Blog

  • Diskriminasi Kebijakan, Warga Demo BPLS

    Diskriminasi Kebijakan, Warga Demo BPLS

    Sidoarjo – Lagi-lagi warga korban lumpur lapindo dari desa Mindi dari 18 RT melakukan aksi demonstrasi(22/11). Hampir sama seperti aksi-aksi terdahulu, warga menuntut Badan Penanggulanagan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk menunda rencana pembayaran ganti rugi kepada warga 3 RT yang juga berasal dari desa Mindi. Warga yang tinggal di 18 RT ini juga merasakan hal sama yang dirasakan warga di 3 RT, namun pemerintah hanya memasukkan 3 RT saja sebagai area terdampak.

    Warga yang tidak terima dengan keputusan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Presiden revisi ketiga tahun 2011, berbondong-bondong mendatangi Kantor BPLS di Surabaya untuk meminta penundaan verifikasi pembayaran ganti rugi 3 RT. Mereka menuntut ada kejelasan kebijakan atas warga 18 RT.

    Sri Utami, salah satu warga Mindi mengatakan seharusnya pemerintah lebih bijak dalam menentukan peta wilayah terdampak yang baru. Menurutnya dengan hanya memasukkan wilayah 3 RT dan membiarkan 18 RT, akan berakibat buruk dan akan menimbulkan konflik antar warga.

    “Pemerintah seharusnya tidak tebang pilih menentukan wilayah peta area terdampak, di desa Mindi ada 21 RT yang kondisinya sama-sama memprihatinkan”.

    Sebagaimana tertuang dalam laporan Tim Kajian Kelayakan Permukiman(TKKP) pada 2011, terdapat 45 RT baru yang kondisi wilayahnya tidak layak lagi untuk dihuni. Jumlah ini bertambah dari temuan tahun 2009 yang hanya menunjukkan 9 RT tak layak huni, dimana 3 RT di Mindi termasuk di dalamnya. Temuan TKKP pada tahun 2011 inilah yang merupakan kondisi kekinian yang dirasakan warga 18 RT di Mindi, sehingga mereka menuntut tidak ada diskriminasi dalam penentuan peta area terdampak dalam kebijakan pemerintah.

    Bambang Catur Nusantara, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, dihubungi terpisah meyatakan dukungannya atas aksi warga. Ia mengatakan bahwa aksi ini memang seharusnya dilakukan warga untuk bisa mendapatkan hak-nya tinggal di wilayah yang baik kualitasnya. Tidak patut pemerintah membuat kebijakan berbeda atas permasalahan yang sama dihadapi oleh warga yang tinggal di sekitar wilayah lumpur lapindo.

    “Ini persoalan keselamatan warga yang harus dikedepankan oleh pemerintah, urusan kehilangan nyawa tidak bisa ditunda-tunda sekian lama”, ujarnya.

    Ia juga menyayangkan kelambanan pemerintah menetapkan area-area yang selama ini sangat terlihat membahayakan, tetap ditinggali warga tanpa kebijakan yang jelas. Jika terjadi kehilangan nyawa warga di wilayah-wilayah ini, padahal pemerintah tahu ada kebahayaan yang mengancam nyawa warga, maka itu merupakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara sistemik.

    “Apa yang ditanggung anggaran negara kedepan juga akan lebih berat dengan menunda-nunda kebijakan atas warga yang masih tinggal di wilayah sekitar semburan lumpur itu”, katanya.

    Lebih lanjut Ia mendesak Badan Pengarah BPLS untuk segera membuat kebijakan yang komperehensif atas wilayah-wilayah di sekitar semburan lumpur lapindo. Demikian halnya dengan pembuatan rencana-rencana kerja, seharusnya diinformasikan secara aktif kepada masyarakat agar masyarakat di sekitar semburan lumpur lapindo bisa melakukan kesiapsiagaan atas situasi yang ada.(vik/red)

    (c) Kanal Newsroom

  • Tanah Gogol Tak Dibayar, Warga Hentikan Pengerjaan Tanggul

    Tanah Gogol Tak Dibayar, Warga Hentikan Pengerjaan Tanggul

    Sidoarjo – Warga korban lumpur lapindo dari desa Pejarakan, Kedungcangkring, dan Besuki kecamatan Jabon melakukan aksi penghentian aktifitas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo(BPLS) yang sedang melakukan pembangunan kolam penampungan baru di Desa Besuki(17/11).

    Aksi ini merupakan buntut dari kekecawaan warga yang sudah 4 tahun sisa ganti rugi sebesar 25 persen belum ada kejelasan. Sampai saat ini warga hanya menerima aset tanah bangunan sebesar 75 persen dari dana APBN sesuai dengan Perpres 40/2008. Selain itu warga juga menuntut pembayaran tanah milik 5 warga Besuki yang sampai hari ini masih belum mendapatkan ganti rugi sepeserpun.

    “Kami terpaksa malakukan aksi ini karena BPLS belum membayar sisa 25 persen kami, dan kami juga menuntut BPLS tidak melakukan deskriminasi kepada lima warga Besuki yang sampai hari ini tanahnya belum di bayar BPLS”, ungkap Mudiharto, salah seorang warga Besuki.

    Lebih lanjut Ia juga menuntut BPLS memberikan ganti rugi kepada 31 Warga pemilik tanah gogol di desa Besuki. Tanah gogol ini harus segera dibayar karena saat ini telah dijadikan tanggul.

    Aksi yang direncanakan terus berlanjut hingga pihak BPLS memenuhi tuntutan warga ini tidak berlangsung lama. Para pekerja yang melakukan pembenahan saluran sungai langsung berhamburan dan menghentikan aktifitasnya.(vik)

     

    (c) Kanal News Room

  • Wilayah Rusak, Warga Datangi Kecamatan Porong

    Wilayah Rusak, Warga Datangi Kecamatan Porong

    Sidoarjo – Warga korban lumpur Lapindo dari desa Mindi di 18 RT yang tidak masuk peta terdampak sesuai revisi Peraturan Presiden No. 14/2007 sampai hari ini masih terus menuntut untuk dimasukkan Peta Area Terdampak(PAT). Aksi ini dilakukan setelah beberapa hari lalu mereka menyegel Kantor Kelurahan Mindi untuk menuntut Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo(BPLS) mununda pembayaran ganti rugi kepada warga di tiga RT yang masuk PAT revisi Perpres ketiga tahun ini.

    Warga kesal lingkungan tinggal mereka tidak masuk dalam PAT dan harus menunggu hasil Uji Tim Terpadu untuk menentukan layak atau tidaknya kawasan mereka untuk tetap dihuni. Warga kemudian melanjutkan aksi dengan mendatangi Kantor Kecamatan Porong untuk meminta Camat Porong memfasilitasi warga untuk bertemu dengan BPLS. Mereka juga menuntut Camat untuk mendukung dengan tidak menandatangani berita acara verifikasi ganti rugi bagi 3 RT di desa Mindi sebelum warga yang tinggal di 18 RT ada kepastian juga masuk dalam PAT.

    Hari Susilo, koordinator aksi mengatakan warga di 18 RT tidak akan terima jika BPLS tetap memberikan ganti rugi kepada warga 3 RT saja. Ia dan warga lainnya meminta BPLS menunda dulu verifikasi pembayaran ganti rugi sampai warga di 18 RT mendapatkan kejelasan wilayahnaya yang rusak masuk dalam PAT.

    “Kami tidak menghalang-halangi warga di 3 RT masuk dalam Peta Area Terdampak, tapi tolong jangan diverifiksi dulu proses ganti ruginya sebelum warga di 18 RT ada kejelasan masuk dalam peta juga”, ungkapnya.

    Warga juga menuntut Pemerintah melalui BPLS untuk segera memasukkan wilayah 18 RT di desa Mindi yang tergabung dalam 45 RT dengan desa-desa lainnya agar tidak ada konflik antar warga. Tim Survei Terpadu yang sudah melakukan Uji Kelayakan Pemukiman diminta segera memberikan hasil kajian surveinya. Hasil survei itu yang digunakan sebagai dasar hukum untuk menenentukan wilayah mereka masuk dalam PAT. (vik)

    (c) Kanal News Room

  • Ganti Rugi Tak Dibayar, Warga Usir Pekerja Tanggul

    Ganti Rugi Tak Dibayar, Warga Usir Pekerja Tanggul

    Sidoarjo – Puluhan korban lapindo dari desa-desa yang telah terbenam lumpur melakukan aksi pengusiran pekerja tanggul dan alat berat yang sedang melakukan penguatan tanggul di titik 72 Desa Ketapang(10/11). Aksi ini merupakan bentuk kekecewaan warga terkait sisa ganti rugi 80 persen yang tidak kunjung dibayar oleh pihak Lapindo. Kekecewaan ini juga didorong realisasi pembayaran tahun 2011 yang seharusnya dicicil 15 juta per bulan tetapi setahun terakhir tidak dibayar.

    H. Fatah mengatakan bahwa aksi ini untuk mengingatkan pemerintah agar lebih perduli dengan nasib warga. Ia meminta Pemerintah untuk memaksa Lapindo untuk memenuhi kewajibannya sesui dengan Peraturan Presiden No.14 tahun 2007.

    “BPLS hanya sibuk mengurusi tanggul dan membiarkan warga yang sudah lima tahun ganti rugi tidak kunjung dibayar Lapindo”, ungkapnya.

    Fatah juga menyayangkan sikap pemerintah yang tidak perduli dengan nasib warga. Menurutnya, meskipun Lapindo dengan seenaknya tidak segera membayar ganti rugi warga, pemerintah tidak pernah menegur Lapindo.

    “Sisa Ganti rugi 80%  warga banyak yang belum dibayar, warga yang memilih skema cicilan dalam satu tahun ini hanya dicicil dua kali. Pemerintah kok malah diam saja tidak ada tindakan sama sekali”, katanya.

    Menanggapi aksi warga, Humas BPLS Akhmad Khusairi menyayangkan sikap warga, pasalnya warga yang melakukan aksi tersebut bukan tanggujawab BPLS, tapi menjadi tanggung jawab Lapindo.

    “Warga yang menghentikan aktivitas di tanggul itu kan tanggung jawab Lapindo, aksi warga ini Saya takutkan mengganggu proses penguatan tanggul. Apa lagi saat ini musim hujan”.

    Aksi warga tanpa kawalan aparat kepolisian ini hanya berjalan sebentar. Namun warga mengancam akan melakukan aksi yang lebih besar jika Lapindo tidak segera membayar tunggakan cicilan ganti rugi yang menjadi hak mereka.(vik)

     

    (c) Kanal News Room

  • Gerimis, Warga Tetap Sholat Idul Adha Di Atas Tanggul

    Gerimis, Warga Tetap Sholat Idul Adha Di Atas Tanggul

    Sidoarjo – Ratusan korban lapindo dari empat desa yang masuk di dalam peta area terdampak sesuai Perpres 14/2007 hari ini(6/11) menggelar sholat Ied di atas tanggul penahan lumpur Desa Ketapang. Dalam pelaksanaan sholat Ied yang dipimpin oleh H. Abdul Fatah ini, warga berharap Pemerintah dan pihak Lapindo lebih peduli dengan nasib warga. Karena selama lima tahun lebih proses ganti rugi sampai kini belum juga selesai.

    “Korban lumpur lapindo yang berada dalam peta area terdampak sesuai Perpres 14/2007 sampai hari ini belum juga terselesaikan, masih banyak skema ganti rugi lainnya yang juga belum terselesaikan”, ungkap Fatah.

    Ari wicaksono, seorang warga desa Jatirejo, menyampaikan bahwa ganti rugi 80 persen yang seharusnya lunas pada akhir tahun 2008 ternyata sampai hari ini tidak kunjung diselesaikan. Selain itu, masih banyak proses pembayaran ganti rugi 20 persen warga juga belum juga dibayar.

    “Ada warga Gempolsari proses 20 persen belum dibayar. Proses ganti rugi yang seharusnya dicicil setiap bulan, setahun terakhir hanya dicicil dua kali, itupun hanya 10 juta, bukan 15 juta per bulan”, katanya.

    Ari menambahkan, selama ini warga semakin tersiksa karena Lapindo tidak membayar cicilan kepada warga sesuai kesepakatan. Ditambah pula pernyataan-pernyataan Pemerintah bahwa tanggung jawab pelaksanaan ganti rugi adalah pada Lapindo. Sedangkan Lapindo sendiri sesumbar telah menyelesaikan 90 persen pembayaran.

    “Informasi di Jakarta, korban lapindo yang ada di dalam peta sudah diselesaikan 90 persen, padahal kenyataannya masih banyak yang belum terselesaikan”, ujarnya.

    Wiwik Sutjiati, seorang warga Siring, juga menyesalkan sikap pemerintah yang tidak perduli dengan nasib warga, dirinya membandingkan dengan warga tiga desa yang masuk dalam Peta Area Terdampak sesuai Perpres 40/2008 yang sudah dibayar 70 persen.

    “Warga 3 desa itu sampai saat ini sudah dibayar sekitar 70 persen, tapi warga di dalam peta 14/2007 banyak yang belum diselesaikan. Sudah setahun terakhir cicilan warga tidak kunjung dibayarkan, seharusnya pemerintah juga memperhatikan kami dengan memerintahkan Lapindo segera melunasi”, ungkapnya.

    Meski gerimis, warga tetap tenang melaksanakan sholat Ied di lokasi ini. Sholat Idul Adha ini dimanfaatkan juga oleh warga untuk saling bersilaturahmi karena mereka tidak lagi tinggal berdekatan dan jarang bertemu.(vik)

     

    (c) Kanal News Room

  • Mahasiswa ITS Peringati Sumpah Pemuda dengan Donasi Korban Lapindo

    Mahasiswa ITS Peringati Sumpah Pemuda dengan Donasi Korban Lapindo

     

    Surabaya – Setelah Mahasiswa Unair Surabaya dan Brawijaya Malang, kini giliran Komunitas Mahasiswa di Kampus ITS Surabaya yang mengadakan aksi penggalangan donasi Seribu Rupiah untuk Pendidikan Anak-anak Korban Lumpur Lapindo. Penggalangan dana yang bertema “Seribu Rupiah Saja, Selamatkan Masa Depan Anak-Anak Korban Lumpur Lapindo” ini diadakan sejak hari Selasa(25/10) dan puncaknya digelar pada hari Jumat(28/10).

    Puluhan mahasiswa yang berasal dari komunitas Pencinta Lingkungan Hidup(PLH) Siklus, Teater Tiyang Alit, Komite Aksi Mahasiswa (KAM)ITS, Komunitas Pemuda Sepuluh Nopember (KomPaS) berkerja sama dengan Sahabat Anak Lumpur membuka Posko Penggalangan Dana yang dipusatkan di Kantin Pusat ITS. Foto hasil karya anak-anak Sanggar Al Faz turut dipamerkan di tempat ini sejak hari pertama.

    Tidak hanya itu, beberapa mahasiswa ITS juga mengedarkan wp-content donasi dan “ngamen” keliling di hampir semua fakultas. Pada hari terakhir yang menjadi puncak kegiatan, anak-anak korban lumpur Lapindo yang tergabung di Sanggar Al Faz juga diundang untuk menampilkan kreasi seni mereka.

    Arif Firdaus, ketua panitia penggalangan donasi mengatakan bahwa penggalangan donasi untuk anak-anak korban lumpur Lapindo ini sekaligus menjadi media penyebaran informasi kepada mahasiswa, terkait penanganan semburan lumpur Lapindo yang hingga tahun kelima ini yang elum juga selesai.

    “Penggalangan ini bukan hanya semata-mata mengumpulkan dana untuk pendidikan anak-anak korban lumpur, tetapi juga mengajak kalangan mahasiswa untuk terlibat memikirkan persoalan yang terjadi di porong yang sampai hari ini belum selesai,” ungkapnya.

    Penggalangan donasi pendidikan di kampus kali ini berhasil mengumpulkan donasi sebesar Rp. 6.851.000 yang kemudian secara simbolis diserahkan kepada anak-anak korban Lumpur Lapindo. Yuliani, koordinator Sahabat Anak Lumpur merasa bersyukur karena mahasiswa mau terlibat aktif untuk penggalangan donasi pendidikan ini. Ia berharap donasi ini dapat membantu anak-anak dalam meneruskan pendidikannya.

    “Kami sangat berterima kasih kalangan mahasiswa mau terlibat untuk penggalangan donasi ini,” ucapnya.

    Lebih lanjut Yuliani menambahkan sampai hari ini perolehan donasi pendidikan sudah terkumpul sebesar Rp.17.533.200,- yang rencananya akan segera didistribusikan kepada akan-anak korban lumpur Lapindo. Penggalangan donasi untuk pendidikan anak-anak korban lumpur lapindo dalam waktu dekat juga akan dilaksanakan oleh komunitas pemuda di Cepu, Blora.(vik)

     

    (c) Kanal News Room

  • Pelajar SMK Membuat Film Dokumenter Anak-anak Korban Lapindo

    Pelajar SMK Membuat Film Dokumenter Anak-anak Korban Lapindo

    Sidoarjo – Beberapa Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Jabon melakukan pembuatan film dokumenter terkait  persoalan yang dihadapi korban Lapindo di desa Besuki, Kecamatan Jabon. Film yang direncanakan berdurasi limabelas menit ini menceritan kehidupan anak-anak Besuki sejak luapan lumpur Lapindo.

    Menurut Hisam Ulum, pemuda Besuki sekaligus siswa SMK Jabon, pembuatan film dokumenter ini bertujuan untuk menyajikan potret kehidupan warga kekinian sejak lumpur menyembur. Selain menunjukkan relita kehidupan warga Besuki yang terdegradasi, nasib anak-anak yang tidak mendapat perhatian dalam penanganan pemerintah menjadi pesan utama film ini.

    “Film ini nanti menceritakan kehidupan anak-anak Besuki yang kehilangan tempat bermain, ketidaknyamanan selama menempuh pendidikan, dan kesulitan-kesulitan orang tua dalam membiayai pendidikan anak-anaknya”.

    Lebih lanjut Ia menuturkan, film ini diharapkan dapat menyampaikan pesan kepada pemerintah untuk memahami kesulitan-kesulitan yang dihadapi warga korban lapindo. Kerusakan sumber ekonomi warga telah mempengaruhi masa depan pendidikan anak-anak mereka. Jika pemerintah tidak juga peduli terhadap persoalan pendidikan, Ia berharap masyarakat luas bisa bersolidaritas untuk untuk bersama-sama membantu anak-anak korban lapindo mendapatkan hak pendidikan.

    Sementara itu, Rere pengasuh di Sanggar Al Faz, menyampaikan dukungannya dan telah membantu semua proses yang dilakukan untuk pembuatan film ini. Dimulai sejak perencanaan awal, Ia sudah memberikan masukan agar film ini bisa menyajikan pesan yang kuat. “Ide adik-adik SMK Jabon untuk membuat film dokumenter yang menyajikan realita kehidupan korban lapindo adalah permulaan yang baik, Saya sangat berharap akan muncul kelompok-kelompok lain yang membuat hal serupa,” ujarnya.

    Ia juga berharap film-film yang dibuat oleh pihak-pihak yang peduli akan dapat digunakan sebagai media kampanye untuk perbaikan kehidupan korban lapindo. Saat ini yang paling besar dirasakan warga yang tinggal di wilayah sekitar semburan lumpur adalah ketidakjelasan kebijakan atas hancurnya wilayah tinggal warga, dampaknya sangat nyata yang salah satunya terkait kesulitan untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. (vik/red)

    (c) Kanal News Room

  • Warga Delapan Desa Aksi, Ancam Akan Blokir Raya Porong

     

    Sidoarjo – Aksi korban lapindo dari delapan desa tergabung dalam Korban Lapindo Menggugat(KLM) yang dilakukan sejak kemarin masih terus berlanjut hingga hari ini(26/10). Meskipun pada hari pertama sempat terjadi ketegangan dengan pihak kepolisian yang menghendaki warga segera mengakhiri aksi blokade jalur alernatif Sidoarjo-Gempol, warga tidak menyurutkan aksi.

    Warga yang menuntut ganti rugi gagal panen dan kompensasi uang evakuasi paska jebolnya tanggul di titik 80 pada Desember tahun 2010 ini, masih belum mendapat kepastian dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) maupun dari pihak Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.

    Kordinator aksi, Imam Dakhiri, menyayangkan sikap BPLS dan Pemkab Sidoarjo yang belum bisa mengambil sikap dan menyetujui tuntutan warga. “Perwakilan BPLS dan perwakilan Pemkab saat ini sudah ada di Balai Desa Glagaharum untuk mengajak perwakilan kami berunding. Kami menolak perundingan di balai desa, kami menghendaki mereka datang ke kami dengan membawa keputusan yang kami tuntut,” ungkapnya.

    Bambang Catur Nusantara, Direktur Walhi Jawa Timur, saat dihubungi terkait aksi ini menanggapi bahwa aksi yang dilakukan warga merupakan sesuatu kewajaran. Ia menyayangkan ketidakjelasan pihak BPLS dan Pemkab Sidoarjo yang saling melempar tanggung jawab dan sangat lamban.  

    “Saya kira warga sudah cukup bersabar selama sembilan bulan untuk menunggu penanganan dari pihak-pihak yang berwenang pengurusan lumpur ini. BPLS dan Pemkab Sidoarjo sangat lamban dalam menangani dampak yang ditimbulkan dan terkesan menyepelekan nasib warga yang tinggal di sekitar semburan lumpur,” ujarnya.

    Lebih lanjut Ia juga menyampaikan bahwa banyak hal yang luput dari penanganan BPLS maupun Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Jebolnya tanggul yang meluberi kampung dan lahan pertanian warga merupakan kejadian yang bisa dilihat jelas, maka tidak heran jika masalah hancurnya ekonomi, kesehatan, pendidikan, maupun hak-hak dasar warga lainnya tidak ditangani hingga kini.

    Ia memprediksi beban anggaran negara kedepan akan semakin tinggi dalam penanganan lumpur lapindo. “Jika masalah-masalah kerusakan yang diakibatkan lumpur tidak segera ditangani, beban kedepan yang harus ditanggung masyarakat Indonesia untuk mensubsidi pemerintah dalam penanganan lumpur lapindo dipastikan akan semakin besar.”

    Aksi warga hari ini juga diwarnai penangkapan salah satu warga dari Desa Sentul bernama Suwanto(30). Belum didapatkan keterangan alasan penangkapan, sementara yang bersangkutan masih diperiksa di Polres Sidoarjo. Namun demikian, warga sudah bertekad akan melakukan aksi lanjutan dengan memblokade jalan raya Porong jika pada hari ini tidak ada realisasi tuntutan mereka dari pihak BPLS maupun Pemkab Sidoarjo.(vik/red)

     

    (c) Kanal News Room

  • Diluberi Lumpur, Warga Delapan Desa Aksi Blokir Jalan

    Diluberi Lumpur, Warga Delapan Desa Aksi Blokir Jalan

    Warga yang pernah dijanjikan oleh BPLS akan menerima dana kompensasi berupa uang evakuasi, menuntut realisasi kompensasi tersebut kepada Pemerintah Daerah dan BPLS paling lama pada akhir tahun ini. Sejak pagi warga telah memulai pemblokiran jalan di Glagaharum. Tidak hanya itu, pemblokiran juga dilakukan di Desa Sentul, Kecamatan Tanggulangin, sejak pukul tujuh pagi.

    Salah satu koordinator aksi, Imam Dakhiri, menyatakan bahwa aksi yang dilakukan sebagai bentuk kekecewaan warga yang selama 9 bulan tidak mendapatkan kepastian penanganan. Terlebih antara BPLS dan Pemerinta Daerah terkesan saling lempar tanggung jawab. “BPLS yang punya wewenang penuh dengan kondisi tanggul, tidak mau tanggung jawab,” ujar koordinator aksi dari Glagaharum ini.

    Hal senada disampaikan oleh warga yang melakukan aksi. “BPLS melakukan penanggulan sejak di keluarkannya perpres 14/2007. Dan pada saat jebolnya tanggul itu murni kelalaian BPLS, mereka harus bertanggung jawab,” ungkap Kusnan, warga Sentul.

    Saat diminta keterangan, perwakilan BPLS dari sub Kapokja bidang Sosial, Khusnul, mengatakan bahwa BPLS tidak memiliki anggaran untuk alokasi santunan saat terjadinya jebolnya tanggul. “Anggaran BPLS tidak ada pos untuk membayar kompensasi yang dituntut warga, jadi pemkab-lah yang punya wewenang memberikan kompensasi warga,” katanya.

    Pemkab Sidoarjo yang diwakili Fauzi Isfandiari dari Bakesbang mengatakan uang untuk kompensasi gagal panen dan uang evakuasi warga sudah dianggarkan, dan untuk pencairan ke warga menunggu pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah(BPBD).

    “Anggaran untuk kompensasi warga sudah ada, tinggal menunggu terbentuknya BPBD, saya harap warga bersabar.”

    Rencana aksi pemblokiran ini akan terus berlanjut sampai ada perwakilan dari BPLS dan Pemkab yang mempunyai wewenanag memutuskan tuntuan warga bisa hadir menemui warga. Jika tidak, warga akan terus melakukan pemblokiran sampai dua hari kedepan. Warga juga mengancam akan menduduki jalan raya Porong jika sampai hingga dua hari tidak ada realisasi atas tuntutan warga tersebut.(vik)

    (cc) Kanal News Room

  • Melanie Subono: Kalian Masa Depan Bangsa

    Ini adalah pesan penyemangat dari Melanie Subono dan Archie kepada anak-anak korban Lapindo. Mereka mengajak anak-anak korban Lapindo tidak pernah putus asa, karena mereka adalah bagian penentu masa depan Indonesia.

  • Marjinal: Jangan Padamkan Semangat

    “Untuk hari ini, apa yang teman-teman rasakan setidaknya itu bisa jadi bagian pengetahuan yang akan dipahami dan dimengerti oleh teman-teman yang lain agar bisa saling menjaga lebih baik dan tetap semangat,” ujar Maik Marjinal.

    Apa yang terjadi hari ini adalah pelajaran buat ke depan. Apa yang terjadi pada anak-anak di wilayah semburan lumpur Lapindo adalah pembelajaran bagi anak-anak yang lain untuk tidak mengalami pengabaian yang sama. Jangan padamkan semangat.

    Pesan dari MARJINAL ini merupakan bagian dari solidaritas musisi Indonesia untuk menyelamatkan pendidikan anak-anak korban Lapindo.

  • Terbakar Gas Metan, Setahun Korban Lapindo Diabaikan

    Terbakar Gas Metan, Setahun Korban Lapindo Diabaikan

    Derita Purwaningsih bermula ketika gelembung gas metan di rumah Oki Andrianto, warga Desa Siring Barat, meledak pada 7 September 2010. Gelembung gas metan yang mudah terbakar bertebaran di area sekitar lumpur Lapindo. Ledakan gas ketika itu diiringi api yang menjalar hingga ke warung Purwaningsih. Akibatnya, nyaris sekujur tubuh Purwaningsih terbakar. Devi Purbawiyanto, anak Purwaningsih, juga turut terkena luka bakar.

    Hingga kini, Purwaningsih masih menjalani perawatan untuk luka bakarnya. Sudah banyak biaya dikeluarkan. Tidak tanggung-tanggung, sejak Purwaningsih dipulangkan paksa oleh Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo, biaya yang sudah dikeluarkannya sampai sekarang kurang lebih sudah mencapai Rp 200 juta. Biaya sebesar itu diperoleh Purwaningsih dari bantuan dan pinjaman dari sanak saudara dan teman-temannya. Lebih menyedihkan, rumahnya pun kini sudah dijaminkan ke bank untuk biaya berobat.

    Tidak berhenti di sini, pada hari Selasa lalu (12/10), Purwaningsih harus menjalani operasi ortopedi pada kaki kirinya. Ini untuk memulihkan kulit dan otot kakinya akibat luka bakar. Kaki kanannya belum dioperasi, masih menunggu kondisi luka bakarnya kering. Lagi-lagi biaya yang harus dikeluarkan Purwaningsih dari kantong pribadinya mancapai Rp 20 juta lebih. Itu pun belum termasuk biaya rawat inap dan obat. Diperkirakan, keseluruhan biaya yang dikeluarkan Purwaningsih akan mencampai Rp 50 juta.

    “Operasi mama saya ini sudah memakan biaya Rp 20 juta,” ujar Devi Purbawiyanto saat menunggu ibunya di rumah sakit RKZ Surabaya. “Dan mama harus menjalani rawat inap dan terapi selama 2 minggu. Kami sudah tidak ada biaya lagi. Untuk biaya operasi saja papa pinjam ke temannya dan dapat sumbangan dari anggota jemaat gereja,” cerita Devi.

    Memang sangat memprihatinkan. Setelah menjadi korban kebakaran gas metan, Purwaningsih yang menjadi tulang punggung keluarga nyaris tidak bisa berkerja lagi. Warungnya pun hangus. Sedangkan suami Purwaningsih juga tidak bekerja setelah usaha toko kelontong gulung tikar. Jangankan untuk berobat, untuk kebutuhan sehari-hari saja, Purwaningsih mengandalkan belas kasihan dari anggota jamaat gereja dan saudara-saudaranya.

    “Sejak usaha papa bangkrut akibat lumpur Lapindo, kehidupan keluarga saya serba kekurangan, sampai saya harus berhenti kuliah. Apalagi mama sekarang kondisinya kayak begini. Untuk kebutuhan sehari-hari kami dikirimin sembako dari anggota jemaat gereja,” kisah Devi.

    Purwaningsih masih terus membutuhkan perawatan, dan jelas akan membutuhkan biaya besar. Kaki kanannya masih harus dioperasi, tentu setelah luka bakarnya mengering. Sementara, pihak pemerintah daerah baik itu bupati yang lama, maupaun Bupati Saiful Ilah dan Wakil Gubernur yang pernah menjanjikan menanggung biaya perobatan Purwaningsi sampai sembuh, tak pernah menepati janji.

    “Dulu, setelah Mama pulang dari RKZ, Papa pernah mengirimkan surat ke Bupati Sidoarjo, tapi sampai sekarang tidak ada jawaban. Dan saat kami di RSUD Sidoarjo sehari setelah terjadi kebakaran gas metan, mereka berjanji akan menanggung biaya perawatan kami. Bahkan Kepala Humas RS Dr. Soutomo juga pernah berjanji akan merawan luka bakar kami sampai sembuh. Tapi semua itu hanya omong kosong,” ungkap Devi, kesal.

    Karena itu, Devi sekeluarga hanya bisa merawat ibunya dengan bantuan dari para kerabat. Devi juga tidak bisa berbuat banyak karena kondisi fisiknya masih belum pulih. Masih terlihat bekas luka bakar di kedua kaki dan tangannya. Devi kesulitan mencari pekerjaan. Menurutnya, ia pernah mengirimkan surat lamaran ke perusahaan pada bulan Juli 2011 silam. Tapi sampai sekarang ia tidak menerima panggilan.

    Terakhir Devi nekat pergi ke Bali untuk bekerja untuk distributor perusahaan roti. Tapi itu hanya bertahan hanya tiga bulan saja, karena ia merasa minder dengan kondisi fisiknya. Devi akhirnya pulang dan berhenti berkerja. “Saya terakhir kerja di Bali pada sebuah distributor Sari Roti. Tapi hanya tiga bulan saja,” ungkapnya.

    Derita Purwaningsih dan Devi hanya potret kecil diabaikannya kesehatan warga di sekitar lumpur Lapindo. PT Lapindo Brantas yang menyebabkan menyebarnya gas metan di mana-mana sudah lepas tangan. Pemerintah, yang seharusnya bertanggung jawab atas nasib warga korban, juga terlihat cuek. Kebijakan pemerintah memasukkan wilayah Siring Barat dalam peta area terdampak tidaklah cukup jika risiko kesehatan warga tak pernah ditangani. (vik)

    (cc) Kanal News Room

  • Solidaritas Fadly Padi untuk Pendidikan Anak-anak Korban Lapindo

    fadly serahkan donasi1

    SIDOARJO, korbanlumpur.info – Melanjutkan Gerakan Donasi Sahabat Anak Lumpur, pada Jumat (14/10) Fadly vokalis grup band Padi mengunjungi dan bernyanyi bersama anak-anak korban Lumpur Lapindo di Sanggar Al Faz desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo.

    “Musik Solidaritas Untuk Anak Lumpur Lapindo” merupakan bentuk dukungan Fadly atas Gerakan Donasi Sahabat Anak Lumpur yang digagas Walhi Jawa Timur, Sobat Padi, Sahabat Walhi Jawa Timur, dan beberapa kelompok masyarakat sipil lainnya. Kedatangan Fadly sekaligus secara simbolis menyerahkan donasi yang sudah digalang dan terkumpul selama bulan September yang menggunakan ikon Fadly-Rindra. Keseluruhan jumlah yang diserahkan 25 juta rupiah.

    Fadly mengatakan akan terus mendukung gerakan penggalangan donasi ini. Menurutnya dengan gerakan ini diharapkan membantu keberlanjutan pendidikan anak-anak korban Lapindo yang sudah lima tahun lebih tidak diperhatikan pemerintah.

    “Saya lebih menghargai dan mendukung gerakan ini daripada menunggu pemerintah, ini langkah awal untuk menyelamatkan generasi bangsa, kedepan Saya akan mendukung terus gerakan penggalangan dana untuk pendidikan anak-anak korban Lapindo”.

    Lebih lanjut menurut Bambang Catur Nusantara, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, gerakan Donasi Sahabat Anak Lumpur merupakan gerakan untuk menyatukan solidaritas untuk korban lumpur Lapindo, terutama untuk menjamin pemenuhan hak pendidikan anak-anak korban lumpur Lapindo. Gerakan ini merupakan kerjasama beberapa lembaga seperti Walhi Jawa Timur, Sahabat Walhi, Posko Keselamatan Korban Lumpur Lapindo, Sobat Padi Surabaya, JRKI, dan komunitas-komunitas di berbagai daerah.

    “Tahun lalu kami sudah menggalang dan mendistribusikan biaya pendidikan untuk 87 anak-anak korban lumpur Lapindo sejumlah 38 juta. Bantuan itu, sesuai dengan kebutuhan biaya pendidikan masing-masing anak, yang berkisar antara 220 ribu sampai 1,8 juta rupiah. Saat ini jumlah anak yang dibantu sekurangnya 212 anak dari jenjang SD SMP hingga SMU dengan kebutuhan biaya 52 juta rupiah”.

    Ia berharap, selain untuk mendukung anak-anak korban Lapindo dapat meneruskan pendidikannya, gerakan ini juga menjadi upaya kritis agar korban lumpur lapindo bisa mengakses pendidikan secara gratis melalui program BOS maupun kebijakan khusus lainnya dari pemerintah.

    Kedatangan Fadly pada pukul sebelas disambut suka cita oleh anak-anak korban Lapindo, pemuda dan orangtua yang sejak satu jam menunggunya. Mereka terlihat suka cita ada yang masih peduli dengan mereka. Zulfika Rohma misalnya, nampak bersemangat selama bernyanyi bersama Fadly.

    “Saya senang sekali ada yang memperhatikan kami,” ungkap anak kelas enam MI Darul Ulum Desa Besuki ini.

    Fadly adalah satu dari sekian artis yang masih mau menunjukkan solidaritasnya untuk kelanjutan generasi bangsa. Kedatangannya di kampung korban lumpur lapindo adalah wujud komitmen untuk turut serta mendukung masa depan pendidikan anak-anak korban Lumpur Lapindo.

    Gerakan donasi sahabat anak Lumpur terus mengajak masyarakat luas untuk turut serta dalam usaha melindungi anak-anak korban Lumpur Lapindo dari kesuraman masa depan, seperti yang telah dinyatakan oleh Fadly, “Ayo Sobat, kita semua bisa menjadi sahabat mereka, Sahabat Anak Lumpur”. (vik)

     

  • Tuntut Masuk Peta, Aksi Warga 45 RT Dibubarkan Paksa

    Tuntut Masuk Peta, Aksi Warga 45 RT Dibubarkan Paksa

    Sumina, salah satu warga 45 RT, menyatakan dirinya dan warga yang lain tetap menuntut agar 45 RT dimasukkan Peta Area Terdampak (PAT) dalam revisi Perpres terbaru. Kabar yang beredar, Perpres revisi itu akan diteken Presiden Senin ini (26/09).

    “Kami akan tetap bertahan di Jalan Raya Porong ini sebelum ada kepastian dari Presiden wilayah 45 RT masuk dalam Peta Area Terdampak. Perwakilan kita sekarang sudah ada di Jakarta menemui Wakil Presiden. Jika tidak ada hasil yang memuaskan kami akan terus bertahan di sini,” tegas Sumina.

    Dalam revisi Perpres terbaru itu, kabarnya 9 RT dimasukkan dalam PAT dan memperoleh ganti rugi tanah dan rumah melalui mekanisme jual-beli dengan pembayran dari dana APBN. Tetapi wilayah 45 RT tidak masuk. Wilayah 9 RT meliputi 4 RT Desa Siring, 2 RT Desa Jatirejo dan 3 RT Desa Mindi, Kecamatan Porong. Sedangkan wilayah 45 RT mencakup 18 RT Desa Mindi, 8 RT Desa Pamotan, Kecamatan Porong, 7 RT di Desa Besuki Timur, Kecamatan Jabon dan 12 RT di Desa Ketapang, Kecamatan Tanggulangin.

    “Kami sudah beberapa kali melakukan aksi tapi aspirasi kami tidak pernah diperhatikan. Aksi ini merupakan aksi menuntut keadilan karena wilayah 45 RT tidak dimasukkan dalam Perpres. Padahal wilayah 45 RT sudah terang – terangan tidak layak lagi untuk dihuni,” ungkap Suparno, warga Ketapang saat melakukan orasi di depan massa.

    Seperti hari sebelumnya, dalam aksi ini ratusan warga sempat melakukan blokade rel kereta api. Itu terjadi ketika saar menuju Jalan Raya Porong, warga dihalang-halangi polisi, lalu mengalihkan sasaran ke rel kereta api. Warga sempat menghentikan KA Penataran dari arah Malang saat masuk stasiun Kereta Api Porong.

    Pihak kepolisian menurunkan sekitar 1.000 polisi untuk mengawal aksi warga 45 RT ini. Kapolres Sidoarjo Eddy Hermanto meminta warga untuk segera membuka blokade Jalan Raya Porong, namun warga bergeming tidak mau membubarkan diri. Baru sekitar pukul 10.45, warga perlahan berpindah posisi ke pinggir jalan, dan kendaraan yang sempat terhenti bisa melanjutkan perjalanan.

    Namun tak lama kemudian, satu persatu warga bergeser dan kembali melakukan blokade Jalan Raya Porong, tepatnya di depan Rumah Sakit Bayangkari. Tidak bertahan lama, sebab pihak kepolisian datang dan langsung melakukan pembubaran paksa. Warga yang tidak terima dengan perlakukan kasar kepolisian sempat melawan dan terjadi dorong-mendorong. Akibatnya ada dua warga suami istri diamankan pihak kepolisian karena dianggap melawan.

    Kapolres Eddy Hermanto mengatakan suami istri itu bernama Ana dan Samsul, warga Mindi RT 21 RW 03. Keduanya akan dimintai keterangan dan arahan. “Kami hanya meminta keterangan dan kami arahkan saja. Kedua warga tadi terpaksa kami amankan karena memprovokasi warga yang lain untuk tetap bertahan,” ujar Eddy.

    Setelah terjadi pembubaran paksa, warga 45 RT kembali ke kantor kelurahan Desa Mindi. Mereka berencana akan mendatangi Polres Sidoarjo untuk meminta kedua rekan mereka dibebaskan. (vik)

    (c) Kanal News Room

  • Korban Lapindo 45RT Aksi Blokade Rel KA dan Raya Porong

    Korban Lapindo 45RT Aksi Blokade Rel KA dan Raya Porong

     

    Sidoarjo – Korban lumpur lapindo dari wilayah 45 RT melakukan aksi blokade jalan raya Porong dan rel kereta api. Aksi ini dilakukan di jalan KH Marzuki Kelurahan Mindi, kecamatan Porong. Aksi korban dari desa Mindi, Pamotan, Besuki dan ketapang ini merupakan buntut dari kekecewaan warga yang tidak dimasukkan dalam Peta Area Terdampak. Warga juga menuntut Presiden untuk tidak tergesa-gesa menandatangani revisi Perpres 14/2007 sebelum wilayah 45 RT juga dimasukkan dalam PAT.

    “Aksi ini sebagai bentuk kekecewaan kami dan sekaligus memperingatkan kepada Pemerintah untuk tidak mengeluarkan Perpres dulu sebelum 45 RT diikutkan masuk Peta Area Terdampak,” ungkap Jasimen, koordinator kelompok 45 RT.

    Lebih lanjut Jasimen menambahkan jika pemerintah benar-benar akan menegluarkan Perpres dan tidak mengikutkan wilayah 45 RT masuk area terdampak, maka akan terjadi gesekan antar warga, terutama di Mindi yang hanya memasukkan 3 RT dalam PAT.

    “Jika Perpres besok keluar, yang isinya hanya 9 RT yang masuk peta, maka akan terjadi gesekan antar warga, lha wong Perpres 40 tahun 2009 yang dulu keluar saja warga Mindi banyak yang konflik,” tambah Jasimin

    Ungkapan senada juga di ungkapkan Hari Susilo warga Mindi. Menurutnya, untuk memasukkan wilayah 45 RT dalam peta area terdampak yang harus diuji oleh Tim Terpadu Geologi, merupakan bentuk ketidakadilan pemerintah dalam mengambil kebijakan.

    “Dulu wilayah 9 RT tidak di lakukan penelitian terlebih dahulu untuk menentukan tidak layak huni, tapi kenapa 45 RT harus diadakan penelitian dulu. Seharusnya penelitian dari TKKP (Tim Kajian Kelayakan Permukiman, bentukan gubernur jatim -red) sudah cukup untuk menentukan wilayah yang harus masuk Peta Area Terdampak,” ungkapnya.

    Sebelum membolokade rel kereta api dan jalan raya Porong, warga lebih dahulu menutup akses jalan desa Mindi di depan Kantor Kelurahan Mindi yang memisahkan wilayah 3 RT dengan 18 RT. Mereka menumpahkan sirtu di jalan utama ini. Kemudian warga mendatangi lokasi tanggul penahan lumpur di sisi selatan dan mengusir paksa pekerja. Aksi spontan ini mendapat penjagaan pihak kepolisian.

    Akibat dari aksi ini, setidaknya 3 jadwal perjalanan kereta api(KA) tertunda. KA Penataran dari arah Blitar menuju Surabaya dan KA Sri Tanjung arah Banyuwangi-Surabaya tertahan di Stasiun Bangil. Sedangkan KA Komuter Surabaya-Porong tertahan di Stasiun Tanggulangin. Blokade di jalan raya Porong menyebabkan kemacetan hingga lebih 1 kilometer.

    Setelah blokade berlangsung sekitar satu jam, akhirnya warga membubarkan diri. Ini terjadi setelah Kapolres Sidoarjo dan jajaranya mendatangi lokasi aksi warga. Pihak kepolisian meminta warga membubarkan diri karena aksi yang dilakukan tidak disertai pemberitahuan terlebih dulu. Meski terpaksa bubar, warga mengancam akan melakukan aksi lanjutan jika revisi Perpres yang direncanakan keluar Senin(26/9) tidak mengikutkan wilayah 45 RT di dalam PAT.(vik)

  • Kanal News Room Lolos Seleksi Program Hibah

    Kanal News Room Lolos Seleksi Program Hibah

    “Situs ini berupaya menyajikan fakta lapangan, data, dan analisis tentang kasus lumpur Lapindo dengan menitikberatkan pada perspektif pemulihan hak-hak korban,” kata Siska Doviana, anggota Tim Seleksi Awal, di Jakarta, Jumat (23/09/2011).

    KNR merupakan satu dari 30 nominator yang dipilih Tim Seleksi Awal. Di samping itu, ada 5 nominator yang dipilih publik melalui internet. Program hibah Cipta Media Bersama menerima 820 permohonan hibah. Inisiatif-inisiatif itu terbagi dalam empat topik: meretas batas kebhinekaan media, keadilan dan kesetaraan akses terhadap media, kebebasan dan etika bermedia dan pemantauan media.

    “Topik kebhinekaan bermedia dan kesetaraan akses adalah masalah yang paling banyak mendapatkan permohonan hibah dari masyarakat,” ujar Siska. Topik ini menerima total 644 permohonan. KNR merupakan yang terpilih dari topik kebhinekaan bermedia.[ba]

    (c) Kanal News Room

  • Demo Warga Sambut Kedatangan Wapres Budiono

    Demo Warga Sambut Kedatangan Wapres Budiono

    Sidoarjo – Wakil Presiden Budiono hari ini(22/9) meninjau langsung semburan Lumpur Lapindo setelah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyatakan dalam kondisi SIAGA. Kedatangan Wakil Presiden ini langsung disambut aksi warga dari wilayah luar peta area terdampak 22 Maret 2007 dari 45 RT. Ratusan warga yang kebanyakan kaum ibu-ibu ini menggelar spanduk di depan Kantor Balai Desa Mindi, Kecamatan Porong. Aksi warga ini menuntut kejelasan dari pemerintah terkait dengan kondisi kawasan 45 RT untuk segera masuk dalam Peta Area Terdampak(PAT).

    Aksi yang dikawal ketat aparat kepolisian dan TNI ini tidak menyurutkan warga untuk membentang spanduk yang berisikan kecaman kepada BPLS dan Pemerintah. Setelah menggelar spanduk satu persatu ibu-ibu bergeser ke tanggul, rencananya mereka akan menyambut Wapres dengan membentang spanduk di tanggul, tepatnya di sebelah makam Desa Mindi. Tapi usaha ibu-ibu ini gagal karena puluhan aparat sudah disiagakan untuk menghalau massa menaiki tanggul. Semua akses jalan menuju tanggul sudah dijaga aparat keamanan.

    Aksi ini merupakan buntut dari rencana dikeluarkannya Peraturan Presiden pada Senin(26/9) yang tidak mengikutkan wilayah 45 RT masuk dalam PAT. Perpres dalam rencananya hanya memasukkan wilayah 9 RT dari Desa Mindi, Jatirejo Barat, dan Siring Barat yang juga segera mendapat pembayaran ganti rugi dari APBN 2011 ini.

    Menurut Selamet, Ketua RT 11 RW 01 Desa Mindi, turunnya perpres yang isinya mengatakan 9 RT masuk PAT dan 45 RT masih menunggu Uji Tim Geologi, merupakan suatu pembiaran pemerintah terhadap warga. Pembiaran ini akan menciptakan keresahan dan konflik antar warga.

    “Keluarnya Perpres besok menurut Saya itu merupakan pembiaran terhadap Kami yang nyata-nyata sudah sengsara akibat lumpur Lapindo. Akan menciptakan suatu gesekan antar warga karena di Mindi yang masuk peta area terdampak hanya 3 RT dan 18 RT tidak masuk dalam peta,” ungkap Selamet.

    Lebih lanjut, warga meminta Wapres meluangkan waktu untuk menemui warga agar tuntutan warga untuk masuk PAT bisa terealisasi. Tapi usaha untuk menerobos barisan aparat di Titik 25 tempat Wapres Budiono melihat semburan lumpur juga gagal. “Kedatangan Budiono seharusnya meluangkan waktu dan mengagendakan pertemuan dengan kami, karena wilayah 45 RT ini sudah nyata-nyata tidak layak huni,” ungkap Suparno Perwakilan warga Ketapang.

    Sampai Wapres bertolak dengan menggunakan helikopter ke Bandara Udara Juanda Surabaya, perwakilan warga gagal bertemu dengan Wapres. Warga yang kecewa mengancam akan melakukan aksi dengan massa yang lebih besar dan akan menduduki akses jalan Raya Porong.(vik)

  • Tanggul Lumpur Kritis, Warga Dilarang Beraktivitas

    Tanggul Lumpur Kritis, Warga Dilarang Beraktivitas

    Sidoarjo – Sejak empat hari terakhir, kondisi tanggul penahan lumpur di titik 21(desa Siring) hingga di titik 10(desa Ketapang) dinyatakan dalam kondisi ‘Siaga’. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dibantu Kepolisian Sektor Porong melarang warga beraktifitas di atas tanggul penahan lumpur. Akibatnya puluhan warga tukang ojek yang menggantungkan hidup di atas tanggul tidak bisa lagi bekerja. Pelarangan ini mengakibatkan tidak ada pelintas jalan raya Porong yang berhenti untuk melihat kondisi lumpur lapindo.

    Hal ini mendorong puluhan Pengojek dan penjual DVD mendatangi Pos Pantau BPLS untuk mempertanyakan sampai kapan larangan diberlakukan. “Kami hanya mempertanyakan sampai kapan proses peninggian tanggul ini selesai, dan sampai kapan kondisi tanggul dinyatakan aman, karena kami juga butuh makan, sudah 3 hari ini kami tidak mendapatkan penghasilan karena larangan beraktifitas di atas tanggul,” ungkap Sadeli, warga Siring yang sehari-hari mangkal di tanggul Siring. Puluhan tukang ojek dan penjual DVD ini terpaksa menggantungkan hidup di atas tanggul sejak lumpur lapindo menengelamkan tempat tinggal dan mata pencaharian mereka lebih lima tahun silam. Kehidupan mereka menjadi porak poranda, terlebih sejak 10 bulan terakhir Lapindo tidak membayar cicilan warga yang seharusnya 15 juta/bulan.

    Hal serupa diungkapkan Herwati, ia dan tukang ojek yang lain tidak bisa berbuat apa-apa karena disekitar tanggul dijaga polisi. Pengunjung yang datang dilarang naik ke tanggul. “Untuk kebutuhan sehari-hari kami mengandalkan pemberian tamu yang datang ke tanggul, kalau sekarang dilarang, dari mana kami mancari makan, apalagi pembayaran dari Lapindo sudah beberapa bulan ini tidak dicicil,” ungkap perempuan asal Siring, yang kini tinggal di desa Candipari.

    Sementara itu petugas BPLS – Sub Pokja Pemantau Geohazard yang menemui warga, masih belum bisa memastikan sampai kapan kondisi tanggul dinyatakan aman. “Kami belum bisa memastikan, tapi yang jelas surat BPLS kepada pihak kepolisian menyatakan kondisi tanggul dalam beberapa hari ini dalam kondisi siaga, Saya harap warga bisa memaklumi,” ungkap Riko Aditya, Petugas Pemantau Geohazard.(vik)

  • Warga Siring Tuntut Kepastian Hukum

    Warga Siring Tuntut Kepastian Hukum

    Lutfi Abdillah, salah satu warga Siring barat mengatakan, aksi ini sekaligus memperingatkan pemerintah terkait kondisi kawasan 9 RT yang sangat parah. Kawasan 9 RT terdiri dari 4 RT di Siring Barat, 2 RT di Desa Jatirejo Barat, dan 3 RT di Desa Mindi. Ia berharap pemerintah untuk segera memberikan payung hukum dan secepatnya memberikan ganti rugi. Menurutnya, wilayah 9 RT ini sudah ada kepastian untuk di berikan ganti rugi, akan tetapi payung hukum untuk melaksanakannya hingga saat ini belum juga di keluarkan oleh pemerintah.

    “Kami memperingatkan pemerintah agar segera memberikan kepastian hukum yang menjadi landasan untuk memberikan ganti rugi aset warga. Apalagi sejak kondisi lumpur saat ini yang sangat membahayakan dan sangat meresahkan warga,” ungkapnya.

    Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Akhmad Khusairi menyampaikan kepada warga untuk bersabar, karena untuk mengganti rugi 9 RT anggaran sudah disediakan dan tinggal menuggu keluarnya Perpres yang baru.

    “Kami meminta warga untuk tidak menghentikan penanggulan di titik 21-10 ini karena kondisinya sangat menghawatirkan. Untuk proses ganti rugi uangnya sudah ada tinggal menenunggu perpres yang baru. Kami harap warga bisa bersabar,” ungkapnya.

    Selain itu, Ia menjelaskan bahwa untuk penanganan kondisi kolam lumpur yang sangat kritis ini, BPLS akan melakukan beberapa skenario, diantaranya melakukan penyeimbangan tekanan lumpur di dalam kolam penampungan dengan cara  penyudetan atau  mengarahkan lumpur ke ke kolam penampungan di desa Ketapang. Sementara di tanggul titik 21-10 yang saat ini kritis, akan dilakukan peninggian sampai 12 meter di atas permukaan laut.(vik)

  • Gas Metan Mencemaskan Warga 45 RT

    SIDOARJO-Lumpur Lapindo tak henti menyebarkan bahaya di kawasan sekitar. Semburan gas metan di Desa Ketapang, Kecamatan Tanggulangin yang sempat berhenti, sejak dua minggu terakhir muncul kembali. Setidaknya ada sekitar 25 semburan gas metan muncul di Desa Ketapang. Semburan gas ini muncul di pekarangan, di teras dan di dalam rumah warga.

    Warga menjadi cemas dan khawatir. Sebab selain baunya sangat menyengat dan membuat warga mengalami pusing-pusing dan sesak nafas, sempuran gas ini gampang terbakar. Luluk Azizah, warga RT 03 RW 01 Desa Ketapang, yang pekarangan rumahnya mengeluarkan gas metan sangat khawatir terjadi kebakaran seperti yang pernah terjadi di rumah Purwaningsih di Desa Siring, Kecamatan Porong.

    “Di sini ada sekitar 25 semburan yang muncul lagi. Kami sudah melaporkan ke BPLS, tapi belum ada tindakan. Saya khawatir terjadi apa-apa, apalagi banyak anak kecil di sini. Kalau malam hari baunya sangat menyengat,” ungkap Luluk.

    Semburan gas liar juga muncul di teras dan di dalam rumah warga bernama Sunandar. Jika disulut api, semburan gas itu langsung menyala. Suprapto, salah satu koordinator warga 45 RT dari Desa Ketapang, juga menyatakan, fenomena munculnya semburan lumpur ini sangat membahayakan warga. Menurut Suprapto, ini menunjukan kondisi Desa Ketapang tidak layak huni.

    “Gas liar yang sering hilang dan muncul lagi membuktikan bahwa kondisi Desa Ketapang sudah tidak layak huni. Selain semburan gas, di kawasan Ketapang juga banyak bangunan rumah yang retak-retak, dan airnya tidak bisa di konsumsi,” jelas Suprapto.

    Kawasan Ketapang ini termasuk wilayah 45 RT yang sudah dinyatakan tidak layak huni oleh Tim Kajian Kelayakan Pemukiman (TKKP) yang dibentuk Gubernur Jawa Timur. Meskipun bermunculan semburan gas, Pemerintah melalui BPLS sampai kini belum menyatakan 45 RT dalam kondisi tidak layak huni.

    Humas BPLS Akhmad Khusairi mengatakan perlu diadakan uji seismik untuk melihat kawasan mana yang tidak lahak untuk dihuni. “Untuk menyatakan kawasan 45 RT ini masuk dalam kawasan tidak layak huni, harus ada uji seismik. Bisa jadi kawasan tidak layak huni lebih dari 45 RT. Hasil dari uji ini yang nanti menjadi pegangan menentukan kebijakan,” katanya.

    Sejak dinyatakan dalam kondisi tidak layak huni oleh tim TKKP pada 2010 silam, warga dari 45 RT menuntut agar wilayahnya dimasukkan dalam revisi ketiga Perpres No. 14/2007 dan memberikan ganti rugi seperti halnya warga di tiga desa, yakni Desa Besuki (Barat), Kedungcangkring dan Pejarakan. [vik]

    (c) Kanal News Room