Blog

  • Pembayaran Ganti Rugi Korban Lumpur Tetap Diprioritaskan

    Kamis, 16 Oktober 2008 | Kompas

    SIDOARJO, Kompas – PT Lapindo Brantas Inc melalui PT Minarak Lapindo Jaya tetap memrioritaskan pembayaran ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, meski saat ini terjadi krisis keuangan global yang menimpa sebagian besar perusahaan di Indonesia. Diharapkan, pembayaran ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo tidak terkendala akibat krisis tersebut.

    Demikian dikatakan Vice President Relations PT Lapindo Brantas Inc Yuniwati Teryana kepada Kompas, Kamis (16/10), di Sidoarjo. Pernyataan tersebut untuk menanggapi keluhan beberapa korban lumpur Lapindo di Sidoarjo yang belum menerima pembayaran uang muka ganti rugi sebesar 20 persen atau sisa ganti rugi sebesar 80 persen meski sudah lewat jatuh tempo pembayaran.

    Krisis keuangan global yang terjadi turut berpengaruh bagi perusahaan di Indonesia, termasuk PT Lapindo Brantas Inc. Namun, penanggulangan musibah korban lumpur merupakan salah satu prioritas bagi kami. Kami berharap, pembayaran ganti rugi tidak terkendala dan kondisi perusahaan segera pulih, jelas Yuniwati.

    Sejauh ini, PT Lapindo Brantas Inc telah membayar sisa ganti rugi 80 persen kepada korban lumpur Lapindo sebanyak 3.781 berkas dengan nilai Rp 1,153 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk uang muka 20 persen kepada pemilik 12.759 berkas korban lumpur senilai Rp 709,72 miliar.

  • Bikin Hujan Buatan untuk Buang Lumpur Lapindo

    Sabtu, 11 Oktober 2008 | Kompas

    Mojokerto, Kompas – Pemerintah Provinsi Jawa Timur berencana membuat hujan buatan di sekitar aliran Kali Porong, Mojokerto, Jawa Timur. Tujuannya untuk mengatasi sedimentasi yang semakin parah di Kali Porong terkait pembuangan lumpur Lapindo—melalui kali tersebut—ke laut.

    Demikian penjelasan Penjabat Gubernur Jawa Timur (Jatim) Setia Purwaka seusai melantik Wakil Bupati Mojokerto di Pendopo Kabupaten Mojokerto, Jumat (10/10). ”Rencana pembuatan hujan buatan itu disebabkan debit air yang melewati Kali Porong sudah tidak memadai lagi untuk menggelontor lumpur Lapindo yang dialirkan,” paparnya.

    Hujan buatan, tambah Setia, akan dibuat jika debit air di Waduk Wonorejo dan Waduk Sutami belum memungkinkan untuk menggelontor endapan lumpur di kali itu. Pasalnya, kebutuhan lain, seperti pengairan tanaman pertanian (yang menggunakan air waduk), masih dinilai lebih penting. ”Saya akan bahas ini dengan Dinas Pengairan, yakni soal debit airnya,” kata Setia lagi.

    Dalam kaitan itu, menurut Setia, PT Lapindo Brantas Inc tetap harus bertanggung jawab atas semua dampak dan upaya pemulihan akibat luapan lumpur panas tersebut. ”Lapindo tidak bisa lepas tangan sekalipun kehabisan sumber daya untuk menanggulanginya,” ujarnya.

    Sebagaimana diberitakan, untuk menghindari perluasan daerah terdampak lumpur Lapindo, pemerintah menyetujui pembuangan lumpur itu ke laut melalui Kali Porong.

    Tanggal 6 Oktober lalu endapan lumpur tampak mengering di kali tersebut dan menyebabkan pembuangan lumpur ke laut macet. Tidak hanya itu, endapan yang demikian juga berpotensi mengakibatkan banjir pada musim hujan.

    Rawan banjir

    Masih soal kemungkinan banjir, di Madiun, Jawa Timur, Pejabat Pembuat Komitmen Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo Saelan mengingatkan perlunya waspada terhadap luapan air Sungai Bengawan Madiun. ”Wilayah yang terkena banjir akibat luapan sungai itu akhir tahun 2007 sampai awal tahun 2008, pada musim hujan ini masih harus waspada. Pasalnya, tak ada perubahan berarti yang dilakukan pemerintah,” kata Saelan.

    Menurut dia, di sepanjang 90 kilometer aliran Sungai Bengawan Madiun masih ada sekitar 20 kilometer bantaran sungai yang belum diberi tanggul, yakni di Kecamatan Kwadungan, Ngawi, dan Kota Ngawi. Selain itu, ada pula 25 kilometer bantaran sungai seperti itu, yakni mulai dari Kabupaten Madiun sampai Ponorogo. ”Kami sudah mengajukan usulan dana untuk pembuatan tanggul, tetapi belum dialokasikan oleh pemerintah pusat,” paparnya. (APA/INK)

  • Walhi Anugerahkan Penghargaan Kepada Komunitas Pejuang Lingkungan

    Rabu, 15 Oktober 2008 | 21:28 WIB | TEMPOInteraktif

    Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menganugerahkan lima penghargaan kepada komunitas pejuang
    lingkungan.

    “Penghargaan diberikan bagi komunitas yang dinilai mampu mempertahankan lingkungan hidup dan sumber kehidupan rakyat,” ujar Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Berry Nahdian Forqan saat memperingati hari ulang tahun Walhi ke-28 di Perpustakaan Nasional Jakarta, (15/10).

    Peghargaan pertama diberikan atas perjuangan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Lingkungan Bojong, Bogor terhadap rencana pembangunan pabrik pembuangan sampah. Kegigihan mereka dinilai mampu menangkal potensi pencemaran tanah, air dan udara.

    Penghargaan juga diberikan kepada Ikatan Nelayan Saijaan (INSAN) Kotabaru, Kalimantan Selatan. Komunitas yang berdiri sejak 2003 itu dinilai militan melakukan perlawanan atas pembuangan limbah batuan di perairan Tanjung Pemancingan oleh PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.

    Penghargaan ketiga diserahkan kepada anggota komunitas Sistem Hutan Kerakyatan, Pesawaran Bina Lestari, Lampung. Mereka dinilai berhasil melakukan swakelola ekosistem lingkungan hidup meski kerap menjadi korban kekerasan aparat.

    Penghargaan bagi komunitas keempat diberikan kepada Solidaritas Nelayan Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis, Riau. Komunitas nelayan ini dinilai berhasil mengelola lingkungan secara berkelanjutan.

    Penghargaan terakhir diberikan kepada Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang, Teluk Rinondoran, Sulawesi Utara yang tegas melawan potensi pengrusakan alam yang dilakukan oleh perusahaan tambang emas, PT Meares Soputan Mining.

    Penghargaan tertinggi Walhi berikan kepada masyarakat Sidoarjo, Jawa Timur yang menjadi korban semburan lumpur Lapindo. “Hak hidup masyarakat wajib dilindungi,” ujarnya.

    Menurut Berry, sejumlah kerusakan alam cenderung disebabkan oleh praktek eksploitasi perusahaan multi koorporat. Eksploitasi sumber daya alam yag mereka lakukan merupakan faktor dominan yang memicu terjadinya musibah ketidakadilan ekologis.

    “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang. Tapi tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan seorang yang rakus,” ujarnya.

    RIKY FERDIANTO

  • Warga Renokenongo Harus Menyingkir

    Rabu, 15 Oktober 2008 | 10:29 WIB | TEMPOInteraktif

    Desa Renokenongo menjadi gersang dan panas karena tepat di bibir tanggul luapan lumpur Lapindo. Kini desa itu juga akan tinggal sejarah setelah penggusuran untuk pembuatan tanggul. Warga ada yang mencoba bertahan dan sebagian yang tidak kuat memilih mengungsi ke Pasar Baru Porong, setelah penggusuran, Jum’at lalu.

    Kelik Widodo, salah satu warga yang harus mengungsi ke Pasar Baru Porong bahkan belum mendapat realisasi dari pihak Lapindo untuk pembayaran 20 persen. “Kita hanya bisa menunggu dan belum tahu mau pindah kemana,” ujar Kelik, yang dihubungi Tempo, Rabu (15/10).

    Kelik, 34 tahun, beserta istri dan satu anaknya harus mengungsi setelah demo penolakan pembikinan tanggul di desanya tidak kuasa ditahan. Menurutnya, sejak Rabu (8/10) pendirian tanggul sudah akan dilaksanakan tapi gagal, sampai kemudian terlaksana pada Jum’at (10/10).

    Bersama Kelik, ada sekitar 15 kepala keluarga juga tinggal di Pasar Baru Porong. Tinggal di pasar menjadi pilihan terakhir, pun tak bisa berlama-lama. Mereka hanya bisa berteduh sekitar satu bulan karena Pasar Baru Porong juga akan ditenggelamkan menjadi kolam lumpur. “Kita sudah dikasih tahu kalau tanggal 2 November 2008, pasar (Pasar Baru Porong) akan digusur juga,” ujar Kelik.

    Sementara itu, pendamping korban Lumpur Lapindo Paring, mengatakan kalau warga sudah mendapat uang kontrak Rp 2,5 juta dan uang boyongan Rp 500.000 per kepala keluarga dan masing-masing mendapat Rp 300.000. “Warga menerima sebelum lebaran, ini uang APBN,” ujar Paring.

    Namun, lanjut Paring, yang justru menyedihkan sekarang warga di Renokenongo yang belum mendapat ganti rugi. “Renokenongo kan akan jadi kolam baru karena luapan lumpur sudah tidak tertampung lagi. Sementara sampai saat ini implementasi pembayarannya belum ada,” tandasnya.

    Nur Haryanto

  • Polisi Pastikan Berkas Kasus Lumpur Lapindo Lengkap

    Jumat, 17 Oktober 2008 – Tempo, Surabaya: Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Polisi Herman Surjadi Sumawiredja meminta Kejaksaan Tinggi Jawa Timur segera menyatakan sempurna (P21) berkas perkara lumpur Lapindo. “Kami sudah berkali-kali kirimkan berkasnya ke Kejaksaan, tapi hingga kini tak juga di P21,” katanya, Jum’at (17/10).

    Padahal, kata Herman, institusinya telah menganggap berkas yang dilimpahkan sudah sangat lengkap. Didalam berkas tersebut juga terdapat fakta-fakta adanya kesalahan dalam pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc sehingga mengakibatkan terjadinya bencana semburan lumpur di Porong Sidoarjo.

    “Saya hanya berharap Kejaksaan sesegera mungkin memprosesnya sehingga semuanya bisa mendapatkan titik terang,” ujar Herman.

    Hingga saat ini, berkas dari Polda Jatim telah dikirimkan kepada kejaksaan hingga empat kali. Hanya saja, Kejaksaan tetap bersikukuh jika berkas yang dikirimkan belum lengkap. Padahal polisi dalam kasus ini setidaknya telah menetapkan sebanyak 13 orang sebagai tersangka dugaan salah prosedur dalam pengeboran sehingga mengakibatkan bencana di Porong Sidoarjo.

    Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Hubungan Masyarakat Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Mulyono saat diminta tanggapannya enggan berkomentar. “Tanya Pak Kejati saja,” ujarnya.

    Rohman T | Kukuh SW

    © TempoInteractive

  • Pekerja Tanggul Demo BPLS

    korbanlumpur.info – Suasana di sekitar tanggul penahan semburan lumpur Lapindo semalam mendadak gelap gulita. Semua lampu yang menerangi lokasi di sekitar tanggul dan aktivitas penanggulan, tidak biasanya padam. Ternyata, padamnya lampu penerangan tanggul ini adalah bagian dari demo para pekerja tanggul terhadap BPLS.

    Sekitar 50 karyawan PT Wahana Bumi Artha (WBA), perusahaan operator lapangan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dalam menangani luapan lumpur Lapindo, hingga jam 00.00 WIB (30/10) melakukan aksi menolak pemberhentian kerja mereka.

    Pada pukul 11.00 para pendemo mematikan semua generator listrik di lokasi penanggulan yang menyebabkan aktivitas operasional penanganan lumpur terhenti; penerangan di lokasi tanggul mati, pompa dan spillway tak lagi menggelontorkan lumpur ke kali Porong.

    Para karyawan yang membantu operasional lapangan akan diberhentikan mulai bulan depan. Informasi pemberhentian ini mereka dapat sejak pagi tadi.

    “Yang diberhentikan adalah para helper tapi operatornya tidak,” tutur Udin, salah seorang karyawan.

    Operasional lapangan untuk menangani luapan lumpur ini melibatkan sekitar 250 karyawan yang menangani berbagai pekerjaan; operator spillway, operator pompa, maintenance, konstruksi, workshop. Mereka bekerja untuk PT WBA di bawah pengawasan BPLS dan PT Minarak Lapindo Jaya.

    Banyak dari karyawan yang dihentikan ini adalah para korban lumpur Lapindo.

    Hingga berita ini diturunkan belum ada kejelasan atas nasib mereka dan apa alasan penghentian karyawan ini. Bajuri Edy Cahyono, Kepala Pokja Perlindungan Sosial BPLS yang menemui para karyawan di lapangan, hanya mengatakan bahwa BPLS tidak punya wewenang untuk mencegah penghentian karyawan ini. (mam/re)

    Ralat: pada paragraf dua disebutkan PT Wahana Bumi Artha (WBA). Yang benar adalah PT Tunas Karya Astawiguna (TKA). Informasi ini sekaligus menjadi ralat nama perusahan tersebut. Mohon maaf atas kekeliruan ini dan harap maklum.

  • Lapindo Berbohong tentang Hasil Konferensi Geologi di London

    Siaran Pers, Jakarta 29 Oktober 2008 – Koalisi Untuk keadilan Korban Lapindo

    Lagi-lagi, PT Lapindo Brantas Inc membohongi publik melalui siaran pers yang dikeluarkan 22 Oktober 2008 mengenai hasil Konferensi para ahli Geologi di London 21-22 Oktober 2008. Informasi ini yang kemudian dikutip banyak media.

    Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo telah mengkonfirmasi kepada Richard Davies, geolog, yang dinyatakan oleh Lapindo dalam siaran persnya bahwa dia “yakin bahwa Lusi adalah sebuah mud volcano yang merupakan hasil remobilisasi sedimentasi laut jutaan tahun lalu” adalah tidak benar dan Richard Davies tetap menyatakan dalam konferensi tersebut bahwa Lumpur Lapindo disebabkan oleh operasi pemboran.

    Lapindo juga menyatakan bahwa para geolog sepakat bahwa semburan lumpur panas di Sidoarjo adalah mud volcano yang merupakan produk remobilisasi sediment dan aliran fluida di wilayah cekungan bumi yang lemah. Karena itu, semburan lumpur Sidoarjo (Lusi) tidak bisa ditutup. Faktanya, konferensi ahli geologi dengan tema “Subsurface Sediment Remobilization And Fluid Flow in Sedimentary Basins” tersebut tidak pernah mengeluarkan kesimpulan resmi seperti yang diklaim Lapindo Brantas melalui siaran persnya.

    Tindakan itu bukan pertama kali dilakukan Lapindo Brantas. Korporasi tersebut berulangkali mengarahkan opini publik dan menutup-nutupi fakta dengan berbagai cara, termasuk membuat iklan-iklan yang menyesatkan di berbagai media.

    Ironisnya, pemerintah terus menerus membiarkan pembohongan ini terjadi. Lebih jauh, pemerintah membiarkan kasus Lapindo menjauh dari upaya menemukan penanganan yang adil bagi korban. Komnas Hasil mediasi pemerintah dengan korban Lapindo yang difasilitasi Komnas HAM di Jakarta 29 Agustus lalu, juga tak bergigi. Komnas HAM menyampaikan adanya hambatan besar berhadapan dengan aparatus negara lainnya, mulai Kehakiman hingga jajaran Anggota kabinet SBY, disaat berupaya menemukan solusi bagi kasus yang sudah berumur hampir 3 tahun ini.

    Sementara Lapindo terus berbohong dan memecah belah warga melalui proses gantirugi. Dan pemerintah SBY JK bersama Abu Rizal Bakrie – Menteri Kesra sekaligus pemilik PT Lapindo Brantas, seolah buta tuli terhadap tuntutan warga. Di lapang, korban Lapindo berkubang gas-gas berbahaya, nasibnya makin tak menentu.

    Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo (GMKKL) mendesak pemerintah SBY-Kalla segera memenuhi tuntutan korban, merehabilitasi kerusakan lingkungan, menghentikan semburan lumpur Lapindo, mempercepat proses hukum terhadap Lapindo dan mengabaikan siaran pers kebohongan yang dilakukan Lapindo.

    Kontak:
    Wardah Hafidz (UPC), 08161161830 – Bambang Sulistomo (GMLL).0818103674 – Berry Nahdian Forqan (WALHI) 08125110979 – Chalid Muhammad (aktivis lingkungan) 0811847163 – Firdaus Cahyadi (Satu Dunia) 0081513275698 – Siti Maimunah (Jatam) hp 0811920462 – Taufik Basari (LBHM) 081586477616 – Usman Hamid (Kontras), 0811812149

    Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo, Jatam, Kontras, Walhi, Satu Dunia, LBHM, GMLL, UPC, Imparsial, Gerakan Menutup Lumpur Lapindo, PMKRI, GMS, Berita Bumi, SKMP, GMS, YLBHI, ICEL.

  • Villages Victimized by of Lapindo Mudflow Demonstrate

    TEMPO Interactive, Sidoarjo: Around 500 people from four villages — Siring Barat, Jatirejo Barat, Mindi in Porong sub-district, and Besuki Timur in Jabon sub-district – resumed their protests at the former Porong toll road or what has now become the under belly of the toll bridge in Besuki village.

    They held communal prayers at the site. “We are still demanding the same thing. The four villages must be included in the map like other villages,” said Irsyad, Besuki Timur residents’ coordinator.

    Irsyad said the four villages are now uninhabitable because half the areas were affected by the mudflow while the other half were damaged by flammable gas.

    The village most affected by the mudflow is Besuki Timur, while the gas hit Siring Barat, Jatirejo Barat, and Mindi. For this reason, the residents have urged the House of Representatives (DPR) to allocate a budget on their behalf, when the 2009 National Budget is drafted.

    ROHMAN

    Sumber: http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2008/10/29/brk,20081029-142916,uk.html

  • Mana Ganti Rugi Relokasi?

    Dengan cekatan, Sunarsih memotong gulungan adonan tepung itu tipis-tipis. Setelah beberapa gulungan habis terpotong, irisan tepung itu ditatanya dalam tampah untuk dijemur di halaman samping pabrik. Begitulah yang dijalani perempuan 49 tahun itu sebagai pekerja di industri kecil PT Mekar Sari di Desa Sentul, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur, yang memproduksi kerupuk udang.

    Desa Sentul kini tumbuh menjadi sentra produksi baru untuk “kerupuk Sidoarjo” yang terkenal renyah dan gurih. Dulu, sentra produksi yang terkenal adalah di Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Sunarsih sempat kecipratan kejayaan itu. Sebagai buruh di pabrik kerupuk, ia menerima upah Rp 800.000 per bulan. Lumayan untuk menopang hidup keluarganya, karena ia tak dibebani uang kontrak rumah. Ia tinggal di atas sepetak tanah warisan.

    Namun kejayaan Renokenongo hancur oleh banjir lumpur Lapindo. Musibah yang terjadi sejak dua setengah tahun lalu itu pun mengempaskan nasib Sunarsih. Ia kehilangan pekerjaan dan rumah secara bersamaan. Namun kehidupan harus terus berjalan. Sunarsih hijrah menjadi buruh di Desa Sentul. ”Kini semua berubah, tidak seperti dulu lagi,” katanya. Melonjaknya jumlah buruh dan banyaknya industri rumah yang remuk oleh genangan lumpur membuat pasar tenaga kerja jatuh. Sunarsih harus menerima nasib dengan upah Rp 600.000 per bulan. Jumlah itu tentu jauh dari kebutuhan hidup keluarganya.

    Tapi Sunarsih tidak punya banyak pilihan. Pada saat ini, sentra produksi kerupuk banyak yang gulung tikar atau direlokasi ke tempat lain. Beberapa perusahaan yang menjadi korban semburan lumpur mengaku tak kuat lagi melanjutkan produksi setelah berbulan-bulan lumpur menyumbat saluran bisnisnya.

    Terpuruknya Sunarsih mewakili nasib pekerja industri kecil lainnya. Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sidoarjo, ada tujuh sentra industri kecil di sana. Industri tas, rokok, dan kerupuk udang terkena efek langsung maupun tak langsung yang parah. Sisanya, yakni industri kecil sandal, bordir, logam, dan peralatan rumah tangga, turut sakit akibat efek multiplier-nya.

    Kerajinan rokok rakyat, misalnya, banyak yang tak mampu bangkit setelah pabriknya terbenam lumpur. Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat, sebanyak 156 pabrik rokok kini sekarat. Dari jumlah tersebut, yang masih berproduksi secara rutin hanya 20%. Padahal, tahun lalu, Pemerintah Daerah Sidoarjo menyisihkan dana APBN Rp 30 milyar untuk membantu merelokasinya. Lokasi yang dilirik adalah jalan by-pass di Kecamatan Krian. Tempat ini dinilai strategis karena berada di lintas utama Surabaya-Yogya dan jauh dari lumpur. Namun alokasi dana sebesar itu tentu tak mampu menyelamatkan semua pengusaha kecil Sidoarjo.

    Menurut Ketua Asosiasi Perusahaan Rokok Sidoarjo (Apersid), Sungkono, dulu ada sekitar 500 pabrik rokok kecil di Sidoarjo. Namun ketatnya aturan cukai dan regulasi harga rokok eceran membuat pengusaha banyak yang bangkrut. Nah, ketika yang tersisa hanya berjuang dari impitan regulasi, lumpur Lapindo datang menggenang. Kebanyakan langsung kelojotan karena tidak mampu merelokasi usaha.

    Memindahkan tempat produksi bukan perkara mudah. Akibat luapan lumpur yang terus melebar, tanah dan bangunan di sekitarnya tak laku diagunkan ke bank. Dijual pun tak ada yang melirik. Pengusaha kesulitan mendapat modal. Menurut data Apersid, sentra industri rokok berada di Desa Siring. Desa ini adalah ”ring satu” semburan lumpur. Setelah pabrik mereka terjilat lumpur, banyak pengusaha yang berpindah tempat usaha. Namun tak sedikit pula yang tamat. Sungkono menandaskan, bisnis rokok tergolong amat sensitif. Sebentar saja pasokan telat, pelanggan beralih ke merek lain. ”Makanya, banyak pengusaha yang malas bangkit,” ujar pemilik pabrik rokok Mitra Jaya itu.

    Yang masih bertahan pun kini terbelit biaya produksi yang tinggi. Nurul Huda, pemilik perusahaan rokok merek Jangkar Mas, mengaku harus menyediakan biaya tambahan untuk transportasi karyawan. Sejak bencana lumpur melanda, ratusan pekerja pabriknya di Desa Siring tercerai-berai di pengungsian dan tempat lain. Akibatnya, ia terpaksa menyiapkan biaya tambahan untuk transportasi sebesar 20% gaji. Tak ada data rinci tentang kerugian yang timbul pada sektor ini. Namun angka kerugiannya setelah satu tahun diperkirakan mencapai ratusan milyar rupiah.

    Pengusaha kulit tradisional di Kecamatan Tanggulangin pun mengalami babak paling menyedihkan dalam perjalanan bisnis mereka. Sejak lumpur panas menyembul di Porong, Sidoarjo, 29 Mei 2006, kecamatan yang bersebelahan dengan lokasi semburan lumpur ikut terkena getahnya. Meski luberan lumbur tak sampai menjilat lokasi sentra industri ini, akses ke lokasi itu cukup terganggu.

    Tanggulangin dulu adalah sentra industri kerajinan kulit tradisional. Di kecamatan yang terletak 27 kilometer arah timur kota Surabaya itu, terdapat ratusan gerai yang menjajakan produk tas, koper, dompet, dan jaket buatan lokal. Industri kerajinan rakyat itu berlangsung turun-temurun sejak 1933, yang kemudian berkembang pesat hingga berorientasi ekspor. Aksesnya yang mudah dari jalan tol Sidoarjo membuat daerah ini menjadi salah satu tujuan wisata yang ramai.

    Namun kini Tanggulangin mengalami masa tersulit. Menurut data Asosiasi Pengusaha Tanggulangin (APTA), sebanyak 6.000 perajin tas tradisional terkena dampak tidak langsung musibah itu. Penjualan mereka melorot drastis, tepat setelah terjadi luapan lumpur. Kini yang masih berproduksi tinggal 1.500-an pekerka. Sepanjang 2008 ini, satu per satu perajin menutup usahanya lantaran sepi order.

    Sebelumnya, selama puluhan tahun, dapur ribuan perajin bertahan ngebul dengan memasok 340 gerai yang tersebar di tiga desa. Tapi gerai-gerai itu berjatuhan satu demi satu. Para pembeli, yang umumnya pelancong, enggan mampir ke tempat itu karena macetnya lalu lintas setelah jalur tol Surabaya-Porong tersumbat lumpur. Kini ruang pamer yang tersisa tinggal 80-an. ”Itu pun terus merugi,” kata Ketua APTA, Ismail Syarief.

    Pemerintah tak henti berupaya merelokasi industri kecil yang terkena dampak luapan lumpur. Sayang, proses relokasi ini tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab Lapindo dan pemerintah pusat. ”Itu menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,” ungkap Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, selaku Wakil Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, yang bertanggung jawab menangani dampak sosial semburan lumpur Lapindo.

    Terbatasnya bantuan pemerintah daerah memaksa pengusaha yang kuat secara finansial memilih melakukan relokasi sendiri. Misalnya dilakukan PT Karya Usaha Bersama. Perusahaan yang memproduksi jam tangan, jam dinding, dan jam meja ini pun akhirnya kesulitan karena terus-menerus menombok upah buruh. ”Terpaksa kami berikan dana talangan dulu. Jika hingga akhir tahun ini tidak juga segera dibayar, kami sudah tidak mampu lagi mengoperasikan perusahaan ini,” kata Santoso, General Manager PT Karya Usaha Bersama.

    Sejak banjir lumpur itu, perusahaan ini melakukan evakuasi dari pabrik lama di Desa Siring, Sidoarjo, ke pabrik baru di kompleks Surabaya Industrial Estate Rungkut. Sayang, menurut Santoso, pihaknya hanya mampu melakukan evakuasi mesin mesin kecil yang tidak permanen. Sedangkan mesin-mesin besar yang terpasang permanen tidak dapat diselamatkan. Bahan-bahan produksi setengah jadi pun ikut tenggelam. ”Otomatis kinerja kami tidak maksimal. Kini kami hanya memproduksi sekitar 15% dari produksi normal,” ujar Santoso.

    PT Karya Usaha Bersama, yang berdiri di atas tanah seluas 1,2 hektare dengan luas bangunan pabrik setengah hektare, merupakan salah satu dari 20 pabrik di Desa Siring, Kedungbendo, Jatirejo, dan Renokenongo yang tenggelam akibat lumpur Lapindo. Kata Santoso, pihaknya telah mengajukan klaim Rp 10 milyar sebagai biaya ganti rugi dan relokasi pabrik. ”Kami mengajukan klaim Rp 10 milyar, meliputi tanah, bangunan, perabotan pabrik, mesin-mesin, bahan-bahan produksi, serta barang setengah jadi dan barang jadi yang tidak bisa diselamatkan. Nilai tanah dan bangunan yang kami tentukan itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan ganti untung tanah dan bangunan milik warga,” paparnya.

    Santoso berharap, PT Lapindo Brantas segera menyelesaikan masalah ganti rugi perusahaan ini. Sebab ia tidak ingin perusahaan yang berdiri sejak 1991 itu kolaps begitu saja. ”Jika tidak segera dibayar, kami kesulitan keuangan. Bayangkan, setiap bulan kami harus mengalami kerugian Rp 10 juta-Rp 30 juta,” katanya.

    Budiman Raharjo, penjabat Kepala Sub-Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sidoarjo, ketika ditemui Gatra, tidak secara tegas menjelaskan proses penanganan korban Lapindo, khususnya industri. Menurut dia, memang dulu ada bantuan dari Presiden RI untuk program penanganan industri kecil sebesar Rp 10 milyar. Namun rupanya dana itu tidak terlalu berpengaruh bagi pemulihan ekonomi di lokasi bencana. ”Kini kami fokus memberikan bantuan fasilitas kepada mereka, misalnya dengan mengadakan pameran produk unggulan,” tuturnya.

    Heru Pamuji, dan Arif Sujatmiko (Surabaya)

    [Ekonomi, Gatra Nomor 49 Beredar Kamis, 16 Oktober 2008]

    http://gatra. com/artikel. php?id=119471

  • Indonesia’s Government Saves the Bakrie Empire

    Thursday, 16 October 2008 – Government companies step up to buy shares in a flailing family group.

    bakrie kartun

    As it has in the past, the Indonesia government stepped in Wednesday to stop the unravelling of the empire of the politically powerful Chief Welfare Minister Aburizal Bakrie with a deal to allow government-owned companies to buy shares in Bakrie concerns – and apparently let the Bakries stay in control.

    Shares in Bakrie & Brothers and its five subsidiaries, PT Bumi Resources, Energi Mega, Bakrieland, Bakrie Telecom and Bakrie Sumatera Plantation were suspended from trading on October 6 amid wild gyrations in their share price that wiped out 30 percent of their value, with a devastating effect on the rest of the local market. The Indonesian Stock Exchange was closed for three days amid the carnage after falling by 21 percent, the biggest fall in 20 years.

    The market reopened Monday but without the Bakrie companies, which remained suspended while the group said it was working on a deal to sell a raft of assets — including a stake in coal miner Bumi, at one time the biggest company on the exchange – to pay off $1.2 billion in debt. Shares in Bumi are down 74 per cent since their peak in June.

    However, the Minister for State Enterprises, Sofyan Djalil said Wednesday that state-owned PT Aneka Tambang and PT Tambang Batubara Bukit Asam would be allowed to buy shares in Bumi if they want, which almost certainly means they will. That way the Bakrie family may still be able to maintain control over the company despite a reduction in their 35 percent stake.

    That decision is likely to be greeted by less than enthusiasm on the part of the electorate, and could spell trouble for President Susilo Bambang Yudhoyono, who has made erasing corruption and cronyism a major goal of his administration, so far with less than notable success. Although he has moved up recently in the polls, Yudhoyono is locked in a close race with former President Megawati Sukarnoputri in the runup to the presidential election next April.

    While the Bakrie enterprises are hardly as important to Indonesia’s economy as Fannie Mae or AIG are to the US, the alternative to saving Bakrie is not saving him, something that could be politically unappetizing for Yudhoyono, who so far doesn’t appear to consider himself independently powerful enough to let the Bakrie group go.

    Despite the fact that he was a general himself, Yudhoyono got considerable backing for his 2004 election came from Kadin Indonesia, the Indonesia Chamber of Commerce, which has long-standing links to Sofyan’s State-Owned Enterprises Ministry.

    Kadin is a national network that reaches across Indonesia and although it isn’t a political party it is comparable in reach to Golkar, Megawati’s Indonesian Democratic Party of Struggle (PDIP) or Tentara Nasional Indonesia, the armed forces. Golkar, the biggest electoral party and once the vehicle of the late strongman Suharto, backed the former armed forces commanding general Wiranto, leaving Yudhoyono to look elsewhere for support. The chamber was important to his election plans and allowed him to cast himself as a friend of business.

    Bakrie is also close to Vice President Jusuf Kalla, a man in an uneasy relationship with Yudhoyono and who could easily turn into a presidential rival. Bakrie and Kalla represent an Indonesia of an earlier era that Yudyono can’t quite shake despite his best efforts, nor can Indonesia with its culture of corruption.

    Earlier this year, although scientists insisted the disaster was caused by dodgy work, the government took responsibility for the multi-billion dollar cleanup of Indonesia’s worst-ever environmental disaster, which occurred in 2006 when a gas well being drilled by PT Lapindo Brantas, a Bakrie-controlled company, blew out into a catastrophic mudflow that so far has displaced 75,000 villagers and wrecked a vast swath of territory in East Java. Bakrie has so far paid out Rp4 trillion to the displaced villagers.

    Whatever the rescue package looks like this time around, the power of the Bakrie Group will almost certainly be diminished, in the short term at least, as it struggles under a mountain of debt. There has been much speculation over the past year about Bakrie’s plans to rival Qatar Telecom for a stake in the country’s second biggest mobile phone player Indosat and do a deal with three local governments to eventually takeover the profitable Batu Hijau copper and gold mine, now operated by US mining giant Newmont.

    But the Bakrie family will instead be focused on disentangling itself from debt arrangements, where shares in its subsidiaries have been used as collateral. Those pledged shares, initially valued at US$$6 billion, slumped to US$1.35 billion on October 6, creating the current mess.

    While the focus has been on the Bakrie family, the impact of the global financial crisis on Indonesia is much broader. Investors around the world are now officially risk-averse, and that means pulling money out of emerging markets like Indonesia, despite its strong economic fundamentals and 6.5 percent annual gross domestic product growth.

    Earlier this week, the government boosted deposit insurance to cover accounts up to Rp2 billion (US$203,000) from Rp100 million previously, in a bid to avoid a run on the banks. Bank Indonesia has also eased the rules for banks raising short-term funds in an effort to increase liquidity.

    The government also reduced its forecast 2009 budget deficit to 1.3 per cent of GDP from 1.7 per cent. That means it will require less funds to finance the deficit as selling bonds is harder to do in the current environment with investors demanding significantly higher yields.

    Despite these measures, the market is expected to be volatile in the short-term, buffeted by other world markets and as it awaits a resolution on the Bakrie companies.

    Anton Gunawan, chief economist, Bank Danamon says the stock market regulator needs to crack down on speculative trading.

    “I think the stock market authorities need to go faster in trying to punish speculators who really disrupt the market,” he said. “That is the key thing that will bring back confidence.”

    “The jitters are still there. Domestic investors are also panicking. It’s not just the foreign investors who want to pull out.”

    (c) Asia Sentinel

  • JATAM: Jawa Timur Resmi Dicampakkan SBY

    Siaran Pers JATAM, 15 September 2008

    Penduduk Jawa Timur perlu berpikir ulang untuk ikut memilih dalam PEMILU 2009, apalagi mendukung partai-partai yang ada. Ini mengingat pemerintah angkat tangan atas upaya menutup semburan lumpur di kawasan eksplorasi Lapindo Brantas (JP, 12/08). Apalagi, mendengar rencana lumpur tersebut akan dibuang ke laut (Kompas, 13/08). Dan tak ada satupun, anggota DPR RI, maupun partai peserta PEMILU 2009 yang bereaksi terhadap rencana jahat itu. Ini memperlihatkan Kabinet SBY, maupun pemerintahan pengganti nantinya menjadi tidak relevan kehadirannya untuk Jawa Timur.

    Para ahli geologi yang tergabung dalam Driling Enginering Club (DEC) malah mempertanyakan sikap pemerintah. Mereka sangat optimis semburan ini dapat dipadamkan. Mengingat pengalaman para ahli drilling bersama Pertamina yang berkali-kali berhasil memadamkan blouw out. Selama ini usaha menutup lumpur Lapindo yang dilakukan hanya di permukaan saja, padahal sumber masalahnya ada di bawah tanah. Apalagi kerugian akibat luapan lumpur ini mencapai 92 Milyar per hari

    Luapan lumpur Lapindo yang telah berusia 2 tahun lebih, telah menenggelamkan 4 desa dan berdampak pada 9 desa lainnya dengan puluhan ribu korban ini tak diurus memadai, bahkan jauh dari rasa keadilan. Warga korban berkali-kali dijanjikan kabinet SBY-JK segera mendapatkan gantirugi, malah dihadapkan pada transaksi jual beli yang merugikan dengan penundaan pembayaran tak berkesudahan.

    Celakanya, tak ada sangsi hukum buat sang perusahaan, meski sekedar sangsi administrativ. Sebaliknya, keluarga Bakrie – sang pemilik utama PT Lapindo Brantas, yang menguasai industri tambang batubara, telekomunikasi dan duduk di jajaran kabinet SBY-JK, tak ada sangsi, tak terusik dan makin berjaya.

    Pemerintah membiarkan lumpur yang mengandung logam berat diatas ambang batas ini dibuang bebas ke kali Porong, tanpa perlakuan khusus, tanpa analisis resiko memadai. Akibatnya parah, tambak rusak, banjir mulai datang akibat tersumbatnya saluran air. Dan lagi, cara yang sama dipakai, membuang lumpur tersebut ke laut tanpa perlakukan khusus, tanpa analisa resiko memadai apalagi kesiapan secara sosial.

    Proses hukum kasus Lapindo disendat-sendat diantara lembaga penegak hukum, seolah membentur tembok dan tanpa masa depan yang pasti. Inilah puncak kelemahan kabinet SBY-JK, mencampakkan nasib warga Porong Sidoarjo sekitarnya dan menjadi tameng bagi keluarga pebisnis kakap di negeri ini, keluarga bakrie.

    Padahal, kasus Lapindo mewakili ancaman yang sama bagi kawasan Jawa Timur lainnya, yaitu kawasan eksploitasi minyak dan gas Cepu – Porong, yang meliputi beberapa kabupaten, mulai Bojonegoro, Lamongan, tuban, Mojokerto, Sidoarjo, Gresik dan Pasuruan serta kabupaten sekitarnya. Penduduk kawasan tersebut harus bersiap dengan resiko bencana serupa kasus Lapindo. Apalagi sejak kasus ini, tak satu pun kebijakan eksplorasi dan eksploitasi migas yang diperbaiki, untuk mencegah dan menangani hal yang sama.

    “Warga Jawa Timur perlu menentukan sikap terhadap saudara-saudaranya di Porong, yang telah berulang kali dipelakukan tak adil oleh SBY-JK dan seluruh kekuatan politik di negeri ini, yang berkontribusi terhadap ketidakadilan tersebut. salah satu yang paling dekat adalah memikirkan ulang dukungan mereka dalam PEMILU 2009”, kata Siti Maemunah, Koordinator Nasional Jatam.

    Kontak Media: Luluk Uliyah 08159480246

  • State Firms Teaming Up to Help Out The Bakries

    A number of state and private companies are exploring the possibility of forming a consortium to purchase a stake in the Bakrie family’s most valuable company and the world’s largest exporter of thermal coal, PT
    Bumi Resources.

    State miners PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA), PT Aneka Tambang (Antam) and PT Timah are in serious talks to seek a way of acquiring some 35 percent of the family’s Bumi stake, estimated at Rp 14 trillion (US$1.42 billion).

    Antam corporate secretary Bimo Budi Satriyo told The Jakarta Post Thursday some of the state firms involved were still studying the plan, and no progress had been reached thus far.

    “This is not going to be an easy decision. We want to make sure the purchase will benefit the companies. We also need to seek sources of funding,” he said.

    When asked about the exact time for the arrangement, Bimo said it depended on PTBA, which was the most active in trying to secure the stake as it bids to add its coal reserves into the firm’s portfolio.

    PTBA executives could not be reached for comment.

    State enterprises minister Soyfan Djalil said the deal would be based on a business-to-business agreement, and the government would not interfere, other than by approving the deal.

    “The state firms need to team up with the private sector to acquire the stake because the cost will be huge. This is a strategic decision for the companies to take. We will not interfere,” he said.

    The powerful Bakrie family, headed by none other than Coordinating Minister for the People’s Welfare Aburizal Bakrie, is being forced to sell assets to help settle financial obligations to a number of creditors.

    The family’s flagship PT Bakrie & Brothers, the nation’s largest publicly listed investment company, borrowed $1.43 billion in short-term loans between April and September from, among others, Oddickson Finance, JPMorgan, and India’s ICICI Bank for refinancing, funding investment and working capital.

    Shares in Bakrie units were put up as collateral, including in Bumi, plantation firm PT Bakrie Sumatra Plantation and energy firm PT Energy Mega Persada, whose subsidiary Lapindo Brantas sparked the massive mudflow disaster in Sidoarjo, East Java, in 2006.

    But the plunge in the value of the shares following the global financial downturn has sharply slashed the collateral value, forcing Bakrie to either pump in fresh capital or face the risk of losing control of the pledged shares.

    On Oct. 12, Bakrie & Brothers offered investors shares in its units to help raise some $1.2 billion to repay its debts.

    Bakrie announced late Thursday it had completed the first phase of the offering.

    Avenue Luxembourg SARL has taken an additional 15 percent stake worth $46 million in PT Bakrieland Development, and Longines Offshore Co. Ltd., through the Royal Bank of Scotland, has purchased a 5.6 percent stake worth $10 million in PT Bakrie Sumatra Plantation.

    Bakrie also announced that negotiations with a domestic consortium interested in buying PT Bakrie Telecom were still underway, as well as a discussion with a number of local and foreign strategic buyers for Bumi.

    Indonesia Stock Exchange (IDX) president director Erry Firmansyah said three Bakrie companies would be allowed to resume trading on Friday, as they were expected to submit a complete disclosure of the ongoing stake offerings.

    “We need to know how the restructuring process is being settled and who the buyers are. We will not lift the suspension until there is a clear disclosure,” he said, refusing to name the firms set to resume trading.

    Besides its prominent role at the helm of the country’s biggest business empire, the Bakrie family is also politically powerful, having helped finance President Susilo Bambang’s campaign in the 2004 presidential campaign. (iwp)

    Ika Krismantari, The Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/10/17/state-firms-teaming-help-out-bakries.html

  • Govt Mulls Helping Out Bakrie to Repay Favor

    The Bakrie family, headed by welfare minister Aburizal Bakrie, is unlikely to go bust any time soon, as the government ponders allowing state firms to buy stakes in the clan’s companies to help avoid a possible debt default.

    A failure by the family to secure immediate funding means it could risk losing the ownership of its crown jewel companies.

    State enterprises minister Sofyan Djalil said the government could allow state miners PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) and PT Aneka Tambang (Antam) to acquire stakes in Bakrie unit PT Bumi Resources, the nation’s biggest coal producer.

    “If they (PTBA and Antam) have the money to buy the shares and the price is good, we will let them,” Sofyan said after a meeting at the Presidential Palace on Wednesday.

    However, Sofyan, who served as President Susilo Bambang Yudhoyono’s campaign manager during the 2004 presidential election, denied reports the go-ahead to buy Bakrie shares was aimed at helping the group’s companies from being taken over entirely by other investors.

    On Oct. 12, Bakrie’s flagship PT Bakrie & Brothers, the country’s largest publicly listed company, announced the offering of shares in its units, including a 10 percent stake in publicly listed Bumi.

    The company claims the offering is aimed at helping raise some US$1.2 billion to pay all outstanding debts, some of which are not due for the next two years.

    While Bakrie remains deliberately vague about the reason for the early payment, there are widespread reports the company is in dire need of cash to help prevent shares of its firms pledged as collateral to creditors from losing their value as a result of the global financial meltdown led by the credit crisis in the United States.

    Bakrie & Brothers borrowed $1.43 billion in short-term loans between April and September from, among others, Oddickson Finance, JPMorgan, and India’s ICICI Bank for refinancing, funding investment and working capital.

    Shares in Bakrie units were put up as collateral, including in Bumi, plantation firm PT Bakrie Sumatra Plantation and energy firm PT Energy Mega Persada, whose subsidiary Lapindo Brantas sparked the massive mudflow disaster in Sidoarjo, East Java, in 2006.

    The value of the shares pledged was initially estimated at $6 billion, before plunging to $1.35 billion on Oct. 6, with creditors demanding Bakrie top up the covenant to assure the stake value remained intact, or risk being seized.

    With Bakrie refusing to disclose its debt arrangements, the Indonesia Stock Exchange is still suspending trading in the shares of six Bakrie companies, blamed by Finance Minister Sri Mulyani for exacerbating the recent havoc in the stock market.

    Help from the government will mean a lot for the Bakrie family, noting Aburizal’s role as a key financier of the Yudhoyono presidential campaign in 2004.

    Aburizal also played a major role in putting Vice President Jusuf Kalla, also chairman of the Golkar Party, on the national radar back in the 1990s when Kalla was a relatively unknown businessman from eastern Indonesia.

    While Kalla worked his way up the ladder, Aburizal was already an iconic native tycoon, locally termed pengusaha pribumi.

    If Sofyan Djalil does finally move to save the Bakrie business empire, it will be the third time the family has been rescued by the government; the first was a financial bailout during the late-1997 Asian financial crisis, and the second was over the Lapindo debacle.

    In response to questions over the troubles plaguing the empire, Aburizal merely said everything was actually in order.

    “Everything is secure,” he said before a meeting with Yudhoyono.

    Desy Nurhayati,  The Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/10/16/govt-mulls-helping-out-bakrie-repay-favor.html

  • Bupati Tuntut BPLS Segera Cairkan Lumpur Kali Porong

    Sidoarjo (ANTARA News) – Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, memberi batas akhir (deadline) dua pekan ke depan kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk menormalkan Kali Porong, Sidoarjo.

    “Kami sudah bertemu BPLS dan pihak yang menangani Kali Porong. Intinya, saya minta dalam dua minggu ini endapan lumpur di Kali Porong sudah mencair,” kata Bupati Sidoarjo kepada pers di Sidoarjo, Rabu (8/10).

    Win Hendrarso juga menunjukkan Surat Keputusan Bupati bernomor: 630/404.3.18/2008 perihal Tanggul Kali Porong yang ditekennya pada hari Selasa (7/10).

    Berdasarkan prediksi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Juanda, kata dia, Sidoarjo dan sekitarnya, dua pekan lagi akan turun hujan.

    Oleh karena itu, bupati berharap saat musim hujan tiba, endapan lumpur yang mengering di Kali Porong itu terbawa air ke laut.

    Ia mengkhawatirkan, bila endapan lumpur sepanjang kurang lebih 12 km itu tidak segera ditanggulangi, bakal menghambat aliran air pada musim hujan sehingga menyebabkan banjir.

    “Kondisi lumpur seperti itu sangat mengkhawatirkan, apalagi sekarang lumpurnya sudah mengeras,” kata Win Hendrarso yang beberapa hari lalu inspeksi mendadak (sidak) di lokasi endapan lumpur Kali Porong.

    Dalam pertemuan dengan BPLS dan Jasa Tirta di Pendapa Delta Wibawa Pemkab Sidoarjo, Selasa (7/10), juga dijelaskan langkah-langkah untuk mempercepat normalisasi.

    Pada kesempatan itu, BPLS mengaku sanggup menambah sedikitnya enam ekskaponton untuk mempercepat pengerukan endapan lumpur di Kali Porong.

    BPLS juga akan membuat saluran air di tengah permukaan Kali Porong yang tertutup lumpur. Begitu hujan turun, arus air dari barat akan mengalir dan bisa menggerus lumpur.

    Saat ini saluran air dibuat di sisi selatan Kali Porong sehingga menuai protes dari warga di selatan Kali Porong. Masalahnya, air tidak bisa mengalir, karena di tengah permukaan sungai tertutup lumpur. Bahkan, dikhawatirkan tanggul akan terkikis.

    Selain mendesak mempercepat normalisasi Kali Porong, Win Hendrarso juga minta BPLS segera membuat tanggul penampungan lumpur di Desa Renokenongo dan Glagaharum.

    Menurut dia, keberadaan kolam lumpur itu sangat mendesak karena berfungsi untuk menampung lumpur yang dialirkan ke sisi utara dan timur pusat semburan. Apalagi ketika pembuangan lumpur ke Kali Porong dihentikan seperti saat ini.

    Dengan adanya penambahan kolam lumpur baru, dia yakin kolam lumpur yang ada tidak akan jebol. “Saya sudah memerintahkan Camat Porong agar warga Glagaharum yang belum menerima pembayaran 20 persen mengizinkan tanah dan bangunannya digunakan untuk tanggul,” kata Win Hendrarso.

    Ia menjamin berkas-berkas warga Glagaharum yang belum menerima pembayaran 20 persen akan segera dibayar oleh Minarak Lapindo Jaya, anak perusahaan Lapindo Brantas Inc.

    Disebutkan pula, dari 403 bidang tanah dan bangunan milik warga Glagaharum, tinggal 116 bidang yang belum menerima pembayaran 20 persen.

    “Saya menjamin itu akan segera dibayar. Untuk itu saya minta warga memperbolehkan tanah dan bangunannya untuk dibuat tanggul,” katanya menandaskan.(*)

    © Antara

  • Tanggul Lumpur Ring Reno-Glagaharum Dibangun

    Sidoarjo, (ANTARA News) – Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mulai Senin (6/10) akan membangun tanggul ring luar penahan luapan lumpur Lapindo Brantas Inc. di area perbatasan Renokenongo-Glagaharum, Porong Sidoarjo.

    Staf Humas BPLS Ahmad Kusairi di Sidoarjo, Minggu mengatakan, pembangunan tanggul ring itu sekaligus penahan pond (kolam penampungan lumpur) yang akan dijadikan cadangan tempat pembuangan lumpur saat menormalisasi Kali Porong yang akan juga mulai dikerjakan pasca Lebaran ini.

    “Ketika normalisasi Kali Porong dikerjakan, pembuangan lumpur akan dilakukan ke pond-pond, termasuk pond Renokenongo yang dikuatkan dengan tanggul sisi luar yang sedang akan kami kerjakan pasca lebaran ini. Kalau tanggul luar bisa terealisasi, pembuangan lumpur ke pond akan aman,” katanya.

    Menyinggung masih adanya enam rumah yang bertahan (tidak mau dibebaskan) di area itu, Kusairi mengatakan pihaknya sudah melakukan pendekatan agar mereka mencapai kesepahaman dan siap meninggalkan rumah, pasca menerima realisasi uang muka ganti rugi 20 persen.

    Ia juga mengaku BPLS sudah meminta kepada PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) untuk segera merealisasikan pembayaran uang muka ganti rugi 20 persen kepada tiga rumah milik warga Renokenongo dan tiga rumah lainnya milik warga Glagaharum tersebut.

    “MLJ sudah berjanji akan komitmen membayar uang muka ganti rugi keenam aset itu pasca lebaran ini,” katanya menegaskan.

    Ia menambahkan bahwa dibangunnya tanggul ring luar Renokenonego-Glagaharum itu sangat penting agar lumpur tidak meluber ke kawasan di luar area peta terdampak. (*)

    © Antara

  • Kerja Komnas HAM Ungkap Kasus Lapindo Dihambat

    Jakarta (ANTARA News) – Komnas HAM mengungkapkan, upayanya menangani dugaan tindak pelanggaran HAM pada kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, telah dihambat sejumlah kalangan.

    “Banyak hambatan hukum yang kami alami,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh dalam diskusi buku “Tambang dan Pelanggaran HAM: Kasus Pertambangan di Indonesia 2004-2005” di Jakarta, Senin.

    Salah satu hambatan itu terjadi ketika Komnas HAM memasukkan hasil mediasi yang telah diupayakannya ke pengadilan, padahal langkah ini sudah sesuai dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

    Ridha meragukan kapasitas pihak penegak hukum tertentu yang tidak mengetahui bahwa Komnas HAM memiliki juga wewenang untuk merujukkan kasus itu ke lembaga pengadilan.

    Ridha sebenarnya mengungkapkan sejumlah hambatan lain yang dihadapi Komnas tetapi dia memilih menyebut klaim-klaimnya itu sebagai “off-the-record” atau tidak untuk dipublikasikan.

    Ridha bercerita, pada Agustus 2008 Komnas HAM dan pemerintah lintas kewenangan dari Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Sosial, dan Badan Pertanahan Nasional, mengadakan satu pertemuan mengenai hak-hak warga terkena dampak Lumpur Lapindo.

    Pertemuan itu menghasilkan keputusan bahwa pemerintah akan memediasi tuntutan kelompok warga yang menyetujui Peraturan Presiden (Perpres), warga di luar peta berdampak dan dengan warga Perumtas I.

    Untuk pendukung Perpres, pemerintah menyetujui pembayaran 20 persen kepada warga yang berkas administrasinya lengkap akan segera dituntaskan secepat-cepatnya.

    Pembayaran 80 lainnnya diberikan tunai dalam kurun satu bulan sebelum masa kontrak rumah selama dua tahun habis, sedangkan tanah yang dilepaskan akan menjadi tanah negara.

    Kepada korban lumpur di luar peta terdampak, pemerintah sepakat menyediakan fasilitas yang dibutuhkan warga yang berada di bawah wewenang Departemen Pekerjaan Umum, antara lain sarana air bersih dan drainase.

    Sedangkan terhadap korban lumpur di Perumtas I, pemerintah meminta warga segera melengkapi berkas-berkas yang diisyaratkan untuk pembayaran uang muka sebesar 20 persen.

    Komnas HAM sendiri telah mendesak PT Minarak Lapindo secepat-cepatnya membayar 20 persen kompensasi kepada warga yang berkasnya lengkap. (*)

    © Antara

  • Pengungsi Lumpur Lapindo PBP Kesulitan Kontrak Rumah

    Sidoarjo (ANTARA News) – Pengungsi korban luapan lumpur Lapindo di Pasar Baru Porong (PBP) Sidoarjo kini kebingungan tidak bisa mengontrak rumah, karena uang kontrak rumah dari PT Minarak Lapindo Jaya sudah habis untuk kebutuhan lebaran 2008 lalu.

    Informasi yang dihimpun ANTARA, Sabtu menyebutkan, mereka berharap uang muka ganti rugi 20 persen segera dicairkan agar bisa segera keluar dari PBP dan mengontrak rumah.

    Basuki Ahmad (45), salah satu pengungsi korban lumpur yang mengungsi di PBP mengatakan, uang Rp 2,5 juta yang diberikan PT MLJ, sudah habis untuk kebutuhan Lebaran 2008.

    Menurut dia, kebanyakan warga kini tidak memiliki uang untuk mengontrak rumah. Selain itu, uang sejumlah Rp2,5 juta, tidak cukup untuk mengontrak rumah layak huni.

    “Harga rumah kontrakan saat ini sudah mahal. Apalagi untuk kontrakan di sekitar Sidoarjo, sudah sulit didapat. Jadi, kami sangat membutuhkan realisasi uang ganti rugi sebesar 20 persen agar kami bisa segera pindah untuk mengontrak rumah,” katanya.

    Sementara itu Ketua Panitia Khusus (Pansus) lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo, Maimun Siradj mengharapkan agar pencairan ganti rugi sebesar 20 persen itu secepatnya direalisasikan.

    “Pengungsi saat ini amat membutuhkan uang tersebut untuk mengontrak rumah. Jika uang itu belum mereka terima, kemungkinan besar mereka belum bisa keluar dari PBP, karena mereka tidak memiliki uang untuk mengontrak rumah,” katanya.

    Menurut rencana sebanyak 565 Kepala Keluarga (KK) yang masih mengungsi di PBP berencana meninggalkan PBP usai Lebaran dan akan ditempati oleh pedagang, sekitar awal tahun 2009, setelah PBP direnovasi.

    Sementara itu, Staf Sosial Support PT MLJ, Suliyono mengatakan hingga saat ini realisasi ganti rugi sebesar 20 persen bagi pengungsi di PBP masih terus berlangsung.

    Ia menjelaskan, sebanyak 344 berkas dari 565 berkas sudah dilakukan penandatanganan akta jual beli, Selasa (7/10) dan Kamis (9/10) lalu dan uang bisa dicairkan paling cepat setelah 14 hari kerja sejak penandatanganan akta tersebut.

    “Proses realisasi uang muka 20 persen ganti rugi masih terus berlangsung. Kami sudah menyediakan dana sekitar Rp37 miliar untuk uang muka ganti rugi 20 persen bagi seluruh pengungsi korban lumpur yang berada di Pasar Baru Porong,” tambahnya.(*)

    © Antara

  • Pemerintah Jangan Pasrah Soal Lumpur Lapindo

    Sidoarjo, (ANTARA News) – Pemerintah tidak boleh menyerah dan bersikap pasrah tanpa mengambil tindakan untuk menghentikan semburan lumpur Lapindo yang terjadi sejak tahun 2005.

    Pernyataan itu disampaikan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Syafruddin Ngulma Simeulue kepada ANTARA, usai mengikuti salat Idulfitri bersama ratusan warga korban semburan lumpur di atas tanggul di Desa Ketapang, Porong, Sidoarjo, Rabu (1/10).

    Dia mengusulkan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengundang para ahli pengeboran ntuk membahas langkah-langkah yang bisa diambil guna menghentikan semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

    “Presiden bisa memanggil ahli-ahli “drilling” terbaik untuk membahas segala kemungkinan yang bisa diambil guna menutup semburan lumpur. Saya yakin para ahli pengeboran itu mengetahui langkah apa yang harus dilakukan,” katanya.

    Syafruddin menegaskan, Presiden memiliki kewenangan tertinggi untuk mengambil langkah-langkah terbaik untuk mengatasi semburan lumpur akibat pengeboran Migas Lapindo Brantas Inc.

    Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur itu meminta pemerintah berada di garis depan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi para korban.

    “Jangan membiarkan warga berhadap-hadapan langsung dengan Lapindo Brantas atau PT Minarak Lapindo Jaya dalam penyelesaian ganti rugi. Pemerintah yang harus berhadapan dengan kedua perusahaan itu untuk membantu warga korban semburan lumpur,” katanya menandaskan.

    Terkait kehadirannya mengikuti shalat Ied bersama warga korban semburan lumpur, Syafruddin mengaku sudah merencanakan datang menemui korban lumpur bersamaan dengan kegiatan mudik lebaran ke Pandaan, Pasuruan.

    “Sekalian saya ingin memantau hasil kesepakatan pemerintah dengan warga korban lumpur yang sudah dilakukan pada tanggal 29 Agustus 2008. Sejauh ini, belum ada tindak lanjut dari kesepakatan itu,” katanya.

    Kesepakatan itu di antaranya menyebutkan bahwa akan dilakukan pengikatan jual-beli yang di dalamnya terkandung pelepasan atas hak kepemilikan tanah bagi warga yang hanya memegang bukti berupa Petok D, Letter C dan SK Gogol.

    Tanah warga yang dilepaskan itu selanjutnya menjadi milik negara dan segera dilakukan pembayaran ganti rugi 20 persen bagi korban yang berkasnya sudah lengkap.

    Bagi warga korban lumpur yang berada di luar peta terdampak, pemerintah akan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan warga, seperti sarana air bersih, saluran pengairan, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan.

    Hanya saja, kesepakatan itu tidak menyebutkan batas waktu yang harus dipatuhi PT Minarak Lapindo Jaya dan Lapindo Brantas untuk memenuhi tuntutan warga korban Lapindo.

    “Karena itu kami secara intensif terus memantau di lapangan, untuk mengetahui tindak lanjut yang dilakukan pemerintah,” ujar Syafruddin.(*)

    © Antara

  • Geolog Internasional Bahas Lumpur Lapindo di London

    Jakarta (ANTARA News) – Lebih 100 pakar geologi dari berbagai universitas ternama di dunia, termasuk Indonesia, mengadakan pertemuan dua-hari mulai Selasa di London untuk membahas fenomena semburan Lumpur Sidoarjo, Jawa Timur.

    Hal tersebut disampaikan pakar dari Universitas Durham, Dr. Richard Davies, dalam jumpa pers di London, Senin, terkait konferensi internasional para ahli kebumian internasional dengan tema “Subsurface Sediment Remobilization and Fluid Flow in Sedimentary Basins”, kata Sunaryo Suradi, salah seorang peserta dari Indonesia kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.

    Menurut Sunaryo, Dr. Davies yang berinisiatif menyelenggarakan jumpa pers itu mengatakan lumpur Sidoarjo akan dibahas secara professional keteknikan dengan data-data hasil penelitian terkini.

    Sebanyak 40 pakar berkesempatan bicara dalam dua hari tersebut. Pada hari pertama 22 pakar kebumian akan mempresentasikan makalah yang fokusnya mempertanyakan mengapa sedimentasi di cekungan bawah tanah menjelma reaktif dan menyembur.

    Konferensi itu yang disponsori perusahaan minyak BP, Chevron, ConocoPhilips, DONG Energy, Oilexco, Shell dan StatoilHydro juga dihadiri Prof. Dr. Michael Manga dari Universitas California, Berkeley, Richard Swarbrick Geopressure Technology dan Dr. Bambang Istadi, pakar geologi yang bekerja pada PT Energy Mega Persada sebagai pembicara selain Dr. Richard Davies. Profesor Svensen dari Universitas Oslo sebagai pembicara kunci dalam acara itu.

    Sunaryo mengatakan semburan lumpur Sidoarjo sangat menarik perhatian pakar dunia dan hingga sekarang belum ada penjelasan tentang penyebab dan asal air, tekanan, volume dan material lumpurnya.

    “Acara pertemuan pakar geologi dunia ini sangat menarik dan penting bagi masa depan Porong, Jawa Timur,” katanya.

    Dalam konferensi pers itu suasana sempat memanas dan saling pamer analisa. Dr. Davies, misalnya, menyatakan bahwa temuannya menggunakan data asal Lapindo sendiri.

    Namun pernyataannya itu langsung disanggah dan dipertanyakan oleh Dr. Sawolo, kepala Drilling Sumur Banjar Panji (BJP I). “Data mana dan dari mana otorisasi untuk mendapat data itu, karena Lapindo merasa tidak pernah memberi data,” bantahnya.

    Yuniwati Teryana, wakil Presiden PR Lapindo Brantas Inc. juga mengatakan ia tidak pernah dimintai konfirmasi oleh Davies tentang masalah data tersebut.

    Fokus diskusi hari ini adalah menyangkut pemicu semburan lumpur Sidoarjo, bukan penyebab semburannya. Analisa pakar Internasional seperti Prof Dr. Michael Manga dari (University of California, Berkeley) , Dr. Richard Davies (university of Durham), Mark Tingay (university of Adelaide), Richard Swarbrick (Geopressure Technology)), dan Prof. Dr. Adriano Mazzini (University of Oslo) benar-benar akan menjadi tumpuan warga Porong dan landasan upaya penutupan semburan, kata Sunaryo.

    Terungkap dalam konperensi pers bahwa fenomena lumpur Sidoarjo akan sangat signifikan bagi geolog dunia karena setelah semburan besar 29 Mei 2006, ternyata muncul 99 semburan baru dan gerakan-gerakan tektonik lain. (*)

    © Antara

  • Lapindo Belum Bayar Uang Muka Korban Lumpur

    Sidoarjo (ANTARA News) – Warga korban luapan lumpur Lapindo Brantas Inc. baik yang mendukung program pembayaran ganti rugi dengan cash and carry maupun cash and resettlement kini makin resah, karena hingga kini belum mendapat transfer pencairan dana 20 persen uang muka.

    Sebelumnya, warga korban lumpur yang mengungsi di Pasar Porong Baru (PPB) juga resah, karena pasca Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) uang muka ganti rugi 20 persen, seharusnya 14 hari kemudian ditransfer, namun hingga kini tak kunjung masuk.

    Informasi yang dihimpun ANTARA News, Kamis menyebutkan, kini korban lumpur yang pro cash and resetlement pasca Pengikatan Perjanjian Jual Beli (PPJB) akhir tahun 2007 sampai penandatangan uang kembalian tahun 2008, juga mengaku belum dapat transfer uang kembalian dari PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ).

    Warga sudah mengkonfirmasi ke PT MLJ, namun hanya dijawab PT MLJ kini sedang terimbas dampak krisis global.

    Amir Suhadak, salah seorang warga yang mendukung cash and resettelement mengatakan, sebetulnya jawaban PT MLJ itu menambah keresahan warga, karena warga khawatir tidak dibayar.

    “Berdasarkan ketentuan yang tertulis, maksimal pembayaran dua bulan, setelah tanda tangan. Tapi, hingga kini uang kembalian belum masuk ke rekening kami,” katanya.

    Menurut dia, sebelum Lebaran 2008, dirinya pernah menanyakan masalah ini ke kantor PT MLJ di Surabaya, dan dijanjikan setelah Lebaran. Namun, ternyata hingga kini belum cair.

    Sementara itu, Vice President Relation PT Lapindo Brantas Inc (LBI) Yuniwati Teryana mengakui krisis global membawa dampak pada perusahaannya. Namun, PT LBI tetap akan mengutamakan tanggung jawab kepada warga.

    “Lapindo akan tetap melunasi ganti rugi korban lumpur. Tanggungjawab kepada korban lumpur akan tetap menjadi prioritas,” katanya berjanji. (*)

    © Antara