Author: Korban Lumpur

  • Akibat Lumpur Lapindo, Bangunan Bekas Ruko Ambles 6 Meter

    Akibat Lumpur Lapindo, Bangunan Bekas Ruko Ambles 6 Meter

    SIDOARJO—Semburan lumpur Lapindo tak henti menebarkan dampak-dampak lanjutan. Kali ini sebuah bangunan di Desa Jatirejo ambles hingga sekitar enam meter, mirip dengan amblesnya bangunan milik warga Desa Siring beberapa waktu lalu. Tempat kejadian berjarak kurang 50 meter dari Jalan Raya Porong, dan berdekatan dengan jaringan rel kereta api. Ini membuat pihak PT KA Daop VIII khawatir dan langsung melakukan pemeriksaan jaringan rel.

    Peristiwa amblesnya bangunan bekas ruko yang terletak di Desa Jatirejo RT 01/01 itu pertama kali diketahui Kariono, warga Jatirejo yang berada tak jauh dari lokasi, pada Rabu (20/10/2010). “Kejadiannya sekitar jam 06.00 pagi. Saya lihat bangunan bekas ruko itu ambles saat saya keluar dari rumah,“ cerita pensiunan TNI AD tersebut. Bangunan ini dulu pernah dijadikan usaha pembuatan kompor minyak oleh warga bernama Marwan. Di lokasi bekas bangunan ini juga terdapat bubble gas yang sudah lama menyembur dan sempat berhenti.

    Petugas Badan Penanggulanagan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang berada di tempat kejadian masih belum berani mengukur berapa kedalaman dan lebar penurunan tanah (land subsidence) yang mangakibatkan bangunan di atasnya ikut amblas. Land subsidence terjadi akibat gerowongnya tanah di bawah permukaan lantaran lumpur yang terus menyembur dari bawah. BPLS juga belum bisa mendeteksi semburan gas yang keluar karena kondisi tanah yang masih labil. Sampai saat ini, tempat kejadian diberi garis kuning oleh BPLS.

    Dengan amblesnya bangunan yang tidak jauh dari rel kerata api koridor Sidoarjo-Gempol tersebut, pihak PT KA masih menggunakan jalur kereta api tapi laju diturunkan menjadi 10 km/jam dari semula 20 km/jam. “Kami saat ini masih melakukan pemantauan secara intensif selama 24 jam. Jika penurunan tanah di sekitar rel kereta api ini semakin memburuk, kita akan terus berkoordinasi dengan BPLS,” ungkap Hary Soebagiyo, salah satu petugas PT KA Daop VIII, yang siang itu memantau di lapangan.

    Tidak pelak, amblesnya bangunan bekas ruko Pasar Buah Jatirejo itu membuat warga yang tinggal tidak jauh dari lokasi khawatir jika penurunan tanah meluas ke tempat mereka tinggal. Mbah Kasih, 80 tahun, terlihat cemas. Rumah Mbah Kasih tepat berseberangan dengan lokasi. Saat kejadian, perempuan yang tinggal dengan cucunya ini tidak tahu sama sekali. “Kulo pas kejadian mboten semerap. Semerap’e pas akeh tiang-tiang ningali (Saya pas kejadian tidak tahu sama sekali. Baru tahu pas banyak orang melihat),” cerita Mbah Kasih.

    Praktis saja kejadian tersebut membuat perempuan yang sehari-hari berdagang kopi ini ketakutan. “Kulo inggih wedi Mas. Lek omahku melok amles pisan yok opo? Padahal omahku enggak katut melok ganti rugi (Saya juga takut Mas. Kalo rumah saya ikut ambles juga bagaimana? Padahal rumahku tidak masuk peta ganti rugi),” kata Mbah Kasih. Desa Jatirejo RT 01/01 memang tidak tercakup dalam Peta Area Terdampak (PAT) sesuai Perpres 2007 sehingga warga tidak mendapatkan ganti rugi dalam pola jual beli tanah dan bangunan.

    Ketakutan serupa juga dialami Supriati. Jarak rumah Supriati dengan tempat kejadian kurang lebih 100 meter. “Saya jadi takut kalau dampaknya nanti bisa merembet ke rumah saya,” ujar janda 48 tahun ini. Dengan kejadian tersebut, Supriati yang berjualan nasi sejak 1995 ini berharap pemerintah lebih memperhatikan nasibnya dan warga yang lain, dan cepat mengambil tindakan.

    “Saya berharap pemerintah lebih memperhatikan nasib warga yang tinggal di sini. Saya pasrah saja ke pemerintah kalau mau direlokasi ataupun rumah saya diberi ganti rugi. Saya juga mau saja. Yang terpenting saya cepat pindah dari sini, biar bisa hidup lebih tenang,” ungkap Supriati.

    Hingga Kamis (21/10/2010), pihak PJKA masih terlihat berupaya melakukan penutupan semburan yang mengambleskan bangunan tersebut, agar penurunan tanah tidak berdampak pada rel kereta api. Humas BPLS, Ahmad Zulkanain, mangatakan BPLS akan membatu PJKA untuk berupaya menutup semburan tersebut dan memberikan wewenang penuh kepada PJKA untuk menangani semburan yang mengambleskan bangunan tersebut.

    “BPLS memberikan wewenang penuh kepada PJKA untuk menangani semburan di bekas ruko Jatirejo. Karena tanah itu punya PJKA. Kita akan membantu menyediakan material dan alat dalam upaya penutupan semburan itu,” ungkap lelaki yang biasa disapa Ijul ini. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Penyakit Ingkar Janji Lapindo Kambuh

    Penyakit Ingkar Janji Lapindo Kambuh

    SIDOARJO – Lapindo tampaknya memang mengidap penyakit ingkar janji yang akut dan mudah kambuh. Lagi-lagi PT Minarak Lapindo Jaya enggan membayar aset warga korban melalui skema cicilan Rp 15 juta/bulan. Sebelumnya PT MLJ tidak mentransfer cicilan selama lima bulan. Lalu menjelang Idul Fitri, PT MLJ hanya membayar cicilan Rp 5 juta, jauh dari angka yang dijanjikan. Dan hingga hari ini (18/10/2010), PT MLJ masih belum juga mentransfer uang cicilan ke rekening warga korban Lapindo.

    “Minarak itu sudah seenaknya tidak mencicil Rp 15 juta selama lima bulan. Dan sebelum lebaran Minarak hanya membayar Rp 5 juta. Sekarang sudah sebulan Minarak juga belum mentransfer,” ujar seorang warga Desa Ketapang, Tanggulangin, yang enggan disebut namanya.

    Bukan hanya itu, warga juga menyayangkan sikap Pemerintah yang seakan-akan tidak perduli dengan penderitaan warga. Meskipun Lapindo tidak mentranfer cicilan berbulan-bulan, Pemerintah seakan-akan tidak berdaya menghadapi Lapindo. Bahkan terkesan tidak perduli. “Lapindo sudah sering mengingkari janjinya untuk membayar cicilan, tapi sikap Pemerintah kok tidak perduli sama sekali. Seharusnya ‘kan pemerintah menekan Minarak,” ucap warga Ketapang yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang ojek tanggul tersebut.

    Tidak dibayarnya cicilan Rp 15 juta sesuai waktu yang telah disepakati membuat kebanyakan warga korban lumpur Lapindo kebingungan. Hamamik, warga asal Jatirejo, pusing saat rumah yang dikontraknya tersisa tinggal hitungan hari. Uang cicilan dari Minarak yang menjadi harapan keluarga Hamamik ternyata tidak kunjung dibayarkan. “Sudah sebulan Lapindo tidak membayar cicilan lagi. Apalagi tanggal 30 nanti masa kontrakan rumah saya mau habis. Kalau Lapindo tidak segera membayar cicilan, saya mau tinggal di mana? Sedangkan saya juga belum bisa membeli rumah,” kata pria yang sehari-hari juga mengojek di tanggul ini.

    Hamamik dan keluarga masih belum bisa membeli rumah lagi. Maklum saja, aset tanah dan bangunan miliknya masih tercatat satu surat dengan ketiga saudaranya. Artinya, jika Lapindo membayar Rp 15 juta/bulan maka harus dibagi empat orang. Praktis Hamamik hanya menerima sebesar Rp 3.750.000. “Dan uang itu selalu habis untuk kebutuhan sehari-hari dan buat biaya sekolah anak saya,” cerita Hamamik yang mengontrak di Perumahan Tanggulangin Angaun Sejahtra II (TAS) ini. “Sedangkan  saya sekarang tidak jualan susu lagi sejak Desa Jatirejo tenggelam. Jadi untuk kebutuhan sehari-hari, ya, mengandalkan cicilan dari Lapindo,” lanjutnya.

    Sementara itu, warga korban Lapindo yang tinggal di Desa Gempolsari, Tanggulangin, mengalami nasib lebih parah. Pasalnya sebanyak 20 warga sampai saat ini belum menerima ganti rugi 20 persen, padahal warga yang kebanyakan tinggal di RT 10/ RW 2 Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin,  termasuk dalam Peta Area Terdampkan  (PAT) versi Perpres 14/2007.

    “Sudah empat tahun lebih, tapi sampai saat ini saya masih belum menerima pembayaran ganti rugi 20 persen. Padahal berkas saya sudah ada di Minarak,” ungkap Suparno, warga yang kini terpaksa masih menempati rumahnya yang rawan di Desa Gempolsari. Hamamik, Suparno dan warga korban lumpur Lapindo lainnya berharap agar pemerintah lebih memperhatikan nasib mereka dan berani menekan Lapindo untuk melaksanakan tanggung jawabnya. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Warga Desak Transparansi Jaminan Kesehatan

    Warga Desak Transparansi Jaminan Kesehatan

    SIDOARJO – Warga timur tanggul lumpur Lapindo yang berada di Desa Besuki Timur, Jabon, mendesak pemerintah agar memberikan keterbukaan informasi mengenai jaminan kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan banyak warga mengeluh sulitnya memperoleh jaminan kesehatan gratis karena dinilai tidak ada dalam data pemerintah. Padahal mereka termasuk kategori miskin, apalagi setelah lumpur Lapindo melenyapkan sawah-sawah Desa Besuki.

    Hal tersebut terungkap dalam pertemuan warga Desa Besuki Timur dengan pihak Dinas Kesehatan Sidoarjo, Jumat sore (15/10/2010). Pertemuan yang diselenggarakan di salah satu rumah warga tersebut dihadiri sekitar seratus orang warga sekitar. Dr. Djoko Setijono, mewakili Dinas Kesehatan, mendapat berbagai pertanyaan dari warga, terutama mengenai Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

    “Jamkesda dikeluarkan oleh Pemprov Jatim,” terang Setijono. “Semua warga Jatim sudah dengan sendirinya memperoleh kartu Jamkesda warna abu-abu, artinya bebas biaya rawat jalan. Sedangkan bagi yang memperoleh Jamkesda warna biru, berarti bebas biaya rawat inap.”

    Warga juga bertanya mengenai layanan kesehatan khusus bagi korban Lapindo, terutama bagi warga Desa Besuki Timur yang tidak dimasukkan Peta Area Terdampak (PAT) oleh pemerintah maupun Lapindo. Warga merasa tidak ada informasi yang jelas dari pemerintah, padahal kondisi kesehatan lingkungan di sekitar tanggul kian memburuk.

    Menanggapi hal itu, Setijono mengakui memang tidak ada lagi pengobatan gratis bagi warga korban lumpur Lapindo. “Penanganan kesehatan gratis pernah ada pada awal-awal semburan, namun sekarang tidak ada lagi. Sekarang semua melalui program Jamkesmas dan Jamkesda,” ungkap Setijono yang kini juga menjadi PLT. Kepala Puskesmas Jabon ini.

    Pertanyaan banyak terlontar ketika membahas bagaimana penerima Jamkesmas dan Jamkesda ditentukan. Sebab, warga hanya tahu kartu Jamkesmas dibagi-bagikan langsung tanpa pengumuman soal pendataan sebelumnya. Sedangkan banyak warga yang miskin tidak menerima, yang menurut petugas dikarenakan tidak ada datanya. “Banyak warga yang tidak mempunyai kartu Jamkesmas,” ujar Abdul Rochim, salah satu warga Besuki. “Kami ingin tahu syarat-syarat mendapat Jamkesmas itu bagaimana. Kok katanya data dikirim dari bawah, tapi kami tidak pernah melihat ada pendataan di lapangan,” lanjutnya.

    Setijono menanggapi bahwa pihaknya tidak berwewenang mencetak kartu Jamkesmas atau Jamkesda. Pihaknya berposisi sebagai pelayan kesehatan. Penentuan penerima Jamkesmas/Jamkesda ada di pemerintahan pusat atau provinsi. “Data-datanya biasanya diambil dari statistik di kecamatan, yang kadang tidak dimutakhirkan,” terang Setijono. Misalnya, Jamkesmas 2010 didasarkan pada data 2007 atau 2008. “Makanya kadang ada penerima kartu yang bahkan orangnya sudah meninggal,” tambahnya. Karena itu, Setijono mengusulkan, jika ada pertemuan lagi, hendaknya pihak kelurahan atau kecamatan turut dihadirkan, agar bisa diklarifikasi langsung.

    Warga lainnya menanyakan soal layanan-layanan apa saja yang digratiskan. Sebagian yang hadir memang memiliki kartu Jamkesmas, namun kadang masih diminta bayar biaya-biaya obat tertentu. Ada warga yang mengalami diberi obat gratis, namun bayar suntikan. Ada yang disuruh beli obat di apotek luar. “Kalau Jamkesmas semua gratis, rawat inap sekalipun. Jamkesda tergantung kartu warna abu-abu atau biru,” ujar Setijono. “Memang kadang kami di Puskesmas tidak dikirim cairan atu suntikan dari gudang farmasi, tapi di rumah sakit semua lengkap. Jika ada masalah, bisa langsung komplain ke saya,” tambah Setijono.

    Pertemuan berlangsung selama kurang lebih dua jam. Merasa kurang lengkap, warga berencana akan menghadirkan pihak kelurahan dan kecamatan pekan depan. Selain itu, warga juga minta daftar tertulis obat atau layanan gratis bagi pemegang kartu Jamkesmas/Jamkesda. (vik/ba)

    (c) Kanal Newsroom

  • Anak Korban Lapindo Menerima Donasi Pendidikan

    Anak Korban Lapindo Menerima Donasi Pendidikan

    SIDOARJO – Sejumlah siswa SMPN 2 Jabon dan MTs Jawairul Ulum, Kecamatan Jabon, menerima bantuan donasi publik untuk pendidikan anak korban lumpur Lapindo. Penyerahan donasi gelombang kedua ini didistribusikan langsung kepada pihak sekolah dengan disaksikan pihak wali murid, Selasa (12/10/2010).

    Penerima donasi pendidikan pada tahap ini berjumlah 13 siswa. Kebanyakan mereka tinggal di  Desa Besuki Timur, Jabon, yang tidak dikategorikan Peta Area Terdampak oleh Lapindo maupun Pemerintah. Tujuh siswa bersekolah di SMPN 2 Jabon dan enam siswa berada di bangku MTs Jawahirul Ulum.

    Para wali murid merasa gembira dapat memperoleh bantuan publik yang digalang koalisi masyarakat sipil peduli korban Lapindo melalui Aksi Seribu Rupiah di berbagai kampus dan ruang publik di sejumlah kota di Indonesia, dari Aceh hingga Manado, tersebut. Chosin, orangtua murid dari M. Sulaiman yang kini duduk di bangku kelas 1 SMPN Jabon, mengungkapkan rasa terimakasihnya kepada masyarakat luas. “Saya sangat senang dan berterima kasih sekali anak saya sudah dibantu pendidikannya,”ucapnya.

    Chosin sehari-hari bekerja sebagai pedagang kupang keliling. Penghasilan ayah lima anak ini merosot tajam sejak lumpur Lapindo muncrat pada 29 Mei 2006. “Dulu saya bisa mendapat penghasilan kotor sekitar 80 ribu sampai 100 ribu rupiah. Tapi sekarang paling banter 50 ribu rupiah. Itu pun belum kepotong bensin. Dengan penghasilan segitu tidak cukup untuk membiayai kedua anak saya yang masih sekolah,” cerita pria berusia 47 tahun ini.

    Dalam kesempatan tersebut, Kepala Sekolah Mts Jawairul Ulum, Abdul Nafi, juga mengungkapkan kegembiraannya. “Saya mewakili Mts Jawairul Ulum sangat berterima kasih dengan bantuan biaya pendidikan ini. Kondisi anak-anak yang terkena dampak semburan lumpur memang memperhatinkan. Jadi mudah-mudahan bantuan pendidikan ini dapat meringankan beban para wali murid,” ungkap Nafi.

    Donasi yang diserahkan oleh perwakilan Posko Keselamatan Korban Lapindo tersebut sebesar Rp 3.150.000 untuk murid SMPN 2 Jabon dan Rp 2.004.000 untuk MTs Jawahirul Ulum. Dana tersebut mencakup biaya buku, uang ujian, dan biaya lainnya selama satu tahun ajaran. Pihak Posko masih akan terus mendistribusikan donasi publik ke anak-anak korban lumpur Lapindo yang telah dilanggar hak-haknya. Masyarakat luas bisa terlibat melalui Aksi Seribu Rupiah. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Mudflow Villagers Won’t Budge Without More Cash

    Mudflow Villagers Won’t Budge Without More Cash

    SURABAYA–Residents of three villages in Jabon subdistrict in Sidoarjo, East Java, have refused to leave their homes as part of a government plan to use the area as a reservoir for mud from the Lapindo mud volcano.

    Under an earlier agreement, residents of Pejarakan, Besuki, and Kedungcungkring villages were to leave after receiving 20 percent of the compensation promised to them by the government, with the rest to follow.

    However, the Sidoarjo Mudflow Mitigation Agency (BPLS) said on Tuesday that the residents were refusing to honor the agreement, despite have already received more than the initial 20 percent. (more…)

  • Sempat Terbakar, Gas Liar Mencemaskan Warga Tiga Desa

    Sempat Terbakar, Gas Liar Mencemaskan Warga Tiga Desa

    SIDOARJO – Lumpur Lapindo tak berhenti menyebarkan kecemasan warga yang kian meningkat selama sepekan terakhir. Belasan gas liar bermunculan di tiga desa, yakni Desa Besuki Timur, Desa Pejarakan, Kecamatan Jabon, dan Desa Mindi, Kecamatan Porong. Semburan gas liar bahkan sempat menyebabkan kebakaran, Rabu pagi (29/9/2010).

    Setelah muncul di dekat warung Desa Besuki Timur, di dalam rumah Desa Mindi, dan di pelataran sekolah Desa Pejarakan, gas liar bercampur lumpur menyembur di rumah warga di Desa Pejarakan, Rabu pagi (19/9/2010). Dewi Habibah, pemilik rumah, mengetahui adanya semburan di dalam rumahnya pada 09.00. Dewi tidak mengira kalau air itu disebabkan Lapindo.

    “Saya kira air yang keluar dari rumah saya itu berasal dari kamar mandi,” tutur Dewi. “Setelah saya cek, air seperti lumpur keluar dari kamar saya.”

    Dewi pun panik. Ia berteriak meminta bantuan warga di sekitar. Warga yang kebetulan berada di sekitar lokasi spontan berdatangan. Mereka membantu mengeluarkan perabotan milik Dewi. Dewi mengungsikan perabotan miliknya dan barang dagangannya ke rumah kerabatnya di Desa Sawahan, Porong.

    Seteleh kejadian itu, Dewi berencana akan mengungsi. “Kami sementara akan mengungsi dulu ke rumah saudara, dan cari rumah kontrakan sampai kita bisa membeli rumah kembali,” kata Dewi sembari sibuk mengeluarkan barang dagangannya.

    Desa Pejarakan, tempat Dewi tinggal, termasuk dikategorikan Peta Area Terdampak oleh pemerintah melalui Perpres 48/2008. Pembelian aset dengan dana dari APBN sudah dibayarkan 50 persen. Namun, Dewi dan keluarga masih belum bisa membangun rumah. Lagi pula, pembayaran 50 persen yang diterima Dewi hanya untuk bangunan, sedangkan tanah belum dibayarkan karena dianggap masih dalam sengketa.

    Pada hari yang sama, semburan gas juga muncul sekitar 100 meter arah barat rumah Dewi. Puluhan titik semburan gas menyembur di belakang rumah yang ditempati sekretariat Posko Keselamatan Korban Lumpur Lapindo, RT 13 RW 2, Desa Mindi. Bahkan, gas liar tersebut sempat menyebabkan kebakaran pada 09.30. Koordinator Posko, Bambang Catur Nusantara, menuturkan gelembung gas sudah bermunculan belakangan ini.

    “Sejak Sabtu kemarin (25/9/2010) sudah muncul. Dan sekarang kira-kira sudah 50 titik lebih gas liar yang muncul,” ujar Catur.

    Penghuni Posko segera mencoba memadamkan api dibantu warga setempat. Upaya pemadaman gagal, dan beberapa waktu kemudian pihak BPLS tiba di lokasi setelah dihubungi lewat telepon. Upaya pemadaman dilakukan dengan alat pemadam kebakaran ringan (APAR), namun masih tidak mampu memadamkan api. Zat kimia dan air kemudian disemprotkan ke titik-titik api. Setengah jam kemudian, api baru bisa dipadamkan.

    Gas yang terbakar mengandung gas methan yang mudah terbakar, kadarnya mencapai sekitar 34 % atau Low Explosive Limit (LEL). Sumur yang berada di dapur Posko juga mengeluarkan gas methan, yang kandunganya mencapai 20%.  Petugas BPLS hanya menyarakan agar penghuni tidak menyalakan api di dekat sumur, selain harus memberikan sirkulasi agar gas methan bisa keluar, tidak terperangkap di dalam. Gas liar juga sudah bermunculan persis di sebelah barat Posko.

    Selain memeriksa dan memberi saran, BPLS tidak memberikan penanganan secara serius. Bahkan bekas semburan yang terbakar tidak diberi tanda bahaya, BPLS hanya memasang tali pembatas semacam police line . Catur menyayangkan tindakan petugas BPLS yang dinilai lamban. “Seharusnya BPLS proaktif dalam penanganan bubble yang bermunculan akhir-akhir ini. Tidak hanya menangani sembuaran yang besar, akan tetapi semburan kecil yang mengandung gas methan yang mudah terbakar juga harus diperhatikan, agar tidak jatuh korban lagi seperti warga Siring,” ujar Catur.  (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Ironi TK Berprestasi di Kolam Lumpur

    Ironi TK Berprestasi di Kolam Lumpur

    Aloysius B Kurniawan – Tahun lalu, Siti Fatima, Kepala Sekolah Taman Kanak-kanak Dharma Wanita Pejarakan, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, terpilih sebagai kepala sekolah paling berprestasi se-Jawa Timur. Siti dan TK Dharma Wanita yang diasuhnya sebenarnya berpeluang dipromosikan sebagai TK berprestasi tingkat nasional.

    Namun, upayanya gagal karena satu syarat, kondisi gedung sekolah tempat ia bekerja semakin tak layak karena semburan lumpur Lapindo. Empat tahun sudah semburan lumpur Lapindo mengancam TK Dharma Wanita Pejarakan serta SDN Pejarakan yang berada dalam satu kompleks. Jumat (24/9), tiga semburan lumpur bercampur gas dan air muncul di belakang gedung. Karena kuatnya semburan, air bercampur lumpur sempat menggenangi bangunan sekolah hingga setinggi 15 sentimeter.

    Tak hanya itu, Rabu (29/9) dini hari semburan lumpur bercampur gas juga muncul di kamar mandi dan toilet SDN Pejarakan yang hanya beberapa jengkal jaraknya dari gedung TK. Karena bau gas yang menyengat dan mudah terbakar, Kepala SDN Pejarakan Mudzakir Fakir terpaksa memindahkan siswa kelas VI ke mushala. Jika kondisi semakin darurat, seluruh siswa akan dipindahkan ke kantor kelurahan setempat.

    Jumlah siswa menyusut

    Meski dikelilingi semburan lumpur dan gas, Siti dan para guru lainnya tetap setia mendampingi murid-muridnya. Mereka tetap berangkat sekolah seperti hari-hari sebelumnya.

    Menurut Siti, setelah lumpur menyembur tahun 2006 lalu, jumlah siswa yang ia asuh langsung menyusut. “Dulu jumlah murid asuh kami 70 anak dan kini tinggal 29 anak. Anak-anak pindah sekolah karena orangtua mereka semakin khawatir dengan kondisi lingkungan di sini,” ucapnya.

    Kondisi serupa juga dialami TK Dharma Wanita Besuki. Kepala Sekolah TK Dharma Wanita Besuki Yuliati mengatakan, jumlah siswa menyusut dari 100 anak menjadi 36 anak. “Karena sedikitnya siswa, kami juga kesulitan menggaji dua guru honorer kami. Kas sekolah sampai minus. Guru honorer terpaksa digaji Rp 215.000 hingga Rp 300.000 per bulan,” ujarnya.

    Sementara itu, penyusutan jumlah siswa juga dialami SDN Pejarakan. Empat tahun lalu jumlah total murid mencapai 164 siswa dan kini tinggal 114 siswa. Pihak sekolah bahkan sampai menyiapkan blanko pindah sekolah dalam jumlah banyak untuk mengantisipasi para siswa yang pindah sekolah secara mendadak.

    Camat Kecamatan Jabon Moch Solichin mengatakan, banyak tanah dan bangunan milik warga di Pejarakan yang telah mendapatkan ganti rugi dari pemerintah melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Namun, belum ada perhatian bagi fasilitas umum khususnya sekolahan di sekitar kolam lumpur Lapindo. Hingga saat ini, masih ada dua SD dan dua TK di Desa Pejarakan dan Besuki yang belum direlokasi.

    “Setiap hari para murid dan guru harus menghirup gas metan dan menghadapi ancaman semburan lumpur yang sewaktu-waktu muncul. Kami berharap ada upaya dari BPLS untuk mengecek kesehatan mereka secara berkala atau mengevakuasi mereka ke tempat yang lebih aman,” kata Solichin.

    Dalam Perpres No 48/2008 mengenai Perubahan atas Perpres No 14/2007 tentang BPLS Desa Besuki, Desa Pejarakan, dan Desa Kedungcangkring telah dinyatakan tidak layak huni atau area peta terdampak. Namun, hingga saat ini belum ada upaya baik dari BPLS maupun pemerintah pusat untuk merelokasi sekolah yang ada di kawasan itu. Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnain mengatakan, BPLS dan Pemkab Sidoarjo akan berkoordinasi untuk memutuskan relokasi sekolah-sekolah di area peta terdampak.

    Empat tahun semburan lumpur terus muncul dan makin mengancam para siswa dan guru yang setiap hari beraktivitas di dekat bibir kolam penampungan lumpur. Ironinya, pemerintah tak segera ambil kebijakan untuk segera mencarikan tempat belajar baru bagi para calon penerus bangsa yang beberapa di antaranya mengenyam pendidikan di TK berprestasi se-Jatim itu.

    (c) cetak.kompas.com

  • Kadin dan Republik Korporatokrasi

    Kadin dan Republik Korporatokrasi

    Firdaus Cahyadi  – Tanggal 24 – 25 September 2010 lalu mungkin menjadi hari yang sangat bersejarah bagi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Suryo Bambang Sulisto terpilih menjadi Ketua Umum Kadin menggantikan MS Hidayat yang sekarang menjadi menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid kedua.

    Arah kebijakan Kadin di bawah seorang ketua umum baru menjadi penting, bukan saja bagi pengusaha namun juga bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal itu dikarenakan pengaruh Kadin dalam percaturan politik nasional semakin kuat. Kuatnya posisi Kadin ditandai dengan diangkatnya mantan Ketua Umum Kadin menjadi menteri di Kabinet. Keberadaan Aburizal Bakrie di KIB jilid I dan MS Hidayat di KIB jilid II dapat dijadikan contoh dalam hal ini. (more…)

  • Semburan Gas Menyerbu Sekolah

    Semburan Gas Menyerbu Sekolah

    SIDOARJO—Lumpur Lapindo tak henti menebar terror. Kali ini semburan air bercampur gas muncul di SDN Pejarakan, Jabon, dan menggenangi pelataran gedung sekolah di sisi selatan tanggul ini. Pihak sekolah langsung membubarkan proses belajar mengajar dan memulangkan siswa-siswi.

    Halim Faris, tukang kebun sekolah, pertama kali mengetahui gar liar bercampur air itu sekitar pukul 03.00 dini hari, Selasa (28/9/2010). Tak berselang lama, air yang menyembur segera menggenangi halaman sekolah hingga setumit orang dewasa, dan terus menaik.

    “Awal mulanya, semburan gas ini muncul di pelataran parkir,” tutur Halim. Tapi, menurutnya, semburan di pelataran parkir pada hari Senin (28/9/2010) itu sebatas gelembung kecil. “Tadi pagi sudah bermunculan di halaman dan (semburan air) menggenangi halaman sampai tumit orang dewasa,” lanjut Halim.

    Kontan saja, proses belajar mengajar terganggu. Para siswa dan wali murid semula tidak tahu kalau air yang menggenangi pelataran sekolah itu berasal dari semburan gas liar. Begitu tahu, mereka kaget. “Saya baru tahu setelah guru olahraga saya memberi tahu kalau air itu berasal dari Lapindo,” ujar Vivi Andriani, siswi kelas 6, dengan polosnya. Para wali murid pun akhirnya berdatangan menjemput anak-anak mereka. Pihak sekolah langsung memulangkan para murid.

    Pihak sekolah berkoordinasi dengan Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Pendidikan Kecamatan Jabon untuk menindaklanjuti proses belajar mengajar yang terganggu. Mudzakkir Fakih, Kepala Sekolah SDN Pejaraka, mengatakan akan memindahkan proses belajar mengajar ke Kantor Balai Desa Pejarakan. Sedangkan peralatan sekolah diungsikan ke tempat yang lebih aman.

    “Untuk sementara waktu, proses belajar mengajar akan dipindahkan ke balai desa, sambil melihat perkembangan kondisi sekolah,” ucap Mudzakkir usai rapat dengan UPTD Dinas Pendidikan Jabon.

    M Mubasir, Kepala Cabang UPTD Dinas Pendidikan Kecamatan Jabon, mengatakan kegiatan sekolah terpaksa dipindahkan demi keselataman siswa dan guru. “Karena saya yakin gas yang keluar ini mudah terbakar,” katanya.

    Siswa dan guru pantas khawatir, tidak saja karena halaman sudah tergenang air bercampur gas, gedung sekolah ini pun nyaris dikelilingi bahaya. Sebelah utara gedung berbatasan langsung dengan tanggul Lapindo. Sementara di sebelah timur gedung, persisnya di sebelah barat pipa pembuangan lumpur (spill way), semburan air dan gas yang Jumat lalu (24/9/2010) muncul dalam skala kecil kini kian membesar. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • 8 of the Most Toxic Energy Projects on the Planet

    BP’s Deepwater Horizon disaster in the Gulf of Mexico served as a wake-up call for many of us who never before paid attention to the destructive energy projects happening all around the world. But while Deepwater Horizon may have attracted the lion’s share of media attention this past Spring and Summer, there are a number of other toxic projects still going on. Below, we look at some of the worst. (more…)

  • Pontang-Panting Tercerai di Pungging

    Pontang-Panting Tercerai di Pungging

    MOJOKERTO—Lumpur panas Lapindo yang menenggelamkan sejumlah wilayah di tiga kecamatan di Sidoarjo, yaitu Porong, Tanggulangin dan Jabon, telah mengusir penduduk dari kampung tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Akibatnya, ribuan jiwa tak jelas nasib dan kehidupan ke depannya. Mereka, korban Lapindo, tersebar di banyak kota di Jawa Timur antara lain Pasuruan dan Mojokerto.

    Salah satu keluarga yang pindah jauh dari desa asalnya adalah keluarga Muhammad Kusman. Keluarga dari pria 46 tahun itu kini tinggal di Desa Curahmojo, Pungging, Mojokerto. Sang kepala keluarga mengajak istrinya, Asriati (45) dan keenam anaknya tinggal di Desa Curahmojo pada 2007 lalu. Bukan pilihan keluarga asal Desa Jatirejo, Porong, itu menetapkan Mojokerto sebagai tempat tinggal baru, melainkan sebuah keterpaksaan, karena 20 persen uang ganti rugi pun belum diterima keluarga ini.

    Ya, Kusman memilih menolak Perpres 14/2007 yang hanya menganggap permasalahan lumpur Lapindo sebagai jual beli aset tanah dan bangunan warga yang tenggelam. Terlebih rumah di Desa Curahmojo itu memang rumah warisan dari orang tua Kusman yang diperuntukkan bagi Kusman dan saudara-saudaranya.

    Pontang-panting menata kembali hidup, Kusman dan Asriati tak kunjung mempunyai penghasilan tetap, bahkan hingga setahun berselang. Sewaktu di kampung asalnya, mereka bekerja di pabrik dan sebagai sampingannya mereka juga berternak kambing. Anak-anaknya yang masih kecil dan remaja mulai tak kerasan di sana dengan berbagai alasan. Anak pertamanya, Muhammad Prayitno (23), lebih memilih tinggal di rumah mertuanya di Prigen, Pasuruan. Anak kedua, Hari Mulyanto (19), memilih tetap tinggal di Sidoarjo tanpa kepastian.

    Hari Mulyanto tinggal dari rumah teman ke teman yang lain, dari rumah saudara yang satu ke saudara yang lain tanpa kegiatan berarti. Puncaknya, Hari yang waktu itu berusia 17 tahun terlibat kasus kecelakaan lalu lintas yang membuatnya mendekam di penjara selama enam bulan. Kini Hari bekerja serabutan di Kota Denpasar, Bali.

    Sementara anak ketiga, Muhammad Subkhan (17), tidak mau melanjutkan sekolah ketika waktu itu ia hendak masuk SMA. Seperti kedua kakaknya, Subkhan lebih memilih meninggalkan keluarganya di Desa Curahmojo dengan alasan yang sama: tak kerasan.

    ***

    Subkhan memulai pengembaraannya, yang waktu itu usianya baru menginjak 16 tahun. Subkhan bekerja serabutan, penghasilannya tidak cukup untuk makan dia seorang. Tak tega dengan keadaan Subkhan, pamannya yang juga korban Lapindo yang mengontrak rumah di Perumtas 2 Tanggulangin, Sidoarjo, pun mencarikan pekerjaan untuk Subkhan. Kondisi keluarga ini sungguh tercerai-berai.

    Akhirnya Subkhan menerima tawaran pamannya untuk berkerja sebagai penjual serabi di Gading Fajar, Sidoarjo. Usianya yang masih sangat muda kala itu memang labil. Subkhan mudah bosan karena merasa dikucilkan oleh teman kerjanya yang kebanyakan berusia 20 tahun ke atas. Hanya enam bulan ia bertahan sebagai penjual serabi.

    Sebulan Subkhan menganggur, ia kembali ditawari kenalannya untuk bekerja. Kali ini sebagai penjual es oyen di pusat kota Sidoarjo. Pengasilan dari berjualan es oyen bisa menghidupi ia seorang diri walau hanya cukup untuk makan. Penghasilan yang demikian pun tak membuat Subkhan bertahan lama. Ia mengatakan, suasana kerja yang membosankan menjadi alasannya utama kenapa ia meninggalkan pekerjaan itu. Ia bertahan hampir setahun sebagai penjual es oyen dan akhirnya kembali menganggur dan makan dari pamannya.

    Muhammad Subkhan merupakan tipikal anak korban Lapindo yang memilih tak melanjutkan sekolah karena tak tega melihat perekonomian keluarganya. Pemuda yang seharusnya kelas 3 SMA itu menjadi potret buruknya penanganan pendidikan oleh pemerintah untuk anak-anak korban yang orang tuanya berjibaku mencari uang di tempat tinggal mereka kini. Muhammad Subkhan tak seharusnya menelan pil pahit ini jika pemerintah melakukan tugasnya sebagai penyelenggara negara dengan baik. Di saat anak seusianya menikmati pendidikan dan mencari jati diri, Subkhan malah bersusah payah membanting tulang hanya untuk mencari sesuap nasi.

    Tinggal di rumah pamannya tanpa kegiatan yang berarti membuatnya juga tak betah. Keadaan yang memaksanya harus segera mencari pekerjaan pengganti. Tepatnya awal tahun 2009, seorang teman memberinya pinjaman DVD dokumentasi lumpur Lapindo untuk dijajakan ke tanggul penahan lumpur. Lokasi tanggul yang berada tepat di sebelah Jalan Raya Porong membuat pengguna jalan penasaran ingin melihat pusat semburan lumpur Lapindo.

    Ya, di situlah Muhammad Subkhan mengais rupiah sekarang. Penghasilan pun tak jauh beda dngan pekerjaan Subkhan dulu, tapi Subkhan merasa betah di sana walau hawa panas dan udara beracun menemaninya sehari-hari. Ia merasa dihargai oleh rekan sesama korban Lapindo yang kebanyakan berusia jauh di atas Muhammad Subkhan. Suasana kekeluargaan yang akrab antar korban juga membuat Subkhan kerasan.

    ***

    Saat saya menemui Subkhan di tanggul lumpur di Desa Ketapang, Tanggulangin, ia bersaing dengan puluhan orang yang berprofesi sama dengannya yang juga menjual DVD Lapindo. Ada yang jadi tukan ojek keliling tanggul juga. Di hari lebaran, ia lebih memilih untuk tetap berjualan DVD daripada menemui orang tua dan adik-adiknya di Desa Curahmojo, Pungging, Mojokerto. Subkhan mengatakan, hanya di hari inilah banyak pengguna Jalan Raya Porong yang berhenti dan naik ke tanggul untuk melihat lumpur Lapindo dan akhirnya membeli DVD.

    “Banyak orang rekreasi setelah lebaran dan mampir ke tanggul,” kata Subkhan. Subkhan menambahkan, sebelum dan setelah lebaran ia bisa mengantongi 50 ribu sampai 70 ribu rupiah perhari. Tapi dihari biasa, lanjut Subkhan, ia hanya mendapat 15 ribu rupiah. “Tak dapat sepeser pun sering,” ungkapnya.

    Hari Senin (12/9/2010), atau tiga hari setelah lebaran Subkhan mengajak saya untuk ikut ke rumah orang tuanya di Curahmojo, Pungging, Mojokerto. Tak ada oleh-oleh khusus untuk keluarga di sana. Subkhan hanya mengenakan celana pendek dan kaos hitam bertuliskan “kelelawar malam” di dada serta bersendal jepit. Bahkan ia tak memakai helm. “Bapak ambek ibuk pasti eroh nek keadaanku selama nang Porong yo susah (Bapak dan ibu pasti tahu kalau keadaanku selama di Porong juga susah),” katanya sebelum berangkat. Keadaan tersebut dibenarkan olehnya untuk tak membawa sesuatu untuk keluarganya.

    Perjalanan pun kami mulai tanpa persiapan berarti menggunakan sepeda motor. Sepanjang perjalanan, Subkhan tak hentinya menghisap rokok. Dalam perjalanan ini, kami disuguhi pemandangan hijau persawahan yang jarang kami lihat apalagi persawahan di Porong, Tanggulangin dan Jabon telah lama tenggelam oleh lumpur Lapindo.

    Subkhan tak henti memandu saya menunjukkan jalan mana yang harus kami lewati. Ingatan Subkhan sangat tajam, walau banyak kelokan di kampung-kampung dan sawah-sawah menuju Desa Curahmojo, tak sekali pun kami salah mengambil tikungan. Subkhan mengaku kalau lebaran tahun kemarin ia tak pulang menemui keluarganya.

    Sekitar 45 menit perjalanan kami tempuh, kami tiba di sebuah desa yang cukup sunyi senyap. Jarak rumah satu dan rumah lainnya cukup jauh. Banyak hewan ternak yang juga lalu-lalang di jalan desa itu. Terlihat di kejauhan sebuah bangunan yang cukup mencolok, itu satu-satunya bangunan berpagar di kampung itu. Setelah dekat, pagar di bangunan itu bertuliskan “Balai Desa Curahmojo Kec. Pungging Mojokerto.”

    Saya pun berspekulasi kalau rumah keluarga Subkhan sudah dekat. Tapi saya salah, kami masih harus melewati persawahan lagi dan kebun-kebun warga.

    “Oma werno puteh ngadep ngalor iku langsung mlebu ae (Rumah warna putih menghadap utara itu langsung masuk saja),” kata Subkhan yang menjadi tanda untuk mengakhiri perjalanan ini. Ketika mendengar suara sepeda motor, penghuni dalam rumah sangat sederhana itu keluar. Tiga adik perempuan Subkhan keluar menyambut kami. Subkhan pun mempersilahkan saya masuk. Saya duduk di ruang tamu di rumah berukuran 3×6 meter itu.

    Di hari ketiga setelah lebaran, suasana lebaran tak terasa di situ. Tak ada kue lebaran di meja ruang tamu. Yang ada hanya ayam peliharaan keluarga ini yang keluar masuk rumah. Di dalam rumah pun becek, karena turun hujan semalam. Ya, rumah itu berlantaikan tanah. Perbincangan terjadi antara Subkhan dan adik perempuannya di dalam. Saya tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, saya pun tak bertanya. “Ibuku sek nang sawah (ibuku masih di sawah),” kata Subkhan sambil mendatangi saya.

    Lama berselang, Asriati, ibu Subkhan datang. Kakinya kotor penuh tanah liat dan menunjukkan kalau ia habis dari sawah. Tubuhnya terlihat cukup kurus jika dibandingkan terakhir saya ketemu dengannya sekitar empat tahun lalu. Suasana lebaran baru terasa kala Subkhan menjabat tangan ibunya dan menciumnya. Asriati tampak senang dengan kedatangan Subkhan. Asriati ijin kepada saya dan Subkhan untuk membersihkan kakinya sebentar.

    Tak lama, ia kembali dengan membawa dua gelas teh hangat untuk kami. “Yo iki omae Subkhan (Inilah rumahnya Subkhan),” kata Asriati sambil tersenyum. Seperti lebaran-lebaran terdahulu, di lebaran kali ini pun tak ada tetangga dari Desa Jatirejo di mana keluarga ini berasal yang datang untuk bersilaturrahmi.

    “Sepi, ga onok tonggo Jatirejo seng mrene (Sepi, tak ada tetangga dari Jatirejo yang ke sini),” kata Asriati. Pantas saja, karena tak banyak yang tahu di mana keluarga ini sekarang tinggal. Asriati mengatakan, ia sering menangis ketika ia ingat rumahnya di Jatirejo yang baru keluarga ini tempati selama dua bulan. Saya pun ingat bagaimana jerih payah keluarga ini untuk mendirikan sebuah rumah. Secara fisik rumahnya dulu sudah layak huni dan telah ditempati selama dua bulan sebelum akhirnya terendam bersama ribuan rumah lainnya oleh lumpur.

    Romantisme Idul Fitri yang diidamkan setiap umat Islam tak saya temui di keluarga ini. Tak hanya terpisah dari tetangga dan saudara, tetapi Asriati juga tercerai dari anak-anaknya. Hanya anak pertama yaitu Muhammad Prayitno yang tamat SMA. Karena saat Prayitno sekolah, keluarga ini masih tinggal di Desa Jatirejo, Porong. Sementara Hari Mulyanto dan Muhammad Subkhan putus sekolah karena perekonomian keluarga berantakan pasca rumah mereka tenggelam lumpur Lapindo. Masih ada tiga anak lagi di keluarga ini yang masih sekolah. Akankah mereka bernasib sama seperti Hari dan Subkhan dan terpaksa bekerja untuk membantu keluarga, atau setidaknya untuk makan mereka sendiri? (fahmi)

    (c) Kanal Newsroom

  • 50 Hari Menginap di Gedung Dewan, Tuntutan Warga Masih Diabaikan

    50 Hari Menginap di Gedung Dewan, Tuntutan Warga Masih Diabaikan

    SIDOARJO—Genap 50 hari bertahan di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo, warga korban lumpur Lapindo menggelar mimbar bebas. Hingga hari ini, tuntutan sisa pembayaran 80 persen aset tanah dan bangunan warga tidak digubris. Pihak PT Minarak Lapindo Jaya, Bupati Sidoarjo, maupun Panitia Khusus (Pansus) Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo, tidak memberikan kejelasan apapun bagi warga.

    Warga mengharapkan Pemerintah dan DPRD Sidoarjo bisa memperjuangkan aspirasi mereka. Namun, hingga 50 hari ini warga tidak memperoleh kejelasan. Warga mengungkapkan kekecewaannya melalui aksi mimbar bebas. “Pada awal-awal kami melakukan aksi di sini hanya ditemui Bupati dan Ketua DPRD. Tapi setelah itu dan sampai sekarang tidak ada yang menemui kami,” kata Wiwik, warga Desa Siring, saat melakukan orasi, Jumat (25/9/2010).

    “Lek DPRD enggak isok ngurusi mending bubar ae. Percuma dadi anggota dewan, mending macul ae,” (Kalau DPRD tidak bisa mengurusi nasib warga, mending bubar saja. Percuma dadi anggota dewan, mending mencangkul saja),” sahut Nanik Lestari, yang juga turut bertahan di gedung dewan.

    Kecewaan warga semakin memuncak saat mengetahui bahwa semua anggota dewan Sidoarjo melakukan kunjungan kerja ke sejumlah daerah, sejak 20 September. Hal ini sangat disayangkan oleh koordinator aksi M. Zainul Arifin. “Kami berharap kepada dewan agar memperjuangkan nasib kami. Tapi kok malah bepergian,” tandas Zainal.

    Bukannya diberi jawaban atas tuntutannya, warga justru terkesan diusir. Kepala Kepolisian Resor Sidoarjo menyarankan agar warga membubarkan diri. Alasannya, pada Oktober nanti akan diselenggarakan pelantikan bupati dan wakil bupati Sidoarjo terpilih.

    “Kemarin kami dipanggil Kapolres. Beliau menyarankan kami agar untuk sementara membubarkan aksi kami. Alasannya untuk menghormati pelantikan bupati,” kata Zainal di tengah-tengah orasinya. Warga tetap menolak bubar. “Kami tidak akan membubarkan diri sampai ada kejelasan tuntutan kami,” tegas Zainal.

    Zainal melanjutkan, jika pihak kepolisian tetap membubarkan paksa, warga akan pindah ke kantor gubernur di Surabaya. “Jika pihak kepolisian bersikeras, kami akan pindah ke gubernur dengan berjalan kaki ke Surabaya, agar rakyat tahu penderitaan kami,” ujarnya.

    Menjelang azan magrib, melalui mimbar bebas warga menghimbau kepada masyarakat Indonesia untuk ikut memperhatikan penderitaan korban lumpur Lapindo, “Kami menghimbau kepada masyarakat indonesia untuk ikut mendukung aksi kami dan bersama-sama menekan Presiden untuk segera mengambil alih penanganan korban lumpur Lapindo. Karena selama empat tahun lebih Lapindo mengabaikan tanggung jawab yang sudah diatur dalam Perpres 14/2007,” kata Zainal. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Semburan Gas Liar Kembali Meneror Warga

    Semburan Gas Liar Kembali Meneror Warga

    SIDOARJO – Semburan lumpur dan gas liar lagi-lagi bermunculan serentak di sejumlah titik di sekitar kawasan lumpur Lapindo. Setelah menyembur di rumah warga Desa Mindi, Porong, Kamis lalu (23/9/2010), kali ini semburan lumpur dan gas muncul di belakang sebelah timur gedung SDN Pejarakan, di tiga titik sekaligus. Semburan juga timbul di persawahan Desa Besuki Timur, Jabon.

    Semburan lumpur dan gas di persawahan Desa Besuki Timur pertama kali diketahui Satpam yang sehari-hari bertugas di tanggul 42, pada Jumat malam (24/09/2010) sekitar pukul 19.30. Salah satu warga Besuki menceritakan, awalnya bau gas menyebar dan tidak berselang lama lumpur menyembur secara tiba-tiba.

    “Lumpur menyembur mencapai ketinggian sekitar 1 meter, dan semakin lama semakin membesar,” cerita Selamet, salah satu warga Besuki Timur yang menyaksikan semburan baru tersebut.

    Semburan yang tidak jauh dari warung milik Mariati itu sempat membuat takut pemilik warung yang biasa berjualan nasi. Mariati sempat mengungsikan barang-barangnya.

    Warga Desa Besuki juga menghawatirkan kalau semburan lumpur yang keluar di sebelah timur bekas Jalan Tol Surabaya-Gempol ini akan menenggelamkan desa. “Kalau semakin lama semakin besar kami takut semburan itu bisa menengggelamkan desa kami,” kata salah satu warga Besuki Timur yang enggan disebutkan namanya.

    Ahmad Zulkarnain, Kepala Humas Badan Penangulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), menyatakan, semburan yang berdiameter sekitar 4 sampai 5 meter ini tidak tidak akan membesar. “Semburan yang muncul ini akan mengecil sendiri seminggu sampai sebulan. Apalagi semburan ini muncul di ruang terbuka. Gas yang ikut keluar tidak akan terperangkap dan kecil kemungkinan akan terbakar,” kata Zulkaranin.

    BPLS akan tetap melakukan monitoring jika lumpur semakin membesar.“Kami akan melakukan monitoring. Jika semakin membesar kita akan melakukan penanganan lebih lanjut. Tapi biasanya semburan yang mengeluarkan material pasir dan gas ini akan mengecil dengan sendirinya,” tambah Zulkarnain saat dihubungi lewat telepon. (vik)

     

    (c) Kanal Newsroom

  • Bangunan Pasar Porong Lama Dibongkar Penjarah

    Bangunan Pasar Porong Lama Dibongkar Penjarah

    SIDOARJO – Bangunan Pasar Porong lama dipreteli dan dijarah pencuri. Sejumlah bagian bangunan hilang tak berbekas. “Aksi penjarahan seperti sudah direncanakan. Pelakunya ratusan orang,” kata Sujono warga Mindi, Kecamatan Porong, yang dekat dengan lokasi pasar, Rabu (25/8).

    Aksi penjarahan bahan bangunan terjadi sejak pedagang direlokasi ke Pasar Porong baru tiga bulan lalu. Meski telah direlokasi masih ada sejumlah pedagang yang berjualan. Namun, pada saat pasar sudah sepi, para penjarah beraksi membongkar bangunan pasar.

    Pelaku mempreteli rolling door, kayu yang menjadi rangka bangunan, jendela, daun pintu, dan bahan bangunan lain. Pelaku membawa peralatan, seperti palu dan linggis. Dalam menjalankan aksinya, pelaku berkelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 15-20 orang.

    Hasil jarahannya diangkut menggunakan kendaraan pick-up dan truk. Warga setempat tak berani menghentikan aksi tersebut. Sebab, pelaku mengancam warga yang mengetahui aksi mereka. Sebelumnya, warga melaporkan aksi penjarahan ini ke Kepolisian Sektor setempat. Namun, hingga kini tak ada penindakan. Bahkan polisi selalu datang terlambat setelah menerima laporan warga, dan para pelaku sudah tidak ada di tempat.

    Anggota Komisi Perekonomian dan Kuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo Muhammad Sugianto meminta Pemerintah Kabupaten Sidoarjo segera mengamankan aset bangunan pasar Poronglama tersebut. Jika dibiarkan seluruh bangunan habis tak berbekas. “Penjarahan bisa dihindari jika diantisipasi sejak awal,” ujarnya.

    Pemkab Sidoarjo seharusnya menurunkan petugas untuk menjaga dan mengamankan seluruh aset di pasar lama tersebut.

    Pemindahan pasar, selain karena letaknya yang terlalu dekat dengan Jalan Raya Porong, juga terancam ditenggelamkan lumpur Lapindo. (EKO WIDIANTO)

     

    (c) TEMPO Interaktif

  • Rp 1,19 Triliun untuk Lapindo Masih Belum Jelas

    Rp 1,19 Triliun untuk Lapindo Masih Belum Jelas

    JAKARTA–DPR diminta berhati-hati menyikapi rencana pemerintah menambah Rp 700 miliar untuk me-recovery kerusakan yang ditimbulkan luapan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Sebab, anggaran Rp 1,26 triliun yang akan digelontorkan pemerintah tersebut hanya akan menggerogoti uang negara.

    “Alokasi dan status dananya harus jelas. Apakah dana yang akan digunakan itu berbentuk dana talangan ataukah dana murni yang memang menjadi beban negara. Jika bentuknya talangan boleh-boleh saja karena ganti rugi untuk masyarakat sangat mendesak dan nanti pihak Lapindo akan membayar ke negara,” kata Direktur Eksekutif Walhi, Berry N Furqon, kepada Rakyat Merdeka Online sesaat lalu (22/9).

    Menurut Berry, alokasi anggara Rp 1,19 triliun pada tahun 2010 saja tidak jelas. Tidak ada alokasi untuk upaya penutupan semburan lumpur. Pengalokasian anggarannya bukan upaya langsung kepada menjamin keselamatan warga.

    “Jika statusnya tidak jelas ini hanya akan menggerogoti uang negara saja. Dimana tanggung jawab PT Lapindo-nya,” tuturnya mempertanyakan.

    Sebenarnya sudah banyak indikasi yang memperlihatkan PT Lapindo Berantas tidak memiliki niat baik untuk menyelesaikan permasalahan ini. Mereka misalnya, sudah dua tahun tidak melunasi ganti rugi sesuai tenggat waktu yang diberikan pemerintah. Sesuai Perpre 48/2008 mestinya perusahaan milik keluarga Bakrie ini sudah selesai membayar ganti rugi pada April 2009.

    “Sebaiknya jangan tanggung-tanggung lagi. Itu kan Keppres, mestinya harus diambil tindakan hukum dan politik. Sita seluruh aset Lapindo. Termasuk aset beberapa sumur milik mereka yang beroperasi. Jangan sampai terus menguntungkan PT Lapindo,” demikian katanya lagi. [guh]

    –Ade Mulyana

    (c) Rakyat Merdeka

  • PT Minarak Lapindo Tolak Tuntutan Korban Lumpur

    PT Minarak Lapindo Tolak Tuntutan Korban Lumpur

     

    JAKARTA–DPR diminta berhati-hati menyikapi rencana pemerintah menambah Rp 700 miliar untuk me-recovery kerusakan yang ditimbulkan luapan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Sebab, anggaran Rp 1,26 triliun yang akan digelontorkan pemerintah tersebut hanya akan menggerogoti uang negara.

    “Alokasi dan status dananya harus jelas. Apakah dana yang akan digunakan itu berbentuk dana talangan ataukah dana murni yang memang menjadi beban negara. Jika bentuknya talangan boleh-boleh saja karena ganti rugi untuk masyarakat sangat mendesak dan nanti pihak Lapindo akan membayar ke negara,” kata Direktur Eksekutif Walhi, Berry N Furqon, kepada Rakyat Merdeka Online sesaat lalu (22/9).

    Menurut Berry, alokasi anggara Rp 1,19 triliun pada tahun 2010 saja tidak jelas. Tidak ada alokasi untuk upaya penutupan semburan lumpur. Pengalokasian anggarannya bukan upaya langsung kepada menjamin keselamatan warga.

    “Jika statusnya tidak jelas ini hanya akan menggerogoti uang negara saja. Dimana tanggung jawab PT Lapindo-nya,” tuturnya mempertanyakan.

    Sebenarnya sudah banyak indikasi yang memperlihatkan PT Lapindo Berantas tidak memiliki niat baik untuk menyelesaikan permasalahan ini. Mereka misalnya, sudah dua tahun tidak melunasi ganti rugi sesuai tenggat waktu yang diberikan pemerintah. Sesuai Perpre 48/2008 mestinya perusahaan milik keluarga Bakrie ini sudah selesai membayar ganti rugi pada April 2009.

    “Sebaiknya jangan tanggung-tanggung lagi. Itu kan Keppres, mestinya harus diambil tindakan hukum dan politik. Sita seluruh aset Lapindo. Termasuk aset beberapa sumur milik mereka yang beroperasi. Jangan sampai terus menguntungkan PT Lapindo,” demikian katanya lagi. [guh]

    –Ade Mulyana

    (c) Rakyat Merdeka

  • Lebaran Tanpa Sangu, Tanpa Tamu

    Lebaran Tanpa Sangu, Tanpa Tamu

    SIDOARJO — Gema takbir berkumandang, menandai masuknya Idul Fitri. Semua umat Islam merayakan kemenangan setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Gebyar kembang api tampak susul menyusul di kompleks Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) II, Sidoarjo. Semua seolah bergembira. Tapi tidak dengan Sunaryo, warga korban Lapindo asal Desa Jatirejo yang tinggal di perumahan ini dengan status ngontrak.

    Dengan hati yang gundah, Sunaryo merasakan datangnya lebaran. Tidak seperti warga Perumtas lainnya, Cak Sun justru menutup rumahnya rapat-rapat, bahkan hingga lebaran hari kedua. Cak Sun tidak menerima tamu. Ia dan istrinya, Isnaini, merasa malu tidak mampu menyajikan kue-kue lebaran untuk tamu.

    Kedua anak Cak Sun pun tidak bisa memakai baju baru seperti anak-anak lainnya. Cak Sun tak punya uang untuk membelikannya. Pria 38 tahun ini sudah lama mengganggur sejak lumpur panas Lapindo menenggelamkan Jalan Renokenongo, desa sebelah yang menjadi rute Cak Sun mengojek ketika itu.

    Cak Sun harusnya menerima cicilan pembayaran aset rumah dan tanahnya sebesar Rp 15 juta per bulan dari PT Minarak Lapindo Jaya. Tapi seperti sebelumnya ketika pembayaran 80 persen yang harusnya lunas pada 2008 tapi kemudian molor hingga akhirnya dibayar secara cicilan, PT MLJ kembali ingkar. Sejak Mei 2010, Cak Sun tak menerima lagi cicilan itu. PT MLJ tidak membayar cicilan hingga empat bulan.

    Baru pada 3 September 2010, Cak Sun mendapat informasi bahwa PT MLJ kembali membayar angsuran. Cak Sun langsung menancap gas motornya ke Tanggulangin. Bersama istrinya, ia mendatangi Bank Rakyat Indonesia (BRI). Cak Sun hendak mengecek dan mengambil uang yang, menurut informasi yang dia terima, telah ditransfer PT MLJ ke rekeningnya. Saat mengantri di teller bank, Cak Sun sudah membayangkan akan membelanjakan uang itu untuk membayar tunggakan rumah yang sudah dibelinya di Perumtas II, tak jauh dari rumah yang dikontraknya sekarang. Ia sudah telah bayar tiga bulan. Cak Sun juga ingin membelikan baju baru buat anak-anaknya.

    Begitu giliran Cak Sun tiba, bayangannya pun buyar. “Kok iso ditransfer cuma limo juta, Mbak? (Kok bisa ditransfer lima juta, Mbak?),” tanya Cak Sun dengan nada jengkel ke petugas bank. Jelas, petugas bank tidak bisa menjawab apa-apa. Untuk pembayaran yang tertunda empat bulan, PT MLJ harusnya membayar Rp 60 juta. Namun, PT MLJ ternyata hanya membayar Rp 5 juta. Artinya, pembayaran cicilan sebulan sekalipun tidak genap. Cak Sun pun tak bisa berbuat apa-apa. Masih dengan hati gondok, ia menarik semua uang di rekeningnya.

    Setiba di rumah, kelima adik Isnaini, istri Cak Sun, sudah menunggu. Mereka akan menerima bagian dari uang cicilan yang Rp 5 juta itu. Maklum, aset Isnaini dan saudaranya masih tercatat dalam satu dokumen, sehingga setiap bulan uang cicilan harus dibagi rata menjadi enam bagian. Cak Sun dan Isnaini menceritakan ke saudara-saudaranya bagaimana uang yang masuk ke rekening mereka cuma Rp 5 juta. “Rekening awakdewe cuma ditransfer limo juta, dan kudu dibagi enem. Dadi sak wonge cuman oleh Rp 830 ewu (Rekening kita hanya ditransfer lima juta, dan harus dibagi enam. Jadi per orang, kita masing-masing dapat Rp 830 ribu),” kisah Cak Sun pada saya.

    Dengan uang sejumlah itu, Cak Sun tak bisa membelikan kue lebaran dan baju baru buat anak-anaknya, dan apalagi ia harus membayar utangnya di toko bangunan. Cak Sun sempat mengutang ke satu toko bangunan untuk merenovasi rumah yang dibelinya secara mengangsur Rp 3,5 juta per bulan yang berlokasi di Blok Q. Bulan ini pun ia tak bisa membayar cicilan rumah itu. Sebesar Rp 700 ribu harus ia bayarkan ke toko bangunan, yang juga sudah telat sebulan. Jadi, Cak Sun hanya punya sisa uang Rp 130 ribu.

    “Utangku neng galangan gedene Rp 700 ewu. Sampek malem takbiran sisa duitku kari 130. Dadi anak-anakku gak tak tukokno kelambi. Soale duwet Rp 130 ewu rencanae digawe transport keliling njaluk sepuro neng dulur-dulur (Utang saya ke toko bangunan sebesar Rp 700 ribu. Sampai malam takbiran, sisa uang saya tinggal Rp 130 ribu. Jadi terpaksa anak-anak saya tidak saya belikan baju baru. Karena uang Rp 130 ribu rencananya saya gunakan transport bersilaturahmi ke saudara-saudara saya).”

    Sunaryo tidak mampu memeriahkan lebaran seperti keluarga lainnya. Setelah berkeliling ke saudara-saudaranya, Cak Sun mengunci rumah. Isnaini, sang istri, merasa malu tidak bisa menyajikan kue lebaran buat tamu-tamu. Banyak saudara dan tetangga sekeliling mengira Cak Sun dan keluarga sedang keluar bepergian, dan mereka pun batal berkunjung setelah melihat rumah tertutup rapat. Mereka tak tahu kalau sang sahibul bait sedang di dalam rumah meredam gundah.

    ***

    Tak berbeda dari Sunaryo, warga korban Lapindo asal Desa Renokenongo yang kini tinggal di Perumahan Reno Joyo, Dusun Kedungkampil, Kedungsolo, Porong, pun menjalani Idul Fitri tanpa keriangan. Misti, misalnya, harus menelan kekecewaan saat mengetahui PT MLJ mentransfer hanya Rp 5 juta ke rekeningnya. Perempuan 63 tahun yang tinggal bersama cucunya ini harus mengubur dalam-dalam angan-angan merayakan lebaran. Setelah melunasi hutang-hutangnya ke tetangga-tetangga dan saudara-saudaranya, Misti hanya memegang sisa uang Rp 50 ribu, padahal waktu itu lebaran tinggal satu hari lagi.

    Sebelum tinggal di Kedungkampil ini, Misti dulu ikut bertahan di pengungsian Pasar Baru Porong selama hampir tiga tahun. Misti dan warga korban Lapindo asal Desa Renokenongo lainnya menolak skema pembayaran 20-80 persen. Mereka menuntut 100 persen langsung tunai. Akan tetapi, setelah menjalani berbagai perjuangan, dan tuntutan pun tak kunjung terpenuhi, warga Renokenongo yang ketika itu terorganisir dalam Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak (Pagar Rekontrak) menerima pola 20-80 persen.

    Kemudian, beberapa bulan setelah menerima 20 persen, warga harus hengkang dari pengungsian Pasar Baru, sekitar Mei 2009. Mereka lalu menempati tanah kosong bekas lahan tebu di Dusun Kedungkampil yang telah dibeli secara kolektif. Ada pihak pengembang yang bekerjasama dengan Bank Jatim menawarkan pembangunan rumah bagi warga. Pengembang mengatakan, warga bisa membayar rumah secara mengangsur lewat Bank Jatim. Banyak yang akhirnya menerima tawaran itu, meski sebagian warga menolak dan lebih memilih membangun rumah sendiri.

    Dan untuk membayar cicilan ke Bank Jatim, warga menggantungkan cicilan pembayaran aset mereka dari pihak PT MLJ yang masih tersisa 80 persen. Sialnya, PT MLJ lagi-lagi ingkar janji, bahkan tidak membayarkan cicilan sejak Mei 2010. Warga Kedungkampil pun bingung. Bank Jatim, yang telah bekerjasama dengan pihak pengembang, terus menagih uang cicilan rumah.

    Hingga September tiba, dan Idul Fitri menjelang, PT MLJ hanya mentransfer Rp 5 juta ke rekening warga. Padahal, selain untuk membayar utang ke Bank Jatim, warga berharap bisa merayakan lebaran secara layak. Tapi harapan itu pupus.

    “Tanggal 3 September wingi Lapindo cuma membayar Rp 5 juta. Duwit sakmono langsung entek digawe nyaur utang (Tanggal 3 September kemarin Lapindo hanya membayar cicilan sebesar Rp 5 juta. Uang segitu langsung habis dibuat membayar hutang),” cerita Misti.

    Misti dan suaminya Saderi, yang tinggal berlima bersama keluarga cucunya Sunarti, kecewa berat. Rp 50 ribu yang tersisa jelas tidak bisa buat beli sajian lebaran. Bahkan, Misti pun harus menggantungkan pemberian zakat dari tetangganya untuk makan.

    Misti juga tidak mungkin bisa membayar cicilan ke Bank Jatim. Untuk rumah yang ditinggali Misti dan keluarganya sekarang, setiap bulan ia harus membayar ke Bank Jatim sebesar Rp 3,8 juta. Ia sudah membayar cicilan rumah total sebesar Rp 15 juta, dan sisa yang masih harus dibayarnya sebesar Rp 60 juta. Sedangkan tak satu pun anggota keluarganya yang bekerja. Praktis untuk membayar rumahnya Misti mengandalkan cicilan dari Lapindo.

    “Suami saya dulu kerja menambal ban di Jalan Raya Watukosek, Mojokerto. Tapi sekarang tidak bekerja lagi, modalnya selalu habis dibuat makan,” cerita Sunarti, cucu Misti.

    Lapindo tidak saja menelantarkan ribuan keluarga seperti Misti dan Cak Sun yang tinggal di rumah mereka yang belum lunas dibayar. Puluhan warga yang bertahan menginap di depan gedung DPRD Sidoarjo pun tak digubris Lapindo. Bukan saja warga tidak bisa merayakan lebaran secara layak, mereka bahkan tidak berhari raya di rumah, melainkan di emperan gedung dewan Sidoarjo. PT MLJ tetap tidak mau membayar 80 persen aset tanah dan bangunan yang dituntut warga agar dibayar tunai. Ah, Lapindo barangkali memang lebih terbiasa Idul Fitri dengan ingkar janji. (Ahmad Novik)

    (c) Kanal Newsroo

  • SBY Renang di Danau Lumpur Lapindo?

    SBY Renang di Danau Lumpur Lapindo?

     

    Lalu mengapa kebocoran sumur Banjar Panji 1 Porong milik Lapindo Brantas Inc (Lapindo) tidak dapat dihentikan, padahal letaknya di darat, yang mestinya lebih gampang dibandingkan kebocoran sumur minyak Teluk Meksiko?

    Rudi Rubiandini, pakar pengeboran minyak dan gas bumi (migas) yang pernah mengerjakan upaya penghentian semburan lumpur Lapindo mengatakan bahwa upaya penyumbatan semburan lumpur Lapindo dihentikan pihak Lapindo yang berdalih kekurangan dana.

    Keterangan Rudi tersebut sesuai dengan laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tertanggal 29 Mei 2007 yang menyatakan bahwa ketidakberhasilan upaya penghentian semburan lumpur Lapindo diantaranya disebabkan oleh ketidaktersediaan peralatan yang dibutuhkan.

    Pemerintah Indonesia tidak berbuat apa-apa membaca temuan BPK itu, tidak melakukan tekanan kepada Lapindo dan Grup Bakrie. Presiden SBY memang beda tipe dengan Presiden Obama dan DPR RI juga beda karakter dengan Kongres AS, dalam bela negara.

    Alih-alih menekan Grup Bakrie, tapi Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TPPLS) DPR RI dahulu malah mengeluarkan “fatwa” bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh gempa Jogja. Wewenangnya “mengontrol” penanggulangan, tapi malah mengeluarkan fatwa teknis.

    Hukum Tata Negara jadi kacau di tangan parlemen kita. Sudah tahu kalau fungsi parlemen itu fungsi kontrol, bujet dan regulasi, malah mblakrak mengeluarkan rekomendasi teknis penyebab semburan lumpur. Namun, ketika pemerintah dan Lapindo tidak serius dalam menyelesaikan masalah korban, TPPLS DPR RI juga tidak berbuat apa-apa.

    Kenapa fatwa gempa Jogja itu bisa keluar dalam rekomendasi TPPLS DPR? Ada isu suap, yang memang sulit dibuktikan, akhirnya hanya menjadi bisik-bisik publik yang menilai rekomendasi DPR irasional.

    Dalih gempa Jogja itu juga mempermalukan tiga ahli Indonesia di Conference & Exhibition yang dilaksanakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) di Cape Town Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008 . Tanggal 29 Oktober 2008 saya dikirimi email oleh Rudi Rubiandini yang menginformasikan hasil konferensi yang dihadiri para ahli geologi seluruh dunia itu.

    Pada acara itu disampaikan sekitar 600 makalah dalam 97 tema yang berbeda, dan terdapat 6 buah tema khusus yang sangat dianggap penting yaitu “Lusi Mud Volcano: Earthquake or Drilling Trigger” yang disampaikan 28 Oktober 2008.

    Konferensi internasional itu menghasilkan tiga suara ahli (dari Indonesia) yang mendukung gempa Jogja sebagai penyebab, 42 orang ahli menyatakan pengeboran sebagai penyebab, 13 ahli menyatakan kombinasi faktor gempa Jogja dan pengeboran sebagai penyebab, dan 16 ahli menyatakan belum bisa mengambil opini.

    Jadi, cukup memprihatinkan ketika pengadilan Indonesia memilih keterangan ahli pihak Lapindo yang berupa asumsi serta hipotesa. Pengadilan menyingkirkan dokumen negara yang otentik, hasil investigasi dan kerja keras tim ahli BPK yang menggunakan data-data primer. Ini menabrak hukum pembuktian pasal 1866 KUHPerdata dan pasal 164 HIR.

    Kebijakan pemerintah (eksekutif) tidak tegas, terkesan memihak Grup Bakrie. Rekomendasi parlemen (legislatif) melalui TPPLS juga memihak Grup Bakrie. Begitu pula putusan lembaga yudisiil juga memihak Grup Bakrie.

    Seluruh lembaga negara itu tak ada yang memihak hak keadilan dan kebenaran rakyat korban langsung, serta rakyat Indonesia seluruhnya yang dipaksa memikul beban masalah lumpur Lapindo itu lewat APBN serta APBD Jawa Timur, hingga semburan lumpur itu berhenti. Sampai kapan?

    Sekarang kita dapat mengambil benang merah antara: mandegnya upaya penghentian semburan lumpur Lapindo dengan kepentingan korporasi Grup Bakrie dalam masalah lumpur itu. Tak lain dan tak bukan adalah: mengamankan posisi finansial korporasi, lalu mengorbankan rakyat dan negara.

    Jika semburan lumpur Lapindo itu berhasil dihentikan maka itu akan menjadi bukti besar bahwa semburan lumpur Lapindo merupakan kesalahan pengeboran oleh Lapindo sehingga Grup Bakrie harus dibebani dana besar seperti BP di Teluk Meksiko.

    Saya tidak menemukan solusi dalam kasus ini melainkan dengan secara guyonan: ada baiknya kita menyewa Hugo Chavez atau Evo Morales untuk menjadi Presiden Indonesia, agar mereka ini mengajari kita bagaimana cara bernasionalisme yang benar.

    Pun andaikan Presiden SBY tegas memerintahkan semburan lumpur Lapindo dihentikan kemudian berhasil, tidak perlulah meniru gaya Obama dengan berenang di danau lumpur Lapindo untuk merayakan kesuksesan itu. Tidak perlu!

    (c) Subagyo, Kompasiana

     

  • Pakar Bantah Ilmuwan Rusia: 90 Persen Yakin Semburan Lapindo Akibat Pemboran

    Pakar Bantah Ilmuwan Rusia: 90 Persen Yakin Semburan Lapindo Akibat Pemboran

    ADELAIDE—Pakar geomekanik dan perminyakan Mark Tingay dari Australian School of Petroleum, Universitas Adelaide, Australia, membantah kajian ilmuwan Rusia, Sergey V Kadurin, yang menyimpulkan lumpur Lapindo disebabkan gempa bumi. Menurut Tingay, kajian Kadurin gagal membuktikan bagaimana gempa Yogyakarta bisa memicu semburan lumpur Lapindo.

    “Laporan (Kadurin dkk.) tersebut tidak memiliki data riil apa pun, dan data kecil yang mereka tunjukkan itu cacat,” kata Tingay seperti dikutip The Australian, Senin (11/10/2010).

    Mark Tingay telah lama mengkaji kasus lumpur Lapindo dan bersama Richard Davies dari Universitas Durham, Inggris, dan sejumlah ilmuwan lain telah mempublikasikan hasil risetnya, “The East Java mud volcano (2006 to present): An earthquake or drilling trigger?)” diterbitkan Earth and Planetary Science Letters 2008. Temuan kajian ini menyatakan lumpur Lapindo dipicu oleh aktivitas pemboran.

    Temuan tersebut diperkuat lagi dengan kajian baru yang dirilis pada Februari 2010. Dalam “The Lusi mud volcano controversy: Was it caused by drilling?” yang diterbitkan Marine and Petroleum Geology, Februari 2010, itu Tingay dan Davies menunjukkan bukti-bukti baru yang memperkuat kesimpulan bahwa pemicu lumpur Lapindo tak lain adalah kegiatan pemboran.

    Karena itu, Tingay membantah keras kesimpulan Kadurin yang diumumkan di Jakarta, 1 Oktober lalu, dan mendapat perhatian luas media-media di Indonesia. Bagi Tingay, kajian ilmuwan Rusia itu lemah.

    “Menurut pendapat saya, berdasarkan kajian-kajian ilmiah yang sudah saya lakukan, gempa tidak bisa memicu semburan lumpur Lapindo. Dan kita 90 persen yakin, bahkan kolega-kolega saya 99 persen yakin, semburan ini terkait dengan kecerobohan pemboran,” ujar Tingay. (ba)

    (c) Kanal Newsroom

  • Api Membakar Rumah dan Penghuninya

    Api Membakar Rumah dan Penghuninya

    SIDOARJO – Satu keluarga di Siring Barat, Porong, kini dirawat di kamar mawar pink RSUD Sidoarjo karena mengalami luka bakar yang cukup serius. Hampir sekujur tubuh Purwaningsih (51) dan Devi Purbawianto (23) terkena luka bakar. Menurut tim dokter yang menangani mereka, luka bakar ibu dan anak ini mencapai 75 persen. Sementara Hadi Wianto (55), sang kepala keluarga, mengalami luka bakar di kaki sebelah kirinya.

    Kejadian pada Rabu dini hari (8/9/2010) itu berawal dari api yang muncul dari semburan gas liar tak jauh rumah mereka. “Kami tak tahu apa penyebabnya. Yang jelas, rumah, warung dan isinya, serta kami pun ikut terbakar,” tutur Hadi. Selain rumah Hadi, api juga membakar dua rumah lain yang letaknya tak jauh dari rumah Hadi.

    Hadi juga menambahkan, api pertama kali menyambar Purwaningsih dan Devi. Ketika hendak menolong, Hadi juga terkena percikan api dan mendapat luka bakar di kaki kirinya. “Kejadiannya sangat cepat, banyak orang panik saat itu,” tambahnya.

    Mereka kini bingung untuk pembiayaan rumah sakit. Sampai saat ini pun, belum ada pihak terkait yang menyanggupi pembiayaan satu keluarga ini. Mereka berharap pemerintah atau Lapindo menanggung semua biaya pengobatan mereka. Pasalnya, pendapatan dari berjualan sembako dan warung nasi menurun drastis pasca semburan lumpur Lapindo yang menyembur 29 Mei 2006 lalu itu.

    Berita ini menyebar cepat ke telinga warga Siring Barat. Mereka khawatir kejadian serupa akan terjadi lagi dan menimpa mereka. Ahmad Faisol (27), warga Siring Barat mengatakan, hendaknya tragedi yang menimpa keluarga Hadi Wianto menjadi pelajaran untuk pemerintah dan Lapindo, agar segera menyelesaikan masalah lumpur Lapindo dan tak jatuh korban lagi. (fahmi)

    (c) Kanal News Room