Author: Redaksi Kanal

  • Kasus Lumpur Lapindo di Tangan Ksatria Negarawan

    Oleh: Subagyo

    Mantan Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, dan Bupati Sidoarjo sekarang, Saiful Illah, mengatakan bahwa masalah lumpur Lapindo itu hanya berada dalam satu persen wilayah Kabupaten Sidoarjo. Tapi mengapa yang hanya di satu persen itu tidak terselesaikan hingga tujuh (tujuh) tahun ini?

    Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur rupanya merasa tidak bebas untuk menyelesaikan masalah lumpur Lapindo, sebab kewenangan penyelesaiannya telah diambil seluruhnya oleh Pemerintah Pusat (Presiden) dengan dibentuknya Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) melalui Perpres No. 14/2007. Pemerintah Daerah ini tidak mau melangkahi kewenangan pemerintah pusat.

    Namun sayangnya, Presiden SBY yang telah diberi gelar Knight Grand Cross in the Order of the Bath oleh Ratu Inggris pada Oktober 2012 lalu dan memperoleh World Statesman Award 2013 dari The Appeal Of Conscience Foundation Amerika Serikat, ternyata tidak mampu membereskan masalah satu persennya wilayah Kabupaten Sidoarjo itu.

    SBY telah menggariskan aturan dalam Pasal 15 Perpres No. 14/2007 (yang sudah diperkuat dengan Putusan MA No. 24 P/HUM/2007) bahwa pembayaran bertahap yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah dalam peta area terdampak 4 Desember 2006,  sebesar 20 persen dibayarkan dimuka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun terakhir.

    Ketika Lapindo Brantas Inc. (Lapindo) membuat perjanjian serah kewajiban tersebut kepada PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ), Presiden SBY tidak melarangnya. Padahal peralihan kewajiban hukum itu membutuhkan instrumen hukum tersendiri yang berbeda dengan peralihan hak. Ketika kemudian MLJ tidak melaksanakan kewajiban Lapindo yang dialihkan kepadanya hingga sekarang, Presiden SBY juga hanya bisa “menghimbau.” Aneh benar negara ini, dan enak benar pelakunya, bahwa pelanggaran hukum buatan Presiden itu hanya diberi sanksi “himbauan.”

    Lapindo dan MLJ, anak-anak Grup Bakrie ini, begitu mudahnya membuat janji-janji yang diselingi berbagai argumentasi hukum yang dibuat-buat. Setelah ramai-ramai disoal warga korban sejak tahun 2008, maka membuat janji cicilan Rp 30 juta perbulan, lalu ngadat, janji lagi cicilan Rp 15 juta perbulan, ngadat lagi, janji lagi dengan cicilan Rp 5 juta perbulan. Itupun dikeluhkan warga karena cicilan sering macet. Akhirnya MLJ secara terbuka berjanji akan melunasinya Desember 2012.

    Janji-janji panjang itu ternyata tidak direalisasi hingga tahun 2013. Ada janji lagi akan diselesaikan Mei 2013. Ternyata diingkari lagi dan dijanjikan lagi akan diselesaikan Nopember 2013. Berdasarkan tradisi ingkar tersebut, sulit dipercaya bahwa Nopember 2013 nanti akan benar-benar selesai.

    Presiden SBY yang semestinya dapat menggunakan kewenangan paksaan pemerintahan (bestuurdwang) terhadap Grup Bakrie, hingga sekarang tidak melakukan apa-apa untuk menegakkan peraturan yang dibuatnya. Di Inggris digelari kesatria, di Amerika Serikat digelari negarawan, tapi bisa-bisanya SBY tunduk kepada korporasi di dalam negeri sendiri. Bagaimana tidak dikatakan tunduk jika tidak berani menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri dan diam diremehkan partikelir?

    Jika ada yang menyatakan bahwa dibalik musibah itu ada hikmah, ada peluang, ada hal-hal yang positif, namun hal itu juga tidak lantas menjadi alasan untuk melupakan hal-hal yang buruk yang seharusnya dipertanggungjawabkan dan diselesaikan. Hal itu juga menyangkut masa depan para korban dan menjadi model contoh penyelesaian masalah serupa di negeri ini di masa depan.

     

    Bahaya Racun Lumpur Lapindo dan Masa Depan

    Selain masalah belum tuntasnya penyelesaian jual-beli tanah korban dalam peta terdampak, yang juga mulai turut menyedot APBN untuk biaya korban di luar area peta terdampak 22 Maret 2007, juga terdapat masalah kesehatan warga korban yang belum banyak mendapatkan perhatian.

    Walhi Jawa Timur pernah melakukan kerjasama penelitian kandungan aromatic hydrocarbons (PAH) dengan beberapa pihak. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2007 sampai Januari 2008 di Laboratorium Instrumentasi dan Laboratorium Kimia Analitik, Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga Surabaya.

    Dokumen penelitian tersebut menyatakan, berdasarkan PP No 41 tahun 1999 dijelaskan bahwa ambang batas PAH yang diizinkan dalam lingkungan adalah 230 µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/kg. Berdasarkan seluruh titik pengambilan sampel, ternyata lumpur Lapindo mengandung kadar Chrysene di atas ambang batas. Sedangkan untuk Benz(a)anthracene hanya terdeteksi di tiga titik yaitu titik 7,15 dan 20, yang kesemuanya di atas ambang batas.

    Kadar PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) dalam lumpur Lapindo mencapai 2000 kali  di atas ambang batas, bahkan ada yang lebih dari itu. Maka bahaya adanya kandungan PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) tersebut telah mengancam keberadaan manusia dan lingkungan.

    Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa dampak PAH dalam lumpur Lapindo bagi manusia dan lingkungan mungkin tidak akan terlihat sekarang, melainkan 5 – 10 tahun ke depan. Dampak terhadap ksehatan adalah bioakumulasi dalam jaringan lemak manusia (dan hewan), kulit merah, iritasi, melepuh, dan kanker kulit jika kontak langsung dengan kulit, kanker, permasalahan reproduksi,  membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit.

    Sebagian dampak gas beracun lumpur Lapindo bagi kesehatan manusia tampak pula dari hasil penelitian Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular Surabaya (BTKLS) pada Maret – Mei 2010.

    Lembaga bawahan Kementerian Kesehatan RI ini menyimpulkan bahwa dari 53 responden di empat desa sekitar tanggul lumpur Lapindo (Gempolsari, Kalitengah, Besuki dan Glagah Arum) atau 81,1 persen responden mengalami gangguan restriksi, 5 persen mengalami gangguan obstruksi dan 9,4 persen masih normal. Hampir semua rumah di empat desa yang diteliti termasuk kategori rumah tidak sehat. Hanya 11,11 persen rumah di Desa Gempolsari yang masuk kategori rumah sehat.

    Selain itu, beberapa kesimpulan hasil penelitian BTKLS menunjukkan keadaan-keadaan lingkungan di desa-desa yang buruk, termasuk memburuknya kualitas air sumur dan air sungai. Dampak-dampak buruk tersebut menjadi beban warga korban Lapindo, yang kian lama kian dilupakan masyarakat lainnya, dengan kian bertambahnya masalah di negara ini, terutama masalah korupsi yang kian merajalela.

    Sebenarnya Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dapat melakukan kewenangan hukumnya untuk menyelamatkan warga korban Lapindo berdasarkan Pasal 14 ayat 1 huruf j dan g UU No. 32/2004 jo. UU No. 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah, guna menanggulangi masalah lingkungan dan sosialnya. Itu justru menjadi urusan wajib menurut undang-undang yang kedudukannya di atas Perpres. Namanya urusan wajib, jika tidak dilaksanakan ya menjadi pelanggaran hukum.

    Pemerintah Daerah mesti melakukan terobosan hukum, tidak perlu menunggu kewenangan pemerintah pusat yang tidak dapat diharapkan ketegasannya sebagai ksatria Inggris dan negarawan versi Amerika Serikat itu.

    Sumber: http://hukum.kompasiana.com/2013/05/31/kasus-lumpur-lapindo-di-tangan-ksatria-negarawan-564456.html

  • Tragedi Lumpur Lapindo, ‘Tutup Mata’ di Tengah Kerusakan Lingkungan dan Pelanggaran HAM

    Peringatan 7 Tahun semburan Lumpur Lapindo di Surabaya, Rabu (29/5/13). Sudah tujuh tahun, namun HAM masyarakat belum dipulihkan. Merekapun hidupdalam lingkungan yang tercemar. Foto: Jatam

    Tujuh tahun sudah tragedi luapan lumpur Lapindo meporakporandakan kehidupan warga sekitar Sidoarjo, tetapi sampai kini perhatian pemerintah minim. Pemulihan HAM puluhan ribu jiwa itu masih terabaikan. Komnas HAM pun menyatakan, kemungkinan mengkaji kembali dan mencari fakta-fakta baru dalam kasus ini.

    Sesak nafas, kesemutan, pusing dan nyeri persendian badan menimpa anak-anak sampai dewasa. Itulah antara lain gangguan kesehatan warga yang hidup di sekitar lumpur Lapindo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim).

    “Saat ini warga setiap hari hirup gas. Banyak yang sakit pernapasan. Banyak juga yang sakit kepala, pusing, nyeri. Ini aneh, biasa nyeri sendi kalau sudah dewasa. Di sana anak-anak sudah mengalami,”  kata Abdul Rohim, warga Besuki kepadaMongabay, pertengahan Mei 2013.

    Warga sering sakit-sakitan.  Sayangnya, pemerintah, Kementerian Kesehatan sampai Dinas Kesehatan hingga hari ini seakan tak peduli.  Warga tak tahu apa yang bercokol di dalam tubuh mereka saat ini. “Banyak warga tak normal. Sudah tujuh tahun ini tak pernah cek kesehatan. Pemerintah pun tak ada inisiatif untuk memeriksa warga sekitar luapan Lapindo.”

    Angka penderita inspeksi saluran pencernaan akut (ISPA) dan pencemaran meningkat.  Pada temuan awal di beberapa Puskesmas terdata sekitar 46 ribuan orang menderita ISPA, sekitar 1.000 an orang mengalami mual-mual dan mencret.

    Puluhan ribu korban lumpur Lapindo yang mengalami kesulitan hidup ini seakan disederhanakan lewat ganti rugi lahan oleh perusahaan. Pemerintah pun, tak memberikan perhatian khusus pada korban, misal dari pelayanan kesehatan maupun pendidikan. “Kalau sekarang, pemerintah sebatas proses kesehatan pakai fasilitas umum seperti jamkesmas.”

    Menurut Rohim, pernah ada diskusi terbuka mengenai kesehatan warga mengundang Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLS). Saat itu, masyarakat korban Lapindo meminta jaminan kesehatan. “Mereka bilang usul ke bupati atau ke gubernur. Sampai sekarang ya kami tidak ada perhatian.”

    Bagi mereka, sebagai pemerintah, baik pusat maupun daerah, seharusnya sudah bisa peka dengan keperluan pelayanan kesehatan masyarakat yang tinggal di lingkungan bergas berbahaya ini.

    Tak hanya masalah lingkungan. Sekolah anak-anak korban Lapindo juga banyak terbengkalai. “Dulu  sekolah dekat sekarang jauh. Harus pakai sepeda ontel.

    Di tengah lingkungan rusak dan tercemar serta ketidakjelasan pelayanan kesehatan dan pendidikan, warga harus menghadapi rentetan masalah lain. Rohim mengatakan, saat ini warga juga mempunyai masalah dengan pengembang. Dalam pembangunan perumahan warga yang relokasi, pengembang tampak ingkar janji. “ Awalnya bilang jadi, misal, bayar 20 persen tanah disiapkan. Ini sudah dibayar 50 persen, pengembang belum siapkan tanah.”

    Pemerintah Jawa Timur, berjanji mengawal pembangunan rumah-rumah warga terdampak lumpur Lapindo ini. Lagi-lagi, janji tinggal janji. “Kalau dari awal pemerintah kawal sampai pindah, mungkin kami tidak ada persoalan,” ucap Rohim. Proses ganti rugi bersengketa juga ada. “Banyak sekali masalah seperti ini.”

    Belum lagi perubahan kehidupan sosial antarwarga. Saat ini, kawan bisa jadi lawan. Urusan ganti rugi, urusan pindah lokasi dan jual beli kerap menjadi pemicu masalah antarwarga.

    Dianto Bachriadi, Komisioner Komnas HAM mengatakan, pada 2012, Komnas HAM telah menemukan fakta dan bukti permulaan terjadi 15 pelanggaran HAM dari kasus lumpur Lapindo ini.  Pelanggaran HAM itu antara lain,  hak rasa aman, hak pengembangan diri, perumahan, pangan, kesehatan,  pelanggaran hak pekerja, hak atas pendidikan dan berkeluarga, kesejahteraan, jaminan sosial, hak para pengungsi sampai hak kelompok rentan.

    Sayangnya, sampai saat ini hasil temuan Komnas HAM bak menjadi tumpukan kertas semata. Tak ada tindaklanjut berarti. “Kita dorong polisi lakukan pidana terhadap perusahaan. Ini untuk pertanggungjawaban pelaku atas kerugian  yang dialami korban.  Harusnya pemidanaan,” katanya.

    Jika ada pemidanaan, kata Dianto, ganti rugi kepada warga korban bisa ditekan. “Ada unsur paksa.” Lagi-lagi tak dilakukan polisi. Malah, kasus-kasus yang sudah dilaporkan di SP3-kan. Seharusnya,  kepolisian tak perlu menanti pengaduan untuk menangani kasus ini . “Ini masalah serius dari aparat kepolisian.”

    Dia membenarkan, meskipun Komnas HAM  sudah menyatakan ada pelanggaran tetapi tidak ada konsekuensi khusus. Untuk itu,  lembaga ini mendesak pemerintah peduli pada persoalan yang menciptakan pelanggaran  HAM, dan kerugian material serta masa depan ribuan orang ini.

    Jika mendiamkan saja, kata Dianto, berarti pemerintah gagal mengelola negara. “Orang sudah jelas ada pelanggaran, korban sudah jelas tapi do nothing.”.

    Mengenai dugaan pelanggaran berat, ujar dia, pada analisis awal pertama Komnas HAM belum ditemukan. Namun, bukan berarti tidak dimungkinkan dilihat kembali. Kenapa begitu? Sebab, sudah tujuh tahun tak ada perkembangan berarti, baik pemerintah maupun swasta tak ada niat sungguh-sungguh. Sedang ribuan korban sampai kini, hak-hak mereka tak terpenuhi.

    “HAM mereka belum pulih, secara ekonomi, sosial dan ekologi merosot. Sekarang ada pada titik nadir. Beberapa hal ini memungkinakan kita untuk masuk kembali.”

    Komnas HAM, katanya,  bisa mengkaji kembali dan pengumpulan fakta-fakta baru. “Mungkin saja ada kesimpulan baru terkait pelanggaran HAM berat dalam kasus lapindo ini.”

    Nasib buruk warga Sidoarjo berawal sejak hari kelam, 29 Mei 2006.  Akibat pemboran sumur Banjar Panji I oleh Lapindo Brantas itu, tercatat 11 desa, tiga kecamatan di Sidoarjo, tenggelam. Sebanyak 2.381 keluarga atau 9.160 jiwa menjadi korban. Mereka tak hanya kehilangan harta benda, juga kehidupan dan lingkungan sehat.

    © Sapariah Saturi | mongabay.co.id | 29 May 2013

  • Warga Arak Ogoh ogoh Aburizal Bakrie

    indosiar.com, Sidoarjo – (Rabu, 29/05/2013) Peringatan tujuh tahun semburan lumpur Lapindo, diperingati korban lumpur dengan melakukan berbagai aksi diatas tanggul lumpur. Warga mandi dalam kolam lumpur panas hingga meletakkan ogoh-ogoh Aburizal Bakrie ke kolam lumpur. Aksi ini merupakan bentuk kekecewaan warga, karena tidak tanggapnya Lapindo maupun pemerintah atas penderitaan warga. (more…)

  • “Aburizal Bakrie” Dilempari Lumpur


    Metrotvnew.com, Sidoarjo: Warga korban lumpur Lapindo memperingati tujuh tahun keluarnya semburan lumpur panas dengan berbagai atraksi. Salah satunya adalah mengarak ogoh-ogoh Aburizal Bakrie dan melemparkannya ke kolam penampungan lumpur. (more…)

  • Lapindo mudflow victims still waiting for payment

    Remembering loved ones: Muladi Sutrisno (second right), a retired soldier, and his wife Emmy pray for family members at their family grave site, which was immersed in muddy waters, in Porong, Sidoarjo, on Wednesday. Seven years have passed since a mud volcano exploded due to gas exploration activities in Lapindo, East Java, drowning homes and land. Muladi hopes President Susilo Bambang Yudhoyono takes action against a company connected to Aburizal Bakrie regarding the payment of compensation to mudflow victims. (JP/Indra Harsaputra)

    Hundreds of people affected by the Lapindo mudflow in Sidoarjo, East Java, have yet to receive compensation seven years after the disaster.

    The victims have staged rallies to demand payment for the loss of their assets, swallowed by the mud from a drilling well. They erected an ogoh-ogoh (papier mache effigy) with the face of Aburizal Bakrie, the owner of PT Lapindo Brantas, and placed it at a section of the wall of a pool containing the mudflow in Porong, Sidoarjo.

    Coordinator of the seventh anniversary of the Lapindo mudflow, Abdul Rokhim, said an ogoh-ogoh was usually used by the Balinese Hindus to dispel bad luck. (more…)

  • Tujuh Tahun Lumpur Lapindo, Korban Ingatkan Pentingnya Pemulihan Kehidupan

    Tujuh Tahun Lumpur Lapindo, Korban Ingatkan Pentingnya Pemulihan Kehidupan

    Porong, Sidoarjo – 29 Mei menjadi tanggal yang paling diingat oleh korban lumpur Lapindo. Tujuh tahun lalu, lumpur dan gas beracun mulai menyembur dari bumi Sidoarjo. Sejak itu, warga di tiga kecamatan, Porong, Tanggulangin dan Jabon, harus hidup bersama kehancuran yang ditimbulkan oleh lumpur panas Lapindo.

    Dalam rangka memperjuangkan pemulihan kehidupan dan mengingatkan publik luas bahwa kasus lumpur Lapindo belum tuntas, Rabu (29/5/2013), ratusan warga korban Lapindo dari berbagai desa yang tergabung dalam Korban Lumpur Menggugat (KLM), Komunitas Ar Rohmah, Sanggar Al Faz, dan Komunitas Jimpitan Sehat menggelar peringatan tujuh tahun semburan lumpur Lapindo.

    Mereka mengarak patung menyerupai Aburizal Bakrie di tanggul penahan lumpur. Di akhir prosesi mereka membuang patung itu ke dalam lumpur panas. Acara ini juga didukung oleh sejumlah lembaga antara lain: WALHI Jatim, JATAM, UPC, Sanggar Sahabat Anak – Malang, Sanggar Merah Merdeka – Surabaya, Sanggar Bocah Dolanan – Pare dan puluhan komunitas dari berbagai wilayah konflik tambang di berbagai propinsi yang hadir sebagai wujud solidaritas publik kepada korban Lapindo.

    (more…)

  • Geolog UGM Pastikan Lumpur Lapindo sebagai Bencana Industri

    Geolog UGM Pastikan Lumpur Lapindo sebagai Bencana Industri

    LENSAINDONESIA.COM: Meski telah tujuh tahun berlalu, ternyata masih juga belum mampu menuntaskan masalah bencana lumpur Sidoarjo. Berbagai alternatif penanganan masih membutuhkan banyak penelitian. Di sisi lain, nasib korban lumpur masih belum menemukan jalan terang, malah permasalahannya semakin meluas dan memakan lebih banyak korban. Hal tersebut terungkap dalam seminar Tujuh Tahun Lumpur Lapindo yang diadakan oleh ITS, Senin (27/5/2013).

    bosman

    Bosman Batubara, salah seorang pembicara yang juga seorang geolog dari UGM, menyebutkan bahwa permasalahan Lumpur Lapindo tidak hanya berkaitan dengan mekanisme ganti rugi terhadap para korban. (more…)

  • Korban Lapindo Akan Datangi KPK dan Istana

    TEMPO.CO Surabaya: Warga korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam kelompok 3 desa sesuai Perpres 48 tahun 2008, berencana mendatangi lembaga anti rasuah alias KPK di Jakarta. Muzaki, ahli waris atas nama Abdul Roshid, menuturkan aksi ini dilakukan guna membuka tabir buruk perilaku oknum Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo terkait pembayaran ganti rugi korban Lapindo.

    Selain ke gedung KPK, korban Lapindo juga akan mendatangi Istana Presiden, BPK, Mabes Polri, Gedung PBB dan Kedutaan Besar AS di Jakarta. Lewat aksi ini, massa mendesak BPLS segera mencairkan dana APBN untuk membayar korban Lapindo di luar peta area terdampak. “Mulai Senin tanggal 27 Mei, kita aksi di Jakarta,” katanya saat konferensi pers di Balai Wartawan Sidoarjo, Sabtu 25 Mei 2013. (more…)

  • Korban Lapindo Ancam Minta Suaka Politik ke AS

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Merasa kampung halamannya hilang ditelan luapan lumpur Lapindo dan banyak dirugikan petugas BPLS, lima warga pemilik berkas akan mengadu ke Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.

    “Kita akan mendatangi Kedubes Amerika dan PBB untuk mencari suaka politik. Sudah tidak ada keadilan yang diberikan,” kata Thoyib Bahri, salah satu pemilik tanah, dalam konferensi pers di Balai Wartawan Sidoarjo, Sabtu, 25 Mei 2013.

    Thoyib yang memiliki tanah seluas 3.222 meter persegi di Lapindo merasa dirugikan akibat permainan oleh wakil ketua tim verifikasi BPLS saat itu, Bajuri Edi Cahyono. Permainan ini, katanya, sudah menjurus pada pelanggaran hak asasi dan diduga kuat beraroma korupsi. (more…)

  • Rangkaian Acara Peringatan 7 Tahun Lumpur Lapindo

    Rangkaian Acara Peringatan 7 Tahun Lumpur Lapindo

    Senin, 27 Mei 2013

    Seminar 7 Tahun Semburan Lumpur Lapindo

    08.00 – 12.45 | Ruang Sidang Utama Rektorat, ITS, Arief Rahman Hakim, Keputih, Surabaya.

    CP: Amien Widodo (08121780246); Hendrik Siregar (085269135520)

     

    Selasa, 28 Mei 2013

    Diskusi Rakyat “Potret Buruk Pertambangan dan Politik Penjarahan”

    12.00 – selesai | Hotel Tanjung, Panglima Sudirman 43-45, Surabaya.

    CP: Hendrik Siregar (085269135520)

     

    Rabo, 29 Mei 2013

    “Suara Kami Tak Pernah Padam”

    07.00 – 12.00 | Arak-arakan Ogoh-ogoh & Monumen Daya Rusak Pembangunan Lumpur Lapindo | Tanggul Barat, Jatirejo

    18.00 – 23.00 | Panggung Ekspresi & Solidaritas | ex-Tol Desa Besuki

     

    rangkain acara hantam 2013

  • Surabaya’s malodorous mud

    There’s a volcano that spews mud in Indonesia and it remains in the news despite the fact that the eruption occurred seven years ago.

    That’s because, after so long, it’s still mired in disputes around displaced people, allegations against one of Indonesia’s most powerful families, and ecological disaster. (more…)

  • Menteri PU Kaget Penambahan Area Lapindo yang ditanggung APBN

    Menteri PU Kaget Penambahan Area Lapindo yang ditanggung APBN

    djoko kirmanto

    Metrotvnews.com, Jakarta: Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengaku tidak mengetahui adanya penambahan area penanganan korban lumpur Lapindo.

    Menurutnya, meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menerbitkan Peraturan Presiden 33 tahun 2013 sebagai revisi kelima Perpres 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), area penanganan tidak bertambah. (more…)

  • Presiden Perluas Area Penanganan Lumpur Lapindo

    Metrotvnews.com, Jakarta: Dalam upaya mengefektifkan upaya penyelesaian penanganan masalah sosial kemasyarakatan di wilayah luapan lumpur Lapindo, Sidoarjo, pemerintah memperluas peta area terdampar lumpur yang bisa dilakukan pembelian tanah dan/atau bangunan, serta berhak mendapatkan penanganan masalah sosial.

    Ketentuan perluasan itu tertuang dalam Perpres 33 Tahun 2013 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Mei 2013 lalu. (more…)

  • Polisi Kembali Bubarkan Aksi Korban Lapindo

    Polisi Kembali Bubarkan Aksi Korban Lapindo

    Sidoarjo – Sampai hari ini (22/5), puluhan korban Lapindo masih melakukan aksi pendudukan tanggul di Titik 22. Warga kesal karena Lapindo tidak segera melunasi sisa pembayaran ganti rugi aset tanah dan bangunannya. Mereka bertekad melarang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) melakukan aktivitas di atas tanggul. Warga merasa masih punya hak atas tanah yang kini dijadikan tanggul itu. Mereka menghalangi alat berat BPLS yang sedang melakukan penguatan tanggul di Titik 21, di Desa Siring, Kecamatan Porong.

    Polisi membongkar gubuk korban Lapindo
    Polisi membongkar gubuk korban Lapindo

    (more…)

  • Tantowi: Lapindo isu seksi untuk jatuhkan Ical

    Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) melakukan analisis terkait kriteria calon presiden ideal di Pemilu 2014. Hasilnya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD paling ideal, sementara capres Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) yang paling jauh dari ideal. (more…)

  • Setkab desak Minarak Lapindo selesaikan kewajibannya

    Sekretaris Kabinet, Dipo Alam mendesak PT Minarak Lapindo untuk menyelesaikan tugasnya membayar ganti rugi yang dialami warga Sidoarjo, Jawa Timur. Terlebih, sisa utang yang ditanggung perusahaan tersebut kepada masyarakat korban luapan lumpur mencapai Rp 800 juta. (more…)

  • PT Minarak Lapindo Diminta Segera Bayar Ganti Rugi

    SIDOARJO, KOMPAS.com — Panitia Khusus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo meminta Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menghentikan aktivitas di tanggul hingga ganti rugi korban lumpur dilunasi oleh PT Minarak Lapindo Jaya.

    BPLS dinilai melanggar kesepakatan yang telah dibuat bersama.

    “Kami minta agar BPLS menghentikan aktivitasnya dulu karena ganti rugi untuk warga belum juga dibayar. Jika ada sesuatu yang urgen, bisa dirembuk dulu penanganannya,” ujar Ketua Pansus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo Nur Ahmad Syaifudin, Sabtu (18/5/2013). (more…)

  • Yudhoyono rakes over the muck of Lapindo mudflow

    President Susilo Bambang Yudhoyono has made a scathing criticism of the poor handling of the Sidoarjo mudflow by the gas exploration firm PT Minarak Lapindo Jaya, partly owned by the family of Golkar Party chairman Aburizal Bakrie.

    Andi Arief, special assistant to the President for disaster mitigation and social assistance disclosed that Yudhoyono had criticized Lapindo for failing to settle the problem of compensation for all mudflow victims in Sidoarjo, East Java, during a meeting with some Cabinet members and high-ranking officials on Saturday. (more…)

  • Korban Lapindo Minta Haknya Dipulihkan

    Sudah tujuh tahun lumpur Lapindo menyembur dan belummenunjukkan tanda-tanda berhenti. Selama itu pula warga yang berada di sekitar lokasi terkena dampaknya. Salah satunya menimpa warga desa Besuki, Abdul Rohim. Sejak peristiwa buruk itu terjadi, sawah yang biasa ia tanami terendam lumpur, air yang kerap digunakan untuk  minum dan mandi menjadi tak layak.

    Ujungnya, pria yang disapa Cak Rohim itu kebingungan mencari nafkah untuk menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya. Walau ada ganti rugi, Rohim mengatakan itu hanya untuk warga yang memiliki aset pribadi yang terkena dampak lumpur Lapindo. Pembayarannya pun antar warga tak seragam, ada yang tunai dan dicicil. Lumpur Lapindo ini menimbulkan dampak buruk bagi keluarganya dan warga. Oleh karenanya, Rohim berharap agar kompensasi yang diberikan warga bukan hanya ganti rugi, tapi juga pemulihan hak lainnya. Seperti sumber penghidupan, kesehatan dan pendidikan. (more…)

  • Yustini Sudah Capek Berpindah-Pindah

    “Di tempat lama, kemana-mana dekat. Depan rumah sudah ada bis. Sekarang kemana-mana jauh, sepi lagi,” tutur Yustini (27 tahun).

    Yustini termasuk korban yang masuk di dalam Perpres 40 Tahun 2009. Dia tinggal di Siring (Barat). Di rumah lama itu, suami Yustini, Iyan Riyawangsa, membuka bengkel. Waktu itu penghasilan dari bengkel mencapai 350-400 ribu rupiah per minggu.

    Setelah sempat pindah kontrakan berkali-kali, Yustini dan keluarganya sekarang pindah dan menetap di Pamotan. Dari Siring Barat keluarga Yustini pindah ke sebuah rumah mewah di Simo selama satu tahun, tapi tidak betah. (more…)