15 miliar. Seluruh dana tersebut diambil dari APBN 2008. (APO)

  • Korban Menagih Janji PT MLJ

    SIDOARJO, KOMPAS – Sekitar 150 korban lumpur Lapindo dari Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera Sidoarjo mendatangi kantor perwakilan PT Minarak Lapindo Jaya, Selasa (30/12) pukul 08.00 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka menagih janji PT MLJ yang hendak mencicil sisa ganti rugi 80 persen pada Desember 2008.

    Warga bermaksud menemui perwakilan PT MLJ untuk menanyakan cicilan pertama sisa ganti rugi 80 persen yang jatuh tempo akhir Desember 2008. Namun, tak satu pun staf PT MLJ berada di kantor.

    Koordinator warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) Sidoarjo, Koes Sulassono, mengatakan, hingga saat ini tak sampai 200 dari 1.170 warga Perumtas korban lumpur yang mendapatkan cicilan ganti rugi.

    Kesepakatan kami dengan Minarak yang difasilitasi Presiden pada awal Desember di Istana Negara menyatakan, sisa ganti rugi 80 persen dicicil Rp 30 juta setiap bulan. Nyatanya, tidak semua warga sudah mendapatkan cicilan. Yang mendapat pun hanya dibayar Rp 15 juta,” kata Koes.

    Menurut Koes, jika sampai 10 Januari 2009 tidak ada kejelasan mengenai pembayaran sisa ganti rugi 80 persen, warga Perumtas akan berangkat ke Jakarta lagi untuk meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membantu penyelesaian ganti rugi. Warga yang ke Jakarta akan lebih banyak dibanding pada 3 Desember lalu yang berjumlah 1.000 orang.

    ”Kami juga sudah mengirim surat kepada Menteri Sosial dan Menteri Pekerjaan Umum untuk melaporkan bahwa realisasi ganti rugi tidak sesuai dengan kesepakatan di Jakarta,” kata Koes.

    Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabussala saat dihubungi mengatakan, pihaknya sedang mengkaji kembali mengenai pembayaran sisa ganti rugi 80 persen.

    Dalam pesan singkatnya Andi mengemukakan, persoalan tersebut mendapat perhatian khusus perusahaan dan sedang dilakukan rapat koordinasi. (APO)

  • Masalah Lumpur Lapindo Segera Dibawa ke Sidang Paripurna Komnas HAM

    Jakarta, TEMPO Interaktif – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berjanji akan membawa nasib korban lumpur panas Lapindo ke sidang paripurna komisi pada 7 Januari mendatang. “Mudah-mudahan hasilnya tidak mengecewakan,” ujar Ketua Tim Penanganan Lumpur Lapindo, Komnas HAM, Syafruddin Ngulma Simeulue, di Jakarta, Ahad (28/12).

    Setelah temu sidang pada 7 Januari, ia berjanji akan menggelar konferensi pers sehari kemudian. “Dengan catatan kalau tanggal 7, perdebatan bisa berakhir,” kata Syafruddin. Komisi berharap keputusan yang dihasilkan nanti benar-benar bulat dari 11 anggota tanpa  perlu pemungutan suara.

    Syafruddin melanjutkan, Komisi Hak Asasi Manusia berjanji rekomendasi yang dibawa ke sidang akan menunjukkan hal yang berbeda. Selama ini, menurut dia, pihaknya menghadirkan tiga kelompok yang akan menentukan Lapindo terjadi akibat bencana atau bukan. “Dua pihak yang kontradiksi dan satu pihak yang netral,” katanya.

    Pada pertengahan November lalu, puluhan korban semburan lumpur Lapindo mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta. Mereka meminta komisi memperjuangan nasib para korban, termasuk soal pembayaran ganti rugi dari Lapindo yang tak kunjung beres.

    DIANING SARI

    Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/12/28/brk,20081228-152802,id.html

  • Korban Lumpur Lapindo Rayakan Tahun Baru di Tenda

    SIDOARJO, KOMPAS – Warga korban lumpur Porong yang tergabung dalam Laskar Bonek Korban Lumpur (Lasbon K-Pur) memilih tinggal di tenda keprihatinan dalam menyambut Tahun Baru Islam 1430 Hijriah dan Tahun Baru 2009.

    “Kami lebih memilih tinggal di tenda keprihatinan sebagai salah satu bentuk reaksi atas nasib kami yang selama dua tahun ini masih belum jelas,” kata Haryanto, salah satu koordinator aksi, ketika dikonfirmasi di Sidoarjo, Minggu (28/12).

    Ia mengatakan, tidak ada acara yang spesial untuk menyambut pergantian tahun baru 1430 Hijriah. “Mungkin kami hanya melakukan renungan malam untuk mengingat kembali nasib kami yang selama dua tahun ini masih belum jelas,” ujarnya.

    Lasbon K-Pur merupakan warga yang setuju dengan realisasi pembayaran ganti rugi dengan skema cash and resettlement. Kegiatan itu diakuinya juga sebagai langkah untuk mengantisipasi rencana pembongkaran paksa tenda keprihatinan yang mereka dirikan 16 Desember lalu. “Kami mendapatkan informasi jika aparat keamanan akan membongkar paksa tenda kami. Oleh karena itu, kami akan bertahan,” katanya.

    Haryanto menambahkan, tenda keprihatinan tersebut sengaja dibuat untuk mengawal realisasi janji Minarak Lapindo Jaya (MLJ) menanggung ganti rugi atas nasib mereka. Selain itu, tenda keprihatinan tersebut, sengaja tidak dibongkar hingga pergantian tahun baru masehi, dari 2008 ke 2009.

    MLJ, kata dia, pernah berjanji akan membangun 450 unit rumah setiap tiga bulan dan diselesaikan dalam waktu tiga bulan. “Mereka (MLJ) berjanji akan memulai pembangunannya pada awal tahun depan, dan kami ingin melihat realisasinya,” katanya.

    Sementara itu,  Ulfiati,  salah seorang korban yang lain menilai, seharunya korban lumpur yang menerima skema pembayaran cash and resettlement sudah bisa menempati rumah mereka sejak Oktober lalu. Akan tetapi, hingga kini rumah yang dijanjikan itu belum juga siap dihuni.

    “Seharusnya, kami sudah bisa menempati rumah tersebut sejak Oktober lalu,  karena penandatanganan ikrar jual beli (PIJB) sudah dilakukan sejak April 2008,” ujarnya.

    Sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/28/18024586/korban.lumpur.lapindo.rayakan.tahun.baru.di.tenda

  • DPR Pertanyakan 4 Desa Tidak Masuk Area Terdampak Lumpur

    JAKARTA, KOMPAS — Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) mempertanyakan tidak dimasukkannya 4 desa yaitu Besuki Timur, Mindi, Siring, dan Jatirejo ke dalam peta area terdampak.

    Dalam laporannya pada rapat dengar pendapat umum dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Rabu (17/12) malam, Ketua Dewan Pengarah BPLS Djoko Kirmanto memaparkan bahwa bagi 4 desa tersebut, BPLS menyiapkan program darurat jika terjadi hal yang tidak diinginkan.

    “Kenapa tidak dimasukkan (peta area terdampak)? Ini harus dijelaskan, karena ini menjadi landasan kita. Empat desa itu kan sudah kita sepakati,” kata Ketua TP2LS Priyo Budi Santoso.

    Atas hal ini, Djoko menjawab jika masuk ke peta area terdampak maka warga di 4 desa tersebut akan mendapat pembayaran sama besar dengan yang dibayarkan Lapindo. “Oleh karena itu, kita siapkan dana darurat 2009,” ujar Djoko.

    Padahal, ada tuntutan warga desa Jatirejo, Siring Barat, dan Mindi untuk dimasukkan peta area terdampak karena merasa rumah mereka sudah tidak layak huni, demikian pula tuntutan warga desa Besuki dan desa-desa sekitar luapan lumpur yang sudah merasa tidak aman.

    Namun, anggota TP2LS Abdullah Azwar Anas justru mempertanyakan mengapa pemerintah tidak menetapkan ambang batas rasional yang bisa dibayarkan pemerintah kepada warga 4 desa tersebut.

    “Berapa ambang batas rasional yang tidak memberatkan pemerintah? Seharusnya ini ditetapkan jika pemerintah tidak ingin disamakan dengan jual beli yang dilakukan Lapindo. Itu yang ingin kami dengan dari pemerintah. Kalau tidak, rapat kita ya sama saja,” kata anggota Fraksi PKB ini.

    Menurut Anas, ada warga yang mengatakan bahwa mereka bersedia dibayar tidak sama dengan jual beli Lapindo asalkan pembayaran cepat selesai.

    Inggried Dwi Wedhaswary

  • Pemerintah Siapkan Program Darurat bagi Korban Lumpur Lapindo

    JAKARTA, KOMPAS – Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Djoko Kirmanto mengatakan, pemerintah menyiapkan program darurat pada tahun 2009 bagi warga di sekitar area luapan lumpur Lapindo. Program tersebut, diperuntukkan jika terjadi hal yang tidak terduga di 4 desa yaitu Besuki Timur, Mindi, Siring, dan Jatirejo.

    Sebab, Djoko mengatakan, Besuki Timur dinyatakan sebagai daerah yang tidak terkena dampak. Sementara, Desa Mindi, Siring, dan Jatirejo jika dimasukkan sebagai area terdampak akan membengkakkan anggaran.

    “Untuk Mindi, Siring, dan Jatirejo kalau dimasukkan ke dalam peta area terdampak akan menambah anggaran hingga triliunan. Pemerintah sangat berhati-hati sambil menunggu hitungan ekonomisnya. Namun, bila terjadi hal tidak terduga, kami sudah menyiapkan program darurat 2009,” papar Djoko dalam rapat dengan pendapat umum dengan Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) DPR, Rabu (17/12) malam, di Gedung DPR.

    Program darurat tersebut, biaya untuk memobilisasi (mengevakuasi korban), biaya jaminan hidup, dan dana untuk membeli rumah sederhana sehat. Dalam laporan awalnya, Djoko menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur sudah dimulai, seperti pembangunan jalan dan jembatan. “Pembangunan jalan tol masih menunggu,” kata Djoko, yang juga menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum.

    Inggried Dwi Wedhaswary

    Sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/17/20284761/pemerintah.siapkan.program.darurat.bagi.korban.lumpur.lapindo

  • Korban Lapindo di Luar Peta Dampak Merasa Diabaikan

    JAKARTA, KORAN TEMPO – Ribuan warga korban Lapindo dari luar peta kena dampak lumpur merasa diabaikan oleh pemerintah dan pengelola PT Lapindo Brantas. Untuk itu mereka terus menuntut agar pemerintah dan Lapindo bertanggung jawab karena dinilai telah membuat kehidupan normal mereka porak-poranda sejak semburan lumpur terjadi lebih dari dua tahun lalu.

    “Publik hanya tahu korban lumpur Lapindo itu yang rumah atau pekarangannya sudah tenggelam dan masuk dalam peta terdampak,” kata A. Salam, perwakilan warga Ketapang, Sidoarjo, saat berkunjung ke kantor Tempo kemarin. “Padahal kehidupan warga di luar peta terdampak juga bertambah parah, bukannya membaik.”

    Sebelumnya, sekitar 500 warga korban Lapindo dari luar peta dampak itu datang ke Jakarta bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, 10 Desember lalu. Mereka berasal dari Desa Permisan, Ketapang, Siring Barat, dan Besuki Timur. Untuk menuntut tanggung jawab pemerintah dan Lapindo, warga bergabung dalam pergelaran karya seni perupa Dadang Christanto bertema “Survivor” di Tugu Proklamasi, Jakarta.

    Salam menambahkan, desa-desa di luar peta dampak mengalami masalah setelah terjadi semburan lumpur Lapindo, antara lain, air minum tidak bisa lagi digunakan untuk konsumsi sehari-hari dan fasilitas umum mengalami kerusakan berat. Pencemaran logam berat dalam kandungan udara yang dihirup sehari-hari oleh warga juga telah mengakibatkan berbagai macam penyakit. “Kejadian penyakit infeksi saluran pernapasan akut meningkat pesat,” katanya.

    Menanggapi hal itu, Yuniwati Teriana, juru bicara PT Lapindo, menyatakan pihaknya hanya bekerja sesuai dengan peta dampak. Jika daerah yang tidak masuk peta ingin mendapatkan penanganan seperti desa yang masuk peta, kata dia, mereka dipersilakan mengusulkan desa mereka kepada pemerintah daerah setempat. “Daerah yang mengusulkan dan menyurvei untuk dilihat dampaknya, apakah dampak langsung atau tidak langsung,” kata dia.

    DWI WIYANA | REH ATEMALEM

    Sumber: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/12/12/Nusa/krn.20081212.150725.id.html

  • Saham Santos Naik Setelah Mundur dari Sidoarjo

    Pada Jumat siang waktu Australia harga saham Santos naik 13 sen (0,09 persen) menjadi AU$ 14,93, sehari setelah Santos setuju melepas sahamnya dalam Kontrak Bagi Hasil Produksi Brantas.

    Saham Santos dalam kontrak itu adalah 18 persen yang akan diserahkan ke Minarak Labuan. Tidak ada keterangan nilai penyerahan saham itu. Bahkan Santos menyatakan akan membayar Minarak 22,5 juta dolar (246 miliar) kepada Minarak Lapindo untuk penanganan semburan lumpur Lapindo.

    Kesepakatan itu dilaporkan akan melepaskan Santos dari semua tuntutan di masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang yang berkaitan dengan lumpur Lapindo.

    Seperti diberitakan Santos adalah salah satu dari lima perusahaan energi yang tergabung dalam konsorsium penambangan gas di Sidoarjo. Empat perusahaan lainnya adalah Energi Mega Persada, Kalila Energy Ltd; Pan Asia Enterprise; dan PT Medco Energi Tbk.

    Santos dan keempat perusahaan itu lolos dari tuntutan pengrusakan lingkungan yang diajukan Walhi tahun 2007, dan kemunduran Santos ini diumumkan setelah ahli geologi perminyakan Amerika (American Association of Petroleum Geologists) menyimpulkan dalam konferensi mereka di Afrika Selatan akhir bulan Oktober lalu, bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh penambangan gas di kawasan itu. AFP | RONALD

  • Peta Terdampak Lumpur Lapindo Cuma Akal-Akalan

    Empat desa ini terkena dampak buruk luapan lumpur Lapindo yang membuat menurunnya kualitas air, udara dan juga hilangnya mata pencaharian warga setempat. “Tidak ada keseriusan untuk memperhatikan nasib warga. Makanya ini (peta terdampak) hanya untuk membatasi tanggung jawab saja,” tutur Irsyad, warga Besuki Timur usai keterangan pers di Kantor Kontras Jakarta, Kamis (11/12).

    Akibat peristiwa luapan lumpur, Irsyad kehilangan tambak yang selama ini menjadi sumber mata pencahariannya. Sementara itu, warga tak dapat mengkonsumsi air seperti biasanya karena sudah tercemar dan dinilai tidak aman lagi. Irsyad juga menyesalkan keluarnya Perpres No.48 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa antisipasi terhadap korban luapan lumpur bagi warga dan juga pembangunan tanggul-tanggul di luar peta terdampak ditanggung oleh APBN.

    “Pemerintah keliru sekali. Carut marutnya di Perpres itu. Ketika ini keluar, Lapindo hanya bertangung jawab di dalam peta 22 maret. Di luar peta, itu tanggung jawab pemerintah. Sedangkan sumber masalah lumpur terus keluar dan tidak ada kepastian tahun berapa selesai. Kalau puluhan tahun, ya berapa hektar lagi? Padahal tanggung jawab Lapindo hanya di dalam. APBN harus menanggung yang lebih besar,” tutur Irsyad.

    Irsyad juga mengatakan selama ini minim sekali penyebutan alokasi ganti rugi kepada warga. Lapindo hanya memberlakukan sistem jual beli terhadap tanah warga dengan alasan untuk membangun saluran limpahan lumpur ke laut. LIN

  • Dampak Lumpur Lapindo Lampaui Peta Terdampak

    Dalam keterangan pers di Kantor Kontras hari ini, Kamis (11/12), para warga yang datang ke Jakarta dalam rangka peringatan hari HAM sedunia kemarin, menuturkan betapa dampak lumpur Lapindo juga telah membuat kualitas hidup mereka menurun. Apalagi, mereka tidak tergolong memperoleh ganti rugi.

    Budiono, warga desa Bangun Sari mengeluhkan bahwa air yang biasa mereka peroleh dari Sungai Brantas dan sumur kini tak aman lagi untuk dikonsumsi. Akibatnya, mereka harus membeli air dan kuota yang disediakan untuk satu kampung pun tak mencukupi. Hanya cukup untuk minum, tak dapat dipakai untuk mandi. “Mulai dari Tanjung Sari, Bangun Sari, Kebubuyang, Permisan, air minum tidak aman lagi. Masa air minum saja beli,” tutur Budiono.

    Sementara itu, perwakilan warga dari desa Permisan, Mundir Iwan, mengatakan, dampak lumpur Lapindo juga mengancam mata pencaharian mereka sehari-hari sebagai petambak udang dan bandeng. “Sirkulasi air ke tambak tidak lancar, petani pada siklus kedua dan ketiga tidak mau ambil risiko ikannya mati gara-gara dimasukin air ke tambak,” ujar Mundir.

    Selain itu, infrastruktur jalan raya sebagai akses warga ke kota juga mengalami kerusakan sehingga kegiatan warga terhambat. Muncul juga masalah kesehatan karena bau dari luapan itu mengganggu. Dampak buruk juga menyerang kondisi psikis anak-anak. “Secara psikis pikiran mereka sudah terkontaminasi dengan kekhawatiran kalau-kalau orangtuanya nganggur, rumahnya tenggelam, dan sebagainya,” tandas Mundir.

    Warga menuntut pemerintah memberikan akses terhadap sejumlah infrastruktur dan fasilitas yang tidak aman lagi, bahkan rusak akibat luapan lumpur, seperti penyediaan air bersih yang cukup, balai pengobatan gratis secara rutin, dan hibah untuk membangun kembali mata pencaharian mereka. LIN

  • Warga Korban Lumpur Lapindo di Luar Peta Terdampak Menuntut Tanggung Jawab Lapindo dan Pemerintah

    Desa-desa tersebut mengalami berbagai kerusakan akibat semburan lumpur Lapindo yang selama dua tahun lebih dibiarkan meluber. Air minum tidak lagi bisa digunakan untuk konsumsi sehari-hari. Fasilitas umum mengalami rusak berat. Pencemaran logam berat dalam kandungan udara yang dihirup sehari-hari oleh warga telah mengakibatkan berbagai macam penyakit. Sedikitnya 4 orang meninggal dunia akibat inhalasi udara tersebut.

    Sedikitnya 268 rumah di Desa Ketapang dan 215 rumah di Desa Siring Barat mengalami kerusakan berupa retakan akibat amblesan (land subsidence). Kerusakan irigasi di Desa Permisan mengakibatkan sedikitnya 865 hektar lahan tambak hancur, sehingga tingkat produksi tambak menurun hingga 50 persen, di saat biaya produksi meningkat sedikitnya 25 persen. Lahan sawah sedikitnya 30 hektar di Desa Besuki Timur yang menjadi sumber penghidupan warga tidak lagi bisa digunakan.

    Tapi Pemerintah tidak memberi penanganan terhadap wilayah tersebut dengan alasan tidak masuk peta terdampak. Lapindo juga dibiarkan bebas tanpa konsekuensi perdata maupun pidana apa pun. Memang, Pemerintah mengklaim telah memberikan pasokan air bersih, tapi itu sama sekali jauh dari kebutuhan warga. Di Ketapang, misalnya, hanya disediakan 4 tandon air bersih untuk warga sebesar 1462 keluarga. Kerusakan fasilitas umum seperti drainase tidak dilakukan perbaikan oleh Pemerintah.

    Oleh karena itu, demi keselamatan hidup warga, kami menuntut Pemerintah dan Lapindo untuk menangani segala kerusakan yang terjadi sebagai akibat dari semburan lumpur Lapindo. Juga kami meminta pemulihan segala aspek kehidupan kami yang telah hilang maupun rusak akibat munculnya semburan.

    Sekaitan dengan itu juga kepastian hukum untuk Lapindo harus segera ditegaskan. Setelah pertemuan para ahli Geologi Iternasional di Cape Town, Afrika Selatan yang menyebutkan bahwa semburan lumpur ini disebabkan oleh kegiatan eksplorasi PT Lapindo Brantas, Inc.

    Kami menunggu bukti nyata keseriusan pemerintah dan Lapindo hingga akhir tahun ini, jika kemudian kami tidak menemukan keseriusan dalam usaha penyelamatan dan pemulihan hidup kami oleh pemerintah dan Lapindo, maka kami akan terus memperjuangkan hak-hak kami melalui berbagai aksi solidaritas baik di Jakarta ataupun di Sidoarjo.

    Jakarta, 11 Desember 2008
    Masyarakat Desa di Luar Peta Terdampak   

    Mundir D.I (Permisan) 081230051661, Jarot. S Suseno (Siring Barat) 081703430135, M. Irsyad (Besuki Timur) 081332482952, A. Salam (Ketapang) 081553209985

  • Janji Baru Pemilik Lapindo

    GEMA takbir dan selawat menyambut sembilan orang perwakilan warga korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam Tim 16 saat keluar dari kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu petang pekan lalu. Ketua tim itu, Kus Sulasono, dan delapan rekannya memeluk puluhan warga korban lumpur lain yang sudah menunggu di depan Istana Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.

    Perwakilan 4.000 kepala keluarga Perumahan Tanggul Angin Sejahtera (Perumtas) I, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, ini baru saja bernegosiasi dengan Nirwan Dermawan Bakrie (penanggung jawab kelompok usaha Bakrie sekaligus Pemimpin Eksekutif PT Lapindo Brantas Inc.), Komisaris Minarak Lapindo Jaya Gesang Budiarso (afiliasi Lapindo Brantas), dan General Manager Lapindo Brantas Imam Agustino mengenai sisa pembayaran ganti rugi 80 persen.

    Negosiasi yang dimulai pukul 14.00 berjalan alot. Tawar-menawar Tim 16 dengan Nirwan pun tak terhindarkan. Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, dan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi serta Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Soenarso, yang ikut mendampingi, sesekali memberikan pandangan.

    Tim 16 meminta Minarak membayar penuh sisa ganti rugi secara tunai. Nirwan berkeberatan dengan alasan usaha Grup Bakrie terimbas krisis finansial global. Minarak bersedia mencicil Rp 30 juta per bulan tanpa pembayaran uang kontrak. Ini berbeda dari tawaran Rp 20 juta per bulan plus pembayaran uang kontrak Rp 5 juta yang diajukan Minarak pada pertemuan sehari sebelumnya di kantor Departemen Pekerjaan Umum.

    Para warga menurunkan tawarannya: pembayaran tunai Rp 75 juta, sisanya dicicil setiap bulan. Nirwan tetap tak sanggup. Terpaksa penawaran diturunkan menjadi Rp 50 juta, bahkan Rp 40 juta. Nirwan kukuh pada angka Rp 30 juta. Tim pun menurunkannya menjadi Rp 30 juta, dengan pembayaran uang kontrak rumah Rp 5 juta. Nirwan hanya sanggup mencicil Rp 30 juta per bulan plus pembayaran uang kontrak Rp 1 juta. Tim 16 meminta Nirwan menaikkan uang kontrak menjadi Rp 2,5 juta. Nirwan akhirnya setuju.

    Deal. Para warga akan menerima pembayaran awal Rp 32,5 juta dan selanjutnya Rp 30 juta per bulan sesuai jatuh tempo masing-masing. Pembayaran ganti rugi, kata Kus, memang tidak optimal. Tapi mereka mau menerima tawaran karena memahami kesulitan Grup Bakrie. ”Yang terpenting kami sudah bertemu dengan Presiden dan mendapat jaminan pemerintah,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. Negosiasi berakhir menjelang magrib.

    lll

    Senin, 29 Mei 2006, lumpur menyembur dari ladang gas Banjar Panji 1 milik Lapindo Brantas. Luberannya menenggelamkan area permukiman, pertanian, industri, fasilitas pendidikan, dan sarana publik lainnya seluas 470 hektare. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, kerugian langsung mencapai Rp 7,3 triliun dan potensi kerugian mencapai Rp 16,4 triliun. Jika tak ada penanganan sampai 2015, kata Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dampak luberan lumpur akan mencapai 580 kilometer persegi atau 80 persen luas Kabupaten Sidoarjo.

    Semburan lumpur menjadi mimpi buruk warga di kawasan Porong, Sidoarjo. Yuini, 52 tahun, warga Desa Renokenongo, harus kehilangan dua petak sawahnya. Dari sawah ini, dia dan suaminya, Rabit, 54 tahun, menghidupi 13 anggota keluarganya. Kini sawahnya telah tenggelam oleh lumpur. Ia hanya mendapatkan ganti rugi Rp 1,25 juta dari Minarak. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sesekali Yuini mengemis di sepanjang Jalan Raya Porong. ”Mau gimana lagi, Mbak? Daripada cucu-cucu saya ndak makan, lebih baik saya yang minta-minta.”

    Amin Shahuri, warga Perumtas, mengisahkan selama dua tahun terakhir kehidupan warga korban lumpur morat-marit. Tak sedikit yang kehilangan pekerjaan. Kini mereka harus mengurusi keluarga yang menjadi korban lumpur, termasuk menunggu kepastian pembayaran sisa ganti rugi. ”Banyak juga yang sakit jiwa karena enggak kuat menanggung beban,” ujarnya. Yuini, Rabit, dan Amin tak sendirian. Masih ada 13 ribu keluarga di sembilan desa yang kehilangan tempat tinggal. Harapan satu-satunya adalah ganti rugi memadai dan cepat dari Lapindo.

    Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007, Lapindo harus bertanggung jawab menutup semburan lumpur. Lapindo juga wajib membayar ganti rugi tanah dan bangunan milik warga di tujuh desa (”peta terdampak”), yakni Jatirejo, Siring, Kedungbendo, Renokenongo, Gempolsari, Ketapang, dan Kalitengah. Pembayaran dilakukan dua tahap: uang muka 20 persen dan sisanya, 80 persen, dibayar paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah habis selama dua tahun.

    Sejak payung hukum penanganan lumpur Lapindo diteken pada 8 April 2007, Grup Bakrie memang mulai membayar ganti rugi. Tapi tak sepenuhnya lancar: pembayaran uang muka 20 persen terlambat. Lapindo gagal memenuhi tenggat untuk uang muka yang ditetapkan Presiden, yakni 14 September 2007.

    Menurut Vice President Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla, keterlambatan terjadi karena para korban lumpur, terutama di Pasar Porong, selalu mengubah sistem yang telah disepakati bersama korban lumpur lain. ”Sampai batas akhir, mereka tidak mau. Beberapa bulan kemudian, mereka baru mau,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. Pembayaran sisa ganti rugi 80 persen sejak awal Mei 2008 tersendat-sendat. Kendati, ada upaya Lapindo mempercepatnya bagi warga yang memilih dibayar dengan rumah di Kahuripan Nirwana Village.

    Menurut ekonom Hendri Saparini, terkatung-katungnya pembayaran sisa ganti rugi terjadi karena pemerintah tak mampu menekan Grup Bakrie. ”Mestinya pemerintah bertindak tegas kalau memang berpihak kepada rakyat,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. Seharusnya, kata ekonom dari Econit Advisory Group ini, pemerintah sejak dulu menyita aset Grup Bakrie sesuai jumlah yang harus dibayarkan kepada korban lumpur. ”Itu bisa menjadi jaminan penyelesaian.”

    Dari sisi kemampuan ekonomi, Grup Bakrie memang memiliki banyak perusahaan bagus. Konglomerat ini juga masih bisa membereskan pembayaran ganti rugi yang ditaksir hanya Rp 3,5-4 triliun. Itu tak seberapa dibanding kekayaan keluarga Bakrie versi majalah Forbes Asia pada 2007 sebesar US$ 5,4 miliar atau sekitar Rp 54 triliun.

    Lalu datang badai finansial. Lapindo pun mengerek bendera putih dan mengaku tidak mampu membayar ganti rugi. Pada 23 Oktober 2008, Direktur Utama Minarak Lapindo Jaya Bambang Mahargyanto mengirim surat kepada Badan Penanggulangan Lumpur, yang intinya meminta Badan sementara waktu menangani lumpur Lapindo.

    Minarak beralasan, krisis global telah berdampak langsung kepada Grup Bakrie sebagai induk perusahaan. Minarak kesulitan likuiditas untuk membayar ganti rugi. Tapi, 3 November lalu, Minarak mencabut surat terdahulu. Dan menyatakan berkomitmen membayar ganti rugi kepada korban lumpur.

    Faktanya, pembayaran masih terkatung-katung. Tak aneh, banyak korban Lapindo kehilangan kesabaran. Unjuk rasa menjadi pilihan. Berkali-kali warga korban lumpur berunjuk rasa ke kantor Bupati Sidoarjo, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur, dan Gubernur Jawa Timur. Juga, ke Jakarta.

    Dua puluhan lelaki dan wanita lanjut usia korban lumpur, pada 16 November lalu, mencoba sowan ke rumah Aburizal Bakrie di Jalan Mangunsarkoro, Jakarta Pusat. Para warga dari Kedungbendo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, ini membawa kelapa, pisang, kangkung, singkong, dan hasil bumi lainnya untuk oleh-oleh bagi keluarga Bakrie. Tapi bukan Aburizal atau Nirwan Bakrie yang dicari. ”Kami hanya ingin bertemu ibunya. Kami ingin ngobrol panjang-lebar tentang kelakuan anaknya,” ujar seorang di antaranya bernama Marwan kepada Ferry Firmansyah dari Tempo. Tapi upaya ini juga gagal.

    Berlarut-larutnya pembayaran ganti rugi dan maraknya gelombang unjuk rasa korban lumpur sampai juga ke telinga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 29 November lalu, Presiden memanggil Nirwan ke Istana. ”Arahan Presiden begini, ’Ya sudah, panggil Nirwan. Paksa harus bisa (bayar) ini’,” kata Djoko Kirmanto kepada wartawan di Jakarta dua pekan lalu.

    Alih-alih surut, unjuk rasa korban lumpur Lapindo terjadi lagi. Puncaknya, 1.034 korban lumpur dari Tim 16 dan seratusan korban lumpur Lapindo dari Gerakan Pencinta Keputusan Presiden (Geppres) ngeluruk ke Jakarta. Tim 16 menginap di Masjid Istiqlal. Masjid terbesar di Asia Tenggara ini tak ubahnya sebuah penginapan.

    Seribuan korban lumpur selonjoran dan tidur-tiduran beralaskan koran di dalam dan selasar masjid. ”Kami datang ke sini karena ingin meminta sisa pembayaran ganti rugi,” kata Ninuk Harmiyati, 45 tahun, warga Perumtas I Blok E3, yang sudah ”almarhum” ditelan lumpur. Adapun Gerakan Pencinta Keputusan Presiden menginap di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Jalan Borobudur 14, Jakarta Pusat.

    Sejak Ahad hingga Rabu pekan lalu, Tim 16 dan Geppres berdemo meminta pemerintah membantu penyelesaian ganti rugi. Mereka berunjuk rasa di Departemen Pekerjaan Umum, Kedutaan Belanda, hingga di depan Istana Presiden. Selama dua hari, Djoko juga menemani Minarak bernegosiasi dengan warga korban lumpur. Ketika itu, Minarak menawarkan pembayaran cicilan Rp 20 juta plus pembayaran kontrak rumah Rp 5 juta. Tapi para korban emoh.

    Tak ada hasil positif, Presiden kembali memanggil Nirwan ke Istana, Rabu siang pekan lalu. Presiden membuka pertemuan dengan ucapan terima kasih kepada Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Soenarso karena sudah berusaha keras menyelesaikan persoalan di Jawa Timur itu. Nada suara Presiden mendadak meninggi saat menyinggung ganti rugi kepada korban lumpur. ”Saya sudah merasa tidak nyaman dengan suasana ini,” kata Yudhoyono sambil menepukkan tangan kanannya ke dada kiri. ”Saya kecewa, (masalah) Aceh saja bisa diselesaikan, kenapa ini tidak?”

    Nirwan, yang menjadi sasaran tembak, terdiam. Duduk di antara Bachtiar Chamsyah dan Soenarso, dia menundukkan kepala. Djoko, yang duduk paling dekat dengan Presiden, hanya memandang lurus ke depan. Hatta Rajasa, Purnomo Yusgiantoro, Sudi Silalahi, dan Kepala Kepolisian Indonesia Jenderal Bambang Hendarso Danuri juga mematung dan membisu.

    Yudhoyono memerintahkan Nirwan dan Badan Penanggulangan Lumpur menyelesaikan masalah ganti rugi saat itu juga. ”Murka” sang Presiden cukup ampuh. Nirwan langsung bernegosiasi dengan Tim 16. Hasilnya, Minarak Lapindo berjanji membayar sisa ganti rugi 80 persen dengan cara mencicil Rp 30 juta per bulan.

    lll

    Kesepakatan antara Nirwan dan Tim 16 tak lantas membuat masalah selesai. Gerakan Pencinta Keputusan Presiden menolak pembayaran secara angsuran Rp 30 juta per bulan. Mereka menuntut Lapindo membayar tunai. ”Pembayaran dengan mencicil tidak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 14,” ujar juru bicara Geppres, Sumitro, kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

    Penolakan juga terjadi di Sidoarjo. Sekitar 850 korban semburan lumpur dari tujuh desa, yakni Jatirejo, Siring, Kedungbendo, Renokenongo, Gempolsari, Ketapang, dan Kaliwungu, memblokade Jalan Raya Porong. Mereka tetap menuntut sisa pembayaran ganti rugi secara tunai. ”Kami tidak puas dengan kesepakatan angsuran Rp 30 juta,” kata koordinator unjuk rasa, Hari Suwandi.

    Penolakan itu tak aneh. Sebab, sejak awal, para korban lumpur Lapindo memang tak kompak, bahkan terbelah menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama pendukung pembayaran tunai 20 persen uang muka dan sisanya 80 persen. Kelompok Kedua pendukung cash and resettlement, yakni pemberian uang muka 20 persen, dan sisanya, 80 persen, dalam bentuk lahan seluas tanah warga yang terkena lumpur. Kelompok ketiga adalah warga pendukung pola pembayaran relokasi plus, yakni mendapatkan 20 persen uang tunai, sementara 80 persen sisanya berupa lahan plus rumah yang dipilih dan dibangun Lapindo.

    Menurut Ketua Tim Ad Hoc Pelanggaran Hak Asasi Manusia Lumpur Lapindo Syafrudin Ngulma Simeulue, pemerintah seharusnya menjalankan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007. Ketentuan ini tidak mengatur cicilan, tapi pembayaran 20 persen dan 80 persen. Pemerintah, kata dia, tidak boleh diatur oleh Lapindo. ”Korporasi yang harus diatur oleh pemerintah.”

    Tapi, di mata pemerintah, kesepakatan baru antara Nirwan dan korban lumpur yang diwakili Tim 16 di Sekretariat Negara, Rabu pekan lalu, sudah maksimal dan final. Kesepakatan itu berlaku untuk semua korban. ”Tidak akan ada lagi negosiasi antara masyarakat dan Lapindo,” katanya. Dia menambahkan, Grup Bakrie tidak boleh ingkar janji. ”Ada sanksi hukumnya.”

    Nirwan mengatakan akan berusaha mendekati warga Porong yang belum bersedia menerima pembayaran secara cicilan Rp 30 juta per bulan. ”Kami akan terus berbicara dengan mereka, tapi tentu saja dalam batas sesuai dengan kemampuan,” ujarnya kepada Wahyu Muryadi dari Tempo pekan lalu.

    Sampai 3 Desember 2008, Lapindo sudah membayar uang muka 20 persen sebanyak 12.865 berkas sertifikat senilai Rp 718 miliar. Adapun pembayaran sisa ganti rugi 80 persen secara tunai sebanyak 1.768 berkas senilai Rp 344 miliar, dan 2.938 berkas secara cash and resettlement senilai Rp 1,6 triliun. Kini saatnya menunggu pembuktian janji baru Grup Bakrie sang pemilik Lapindo.

    Padjar Iswara, Ismi Wahid, Ninin Damayanti, Gabriel Titiyoga, Agung Sedayu, Dini Mawuningtyas (Sidoarjo)

    http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/08/LU/mbm.20081208.LU128953.id.html

  • Kesepakatan SBY-Lapindo dan Tim 16 Perumtas Menyisakan Persoalan

    Gerakan  Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo  kecewa terhadap SBY, yang seolah tidak berdaya menghadapi Lapindo Brantas. Sikap marah yang ditunjukkan SBY tidak bisa diartikan sebagai keseriusan SBY menuntaskan kasus ini. Sebab, dengan kewenangan yang dimilikinya, harusnya Presiden dapat mengambil tindakan  jauh lebih tegas, dibanding saat ini yang kerap melindungi pemilik PT Lapindo Brantas. seperti yang selama ini terjadi. Kompromi yang dilakukan SBY,  memperlihatkan kelemahan SBY sebagai pimpinan Republik ini. Lagi-lagi,  korbanlah yang terus dirugikan.

    Pasal 15 ayat (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 tentang Badan PenanggulanganLumpur Sidoarjo menyatakan, dana jual beli bertahap untuk area peta terdampak versi 4 Desember 2006, sebanyak 20% dibayarkan dimuka, sisanya paling lambat sebulan sebelum belum masa kontrak rumah dua tahun habis. Celakanya, ketentuan tersebut hanya  di atas kertas. Prakteknya, berbagai janji dan kesepakatan tersebut disendat-sendat. Sampai kontrak warga korban Lumpur, termasuk warga Tim 16 Perumtas habis, sisa uang mereka tak dilunasi. Bahkan masih banyak pembayaran 20%  yang belum dilunasi. 

    Langkah-langkah SBY-JK menangani semburan lumpur panas Lapindo, cenderung menguntungkan keluarga Bakrie – pemilik Lapindo dan mengalahkan warga. Diantaranya,  Pertama. Perpres No. 14 Tahun 2007, yang salah satunya mengatur pembayaran dan membagi warga dalam kelompok di dalam peta terdampak dan diluar peta. Status warga korban berubah menjadi mitra jual beli. Ini belum selesai, pengelompokan di dalam dan di luar peta, proses pembayaran yang ditunda-tunda dan bentuknya kerap berubah, membuat warga korban  terpecah belah satu sama lain.

    Kedua. Diskriminasi juga dilakukan PT Lapindo Brantas terhadap warga korban yang memiliki tanah dengan status letter C, petok D atau belum bersertifikat. Meskipun Pemerintah dan Badan Pertanahan Nasional telah menjamin bahwa para korban ini berhak atas jual beli menurut Perpres 14 tahun 2007, tapi perusahaan ngotot tak mau membayar.  Ketiga.  Penegakan hukum yang seolah mandek ditempat. Kinerja para penegak hukum sangatlah buruk, terkesan tak berdaya mengurus kasus ini, Penyidikan polisi juga tidak transparan dan tak mengalami kemajuan.

    Keempat. Penanganan semburan lumpur dan perusakan lingkungan sekitarnya. Di lapang, warga berhadapan  dengan  konflik, ketidakpastian dan tinggal di lingkungan yang tidak sehat, akibat semburan lumpur dan gas serta jatuhmiskin.

    Ketidakadilan diatas terus berlangsung. Kesepakatan terakhir warga korban Tim 16 Perumtas, yang baru ditandatangani SBY, disaksikan para menterinya, membuat nasib warga makin tidak pasti dan justru menyisakan berbagai persoalan. Mengapa begitu?

    Pertama. Kesepakatan serupa telah dilakukan satu setengah tahun lalu – bersama SBY, dan sekarang berulang lagi tanpa kepastian. Dari tuntutan jual beli tunai 100%, pemerintah dan Lapindo memaksakannya menjadi  tunai 20% : 80%. Dan kini, angka 80% untuk warga tim 16 Perimtas berubah menjadi cicilan sebulan Rp 30 juta,dan uang kontrak 2,5 juta. Artinya,  Presiden melanggar Perpresnya sendiri.

    Kedua. Perubahan kesepakatan ini menjadi alat efektif memecah belah warga, karena pemerintah menutup mata terhadap fakta beragamnya kelompok warga korban Lapindo di lapang. yag menuntut , akibat penanganan selama ini. Tak hanya kelompok yang tergabung dalam Tim 16, yang jumlahnya 4 ribuan orang. Ada kelompok-kelompok lain  yang masih menuntut pembayaran tunai cash and carry sesuai Perpres No. 14 Tahun 2007. Oleh karenanya, kesepakatan yang dibuat delegasi Tim 16 dengan PT Lapindo – SBY sebenarnya hanya mengikat  pihak-pihak yang bernegosiasi saja, bukan seluruh korban.

    Ketiga. Tidak ada jaminan bahwa persoalan yang diahadapi warga korban lainnya seperti yang tidak bersertifikat dan berada di luar peta are terdampak akan dapat diselesaikan dengan baik pasca kesepakatan ini. Merujuk kepada pengalaman yang sudah-sudah, persoalan di lapangan selalu saja menempatkan korban pada posisi yang tidak menguntungkan.

    Mencermati situasi ini, Gerakan  Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo  menyampaikan:

    1. Logika “Bantu yang Kaya Lebih Dulu, Yang miskin Belakangan”, yang ditunjukkan pemerintah RI dalam menanggapi aksi korban lumpu Lapindo kali ini menunjukkan kembali politik anti-rakyat dari pemerintahan SBY. Dalam keadaan sebelum krisis keuangan, apalagi sekarang, Pemerintah harus mendahulukan kepentingan korban lumpur Lapindo daripada kepentingan PT Lapindo, yang beralasan tak mampu membayar sesuai kesepakatan. Pemerintah justru harus mempercepat pembayaran, bukan memperpanjang masa pencicilanpembayaran. Ironis, Menteri Keuangan bisa mengantisipasi penyuntikan dana ke lembaga-lermbaga keuangan, tetapi melayani warga negaraIndonesia yang serba lemah tidak ada tanggapan sama sekali, justru menunda penuntasan hak.
    2. Menyerukan warga korban Lapindo terus bersatu dan menuntut hak-haknya termasuk membayaran  tunai 80%. Terus menyuarakan tuntutannya, termasuk kebutuhan dasar dan layanan kesehatan.
    3. Menyerukan media membantu korban Lapindo, dengan tak mengaburkan kesepakatan Tim 16 dengan PT lapindo Brantas – SBY, sebagai kesepakatan seluruh korban Lapindo.
    4. Pemerintah melakukan sosialisasi dengan benar kepada masyarakat tentang negosiasi yang telah dilakukan, mencakup siapa yang melakukan negosiasi, hasil negosiasi, impilikasi dari hasil negosiasi tersebut. Termasuk menjelaskan kepada publik dan korban bahwa negosiasi hanya dilakukan antara PT Lapindo dengan Tim 16, bukan dengan keseluruhan korban.
    5. Mendesak aparat keamanan menghentikan pendekatan represif dalam menangani aksi-aksi dan protes warga korban Lapindo, baik di dalam peta maupun luar peta terdampak.

    Kontak Media:
    Wardah Hafidz (UPC), 08161161830 – Bambang Sulistomo(GMLL)0818103674 – Berry Nahdian Forqan (WALHI) 08125110979 – Chalid Muhammad (aktivis lingkungan) 0811847163 – Firdaus Cahyadi (Satu Dunia) 0081513275698 – Siti Maimunah (Jatam) 0811920462 – Taufik Basari (LBHM) 081586477616 – Usman Hamid (Kontras), 0811812149

    Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo:
    Jatam, Kontras, Walhi, Satu Dunia, LBH Masyarakat, GMLL, UPC, Uplink, Imparsial,  YLBHI, LBH Jakarta, ICEL, Lapis Budaya, Elsam, Yappika, HRWG, Air Putih, TIFA

  • Tolak Ganti Rugi Bertahap, Warga Duduki Jembatan

    Sejak pukul 08.00, sekitar 300 warga korban lumpur Lapindo, yang tergabung dalam Gabungan Bersama Pendukung Keppres, menduduki Jembatan Porong di ruas Jalan Raya Porong. Aksi blokade warga mengakibatkan antrean panjang kendaraan hingga mencapai belasan kilometer selama dua jam.

    ”Kemarin sebenarnya kami ingin bertemu langsung dengan Presiden, tetapi perwakilan kami tak bisa masuk ke Istana Negara. Kami menolak hasil kesepakatan Tim 16 dan menuntut ganti rugi 80 persen dibayar tunai sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2007,” ujar koordinator aksi, Hari Suwandi.

    Menurut dia, saat ini terdapat 1.350 berkas berupa letter C dan petok D milik warga dari empat desa, yaitu Siring, Jatirejo, Renokenongo, dan Kedungbendo. Mereka berharap pembayaran semua berkas secara tunai sesuai Keputusan Presiden No 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. ”Berkali-kali kami ingin bertemu dengan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) sebagai perwakilan PT Lapindo Brantas, tetapi sulit. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pernah mempertemukan kami, tetapi PT MLJ tak mau menandatangani kesediaan untuk membayar secara tunai,” ujar Hari.

    Direktur Operasional PT MLJ Bambang Prasetyo Widodo mengakui, ada sejumlah warga yang setuju dengan skim pembayaran bertahap, tetapi ada juga yang sebagian menuntut pembayaran secara tunai.

    ”Skim angsuran atau pembayaran secara bertahap sangat berkaitan dengan efek krisis keuangan global yang kami alami. Selain itu, ada beberapa permasalahan administrasi dokumen tanah yang kadang menjadi hambatan, seperti ketidakjelasan ahli waris dan masalah over kredit. Kalau sudah beres semua, kami siap mencairkan,” tuturnya.

    Pada awal aksi demonstrasi, pihak kepolisian membiarkan karena arus kendaraan masih bisa mengalir meski tersendat.

    Sekitar pukul 10.00 terjadi bentrokan saat warga bersikeras memblokade sisi timur Jalan Raya Porong. ”Karena mengganggu arus transportasi, tiga warga kami amankan,” ujar Wakil Kepala Polres Sidoarjo Komisaris Denny Nasution. Polisi mengerahkan 360 personel gabungan antara Polres Sidoarjo dan Polwiltabes Surabaya. (ABK)

  • Korban Lumpur Lapindo, Terabai Hingga Akhir Hayat

    Korban Lumpur Lapindo, Terabai Hingga Akhir Hayat

    Dalam keadaan sakit kronis yang dideritanya, Bu Jumik terpaksa  harus menjalani hari-harinya di pengungsian. Rumahnya di Desa Renokenongo sudah terkubur lumpur selama sekitar 2 tahun. “Rumah ibu saya itu terendamnya habis ledakan pipa gas Pertamina, tapi mengungsi di sini sudah sejak semburan pertama. Waktu itu baru air yang menggenangi rumah,” ujar Sugiyat, 32, anak tunggal Jumi.

    Sudah sekitar 6 bulan ini Bu Jumik hanya mampu terbaring lemah di tempat salah seorang adiknya, juga di pengungsian Pasar Porong Baru. “Sebelum sakit, tinggalnya di los-los yang enggak ada temboknya itu, yang di sebelah musolla. Tapi sejak sakit saya tampung di sini,” tutur Sutari, adik kandung Bu Jumik. Bu Jumik didiagnosa mengidap penyakit kanker dan tumor ganas. Bu Jumik pertama kali merasakan sakit pada pertengahan Juni 2008 lalu. Setelah dirawat 2-3 hari di RSUD Sidoarjo, perut Bu Jumik tiba-tiba membesar, seperti orang hamil.

    Setelah dua minggu menginap di rumah sakit dan keluarganya tak sanggup lagi menanggung biaya, Bu Jumik akhirnya dibawa kembali ke pengungsian. Lagi pula kesehatannya tak jua membaik. “Akhirnya kami ngasih pengobatan alternatif buat ibu. sudah banyak yang kami coba, dari berbagai tempat malahannya,” ujar Sugiyat lagi.  

    Baru  pada September kemarin, Bu Jumik melaksanakan operasi untuk mengangkat tumor dan kanker ganas diperutnya tersebut. Untuk pembiayaan dan pengobatan, Bu Jumik sama sekali tidak mendapat tunjangan atau pun bantuan apa-apa yang mereka dapatkan dari pemerintah apalagi Lapindo. “Biayanya yah ditanggung sendiri, Mas. Ada juga dari pinjaman orang lain. Waktu itu kita musti nyari pinjaman untuk membayar biaya operasi ibu,” tutur Sugiyat kembali.

    Namun setelah beberapa waktu setelah operasi perut Bu Jumik kembali membesar. “Kata dokter akar kankernya masih ada dan menyebar ke seluruh badan.dokternya yang di Sidoarjo juga sudah ngomong nyerah. Disuruh bawa ke surabaya, tapi karena tidak ada biaya lagi, kami tidak bawa ke Surabaya. Kami hanya lanjutin pengobatan alternatifnya,” tambah Sugiyat. Sebelumnya Bu Jumik juga pernah menjalani operasi hernia yang sudah dideritanya selama satu setengah tahun.

    Ketika ditanyai, pihak keluarga menyatakan tidak curiga jika ada kaitan antara kandungan zat berbahaya dari semburan lumpur  Lapindo dengan penyakit yang diderita Bu Jumik. Padahal pemberitaan dan informasi mengenai hal ini sudah sangat banyak. Untuk senyawa yang tergolong polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) yang terkandung dalam lumpur Lapindo saja sudah mencapai 2000 kali di atas ambang batas.

    Senyawa ini tergolong sangat berbahaya jika terkontaminasi dengan manusia karena bersifat karsinogenik. Senyawa tersebut tidak menyebabkan terbentuknya tumor ataupun kanker secara langsung, tetapi dalam sistem metabolisme tubuh akan diubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan sangat berpotensi menyebabkan timbulnya tumor dan resiko kanker.

    Salah seorang adik Bu Jumik hanya berujar penyakit kakaknya disebabkan oleh stres karena memikirkan masalah ganti rugi yang tak kunjung terbayar dan lokasi pengungsian yang tidak layak. ”Sebelum semburan lumpur Lapindo ini terjadi ibu saya sehat-sehat saja. Segar bugar malahan. Dulunya beliau kan menjual bakso sehari-harinya,” tutur Sugiyat.

    Bu Jumik adalah anak pertama dari sembilan bersaudara. Dan semua saudaranya yang lain juga menjadi korban lumpur Lapindo. ” Saudaranya ada sembilan orang, Mas. Baru satu itu yang meninggal. Yang lain masih hidup dan juga rumahnya terendam lumpur Lapindo. Sebelum meninggal Bu Jumik berpesan lewat suaminya, ”Jadi anak nggak boleh berani sama orang tua. Dia juga ngomong saya mau ikut siapa kalau dia sudah tidak ada?” tutur Supardi, suami Bu Jumik. ”Sebelum meninggal malamnya itu dia ngomong kayak gitu sambil memeluk saya sekenceng-kencengnya,” kenang Supardi. [mas]