Category: Lapindo di Media

  • Pengumpul Bata Bekas, Mengais Reruntuhan untuk Bertahan

    Pengumpul Bata Bekas, Mengais Reruntuhan untuk Bertahan

    Mereka tahu, pekerjaan itu sangat tidak layak bahkan berbahaya. Tapi tuntutan untuk menyambung hidup dan menghidupi anggota keluarga memaksa mereka menjalani pekerjaan itu. Manat mengais batu bata bekas dari puing-puing rumah yang sebelumnya berdiri kokoh. Rumah-rumah itu telah ditenggelamkan oleh air berwarna kemerahan yang keluar bersama semburan lumpur Lapindo.

    Ini jelas beresiko. Kandungan zat berbahaya pada air yang menggenangi desa Manat terbilang sangat tinggi. Lewat sebuah penelitian, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menemukan adanya kandungan senyawa-senyawa yang tergolong polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) dalam lumpur Lapindo. Ini termasuk senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik.

    Senyawa tersebut memang tidak secara langsung menyebabkan terbentuknya tumor ataupun kanker. Tetapi, dalam sistem metabolisme tubuh, ia akan diubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan sangat berpotensi menyebabkan timbulnya tumor dan resiko kanker. PAH juga bisa mengakibatkan kanker paru-paru, kanker kulit dan kanker kandung kemih.

    Penelitian tersebut juga menghasilkan temuan yang sangat mencengangkan mengenai besarnya zat berbahaya itu. Bayangkan saja, kadar PAH (chrysene dan benz(a)anthracene) dalam lumpur Lapindo yang mencapai 2000 kali di atas ambang batas bahkan ada yang lebih dari itu. Pada angka di atas ambang normal saja efek dari kontaminasi dengan senyawa berbahaya tersebut dapat terasa dalam waktu 5-10 tahun.

    Tapi Manat agaknya tidak punya pilihan lain. Ia harus memilih bekerja dengan resiko besar kematian akibat kanker. Pabrik tempatnya dulu bekerja telah hilang terendam lumpur. Sedangkan ia harus mempertahankan kelangsungan hidup orang-orang yang disayanginya, istri dan anak-anaknya. “Anak saya tiga, Mas. Dan semuanya masih sekolah. Yang pertama sudah SMP, yang kedua SD, dan yang terakhir masih TK. Butuh makan juga,” ungkap Manat.

    Dari pekerjaannya ini, Manat bisa mendapatkan uang sebesar 150 ribu rupiah untuk setiap 1.000 buah batu bata bekas yang dikumpulkan dan dijualnya. Tapi ini tidak mudah. Manat tidak dapat lagi mengumpulkan batu bata bekas ketika matahari telah sedikit meninggi. Sebab, air yang harus dilaluinya akan menjadi panas. “Di bawah air ini sudah ada lumpurnya, Mas. Lumpur panas malah. Sepertinya lumpur panasnya sudah dialirkan ke sini. Dan kalau ada panas matahari, ya sudah, panas ketemu panas,” tutur Manat.

    Ahmad, 30 tahun, adik kandung Manat juga mengalami hal nyaris serupa. Ia juga harus menghidupi istri dan kedua anaknya yang sekarang masih tinggal di Pasar Porong Baru. Bersama dengan Manat, sang kakak, Ahmat mengais-ngais sisa bahan bangunan untuk dijual sebagai mata pencaharian. “Kita sih juga tahu, Mas, gimana bahayanya bersentuhan dengan air ini. Kalau gatal-gatal dulunya iya, tapi sekarang sudah kebal. Nggak kerasa lagi,” ujar Ahmad.

    Kemalangan Manat dan Ahmad tak cukup sampai di situ. Selama dua tahun lebih ini, mereka belum mendapatkan kompensasi serupiah pun atas tanah dan rumah mereka yang ditenggelamkan Lapindo. Pembayaran uang muka 20 persen oleh PT. Minarak Lapindo Jaya, yang sudah lewat dua bulan lebih dari kesepakatan, belum juga terbayarkan.

    Belum hilang kebingungan mereka soal waktu pembayaran yang terus menerus diulur tanpa kejelasan, Manat mendapatkan kabar bahwa pembayaran ganti rugi rumah dan tanahnya akan dicicil oleh PT. MLJ. Mereka akan diberikan uang sejumlah 15 juta rupiah sebagai cicilan. Itu pun sisanya tidak jelas akan dibayar kapan. Manat seharusnya mendapatkan 60 juta rupiah dari ganti rugi tanah dan rumahnya sebesar 20 persen tersebut. “Sebagian warga sudah menerima 15 juta di rekening mereka. Sebagian lagi belum juga dapat, termasuk saya,” kata Manat. PT. MLJ menjadikan krisis keuangan global sebagai dalih untuk menunda-nunda pembayaran.

    Upaya Manat bersama ratusan keluarga lain dari Desa Renokenongo menuntut pembayaran 20 persen dengan cara menutup akses pembangunan tanggul harus berbenturan dengan keinginan BPLS untuk melanjutkan penanggulan di desa tersebut. Aksi penutupan tanggul pun dihentikan pada hari Sabtu (22/11). Jebolnya tanggul yang menyebabkan terendamnya 5 RT di Dusun Risen Desa Glagaharum menambah patah upaya tersebut.

    Kondisi itu membuat potensi konflik horisontal semakin besar antara kedua desa. “Warga Risen kemarin itu sudah siap-siap untuk menyerang kami. Sudah ada yang bawa macam-macam (senjata tajam, Red). Mereka tidak terima tanggul jebol dan air hujan merendam desa mereka. Jadinya ‘kan kita bermusuhan sama saudara sendiri kalau begitu,” keluh Manat. [mas] 

  • Kompas – Presiden Minta Tanggung Jawab Nirwan

    Permintaan kepada Djoko tentang tanggung jawab Nirwan Bakrie itu disampaikan Presiden Yudhoyono saat sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (27/11). Dalam rapat itu, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie tidak hadir. Aburizal dilaporkan sedang sakit.

    ”Saya baru datang dipanggil Presiden. Presiden arahannya begini, ’Ya sudah panggil Nirwan. Paksa harus bisa ini.’” Oleh karena itu, waktu saya rapat kabinet, Nirwan sudah saya panggil. Saya suruh tunggu di bawah. Itu yang terjadi. Saya dengan Kepala Badan Intelijen Negara (Syamsir Siregar) tadi yang bicara,” ujar Djoko seusai rapat.

    Pertemuan Djoko dan Syamsir dengan Nirwan terjadi sekitar pukul 21.30 seusai rapat. Nirwan dipanggil ke Kantor Presiden saat rapat sedang berlangsung dan baru memenuhi panggilan sekitar pukul 17.00.

    Terkait pembayaran untuk korban semburan lumpur panas Lapindo Brantas Inc di Desa Renokenongo, Djoko menyesalkan tersendat-sendatnya pembayaran ganti rugi awal sebesar 20 persen. ”Sekarang dibayar terus meskipun sedikit demi sedikit. Tadi saya panggil, jangan begitu. Kalau bisa sekaligus dalam beberapa hari ini selesai. Kan cuma butuh Rp 60 miliar,” ujar Djoko.

    Menurut Djoko, Nirwan menyanggupinya. ”Deadline-nya hari Senin untuk kekurangan Rp 60 miliar-nya,” ujarnya.

    Untuk kesanggupan Nirwan memenuhi tanggung jawabnya membayar uang ganti rugi kepada warga Desa Renokenongo, Djoko tidak merasa perlu ada hitam di atas putih. ”Buat apa lagi. Keppres itu kan sudah di atas kertas,” ujar Djoko.

    Nirwan tidak bersedia berbicara seusai dipanggil ke Kantor Presiden. Soal kehadiran Kepala BIN, Djoko menyebutkan hal itu sebagai kebetulan saja. (INU)

  • Tempo – Presiden Paksa Bakrie Lunasi Ganti Rugi Lapindo

    “Presiden arahannya begini, ya, sudah panggil Nirwan, paksa, harus bisa ini (bayar),” kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto seusai Sidang Kabinet Paripurna di kantor Presiden kemarin malam.

    Pertemuan itu berlangsung tertutup. Nirwan tiba di kantor Presiden sekitar pukul 16.00. Namun, pertemuan antara Presiden, yang didampingi Djoko Kirmanto, dan Nirwan baru dilakukan pukul 21.30 seusai rapat kabinet paripurna. Di antara jeda waktu itu, Nirwan terlebih dulu bertemu dengan Djoko Kirmanto didampingi oleh Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar.

    Djoko mengatakan sisa pembayaran 20 persen bagi korban lumpur di Desa Renokenongo memang tersendat. “Sekarang sudah dibayar, meskipun sedikit demi sedikit,” kata Djoko. Tersendatnya pembayaran itu jadi alasan Yudhoyono untuk memanggil Nirwan. “Kalau bisa dalam beberapa hari ini selesai, kan cuma butuh Rp 60 miliar,” kata dia. “Itu sudah dilakukan pembayaran sehingga sekarang kurang Rp 49 miliar, saya minta itu dibayar cash,” kata Djoko.

    Menurut Djoko, Nirwan menyanggupi permintaan pemerintah tersebut. Pelunasan dijanjikan pada 1 Desember nanti. Ia menambahkan, pemerintah tidak meminta jaminan. “Hanya didorong terus,” kata dia.

    Djoko mengatakan perjanjian pelunasan itu sudah dipayungi oleh Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2007. “Itu kan sudah di atas kertas. Kita harus sabar.” kata dia.

    Bulan lalu, Minarak Lapindo Jaya meminta pemerintah menangani sementara lumpur karena mereka kesulitan likuiditas. Dalam surat yang ditujukan kepada Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Djoko Kirmanto, pada 23 Oktober lalu, anak perusahaan Grup Bakrie ini meminta Badan Penanggulangan untuk sementara waktu menangani lumpur Lapindo. Tak hanya soal dampak sosialnya, tapi juga pengaliran lumpurnya. NININ PD

  • Kompas – PT Minarak Harapkan Pengertian Warga

    Kesulitan akibat krisis keuangan global menyebabkan pembayaran ganti rugi korban lumpur tidak bisa dibayar tunai sehingga dilakukan secara dicicil.

    Hal itu dinyatakan Direktur Operasional PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) Bambang Prasetyo Widodo, Rabu (26/11) di Sidoarjo.

    Bambang menanggapi rencana sekitar 1.000 warga korban lumpur Lapindo dari Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) Sidoarjo yang akan ke Jakarta untuk menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhir bulan ini.

    Mengenai jalan tengah yang ditawarkan PT MLJ kepada korban lumpur berupa cicilan uang Rp 15 juta, Bambang mengatakan, hal tersebut bukan paksaan. Tawaran itu sudah dibicarakan dengan pejabat dan aparat di Sidoarjo. ”Ada warga yang setuju dan tidak setuju atas tawaran kami. Namun, kami tetap berusaha menunaikan tugas kami menyelesaikan ganti rugi korban lumpur,” katanya.

    Koordinator warga Perumtas, Koes Sulassono, mengatakan, sejauh ini sudah ada 945 warga Perumtas yang mendaftarkan diri untuk berangkat ke Jakarta.

    Menurut Koes, salah satu alasan warga menghadap Presiden adalah tawaran cicilan ganti rugi Rp 15 juta yang ditolak warga. Mereka akan mendesak Presiden agar membantu mempercepat penyelesaian ganti rugi.

    Sebelumnya, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso mengimbau korban lumpur Lapindo untuk tidak ke Jakarta. Win mengusulkan korban membangun komunikasi intensif dengan PT MLJ.

    ”Kami tidak bisa berbuat banyak. Kami tidak bisa mendesak PT MLJ untuk segera menuntaskan pembayaran,” kata Win.(APO)

  • Kompas – Akhirnya Warga Terima Tawaran Lapindo

    Ketua Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo (Rekorlap) Sunarto mengatakan hal tersebut, Selasa (25/11) di Sidoarjo, Jawa Timur. ”Warga sebenarnya menginginkan pembayaran uang muka ganti rugi secara tunai, tanpa dicicil seperti yang ditawarkan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ),” tutur Sunarto, seraya mengatakan, untuk tahap awal ini ganti rugi diberikan Rp 15 juta per berkas (lahan yang terendam lumpur Lapindo).

    ”Kami tidak bisa menolak tawaran itu karena uang ditransfer langsung ke rekening (bank milik korban lumpur Lapindo). Jika dibayar tanpa melewati rekening, tentu akan dikembalikan. Sebab, kami menginginkan pembayaran uang muka ganti rugi secara utuh. Lagi pula, uang Rp 15 juta itu masih kurang untuk memperoleh tempat tinggal baru,” kata Sunarto menambahkan.

    John Lee, korban lumpur yang sebelumnya tinggal di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera, mengatakan, dia menerima tawaran PT MLJ karena terdesak kebutuhan uang. ”Meski demikian, saya akan menghormati warga lain yang menolak tawaran tersebut karena hal itu merupakan hak mereka,” katanya.

    Secara terpisah, Direktur Operasional PT MLJ Bambang Prasetyo Widodo mengatakan, penyaluran uang muka ganti rugi dengan cicilan Rp 15 juta itu dikeluarkan untuk 802 berkas. ”Yang telah dibayarkan 682 berkas. Sisanya akan diselesaikan Rabu (hari ini),” ujarnya.

    Menurut catatan Kompas, saat ini masih ada pemilik 563 berkas yang menolak tawaran ganti rugi yang demikian. Mereka bersikukuh bahwa ganti rugi diberikan secara utuh. (APO)

  • Tempo – PT Minarak Didesak Bayarkan Ganti Rugi

    Hari Suwandi, salah satu perwakilan warga yang menerima ganti rugi secara cash and carry, mengatakan berkas tersebut adalah rekapitulasi korban semburan lumpur dari Desa Kedungbendo, Jatirejo, Siring, dan Renokenongo.

    Tujuan penyerahan berkas itu agar pembayaran kekurangan ganti rugi 80 persen, yang nilainya kurang-lebih Rp 200 miliar, segera dibayar PT Minarak Lapindo Jaya.

    Ia mengatakan pembayaran ganti rugi 80 persen telah jatuh tempo. Seharusnya, pembayaran dilakukan pada Juni lalu. “Tapi sampai sekarang belum dibayar, kami minta agar BPLS mendesak PT Minarak membayar ganti rugi yang 80 persen,” ucapnya. DINI MAWUNTYAS

  • Kompas – Pemerintah Kabupaten Sidoarjo Menyerah

    Hal itu dikatakan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso di Pendapa Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (24/11). Menurut Win, Pemkab Sidoarjo tidak bisa mendesak PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ), pihak yang bertanggung jawab dalam proses ganti rugi korban lumpur, untuk segera menuntaskan ganti rugi, karena mereka sedang dilanda krisis keuangan.

    Terkait rencana 1.000 korban lumpur dari Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) Sidoarjo yang hendak menghadap Presiden, Win mengimbau agar mereka tidak berangkat. Menurut dia, penyelesaian ganti rugi lebih baik diselesaikan antara warga dan PT MLJ.

    Secara terpisah, Dewan Pengarah Lumpur Sidoarjo DPRD Sidoarjo Jalaluddin Alham mengatakan, rencana korban lumpur Lapindo untuk meminta bantuan Presiden merupakan hak mereka. Namun, ia mengimbau korban untuk tidak bertindak anarkis.

    ”Silakan mengadu ke Presiden karena itu hak mereka. Namun, kami harap mereka bisa menjaga nama baik Sidoarjo,” ujarnya.

    Sebelumnya, koordinator korban lumpur dari Perumtas Sidoarjo, Koes Sulassono, mengatakan, sekitar 1.000 warga Perumtas akan berangkat ke Jakarta akhir bulan ini. Mereka akan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar membantu menyelesaikan proses ganti rugi korban lumpur.

    ”Kami akan berada di Jakarta hingga ada penyelesaian dari Presiden. Selama belum ada penyelesaian, kami akan bertahan di Jakarta,” kata Koes. (APO)

  • Tempo – Korban Lumpur Pertanyakan Cara Angsur Lapindo

    Direktur Operasional Minarak Lapindo Jaya Bambang Prasetyo pada Minggu lalu mengatakan Minarak dan korban lumpur sepakat pembayaran ganti rugi 20 persen itu dilakukan dengan cara diangsur. Minarak, kata Bambang, pada pembayaran pertama akan memberikan Rp 15 juta secara merata kepada korban yang belum menerima ganti rugi 20 persen. “Mereka pernah meminta dibagi merata dulu,” kata dia.

    Namun, Ketua Paguyuban Pengungsi Pasar Baru Porong Sunarto menilai cara yang dipakai Lapindo melalui juru Bayarnya, PT Minarak Lapindo Jaya, terkesan dipaksakan. Menurut dia, uang sebesar itu tidak akan cukup digunakan untuk membeli tanah. “Padahal warga berencana, jika ganti rugi 20 persen cair, uang akan digunakan untuk membeli tanah untuk tempat tinggal yang baru,” katanya kemarin.

    Keberatan ini, kata Sunarto, juga telah disampaikan kepada PT Minarak. “Kami ingin win-win solution,” ujarnya.

    Kepada PT Minarak, Sunarto meminta agar pembayaran Rp 15 juta tak dilakukan dulu sebelum ada kesepakatan dengan warga. Rupanya, permintaan ini tak diindahkan Minarak. Sebab, Minarak sudah mentransfer uang Rp 15 juta kepada para korban. “Bagaimana kami menolak, lha wong langsung ditransfer ke rekening masing-masing,” katanya.

    Menurut Sunarto, dalam waktu dekat ini para korban akan meminta Bupati Sidoarjo dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo memfasilitasi pertemuan warga dengan PT Minarak. Tujuannya, kata dia, untuk memperjelas pembayaran ganti rugi pembayaran 20 persen yang dilakukan secara mengangsur tersebut.

    Namun, Ketua DPRD Kabupaten Sidoarjo Arly Fauzy menyerahkan permasalahan ganti rugi dengan cara mengangsur ini kepada warga. “Bila warga menolak, ya, tidak bisa dipaksa,” katanya.

    Direktur Operasional Minarak Lapindo Jaya Bambang Prasetyo Widodo membantah kabar adanya warga yang menolak angsuran itu. “Ada yang minta dibagi rata. Akhirnya kami bagi secara rata,” ujarnya. “Ada 100 berkas yang rencananya akan kami transfer angsuran sebesar Rp 15 juta besok (hari ini),” katanya. DINI M

  • Tempo – Tuntut Ganti Rugi 20 Persen, Lapindo Mengangsur Rp 15 Juta

    Menurut Pitanto, salah satu korban, kesanggupan itu diutarakan PT Minarak Lapindo Jaya, yang bertindak sebagai juru bayar PT Lapindo, beberapa waktu lalu kepada para korban.

    “Beberapa waktu lalu kami mendapat pemberitahuan, Minarak hanya sanggup membayar Rp 15 juta kepada masing-masing korban yang belum membayarkan ganti rugi,” katanya Pitanto kepada Tempo kemarin.

    Pembayaran, kata Pitanto, sudah mulai ditransfer melalui anjungan tunai mandiri masing-masing korban lumpur.

    Direktur Operasional Minarak Lapindo Jaya Bambang Prasetyo membenarkan hal itu. Menurut dia, pembayaran Rp 15 juta itu bentuk angsuran Lapindo. Pembayaran angsuran ini, kata dia, sesuai dengan permintaan para korban. “Mereka pernah minta dibagi merata dulu,” kata dia.

    Selanjutnya, kata dia, PT Minarak akan kembali mengangsur sisa kekurangannya secara bertahap. Namun, dia tak menjelaskan sampai berapa pembayaran secara mengangsur ini dilakukan.

    Anggota staf humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Achmad Khusairi, juga membenarkan perihal pembayaran yang dilakukan dengan mengangsur itu.

    “Alasan Minarak, uang yang ada dibagi dulu kepada korban lumpur yang belum mendapatkan pembayaran ganti rugi 20 persen,” ujarnya.

    Menurut Pitanto, uang Rp 15 juta itu tidak akan cukup digunakan beberapa bulan di pengungsian. Padahal, berdasarkan perjanjian ikatan jual-beli dengan Minarak, dia seharusnya mendapat Rp 160 juta untuk pembayaran ganti rugi 20 persen.

    Saat ini, kata Pitanto, ada 456 berkas korban di Renokenongo senilai Rp 37 miliar yang belum mendapatkan pembayaran ganti 20 persen. Adapun 1.921 warga korban semburan lumpur kini mengungsi di pasar baru Porong. l DINI MAWUNTYAS

  • Ganti Rugi Dicicil Lagi, Korban Lapindo Makin Terjepit

    Hingga saat ini warga Desa Renokenongo yang sebagian besar mengungsi di Pasar Baru Porong tetap melanjutkan penutupan tanggul di desa mereka. Tanggul yang memang belum selesai pengerjaannya itu akhirnya jebol pada Selasa kemarin (18/11). Ini akibat hujan lebat dan tanggul tidak mampu menahan besarnya volume air. Ada sekitar 5 RT yang berada di Dusun Risen Desa Glagaharum tergenang akibat kejadian jebolnya tanggul ini.

    Kebingungan warga Desa Renokenongo sekarang ini bertambah. Mereka kembali disuguhi skema pembayaran baru. MLJ menawarkan proses pembayaran dilakukan dengan cara dicicil. Uang ganti rugi warga sebesar 20 persen akan dibayar dengan proses mengangsur, dimulai dengan pemberian uang sejumlah 15 juta.

    Ada sudah 5 orang warga dari total 465 berkas yang telah disuguhi skema ini. “Lima orang warga dapat transfer uang sebesar 15 juta di rekening mereka. Cuma ada 11 berkas yang uang mukanya dibayar lunas. Itu pun nilai 20 persen dibawah 20 juta. Sepertinya sengaja dipilih (oleh MLJ) yang kecil-kecil,” tutur Lilik Kamina, warga dari Paguyuban Rakyat Renokenongo Korban Lapindo (Pagar Rekorlap).

    Warga Pagar Rekorlap sebenarnya telah melakukan Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) dengan pihak MLJ sejak pertengahan September lalu. Oleh pihak MLJ, warga diberikan selembar kertas berupa tanda terima pembayaran ganti rugi aset sebesar 20 persen yang harus ditandatangani warga. Dalam  perjanjian tersebut, disebutkan dana sebesar 20 persen akan dibayarkan 2 minggu setelah terjadinya PIJB. “Tapi setelah tenggat waktu 2 minggu lewat, rekening kami masih kosong,” lanjut Kamina.

    Hal yang sama juga terjadi dengan warga dari Perumtas 1 yang juga ditawari skema pembayaran 20 persen dengan cara dicicil. Seperti yang kami beritakan sebelumnya, sejumlah 15 berkas warga dari total 23 berkas yang belum terbayar 20 persen juga ditawari pembayaran 15 juta rupiah sebagai cicilan pembayaran 20 persen. Oleh MLJ warga dijanjikan akan dilunasi paling lambat akhir November ini. Meskipun tidak ada hitam diatas putih, warga menerima hal ini sebagai komitmen yang baik dari pihak MLJ terhadap mereka.

    Sebaliknya warga Desa Renokenongo mengalami nasib yang lebih buruk. Dalam pembayaran 15 juta sebagai cicilan itu, lagi-lagi tidak ada kejelasan kapan pelunasan akan dilaksanakan. “Minarak tidak berani ngasih kepastian kapan pelunasannya akan dilaksanakan sama mereka,” ujar Kamina lagi. MLJ beralasan keterlambatan pembayaran disebabkan oleh kesulitan likuidasi dana dari perusahaan induk mereka akibat krisis keuangan global.

    Dengan kondisi seperti ini, warga tidak dapat berbuat banyak. Rencana mereka untuk melanjutkan aksi menuntut kejelasan pembayaran harus berbenturan dengan niat BPLS untuk melanjutkan pembangunan tanggul. Jebolnya tanggul yang menyebabkan tergenangnya Dusun Risen Desa Glagaharum dijadikan alasan kenapa pembangunan tanggul harus segera dilanjutkan.

    Setelah pembayaran 15 juta dilakukan, pembangunan tanggul pun akan segera dilanjutkan. Bahkan kabarnya pihak BPLS sudah memberikan ultimatum terhadap pimpinan warga untuk tidak lagi menghambat penanggulan. “Kalau mereka mau nanggul terus dihalang-halangi lagi, mereka akan mengerahkan aparat keamanan. Dan pimpinan-pimpinan kami diancam akan diangkut (ditangkap, red),” tutur Kami. [mas]

  • Belum Dilunasi 20 Persen, Warga Disuguhi (Lagi) Skema Cicilan

    Semula, pada Januari itu sekelompok warga Perumtas memasukkan 44 berkas mereka. “Kemarin yang 21 berkas sudah mendapat  pelunasan 20 persen,” ujar Sumitro, Koordinator PW Perumtas 1. Sisanya MLJ enggan membayar, dan malah menawarkan skema baru lagi, yakni cicilan 15 juta. “Ada 15 berkas yang dibayar 15 juta dulu sebagai angsuran dari 20 persen itu. Dan sisanya ada 8 berkas yang belum dapat sama sekali,” tambah Sumitro.

    Sebenarnya pada 30 Agustus 2007, warga telah menyerahkan berkas kepada pihak BPLS yang selanjutnya diserahkan ke pihak MLJ. Namun, berkas itu ditolak atas pertimbangan belum ada tanda tangan dari pihak RT/RW. “Penolakan yang dilakukan oleh pihak MLJ dan BPLS pada saat itu sebenarnya tidak beralasan. Karena menurut  keterangan dari Menteri PU, hanya dibutuhkan tanda tangan dari kelurahan atau kecamatan saja,” tutur Sumitro.

    Baru pada Januari 2008, berkas warga diterima oleh MLJ untuk selanjutnya dilakukan verifikasi. Proses verifikasi sendiri berlangsung cukup lama, yaitu sekitar 8 bulan. Dan pada 18 September 2008 terjadi Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) antara warga dan MLJ. Dalam surat PIJB tersebut dinyatakan pembayaran ganti rugi sebesar 20 persen harusnya dilakukan paling lambat 14 (empat belas hari) setelah penandatanganan PIJB tersebut.

    MLJ sendiri ketika dimintai konfirmasi oleh warga menyatakan belum dapat membayar dengan dalih mengalami kesulitan likuiditas dana dari perusahaan induk mereka. Sejumlah 15 berkas warga hanya mendapatkan uang sebesar 15 juta rupiah sebagai angsuran. Sisanya ada 7 berkas yang menurut MLJ terlalu besar nominal ganti ruginya. Sisanya satu berkas lagi ditawarkan proses ganti rugi B to B (bussiness to bussiness), dengan dalih rumah yang ditempati juga dijadikan tempat usaha rumahan.

    Sampai hari ini, menurut rekapitulasi MLJ pada 7 November 2008, terdapat 12.061 berkas yang sudah direalisasi pada tahap pertama plus 711 berkas pada tahap kedua, sehingga total 12.772 berkas. Sementara menurut catatan BPLS, terdapat 13.585 berkas tanah dan bangunan warga korban. Ini artinya terdapat 813 berkas yang belum memperoleh 20 persen.

    Sedangkan untuk pelunasan 80 persen, catatan MLJ menunjukkan 3.799 sudah terselesaikan per 7 November dengan berbagai skema penyelesaian. Artinya, masih terdapat sedikitnya 9.786 yang mayoritas sudah jatuh tempo.

    MLJ memang punya banyak cara mengulur-ulur proses pelunasan. Sebelumnya MLJ menyuguhkan uang pinjaman 10 juta rupiah per KK bagi sejumlah warga yang belum mendapatkan pelunasan tersebut. “Ketika warga mendapat 20 persen dari pembayaran ganti ruginya, uang akan langsung dipotong 10 juta,” lanjut Sumitro.

    Masih menurut Sumitro, hingga saat ini belum ada kejelasan kapan pembayaran ganti rugi 20 persen itu akan cair. Dari pembicaraan dengan pihak Minarak dengan perwakilan warga yang meminta konfirmasi mengenai persoalan ini, diperoleh keterangan bahwa pembayaran akan dilaksanakan secepatnya, yaitu paling lambat akhir bulan November ini.

    Namun hal itu juga tidak dapat dikatakan kejelasan waktu mengingat tidak adanya perjanjian tertulis. “Minarak hanya berjanji secepatnya melakukan pembayaran 20 persen itu,” tutur Sumitro. [mas/ba]

  • Tempo – Jangan Telantarkan Korban Lapindo

    Kendati surat tersebut telah dicabut pada awal November lalu, munculnya keinginan seperti itu membuat orang mempertanyakan komitmen PT Minarak. Apalagi korban lumpur Lapindo kini sedang mengeluhkan soal ganti rugi yang tak kunjung diterima. Sebagian dari mereka berdemonstrasi di Jakarta, bahkan ingin berdialog dengan keluarga Bakrie, walau upaya ini kandas. Maklum, Lapindo, yang dianggap sebagai pemicu semburan lumpur, dulu merupakan anak perusahaan Grup Bakrie.

    Korban lumpur menuntut pembayaran ganti rugi dalam dua tahap seperti yang diatur dalam peraturan presiden. Mula-mula korban mendapat pembayaran 20 persen, kemudian 80 persen, selebihnya dibayar paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah selama 2 tahun habis. Setiap keluarga korban lumpur memang dijatah Rp 5 juta untuk menyewa rumah dan Rp 500 ribu buat biaya pindah.

    Hingga kini belum semua korban lumpur mendapat ganti rugi tahap pertama. Mereka umumnya terganjal persyaratan surat tanah yang dianggap kurang lengkap. Sebagian korban seharusnya juga sudah berhak atas pembayaran tahap kedua sejak beberapa bulan lalu karena masa kontrak rumahnya sudah habis.

    Seiring dengan pencabutan surat permintaan dana talangan itu, PT Minarak Lapindo memang berkomitmen segera menyelesaikan pembayaran ganti rugi. Inilah yang perlu dipastikan oleh pemerintah agar pembayaran benar-benar sesuai dengan jadwal. Warga korban Lapindo jelas tak bisa menerima alasan pembayaran ganti rugi terhambat gara-gara krisis keuangan dunia. Sebab, skema pembayaran ganti rugi telah disepakati jauh sebelum krisis ekonomi menular ke negeri ini.

    Pemerintah harus bersikap tegas karena, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 48/2008, Lapindo bertanggung jawab atas ganti rugi tanah warga korban lumpur. Perusahaan ini juga berkewajiban membiayai penanggulangan semburan lumpur. Pemerintah akan dianggap menelantarkan korban lumpur jika membiarkan Lapindo tidak memenuhi komitmennya.

    Upaya penanggulangan lumpur pun perlu diawasi dengan ketat karena sekarang sudah memasuki musim hujan. Jangan sampai pengamanan kendur dengan alasan terbatasnya dana. Soalnya, jika bendungan lumpur sampai jebol, nyawa warga sekitar menjadi taruhannya.

     

    http://www.tempointeraktif.com/hg/opiniKT/2008/11/18/krn.20081118.148385.id.html

  • Lapindo Datang, Ekonomi Melayang

    Oleh Ahmad Novik dan Ahmad S. Nizar

    {mp3}DampakEkonomi{/mp3}

    Lumpur Lapindo tidak saja menenggelamkan tanah dan rumah warga. Melainkan juga sumber ekonomi warga. Sebelumnya, warga di desa-desa yang kini tenggelam oleh lumpur Lapindo memiliki berbagai usaha kecil, mulai dari kerajinan kulit, perak, hingga produksi kompor minyak. Lumpur lapindo juga melenyapkan pekerjaan-pekerjaan informal seperti tukang ojek, becak, dan buruh tani.

  • Korban Lumpur Lapindo Aksi Di Jakarta dan Porong

    Korban Lumpur Lapindo Aksi Di Jakarta dan Porong

    Mustinya 80% ini dibayar sebulan sebelum bulan Agustus lalu; sesuai dengan ikatan jual beli yakni dilunasi sebulan sebelum kontrakan mereka habis. Terhitung mulai Agustus lalu sudah tiga bulan lebih Minarak Lapindo Jaya, sebagai kasir Lapindo Brantas untuk pembayaran ini, mangkir.

    “Sudah lebih tiga bulan kami belum dibayar juga. Yang 20% sudah habis untuk biaya kontrakan dan kebutuhan ekonomi kami sehari-hari,” ujar Multajam selaku koordinator aksi yang dilakukan warga di pintu keluar jalan tol tersebut.

    Peraturan Presiden (Perpres) 14/2007 menjelaskan sistem pembayaran yang akan dilakukan adalah model Cash and Carry atau model 20-80, yang mengatur pembayaran 20% dimuka dan sisanya dibayarkan paling lambat  1 bulan sebelum masa kontrak rumah(2 tahun) habis. Namun dalam perjalanannya PT. Minarak Lapindo Jaya menawarkan 2 macam skema ganti rugi baru yaitu Cash and Resettlement dan Cash dan Relokasi. Kedua skema ini dinilai warga akan sangat merugikan warga dan tidak sesuai Perpres.

    Aksi serupa juga dilakukan di Jakarta. Pada 9 November kemarin sekitar 150 warga korban Lapindo yang tergabung dalam Gerakan Pendukung Perpres 14/2007 (GEPPRES) mengirimkan sekitar 150 orang perwakilan dalam rangka menuntut percepatan pembayaran sisa 80% aset mereka ini.

    Rencananya para korban ini akan menuntut ketegasan pemerintah untuk mendesak PT. Minarak Lapindo Jaya untuk segera melakukan realisasi 80% ini. Mereka akan melakukan aksi ke istana negara untuk bisa bertemu langsung dengan Presiden SBY dan mendesak Presiden untuk mengeluarkan petunjuk pelaksanaan percepatan pembayaran sisa ganti rugi mereka.

    Sehari sebelum aksi warga di pintu keluar jalan tol tersebut, perwakilan warga yang ada di Jakarta juga melakukan aksi di depan istana negara.  Dan pada hari ini perwakilan korban juga melaksanakan mimbar bebas didepan kantor YLBHI  di Jakarta. “Aksi yang kami laksanakan disini sebagai bentuk dukungan terhadap perwakilan kami yang sedang berjuang di Jakarta” tambah Multajam. [mas]

  • Batal Dibayar 20%, Pengungsi Pasar Baru Tutup Tanggul

    “Kami hanya ingin bersilaturahmi dan mengenang saat-saat kami masih di desa ini, sekaligus meminta kejelasan kapan 20%nya akan dibayar?” tutur Sunoko, warga Renokenongo. “Kami hanya hanya dapat kertas, tulisan surat bukti pembayaran (Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) yang ditandatangani 16 September 2008). Katanya uang akan cair 2 minggu lagi. Namun setelah kami cek lagi rekening kami masih kosong. ”

    Data soal berapa jumlah warga Renokenongo yang belum dibayar 20% simpang siur. Menurut warga ada sekitar 1000 kepala keluarga belum mendapatkan pembayaran. Namun menurut Ahmad Zulkarnaen, humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, ada 495 berkas permohonan pembayaran yang masuk bulan Agustus 2008. Yang jelas semua berkas ini belum dibayar.

    Pihak BPLS yang kami mintai konfirmasi mengenai hal ini menyatakan telah melakukan pendekatan terhadap warga untuk menyelesaikan masalah ini, “warga Renokenongo pada bulan Juli 2008 telah kami mintai data aset untuk selanjutnya kami verifikasi dan diserahkan ke fihak PT Minarak Lapindo Jaya,” ujar Zulkarnain selaku Humas BPLS.

    Warga selanjutnya menyerahkan berkas mereka pada pertengahan Agustus untuk dilakukan verifikasi oleh pihak BPLS. Ada sebanyak 495 berkas warga yang diterima oleh pihak BPLS. Proses verifikasi sendiri berjalan hingga pertengahan september 2008. Tanggal 16 september 2008 terjadi Ikatan jual beli antara warga dan pihak PT MLJ. “ Proses pembayaran sendiri harusnya dilakukan paling lambat 10 hari setelah terjadinya ikatan jual beli terjadi. Kami telah menghimbau kepada warga bahwa dalam ketika proses pembayaran sedang berlangsung penanggulan juga akan tetap dilaksanakan. Tapi setelah lebih dari satu bulan warga tidak dibayar juga, akhirnya mereka melakukan penutupan tanggul.” Lanjut Zulkarnain.

    PT Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar dari PT Lapindo Brantas menyatakan, terlambatnya proses pembayaran diakibatkan oleh terjadinya krisis keuangan global yang berdampak pada perusahaan induk mereka. Pernyataan itu dikeluarkan oleh PT MLJ ketika dimintai konfirmasi oleh pihak BPLS mengenai keterlambatan proses pembayaran ini. “Kami ini orang kecil pak, gak ngerti sama krisis global-krisis global yang dibilang sama orang-orang itu. Kami hanya ingin hak kami yang 20 % dibayar dulu, biar bisa dingin hati warga ini.” Ujar Darto, 50 tahun, salah seorang warga yang ikut aksi penutupan tanggul.

    Sebelumnya warga juga mendapat pernyataan akan mendapatkan tambahan jatah hidup untuk satu bulan ketika proses pembayaran telah lewat dari waktu yang ditentukan. “Tapi sampai satu setengah bulan waktunya sudah lewat kami tetap tidak dapat apa-apa sama sekali. Itu yang ngomong pak Suliyono, orang BPLS juga” lanjut Darto. Menurut Zulkarnain ketika kami konfirmasi, seharusnya memang ada pemberian tambahan jatah hidup selama satu bulan ketika terjadi keterlambatan proses pembayaran. “Aturannya memang PT MLJ memberikan tambahan jadup ketika pembayaran 20% itu belum juga terbayar dua minggu setelah terjadi ikatan jual beli. Di pasar baru porong sendiri ada sekitar 2000 jiwa yang tinggal. Jadi PT MLJ harus mengeluarkan dana sekitar 600 jutaan untuk membayar jadup untuk satu bulan.” Ujar Zulkarnain.

    Warga sendiri bertekad untuk tetap menduduki tanggul hingga uang pembayaran sebesar 20 persen itu cair. “Kami kurang apa lagi, Pak? kami sudah nurut banget. Ditawarkan resettlement, kami ikut. dilarang demo, kami gak ikut-ikut demo. Tapi sekarang kami ditipu lagi, kami selama ini merasa tidak diperlakukan secara manusiawi. Mana keadilan sosial bagi warga indonesia itu?”ungkap Darto.
    Warga tidak akan membiarkan penanggulan dilanjutkan hingga ada kejelasan mengenani pembayaran 20 persen kapan akan dibayarkan, “saya ini sudah 55 tahun, sudah bau tanah. Tapi sebelum saya mati, saya musti berjuang mempertahankan hak-hak kami. Kalau seperti ini terus, sampai mati pun saya tidak akan terima. Arwah saya akan datangi Si Bakrie itu, saya mintai dia pertanggungjawaban,” tandas Darto. [mas]
     

  • GMKI Mendukung Korban Lapindo

    Meski pola pembayaran 20%-80% telah diatur dalam perpres 17/2007 namun Lapindo hanya membayar 20 % dan itupun baru sebagian yang dibayar sementara yang 80% belum sama sekali dibayar. Beruntung Novik telah menerima 20 % dan dia mengisahkan bagaimana Lapindo mangkir; 80% yang mustinya dibayar setelah uang kontrakan abis beberapa bulan lalu hingga kini belum dibayar. Presiden sebagai pihak yang mengeluarkan Perpres diam saja ketika Lapindo Brantas mengingkari skema ini.

    “Hampir tiga tahun kami ditelantarkan, tanpa ada kepastian kapan kami bisa kembali hidup normal seperti dulu” tutur Novik.

    Kondisi warga luar peta tak kalah buruk, Iwan misalnya, harus banyak rugi ketika tambaknya semakin lama semakin turun produksinya. Kondisi buruk ini, yang bikin Iwan geram dan memaki ketidakmampuan pemerintah melindungi warganya.

    “Bagi saya Presiden sudah tidak becus melaksanakan tugasnya” kata Iwan dengan nada tinggi. Iwan juga menantang mahasiswa yang ada disitu untuk terlibat dalam penanganan permasalahan korban Lapindo. “Kalau memang takut untuk bergerak membantu perlawanan korban Lapindo, lebih baik tanggalkan status kemahasiswaan kalian”.

    Peserta Kongres sendiri pada sesi tanya jawab, lebih banyak memberikan dukungan bagi perjuangan korban Lapindo, bagi mereka duka korban Lapindo adalah duka Indonesia, karena itu perjuangan Korban juga mesti didukung oleh semua elemen bangsa tidak terkecuali mahasiswa yang telah terlanjur dicap sebagai agen perubahan dalam masyarakat.

    Panitia Kongres ini, Yordan Batara-Goa ketika dimintai konfirmasi, menyatakan dukungannya terhadap perjuangan korban. “Saya juga berharap dalam forum kongres ini, dimunculkan hasil yang bisa memberi solusi bagi pergumulan warga yang menjadi korban.” [re/mam]

     

  • Kompas – World Urban Forum Digelar di Nanjing

    World Urban Forum IV mendiskusikan enam sub tema yaitu “Territorial Balance in Urban Development”, “Promoting Social Equity and Inclusiveness”, “Making Citis Productive and Equitable”, “Harminizing the Built and Natural Environments”, “Preserving the Historical Roots and Soul the City”, and “A City for All Generations”.

    Executive Director UN-HABITAT Dr Anna Tibaijuka mengungkapkan, World Urban Forum bermanfaat untuk melakukan promosi interaksi dan dialog antara stakeholder kota, pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta.

    Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Djoko Kirmanto dijadwalkan akan membawakan topik “Safe and Productive Cities” dalam WUF IV hari Rabu (5/11) pagi besok.

    Korban Lapindo Ikut Pameran WUF

    Pameran WUF IV digelar di Nanjing International Expo Center, Nanjing, China. Salah satu yang ikut berpameran adalah korban Lapindo. Winarko, Koordinator Masyarakat Sipil untuk Korban Lapindo yang ditemui di sela-sela Pameran WUF IV mengatakan, keikutsertaan korban Lapindo dalam pameran forum perkotaan dunia ini untuk menyadarkan masyarakat global tentang lenyapnya tempat tinggal warga akibat lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.

    Winarko yang datang bersama dua warga yang juga korban Lapindo membagikan brosur dan video yang berisi informasi tentang fakta lumpur Lapindo. Data terakhir menyebutkan, 75.000 orang dari 17.000 keluarga yang terusir akibat desa mereka terendam lumpur Lapindo.

    “Kami ingin PBB dan LSM internasional mendorong pemerintah Indonesia bertindak lebih tegas terhadap perusahaan Lapindo dan menyelesaikan persoalan ini,” kata Winarko.

    “Kami menuntut pemerintah menghentikan semburan lumpur dan memaksa Lapindo mengganti kerugian warga, serta memulihkan lingkungan di sekitar, termasuk memulihkan kehidupan masyarakat. Forum WUF sangat pas karena di sini banyak orang dari berbagai dunia hadir,” katanya.

  • Hujan Datang, Glagaharum Tak Tenang

    Kepanikan ini makin menjadi kalau hujannya turun malam hari. “Tidur tak nyenyak, kita harus jaga-jaga,” tutur Nuryadi (38 tahun), koordinator warga Glagaharum. Jarak antara Glagaharum dan tanggul 300 meter. “Sekarang tanggul sudah sampai perbatasan Renokenongo dan Glagaharum, kan sudah sangat dekat dengan rumah warga yang belum masuk peta” lanjutnya.

    Meski kecemasan meliputi seluruh warga desa namun hanya 15 RT dari Glagaharum yang masuk dalam peta terdampak dan ini membuat kecemburuan antar warga.

    Tak hanya itu, semburan lumpur lapindo juga telah merusak sungai dan saluran irigasi desa Glagaharum. “Sudah tertutup tanggul semua sungai-sungainya” sambung Nuryadi. Dengan tidak berfungsinya sungai dan saluran desa ini, potensi banjir semakin besar untuk warga, meski secara sekilas kelihatan aman, desa Glagaharum menyimpan potensi bahaya bagi warganya. Warga berharap nasib mereka ini segera diperhatikan “Setidaknya ada kejelasan soal jaminan keselamatan kami ini” kata Nuryadi yang masih terus belum tahu mengapa pemerintahnya abai terhadap keadaan warga yang telah terundung bencana ini. [re]

  • Lapindo Mangkir, Nasib Pengungsi Pasar Baru Kian Tak Menentu

    Kabar yang beredar antar pengungsi simpang-siur. Sajis (54 tahun), warga Renokenongo yang kini mengungsi di pasar baru, mendapat kabar kalau PT. Minarak Lapindo Jaya, perusahaan yang menangani pembayaran, kehabisan dana untuk pembayaran ini. Sajis menandatangani PIJB pada 16 September 2008 dan dalam PIJB Minarak harusnya membayar dua minggu setelah penandatanganan.

    Meski mangkir membayar, Minarak Lapindo tak bikin pernyataan resmi atau permintaan maaf kepada korban yang tak menentu nasibnya setelah terusir dari desa mereka dua tahun lebih.

    Lapindo bikin surat resmi soal kesulitan dana ini tapi hanya ditujukan pada Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLS) dan ditembuskan ke Gubernur Jawa Timur dan Lapindo Brantas Inc. Dalam surat yang ditandatangani Bambang Mahargyanto, Direktur Utama Minarak Lapindo, menyebutkan Minarak tak bisa membayar karena kesulitan duit dan meminta BPLS supaya menekel tugas mereka terutama yang berkaitan dengan korban. Surat itu dibikin tanggal 28 Oktober 2008.

    Di pengungsian pasar baru Porong ada 420 berkas kepemilikan tanah yang belum mendapatkan 20 persen ganti rugi sesuai dengan peraturan presiden (14/2007). BPLS, yang dibentuk pemerintah untuk menangani lumpur Lapindo. Alih-alih membela warga yang terlantar nasibnya dan memperingatkan Minarak Lapindo supaya segera membayar malah sebaliknya menjadi corong Minarak. Pada Minggu (2/11) BPLS sibuk menjelaskan kondisi Minarak Lapindo pada pengungsi. Sementara Lapindo yang tidak membayar tak ada sepatah kata maaf buat warga yang kecewa.

    Ahmad Zulkarnaen, humas BPLS, kembali mengobral omong kalau BPLS tidak tutup mata terhadap masalah ini. Ketika ditanya kapan warga akan dibayar, “kami akan usahakan, tapi tidak bisa memastikan kapan.”

    Para pengungsi ini yang sejak Mei lalu dicabut jatah makannya oleh Minarak Lapindo tak tahu lagi musti bagaimana mendapatkan hak mereka. Dan karena penanganan kesehatan yang tak serius banyak diantara mereka yang jadi gila. “Ada sekitar tujuh orang yang berperilaku aneh,” tutur Giyanti, salah seorang pengungsi, karena tak ada pemeriksaan resmi Giyanti tak berani menganggap mereka gila.[re/mam]

  • Koran Tempo – Jangan Hambat Kasus Lapindo

    Polisi kukuh menyimpulkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo disebabkan oleh kelalaian dalam pengeboran. Pernyataan ini pernah disampaikan ke DPR oleh Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri, yang kini menjabat Kepala Kepolisian RI. Tapi, menurut Bambang, jaksa meminta tambahan saksi ahli yang menyatakan semburan itu sebagai bencana alam.

    Itulah yang membuat berkas kasus lumpur Lapindo terombang-ambing. Polisi dan jaksa memiliki pandangan berbeda. Masalahnya, kompromi bukan pilihan terbaik karena hasilnya justru akan mengendurkan jerat hukum yang telah dipasang polisi.

    Kengototan jaksa sungguh aneh karena para ahli geologi dunia pun cenderung menyatakan semburan lumpur dipicu oleh pengeboran. Inilah pandangan yang dominan dalam konferensi American Association of Petroleum Geologists di Cape Town, Afrika Selatan, baru-baru ini. Hanya sedikit ahli yang sepakat bahwa semburan itu merupakan dampak gempa di Yogyakarta.

    Pengeboran yang dilakukan Lapindo berbahaya karena tidak menggunakan casing secara penuh. Badan Pemeriksa Keuangan, yang pernah mengaudit kasus ini, juga mendapat keterangan penting dari Dinas Survei dan Pengeboran BP Migas. Intinya, proses pencabutan pipa dan mata bor dari kedalaman 7.415 kaki, sehari sebelum semburan terjadi pada 29 Mei 2006, menyebabkan “well kick” terlambat diantisipasi. Peralatan pengeboran pun sering rusak. Menurut auditor BPK, kontraktor yang ditunjuk Lapindo diduga menggunakan beberapa peralatan bekas atau tidak memenuhi standar kualitas.

    Jaksa mestinya berpegang pada fakta seperti itu. Mengarahkan kasus lumpur Lapindo ke perdebatan apakah semburan itu berkaitan dengan gempa atau tidak hanya akan mengaburkan persoalan. Sepanjang ditemukan bukti yang cukup adanya kelalaian dalam pengeboran, kasus ini layak dibawa ke pengadilan.

    Persoalan ini tak akan berlarut-larut andaikata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera turun tangan. Perbedaan pendapat antara jaksa dan polisi seharusnya bisa diatasi karena kedua institusi ini di bawah kendali langsung Presiden. Jangan sampai khalayak menilai pemerintah sengaja membiarkan kasus ini menjadi terkesan rumit, sehingga akhirnya tak jelas siapa yang mesti bertanggung jawab atas penderitaan warga Sidoarjo.[Editorial Koran Tempo, 31/10]