Category: Lapindo di Media

  • APBN Menyiram Lumpur Lapindo

    APBN Menyiram Lumpur Lapindo

    EMPAT tahun sudah lumpur panas Lapindo merendam masa depan rakyat Sidoarjo, Jawa Timur. Masyarakat kehilangan rumah tinggal, harta, sawah, dan lebih-lebih kehilangan harapan.

    Mereka hidup di tenda-tenda tanpa ada kepastian entah sampai kapan. Padahal, kepastian itulah yang sedang ditunggu rakyat Sidoarjo. Namun, tiada kunjung datang.

    Mereka bertanya kepada bupati, gubernur, dan juga kepada Presiden.

    Tetapi bukan jawaban yang mereka peroleh. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun balik bertanya, kapan kasus lumpur Lapindo berakhir. Presiden risau. Kepala Negara mengeluh. Presiden berharap ada solusi permanen agar APBN tidak terus-menerus diguyurkan setiap tahun untuk menyiram lumpur Lapindo.

    Sejak lumpur Lapindo menyembur di bumi Sidoarjo pada Mei 2006, pemerintah sudah mengambil sejumlah langkah. Presiden membentuk Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo melalui Keppres No 13 Tahun 2006.

    Setahun tim itu bertugas, tak ada tanda-tanda masalah bisa teratasi. Presiden lalu membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo melalui Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007. Sejak itu dana APBN mulai mengalir ke lumpur Lapindo. Kini kocek negara sudah terkuras Rp4,3 triliun untuk menyumbat bencana lumpur Lapindo.

    Kita heran ketika Presiden mengeluh mengenai lumpur Lapindo yang tak kunjung berakhir. Justru Presidenlah yang semestinya memberi jawaban mengapa lumpur Lapindo yang sudah berusia empat tahun itu tak kunjung reda.

    Bukankah Presiden sudah membentuk sejumlah lembaga untuk menanggulanginya? Apa hasilnya? Dana APBN Rp4,3 triliun sudah mengalir ke lumpur Lapindo, apa manfaatnya? Berapa banyak dana APBN lagi harus digelontorkan ke Sidoarjo untuk menyumbat sumber lumpur Lapindo?

    Negeri ini berada di pusat berbagai bencana alam. Letusan gunung api, gempa, tsunami, setiap saat bisa menjadi kenyataan buruk bagi anak bangsa ini. Kita butuh dana besar untuk menggerakkan setiap elemen penyelamatan saat bencana tiba.

    Bertambah celaka, lumpur Lapindo terus menggerogoti APBN. Sampai kapan? Presiden semestinya memberi jawaban yang menenangkan publik. Yang menenteramkan rakyat.

    Publik telah lelah bertanya. Yang ditunggu adalah jawaban pemerintah. Ataukah kita masih menyerahkan kepada alam untuk menjawab? Astaga!

    (c) mediaindonesia.com

  • Volume Lumpur Lapindo Berkurang, Waspadalah

    Volume Lumpur Lapindo Berkurang, Waspadalah

    SURABAYA- Penurunan volume semburan lumpur Lapindo, jangan dianggap sebagai kabar gembira dulu. Pasalnya penurunan itu bisa jadi malah harus diwaspadai sebagai tanda akan terjadinya penurunan lapisan tanah yang masif.

    Menurut Ahli Geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Amin Widodo, ada dua kemungkinan penyebab turunnya volume semburan Lapindo.

    Penyebab pertama, bisa jadi karena tersumbat. Ini ditandai dengan munculnya beberapa semburan baru di sekitar Porong. “Akhir-akhir ini kan muncul semburan baru di mana-mana. Bisa jadi karena di pusat semburan terjadi penyumbatan,” kata Amin di Surabaya, Rabu (3/11/2010).

    Kemudian, lanjut Amin, kemungkinan kedua karena material semburan yang berada di bawah perut bumi sudah menipis. “Ini sangat berbahaya, karena ancaman penurunan tanah akan terjadi. Hanya saja hal itu belum diukur seberapa jauh ancaman itu,” katanya.

    Menipisnya material yang ada di bawah permukaan bumi di Porong ini memicu terjadinya rongga-rongga kosong. Rongga-rongga kosong itu luasnya juga belum terukur.

    Namun dari beberapa peristiwa penurunan tanah yang menyebabkan rumah beberapa warga hilang tertelan bumi, membuktikan bahwa rongga itu cukup luas. “Bila lapisan atasnya mengalami penekanan maka penurunan tanah tidak bisa dihindarkan,” katanya.

    Jika rongga-rongga kosong ini terjadi secara luas, maka yang harus diwaspadai adalah terjadinya penurunan tanah secara luas.(ful)

    (c) .okezone.com

  • Ada Bupati Baru, Korban Lapindo pun Terusir

    Ada Bupati Baru, Korban Lapindo pun Terusir

    SIDOARJO—Terhitung sejak 1 November 2010, warga Sidoarjo resmi mempunyai Bupati dan Wakil Bupati baru, H Saiful Ilah dan MG Hadi Sucipto. Akankah ada perubahan nasib korban Lapindo? Alih-alih mendapat harapan baru, korban lumpur Lapindo justru diusir dari Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Sidoarjo. Pihak Kepolisian Resor Sidoarjo membubarkan paksa puluhan korban Lapindo yang menginap di pelataran gedung dewan sejak 6 Agustus 2010 tersebut.

    Warga korban Lapindo dari Desa Jatirejo, Renokenongo, Kedungbendo, dan Siring itu terpaksa menginap di gedung dewan demi menuntut sisa pembayaran 80 persen aset mereka yang seharusnya dibayar oleh PT Minarak Lapindo sesuai Perpres 14/2007 secara tunai, bukan dicicil. Namun, karena berkali-kali PT MLJ ingkar janji, warga menuntut agar pemerintah mengambil alih pembayaran aset tersebut. Berbagai macam aksi dan orasi dilakukan, namun pemerintah maupun Lapindo tidak memberikan respon positif.

    Jumat siang (29/10/2010), setelah lebih 80 hari bertahan di gedung dewan, warga justru harus menerima kenyataan lebih pahit lagi. Mereka diusir dari lokasi oleh pihak kepolisian. Kepolisian juga minta agar warga membersihkan poster dan tenda-tenda yang ada. Sebenarnya, warga sudah membereskan poster dan tenda sejak Rabu (27/10/2010). Setelah itu, mereka datang ke gedung dewan hanya dengan menggelar tikar tanpa spanduk maupun atribut aksi lainnya. Namun, kepolisian tetap membubarkan paksa puluhan korban Lapindo yang terkategorikan dalam Peta Area Terdampak (PAT) Perpres 14/2007 tersebut.

    Sekitar pukul 10.45 Jumat siang itu, sejumlah polisi datang dan mengancam agar warga meninggalkan gedung dewan dalam waktu 15 menit. Spontan saja warga yang kebanyakan perempuan itu kaget, lalu terjadi ketegangan antara polisi dan warga. Insiden itu membuat salah satu warga pingsan. Fitri, perempuan yang jatuh pingsan itu, langsung dilarikan ke RS DKT (Polri) Sidoarjo, yang tidak jauh dari lokasi.

    “Saya datang ke gedung dewan untuk menuntut hak saya agar cepat dibayar, soalnya sudah dua bulan saya belum bayar kontrakan. Lah, kok malah diusir,” ucap Fitri saat terbaring di ruang unit gawat darurat (UGD). “Sudah dua bulan masa kontrakan rumah saya habis. Sampai sekarang saya belum bisa bayar kontrakan. Daripada mikirin terus uang kontrakan, ya, saya datang ke gedung dewan bersama warga lainnya,” lanjut Fitri, korban Lapindo asal Desa Jatirejo ini.

    Koordinator aksi, Zainal Arifin, menyayangkan tindakan polisi membubarkan paksa warga tersebut. “Sudah dua hari kami tidak bermalam di sini. Dan tempat kami aksi sudah kami bersihkan. Tapi kebanyakan warga tidak punya rumah, ya, mereka kembali ke sini untuk menuntut haknya,” ujar Zainal setelah insiden Jumat siang itu. Warga yang merasa tuntutannya belum dipenuhi akhirnya pindah bertahan di sekitar alun-alun Sidoarjo. Mereka enggan meninggalkan lokasi sebelum tuntutan dipenuhi. “Kami tidak akan mengakhiri aksi kami sebelum tuntutan kami terpenuhi,” kata Wiwik, warga asal Desa Siring.

    Zainal melanjutkan, warga hanyalah menuntut hak pembayaran secara tunai aset-aset yang telah ditenggelamkan Lapino. “Kami di sini menuntut pembayaran 80 persen aset kami sesuai Perpres 14/2007,” ujarnya. Dan karena Lapindo berkali-kali mangkir, bahkan terhadap warga yang menerima skema cicilan sekali pun, Zainal dan warga lainnya menuntut pemerintah mengambil alih. “Kami menuntut pemerintah mengambil alih penanganan peluansan aset-aset kami,” tandas Zainal. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Donasi Publik untuk Pendidikan Korban Lapindo Kembali Disalurkan

    Donasi Publik untuk Pendidikan Korban Lapindo Kembali Disalurkan

    SIDOARJO – Sejumlah anak korban lumpur Lapindo kembali menerima bantuan pendidikan dari donasi publik yang digalang koalisi masyarakat sipil peduli korban Lapindo. Donasi tersebut diserahkan langsung oleh perwakilan Posko Keselamatan Korban Lapindo kepada pihak sekolah dengan disaksikan para wali murid.

    Distribusi bantuan pendidikan tahap ketiga ini mencakup 38 siswa yang duduk di bangku kelas 1 hingga kelas 6 MI Ma’arif Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, yang merupakan salah satu desa yang tenggelam oleh lumpur Lapindo pada Mei 2006. Gedung MI Ma’arif Jatirejo turut tenggelam dan tidak mendapat kompensasi dari Lapindo maupun pemerintah. Muhammad Chisom, bertindak mewakili Yayasan MI Ma’arif, menerima langsung bantuan hasil solidaritas publik tersebut.

    “Saya mewakili Yayasan MI Ma’arif Jatirejo sangat berterima kasih kepada masyarakat luas. Semoga bantuan ini bermanfaat,” ujar Chisom. Ia mengungkapkan rasa gembiranya di tengah kenyataan bahwa Lapindo maupun pemerintah seolah tidak peduli dengan hilangnya hak pendidikan anak korban Lapindo meski sesungguhnya hal tersebut menjadi tanggung jawab mereka. “Kami merasa senang sekali dengan bantuan ini. Setidaknya masih ada dari masyarakat yang peduli atas pendidikan korban Lapindo,” imbuh Chisom.

    Pria berkacamata tersebut berharap, dengan adanya bantuan pendidikan dari masyarakat luas tersebut, pemerintah tergugah dan lebih memperhatikan korban Lapindo. “Kami sampai saat ini masih belum memiliki gedung sendiri. Dengan adanya bantuan dari masyarakat luas ini, kami berharap pemerintah mau sedikit peduli dan memperhatikan nasib anak didik kami,” kata Chisom. Hingga saat ini, MI Jatirejo berpindah-pindah menyewa ruang belajar dari satu tempat ke tempat lainnya.

    Para orang tua murid yang hadir pun mengungkapkan rasa terimakasih kepada masyarakat luas. Uswanti, wali murid dari Waida Widiawati, merasa sangat terbantu. “Saya sangat terbantu sekali dengan bantuan pendidikan ini. Apalagi uang ujian anak saya kemarin masih belum bayar,” ujarnya. Sejak lumpur Lapindo muncrat, perekonomian keluarga Uswanti amburadul. Pabrik tempatnya dan suaminya bekerja tenggelam oleh lendut panas Lapindo. Sementara, hingga saat ini, uang pembayaran atas aset tanah dan bangunan mereka dari Lapindo yang dicicil Rp 15 juta per bulan sering tidak diperoleh. Bahkan belakangan macet hingga lima bulan.

    Dengan menanggung biaya sekolah dua anak, Uswati merasa terbebani. “Dulu sebelum ada Lapindo, biaya sekolah anak saya tidak menjadi beban. Tapi setelah pabrik kerupuk tempat saya bekerja tenggelam, saya jadi menganggur. Dan tempat kerja suami saya sekarang pindah di Gedangan, Sidoarjo. Gajinya habis buat transport dan makan setiap hari,” kisah perempuan 35 tahun tersebut usai serah terima donasi.

    Para wali murid dan kepala sekolah berharap kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan nasib pendidikan mereka dan segera dibangunkan gedung sekolah baru.  Sehingga, proses belajar mengajar di MI Maarif Jatirejo ini menjadi lancar seperti sebelum meletupnya lumpur Lapindo.

    Bantuan yang salurkan ke 38 siswa sebesar Rp 8.389.000 itu rencananya akan digunakan untuk membiayai uang ujian dan biaya buku selama satu tahun ajaran. Pihak Posko masih akan terus mendistribusikan donasi publik ke anak-anak korban lumpur Lapindo yang telah dilanggar hak-haknya. Solidaritas masyarakat luas melalui donasi pendidikan ini bisa dilakukan melalui Aksi Seribu Rupiah. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Sidang Gugatan Warga Melawan BPLS Digelar

    Sidang Gugatan Warga Melawan BPLS Digelar

    SIDOARJO – Pengadilan Negeri Sidoarjo kembali menggelar sidang kasus pembebasan tanah relokasi tol Porong-Gempol dan arteri Jalan Raya Porong pada Rabu (27/10/2010). Ini sebagai kelanjutan gugatan puluhan warga dari Kecamatan Porong dan Kecamatan Tanggulangin yang terkena gusuran relokasi infrastruktur tol dan arteri yang rusak akibat lumpur Lapindo. Agenda sidang kali ini adalah penyampaian kesimpulan kedua pihak. Tergugat dan penggugat menyampaikan kesimpulan ke majelis hakim yang dipimping Suryawati.

    Sidang ini berawal ketika pada Juni 2010 lalu, 5 warga yang mewakili 70 warga pemilik lahan dari Desa Wunut, Desa Pamotan, Desa Simo, Desa Juwet Kenongo, Desa Kebon Agung, Kecamatan Porong dan Desa Ketapang, Desa Kali Sampurno, Kecamatan Tanggulangin mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Sidoarjo. Mereka menggugat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Bupati Sidoarjo, Panitia Pembebasan Tanah (P2T) dan PT Sucofindo Appraisal Utama terkait transparansi harga tanah yang digusur untuk relokasi tol Porong-Gempol dan arteri.

    Dari perjalan persidangan, Saiful Arif, kuasa hukum penggugat dari LBH Surabaya mengatakan, hasil penilaian tim appraisal itu seharusnya juga diinformasikan ke pemilik tanah. Sehingga proses musyawarah terkait harga tanah bisa berjalan lebih baik. “Bukti-bukti di persidangan menunjukkan bahwa hasil penelitian itu hak yang harus diberikan pemilik tanah. Sebab hasil penelitian itu dilakukan secara independen profesional. Sehingga itu juga harus diberikan ke pemerintah maupun pemilik tanah,” ujarnya.

    Arif menolak kesimpulan dari tergugat. Pihak tergugat menyimpulkan bahwa hasil penelitian tersebut merupakan rahasia negara dan hanya diserahkan ke pihak P2T, sedangkan warga pemilik tanah tidak boleh mengetahui hasil penelitian tersebut. Menurut Arif, aturannya sudah jelas, bahwa peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 2007 menyatakan hasil penelitian merupakan salah satu pedoman yang harus digunakan untuk musyawarah pengadaan tanah. “Kalau musyawarah tidak memiliki pedoman, bagaimana musyawarah akan berjalan baik? Jelas akan merugikan pemilik tanah,” ujarnya.

    Sidang yang digelar PN Sidoarjo tidak berlangsung lama. Setelah menerima berkas penyampaian keputusan dari kedua pihak, majelis hakim menyatakan sidang ditunda sampai tanggal 10 November 2010 dengan agenda penyampaian keputusan.

    Puluhan warga penggugat turut menyaksikan jalannya persidangan. Mereka berharap majelis hakim mencermati dengan jeli bukti-bukti dan saksi-saksi yang disajikan di persidangan. Sehingga, hasil-hasil penelitian harga tanah tidak lagi menjadia rahasi negara dan bisa dikonsumsi oleh siapa pun.

    “Saya berharap majelis hakim mengabulkan gugatan kami, bahwa hasil penelitian dari tim apprasial mengenai harga tanah tidak lagi rahasia. Sehingga pemilik tanah tidak dirugikan,” ujar Kastawi, salah satu pemilik tanah yang ikut mengajukan gugatan. “Kasus ini kan kasus baru. Jika majelis hakim mengabulkan maka tidak ada lagi warga mengalami kerugian atas tanahnya yang dipergunakan untuk kepentingan negara,” tambahnya. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Hampir 80 Hari Menginap di Gedung Dewan, Warga Tak Menyerah

    Hampir 80 Hari Menginap di Gedung Dewan, Warga Tak Menyerah

    SIDOARJO – Sudah hampir 80 hari puluhan warga korban lumpur Lapindo menginap di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo, namun tidak ada tanggapan positif dari negara dan Lapindo. Warga yang berasal dari lima desa tersebut terus menuntut agar pelunasan 80 persen atas aset tanah dan bangunan mereka yang ditenggelamkan lumpur dibayar tunai sesuai Perpres 14/2007, dan bukan melalui skema cicilan. Mereka rela bertahan dan meninggalkan pekerjaan dan anak – istri  (yang sebagian tinggal di luar kabupaten) demi menuntut hak.

    Syamsun, misalnya, memiliki anak yang masih balita. Ia rela meninggalkan anak dan istrinya untuk menggelar aksi di Gedung Dewan ini. Mbah Sun, panggilan akrabnya, pun harus meninggalkan pekerjaannya. “Sudah dua bulan anak saya terpaksa saya tinggal. Saya hanya pulang seminggu sekali, itu pun hanya mengambil pakaian dan kembali lagi ke tempat aksi ini,” kata Mbah Sun. Sampai hari ini Mbah Sun belum menerima sisa pelunasan 80 persen dari Lapindo meski Perpres 14/2007 mengharuskan pembayaran tersebut diselesaikan pada 2008. Mbah Sun tak menyerah demi memperjuangan 80 persen tersebut. “Pekerjaan saya tinggal,” tambahnya.

    Agus, pria asal Desa Jatirejo, juga terpaksa menitipkan anak – istrinya di rumah mertuanya di Jember. Ia pun meninggalkan pekerjaan, dan selama aksi di Gedung Dewan sejak 6 Agustus 2010 lalu ini ia tak memperoleh penghasilan. Tak menyerah, Agus mulai memutar otak. Ia lalu menjalin pertemanan dengan pedagang mie ayam yang mangkal di depan tempat aksi. Pria yang juga mempunya anak satu ini pun ditawari berjualan buah segar dan rujak manis. Tanpa pikir panjang, Agus langsung menyetujui tawaran tersebut.

    Namun, saat itu Agus juga tidak langsung berdagang karena tidak adanya modal. Mengetahui Agus tidak punya modal, pedagang mie ayam tersebut berbaik hati memberikan modal kepada Agus sebesar Rp 200 ribu. Agus langsung menggunakan uang itu untuk membeli buah-buahan di Pasar Larangan, Sidoarjo. Ia iris-iris buat tersebut dan lalu dijualnya setiap hari di depan Gedung Dewan. “Modal dan rombong dipinjami pedagang mie ayam, Mas,” cerita Agus sembari mengupas buah di tenda tempatnya aksi.

    Sehari Agus dapat memperoleh keuntungan lumayan, sekitar Rp 20-30 ribu. “Dan setelah seminggu, saya kembalikan modal Rp 200 ribu ke pedagang mie ayam,” ujarnya. Selain berdagang buah dan rujak manis, pada malam harinya Agus dan sejumlah teman lain membantu parkir di sekitar alun-alun Sidoarjo. “Hasilnya lumayan, bisa beli rokok, kopi dan gula untuk teman-teman. Dan sebagian uang hasil jualan buah bisa dikasih ke istri di Jember,” tutur Agus.

    Toh, ketika ditanya sampai kapan menginap di Gedung Dewan, Agus dan Syamsun mengaku bahwa mereka tidak ingin berlama-lama. Mereka berharap agar PT Minarak Lapindo Jaya segera mengabulkan tuntutan warga untuk melunasi sisa 80 persen secara tunai sesuai dengan Perpres 14/ 2007. Jika PT MLJ tidak mampu memenuhi tuntutan warga, mereka berharap pemerintah mengambil alih penanganan pelunasan aset tersebut, sehingga warga bisa segera pulang dan berkumpul dengan keluargan. (novik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Akibat Lumpur Lapindo, Bangunan Bekas Ruko Ambles 6 Meter

    Akibat Lumpur Lapindo, Bangunan Bekas Ruko Ambles 6 Meter

    SIDOARJO—Semburan lumpur Lapindo tak henti menebarkan dampak-dampak lanjutan. Kali ini sebuah bangunan di Desa Jatirejo ambles hingga sekitar enam meter, mirip dengan amblesnya bangunan milik warga Desa Siring beberapa waktu lalu. Tempat kejadian berjarak kurang 50 meter dari Jalan Raya Porong, dan berdekatan dengan jaringan rel kereta api. Ini membuat pihak PT KA Daop VIII khawatir dan langsung melakukan pemeriksaan jaringan rel.

    Peristiwa amblesnya bangunan bekas ruko yang terletak di Desa Jatirejo RT 01/01 itu pertama kali diketahui Kariono, warga Jatirejo yang berada tak jauh dari lokasi, pada Rabu (20/10/2010). “Kejadiannya sekitar jam 06.00 pagi. Saya lihat bangunan bekas ruko itu ambles saat saya keluar dari rumah,“ cerita pensiunan TNI AD tersebut. Bangunan ini dulu pernah dijadikan usaha pembuatan kompor minyak oleh warga bernama Marwan. Di lokasi bekas bangunan ini juga terdapat bubble gas yang sudah lama menyembur dan sempat berhenti.

    Petugas Badan Penanggulanagan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang berada di tempat kejadian masih belum berani mengukur berapa kedalaman dan lebar penurunan tanah (land subsidence) yang mangakibatkan bangunan di atasnya ikut amblas. Land subsidence terjadi akibat gerowongnya tanah di bawah permukaan lantaran lumpur yang terus menyembur dari bawah. BPLS juga belum bisa mendeteksi semburan gas yang keluar karena kondisi tanah yang masih labil. Sampai saat ini, tempat kejadian diberi garis kuning oleh BPLS.

    Dengan amblesnya bangunan yang tidak jauh dari rel kerata api koridor Sidoarjo-Gempol tersebut, pihak PT KA masih menggunakan jalur kereta api tapi laju diturunkan menjadi 10 km/jam dari semula 20 km/jam. “Kami saat ini masih melakukan pemantauan secara intensif selama 24 jam. Jika penurunan tanah di sekitar rel kereta api ini semakin memburuk, kita akan terus berkoordinasi dengan BPLS,” ungkap Hary Soebagiyo, salah satu petugas PT KA Daop VIII, yang siang itu memantau di lapangan.

    Tidak pelak, amblesnya bangunan bekas ruko Pasar Buah Jatirejo itu membuat warga yang tinggal tidak jauh dari lokasi khawatir jika penurunan tanah meluas ke tempat mereka tinggal. Mbah Kasih, 80 tahun, terlihat cemas. Rumah Mbah Kasih tepat berseberangan dengan lokasi. Saat kejadian, perempuan yang tinggal dengan cucunya ini tidak tahu sama sekali. “Kulo pas kejadian mboten semerap. Semerap’e pas akeh tiang-tiang ningali (Saya pas kejadian tidak tahu sama sekali. Baru tahu pas banyak orang melihat),” cerita Mbah Kasih.

    Praktis saja kejadian tersebut membuat perempuan yang sehari-hari berdagang kopi ini ketakutan. “Kulo inggih wedi Mas. Lek omahku melok amles pisan yok opo? Padahal omahku enggak katut melok ganti rugi (Saya juga takut Mas. Kalo rumah saya ikut ambles juga bagaimana? Padahal rumahku tidak masuk peta ganti rugi),” kata Mbah Kasih. Desa Jatirejo RT 01/01 memang tidak tercakup dalam Peta Area Terdampak (PAT) sesuai Perpres 2007 sehingga warga tidak mendapatkan ganti rugi dalam pola jual beli tanah dan bangunan.

    Ketakutan serupa juga dialami Supriati. Jarak rumah Supriati dengan tempat kejadian kurang lebih 100 meter. “Saya jadi takut kalau dampaknya nanti bisa merembet ke rumah saya,” ujar janda 48 tahun ini. Dengan kejadian tersebut, Supriati yang berjualan nasi sejak 1995 ini berharap pemerintah lebih memperhatikan nasibnya dan warga yang lain, dan cepat mengambil tindakan.

    “Saya berharap pemerintah lebih memperhatikan nasib warga yang tinggal di sini. Saya pasrah saja ke pemerintah kalau mau direlokasi ataupun rumah saya diberi ganti rugi. Saya juga mau saja. Yang terpenting saya cepat pindah dari sini, biar bisa hidup lebih tenang,” ungkap Supriati.

    Hingga Kamis (21/10/2010), pihak PJKA masih terlihat berupaya melakukan penutupan semburan yang mengambleskan bangunan tersebut, agar penurunan tanah tidak berdampak pada rel kereta api. Humas BPLS, Ahmad Zulkanain, mangatakan BPLS akan membatu PJKA untuk berupaya menutup semburan tersebut dan memberikan wewenang penuh kepada PJKA untuk menangani semburan yang mengambleskan bangunan tersebut.

    “BPLS memberikan wewenang penuh kepada PJKA untuk menangani semburan di bekas ruko Jatirejo. Karena tanah itu punya PJKA. Kita akan membantu menyediakan material dan alat dalam upaya penutupan semburan itu,” ungkap lelaki yang biasa disapa Ijul ini. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Penyakit Ingkar Janji Lapindo Kambuh

    Penyakit Ingkar Janji Lapindo Kambuh

    SIDOARJO – Lapindo tampaknya memang mengidap penyakit ingkar janji yang akut dan mudah kambuh. Lagi-lagi PT Minarak Lapindo Jaya enggan membayar aset warga korban melalui skema cicilan Rp 15 juta/bulan. Sebelumnya PT MLJ tidak mentransfer cicilan selama lima bulan. Lalu menjelang Idul Fitri, PT MLJ hanya membayar cicilan Rp 5 juta, jauh dari angka yang dijanjikan. Dan hingga hari ini (18/10/2010), PT MLJ masih belum juga mentransfer uang cicilan ke rekening warga korban Lapindo.

    “Minarak itu sudah seenaknya tidak mencicil Rp 15 juta selama lima bulan. Dan sebelum lebaran Minarak hanya membayar Rp 5 juta. Sekarang sudah sebulan Minarak juga belum mentransfer,” ujar seorang warga Desa Ketapang, Tanggulangin, yang enggan disebut namanya.

    Bukan hanya itu, warga juga menyayangkan sikap Pemerintah yang seakan-akan tidak perduli dengan penderitaan warga. Meskipun Lapindo tidak mentranfer cicilan berbulan-bulan, Pemerintah seakan-akan tidak berdaya menghadapi Lapindo. Bahkan terkesan tidak perduli. “Lapindo sudah sering mengingkari janjinya untuk membayar cicilan, tapi sikap Pemerintah kok tidak perduli sama sekali. Seharusnya ‘kan pemerintah menekan Minarak,” ucap warga Ketapang yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang ojek tanggul tersebut.

    Tidak dibayarnya cicilan Rp 15 juta sesuai waktu yang telah disepakati membuat kebanyakan warga korban lumpur Lapindo kebingungan. Hamamik, warga asal Jatirejo, pusing saat rumah yang dikontraknya tersisa tinggal hitungan hari. Uang cicilan dari Minarak yang menjadi harapan keluarga Hamamik ternyata tidak kunjung dibayarkan. “Sudah sebulan Lapindo tidak membayar cicilan lagi. Apalagi tanggal 30 nanti masa kontrakan rumah saya mau habis. Kalau Lapindo tidak segera membayar cicilan, saya mau tinggal di mana? Sedangkan saya juga belum bisa membeli rumah,” kata pria yang sehari-hari juga mengojek di tanggul ini.

    Hamamik dan keluarga masih belum bisa membeli rumah lagi. Maklum saja, aset tanah dan bangunan miliknya masih tercatat satu surat dengan ketiga saudaranya. Artinya, jika Lapindo membayar Rp 15 juta/bulan maka harus dibagi empat orang. Praktis Hamamik hanya menerima sebesar Rp 3.750.000. “Dan uang itu selalu habis untuk kebutuhan sehari-hari dan buat biaya sekolah anak saya,” cerita Hamamik yang mengontrak di Perumahan Tanggulangin Angaun Sejahtra II (TAS) ini. “Sedangkan  saya sekarang tidak jualan susu lagi sejak Desa Jatirejo tenggelam. Jadi untuk kebutuhan sehari-hari, ya, mengandalkan cicilan dari Lapindo,” lanjutnya.

    Sementara itu, warga korban Lapindo yang tinggal di Desa Gempolsari, Tanggulangin, mengalami nasib lebih parah. Pasalnya sebanyak 20 warga sampai saat ini belum menerima ganti rugi 20 persen, padahal warga yang kebanyakan tinggal di RT 10/ RW 2 Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin,  termasuk dalam Peta Area Terdampkan  (PAT) versi Perpres 14/2007.

    “Sudah empat tahun lebih, tapi sampai saat ini saya masih belum menerima pembayaran ganti rugi 20 persen. Padahal berkas saya sudah ada di Minarak,” ungkap Suparno, warga yang kini terpaksa masih menempati rumahnya yang rawan di Desa Gempolsari. Hamamik, Suparno dan warga korban lumpur Lapindo lainnya berharap agar pemerintah lebih memperhatikan nasib mereka dan berani menekan Lapindo untuk melaksanakan tanggung jawabnya. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Warga Desak Transparansi Jaminan Kesehatan

    Warga Desak Transparansi Jaminan Kesehatan

    SIDOARJO – Warga timur tanggul lumpur Lapindo yang berada di Desa Besuki Timur, Jabon, mendesak pemerintah agar memberikan keterbukaan informasi mengenai jaminan kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan banyak warga mengeluh sulitnya memperoleh jaminan kesehatan gratis karena dinilai tidak ada dalam data pemerintah. Padahal mereka termasuk kategori miskin, apalagi setelah lumpur Lapindo melenyapkan sawah-sawah Desa Besuki.

    Hal tersebut terungkap dalam pertemuan warga Desa Besuki Timur dengan pihak Dinas Kesehatan Sidoarjo, Jumat sore (15/10/2010). Pertemuan yang diselenggarakan di salah satu rumah warga tersebut dihadiri sekitar seratus orang warga sekitar. Dr. Djoko Setijono, mewakili Dinas Kesehatan, mendapat berbagai pertanyaan dari warga, terutama mengenai Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

    “Jamkesda dikeluarkan oleh Pemprov Jatim,” terang Setijono. “Semua warga Jatim sudah dengan sendirinya memperoleh kartu Jamkesda warna abu-abu, artinya bebas biaya rawat jalan. Sedangkan bagi yang memperoleh Jamkesda warna biru, berarti bebas biaya rawat inap.”

    Warga juga bertanya mengenai layanan kesehatan khusus bagi korban Lapindo, terutama bagi warga Desa Besuki Timur yang tidak dimasukkan Peta Area Terdampak (PAT) oleh pemerintah maupun Lapindo. Warga merasa tidak ada informasi yang jelas dari pemerintah, padahal kondisi kesehatan lingkungan di sekitar tanggul kian memburuk.

    Menanggapi hal itu, Setijono mengakui memang tidak ada lagi pengobatan gratis bagi warga korban lumpur Lapindo. “Penanganan kesehatan gratis pernah ada pada awal-awal semburan, namun sekarang tidak ada lagi. Sekarang semua melalui program Jamkesmas dan Jamkesda,” ungkap Setijono yang kini juga menjadi PLT. Kepala Puskesmas Jabon ini.

    Pertanyaan banyak terlontar ketika membahas bagaimana penerima Jamkesmas dan Jamkesda ditentukan. Sebab, warga hanya tahu kartu Jamkesmas dibagi-bagikan langsung tanpa pengumuman soal pendataan sebelumnya. Sedangkan banyak warga yang miskin tidak menerima, yang menurut petugas dikarenakan tidak ada datanya. “Banyak warga yang tidak mempunyai kartu Jamkesmas,” ujar Abdul Rochim, salah satu warga Besuki. “Kami ingin tahu syarat-syarat mendapat Jamkesmas itu bagaimana. Kok katanya data dikirim dari bawah, tapi kami tidak pernah melihat ada pendataan di lapangan,” lanjutnya.

    Setijono menanggapi bahwa pihaknya tidak berwewenang mencetak kartu Jamkesmas atau Jamkesda. Pihaknya berposisi sebagai pelayan kesehatan. Penentuan penerima Jamkesmas/Jamkesda ada di pemerintahan pusat atau provinsi. “Data-datanya biasanya diambil dari statistik di kecamatan, yang kadang tidak dimutakhirkan,” terang Setijono. Misalnya, Jamkesmas 2010 didasarkan pada data 2007 atau 2008. “Makanya kadang ada penerima kartu yang bahkan orangnya sudah meninggal,” tambahnya. Karena itu, Setijono mengusulkan, jika ada pertemuan lagi, hendaknya pihak kelurahan atau kecamatan turut dihadirkan, agar bisa diklarifikasi langsung.

    Warga lainnya menanyakan soal layanan-layanan apa saja yang digratiskan. Sebagian yang hadir memang memiliki kartu Jamkesmas, namun kadang masih diminta bayar biaya-biaya obat tertentu. Ada warga yang mengalami diberi obat gratis, namun bayar suntikan. Ada yang disuruh beli obat di apotek luar. “Kalau Jamkesmas semua gratis, rawat inap sekalipun. Jamkesda tergantung kartu warna abu-abu atau biru,” ujar Setijono. “Memang kadang kami di Puskesmas tidak dikirim cairan atu suntikan dari gudang farmasi, tapi di rumah sakit semua lengkap. Jika ada masalah, bisa langsung komplain ke saya,” tambah Setijono.

    Pertemuan berlangsung selama kurang lebih dua jam. Merasa kurang lengkap, warga berencana akan menghadirkan pihak kelurahan dan kecamatan pekan depan. Selain itu, warga juga minta daftar tertulis obat atau layanan gratis bagi pemegang kartu Jamkesmas/Jamkesda. (vik/ba)

    (c) Kanal Newsroom

  • Anak Korban Lapindo Menerima Donasi Pendidikan

    Anak Korban Lapindo Menerima Donasi Pendidikan

    SIDOARJO – Sejumlah siswa SMPN 2 Jabon dan MTs Jawairul Ulum, Kecamatan Jabon, menerima bantuan donasi publik untuk pendidikan anak korban lumpur Lapindo. Penyerahan donasi gelombang kedua ini didistribusikan langsung kepada pihak sekolah dengan disaksikan pihak wali murid, Selasa (12/10/2010).

    Penerima donasi pendidikan pada tahap ini berjumlah 13 siswa. Kebanyakan mereka tinggal di  Desa Besuki Timur, Jabon, yang tidak dikategorikan Peta Area Terdampak oleh Lapindo maupun Pemerintah. Tujuh siswa bersekolah di SMPN 2 Jabon dan enam siswa berada di bangku MTs Jawahirul Ulum.

    Para wali murid merasa gembira dapat memperoleh bantuan publik yang digalang koalisi masyarakat sipil peduli korban Lapindo melalui Aksi Seribu Rupiah di berbagai kampus dan ruang publik di sejumlah kota di Indonesia, dari Aceh hingga Manado, tersebut. Chosin, orangtua murid dari M. Sulaiman yang kini duduk di bangku kelas 1 SMPN Jabon, mengungkapkan rasa terimakasihnya kepada masyarakat luas. “Saya sangat senang dan berterima kasih sekali anak saya sudah dibantu pendidikannya,”ucapnya.

    Chosin sehari-hari bekerja sebagai pedagang kupang keliling. Penghasilan ayah lima anak ini merosot tajam sejak lumpur Lapindo muncrat pada 29 Mei 2006. “Dulu saya bisa mendapat penghasilan kotor sekitar 80 ribu sampai 100 ribu rupiah. Tapi sekarang paling banter 50 ribu rupiah. Itu pun belum kepotong bensin. Dengan penghasilan segitu tidak cukup untuk membiayai kedua anak saya yang masih sekolah,” cerita pria berusia 47 tahun ini.

    Dalam kesempatan tersebut, Kepala Sekolah Mts Jawairul Ulum, Abdul Nafi, juga mengungkapkan kegembiraannya. “Saya mewakili Mts Jawairul Ulum sangat berterima kasih dengan bantuan biaya pendidikan ini. Kondisi anak-anak yang terkena dampak semburan lumpur memang memperhatinkan. Jadi mudah-mudahan bantuan pendidikan ini dapat meringankan beban para wali murid,” ungkap Nafi.

    Donasi yang diserahkan oleh perwakilan Posko Keselamatan Korban Lapindo tersebut sebesar Rp 3.150.000 untuk murid SMPN 2 Jabon dan Rp 2.004.000 untuk MTs Jawahirul Ulum. Dana tersebut mencakup biaya buku, uang ujian, dan biaya lainnya selama satu tahun ajaran. Pihak Posko masih akan terus mendistribusikan donasi publik ke anak-anak korban lumpur Lapindo yang telah dilanggar hak-haknya. Masyarakat luas bisa terlibat melalui Aksi Seribu Rupiah. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Sempat Terbakar, Gas Liar Mencemaskan Warga Tiga Desa

    Sempat Terbakar, Gas Liar Mencemaskan Warga Tiga Desa

    SIDOARJO – Lumpur Lapindo tak berhenti menyebarkan kecemasan warga yang kian meningkat selama sepekan terakhir. Belasan gas liar bermunculan di tiga desa, yakni Desa Besuki Timur, Desa Pejarakan, Kecamatan Jabon, dan Desa Mindi, Kecamatan Porong. Semburan gas liar bahkan sempat menyebabkan kebakaran, Rabu pagi (29/9/2010).

    Setelah muncul di dekat warung Desa Besuki Timur, di dalam rumah Desa Mindi, dan di pelataran sekolah Desa Pejarakan, gas liar bercampur lumpur menyembur di rumah warga di Desa Pejarakan, Rabu pagi (19/9/2010). Dewi Habibah, pemilik rumah, mengetahui adanya semburan di dalam rumahnya pada 09.00. Dewi tidak mengira kalau air itu disebabkan Lapindo.

    “Saya kira air yang keluar dari rumah saya itu berasal dari kamar mandi,” tutur Dewi. “Setelah saya cek, air seperti lumpur keluar dari kamar saya.”

    Dewi pun panik. Ia berteriak meminta bantuan warga di sekitar. Warga yang kebetulan berada di sekitar lokasi spontan berdatangan. Mereka membantu mengeluarkan perabotan milik Dewi. Dewi mengungsikan perabotan miliknya dan barang dagangannya ke rumah kerabatnya di Desa Sawahan, Porong.

    Seteleh kejadian itu, Dewi berencana akan mengungsi. “Kami sementara akan mengungsi dulu ke rumah saudara, dan cari rumah kontrakan sampai kita bisa membeli rumah kembali,” kata Dewi sembari sibuk mengeluarkan barang dagangannya.

    Desa Pejarakan, tempat Dewi tinggal, termasuk dikategorikan Peta Area Terdampak oleh pemerintah melalui Perpres 48/2008. Pembelian aset dengan dana dari APBN sudah dibayarkan 50 persen. Namun, Dewi dan keluarga masih belum bisa membangun rumah. Lagi pula, pembayaran 50 persen yang diterima Dewi hanya untuk bangunan, sedangkan tanah belum dibayarkan karena dianggap masih dalam sengketa.

    Pada hari yang sama, semburan gas juga muncul sekitar 100 meter arah barat rumah Dewi. Puluhan titik semburan gas menyembur di belakang rumah yang ditempati sekretariat Posko Keselamatan Korban Lumpur Lapindo, RT 13 RW 2, Desa Mindi. Bahkan, gas liar tersebut sempat menyebabkan kebakaran pada 09.30. Koordinator Posko, Bambang Catur Nusantara, menuturkan gelembung gas sudah bermunculan belakangan ini.

    “Sejak Sabtu kemarin (25/9/2010) sudah muncul. Dan sekarang kira-kira sudah 50 titik lebih gas liar yang muncul,” ujar Catur.

    Penghuni Posko segera mencoba memadamkan api dibantu warga setempat. Upaya pemadaman gagal, dan beberapa waktu kemudian pihak BPLS tiba di lokasi setelah dihubungi lewat telepon. Upaya pemadaman dilakukan dengan alat pemadam kebakaran ringan (APAR), namun masih tidak mampu memadamkan api. Zat kimia dan air kemudian disemprotkan ke titik-titik api. Setengah jam kemudian, api baru bisa dipadamkan.

    Gas yang terbakar mengandung gas methan yang mudah terbakar, kadarnya mencapai sekitar 34 % atau Low Explosive Limit (LEL). Sumur yang berada di dapur Posko juga mengeluarkan gas methan, yang kandunganya mencapai 20%.  Petugas BPLS hanya menyarakan agar penghuni tidak menyalakan api di dekat sumur, selain harus memberikan sirkulasi agar gas methan bisa keluar, tidak terperangkap di dalam. Gas liar juga sudah bermunculan persis di sebelah barat Posko.

    Selain memeriksa dan memberi saran, BPLS tidak memberikan penanganan secara serius. Bahkan bekas semburan yang terbakar tidak diberi tanda bahaya, BPLS hanya memasang tali pembatas semacam police line . Catur menyayangkan tindakan petugas BPLS yang dinilai lamban. “Seharusnya BPLS proaktif dalam penanganan bubble yang bermunculan akhir-akhir ini. Tidak hanya menangani sembuaran yang besar, akan tetapi semburan kecil yang mengandung gas methan yang mudah terbakar juga harus diperhatikan, agar tidak jatuh korban lagi seperti warga Siring,” ujar Catur.  (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Semburan Gas Menyerbu Sekolah

    Semburan Gas Menyerbu Sekolah

    SIDOARJO—Lumpur Lapindo tak henti menebar terror. Kali ini semburan air bercampur gas muncul di SDN Pejarakan, Jabon, dan menggenangi pelataran gedung sekolah di sisi selatan tanggul ini. Pihak sekolah langsung membubarkan proses belajar mengajar dan memulangkan siswa-siswi.

    Halim Faris, tukang kebun sekolah, pertama kali mengetahui gar liar bercampur air itu sekitar pukul 03.00 dini hari, Selasa (28/9/2010). Tak berselang lama, air yang menyembur segera menggenangi halaman sekolah hingga setumit orang dewasa, dan terus menaik.

    “Awal mulanya, semburan gas ini muncul di pelataran parkir,” tutur Halim. Tapi, menurutnya, semburan di pelataran parkir pada hari Senin (28/9/2010) itu sebatas gelembung kecil. “Tadi pagi sudah bermunculan di halaman dan (semburan air) menggenangi halaman sampai tumit orang dewasa,” lanjut Halim.

    Kontan saja, proses belajar mengajar terganggu. Para siswa dan wali murid semula tidak tahu kalau air yang menggenangi pelataran sekolah itu berasal dari semburan gas liar. Begitu tahu, mereka kaget. “Saya baru tahu setelah guru olahraga saya memberi tahu kalau air itu berasal dari Lapindo,” ujar Vivi Andriani, siswi kelas 6, dengan polosnya. Para wali murid pun akhirnya berdatangan menjemput anak-anak mereka. Pihak sekolah langsung memulangkan para murid.

    Pihak sekolah berkoordinasi dengan Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Pendidikan Kecamatan Jabon untuk menindaklanjuti proses belajar mengajar yang terganggu. Mudzakkir Fakih, Kepala Sekolah SDN Pejaraka, mengatakan akan memindahkan proses belajar mengajar ke Kantor Balai Desa Pejarakan. Sedangkan peralatan sekolah diungsikan ke tempat yang lebih aman.

    “Untuk sementara waktu, proses belajar mengajar akan dipindahkan ke balai desa, sambil melihat perkembangan kondisi sekolah,” ucap Mudzakkir usai rapat dengan UPTD Dinas Pendidikan Jabon.

    M Mubasir, Kepala Cabang UPTD Dinas Pendidikan Kecamatan Jabon, mengatakan kegiatan sekolah terpaksa dipindahkan demi keselataman siswa dan guru. “Karena saya yakin gas yang keluar ini mudah terbakar,” katanya.

    Siswa dan guru pantas khawatir, tidak saja karena halaman sudah tergenang air bercampur gas, gedung sekolah ini pun nyaris dikelilingi bahaya. Sebelah utara gedung berbatasan langsung dengan tanggul Lapindo. Sementara di sebelah timur gedung, persisnya di sebelah barat pipa pembuangan lumpur (spill way), semburan air dan gas yang Jumat lalu (24/9/2010) muncul dalam skala kecil kini kian membesar. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • 50 Hari Menginap di Gedung Dewan, Tuntutan Warga Masih Diabaikan

    50 Hari Menginap di Gedung Dewan, Tuntutan Warga Masih Diabaikan

    SIDOARJO—Genap 50 hari bertahan di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo, warga korban lumpur Lapindo menggelar mimbar bebas. Hingga hari ini, tuntutan sisa pembayaran 80 persen aset tanah dan bangunan warga tidak digubris. Pihak PT Minarak Lapindo Jaya, Bupati Sidoarjo, maupun Panitia Khusus (Pansus) Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo, tidak memberikan kejelasan apapun bagi warga.

    Warga mengharapkan Pemerintah dan DPRD Sidoarjo bisa memperjuangkan aspirasi mereka. Namun, hingga 50 hari ini warga tidak memperoleh kejelasan. Warga mengungkapkan kekecewaannya melalui aksi mimbar bebas. “Pada awal-awal kami melakukan aksi di sini hanya ditemui Bupati dan Ketua DPRD. Tapi setelah itu dan sampai sekarang tidak ada yang menemui kami,” kata Wiwik, warga Desa Siring, saat melakukan orasi, Jumat (25/9/2010).

    “Lek DPRD enggak isok ngurusi mending bubar ae. Percuma dadi anggota dewan, mending macul ae,” (Kalau DPRD tidak bisa mengurusi nasib warga, mending bubar saja. Percuma dadi anggota dewan, mending mencangkul saja),” sahut Nanik Lestari, yang juga turut bertahan di gedung dewan.

    Kecewaan warga semakin memuncak saat mengetahui bahwa semua anggota dewan Sidoarjo melakukan kunjungan kerja ke sejumlah daerah, sejak 20 September. Hal ini sangat disayangkan oleh koordinator aksi M. Zainul Arifin. “Kami berharap kepada dewan agar memperjuangkan nasib kami. Tapi kok malah bepergian,” tandas Zainal.

    Bukannya diberi jawaban atas tuntutannya, warga justru terkesan diusir. Kepala Kepolisian Resor Sidoarjo menyarankan agar warga membubarkan diri. Alasannya, pada Oktober nanti akan diselenggarakan pelantikan bupati dan wakil bupati Sidoarjo terpilih.

    “Kemarin kami dipanggil Kapolres. Beliau menyarankan kami agar untuk sementara membubarkan aksi kami. Alasannya untuk menghormati pelantikan bupati,” kata Zainal di tengah-tengah orasinya. Warga tetap menolak bubar. “Kami tidak akan membubarkan diri sampai ada kejelasan tuntutan kami,” tegas Zainal.

    Zainal melanjutkan, jika pihak kepolisian tetap membubarkan paksa, warga akan pindah ke kantor gubernur di Surabaya. “Jika pihak kepolisian bersikeras, kami akan pindah ke gubernur dengan berjalan kaki ke Surabaya, agar rakyat tahu penderitaan kami,” ujarnya.

    Menjelang azan magrib, melalui mimbar bebas warga menghimbau kepada masyarakat Indonesia untuk ikut memperhatikan penderitaan korban lumpur Lapindo, “Kami menghimbau kepada masyarakat indonesia untuk ikut mendukung aksi kami dan bersama-sama menekan Presiden untuk segera mengambil alih penanganan korban lumpur Lapindo. Karena selama empat tahun lebih Lapindo mengabaikan tanggung jawab yang sudah diatur dalam Perpres 14/2007,” kata Zainal. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Bangunan Pasar Porong Lama Dibongkar Penjarah

    Bangunan Pasar Porong Lama Dibongkar Penjarah

    SIDOARJO – Bangunan Pasar Porong lama dipreteli dan dijarah pencuri. Sejumlah bagian bangunan hilang tak berbekas. “Aksi penjarahan seperti sudah direncanakan. Pelakunya ratusan orang,” kata Sujono warga Mindi, Kecamatan Porong, yang dekat dengan lokasi pasar, Rabu (25/8).

    Aksi penjarahan bahan bangunan terjadi sejak pedagang direlokasi ke Pasar Porong baru tiga bulan lalu. Meski telah direlokasi masih ada sejumlah pedagang yang berjualan. Namun, pada saat pasar sudah sepi, para penjarah beraksi membongkar bangunan pasar.

    Pelaku mempreteli rolling door, kayu yang menjadi rangka bangunan, jendela, daun pintu, dan bahan bangunan lain. Pelaku membawa peralatan, seperti palu dan linggis. Dalam menjalankan aksinya, pelaku berkelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 15-20 orang.

    Hasil jarahannya diangkut menggunakan kendaraan pick-up dan truk. Warga setempat tak berani menghentikan aksi tersebut. Sebab, pelaku mengancam warga yang mengetahui aksi mereka. Sebelumnya, warga melaporkan aksi penjarahan ini ke Kepolisian Sektor setempat. Namun, hingga kini tak ada penindakan. Bahkan polisi selalu datang terlambat setelah menerima laporan warga, dan para pelaku sudah tidak ada di tempat.

    Anggota Komisi Perekonomian dan Kuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo Muhammad Sugianto meminta Pemerintah Kabupaten Sidoarjo segera mengamankan aset bangunan pasar Poronglama tersebut. Jika dibiarkan seluruh bangunan habis tak berbekas. “Penjarahan bisa dihindari jika diantisipasi sejak awal,” ujarnya.

    Pemkab Sidoarjo seharusnya menurunkan petugas untuk menjaga dan mengamankan seluruh aset di pasar lama tersebut.

    Pemindahan pasar, selain karena letaknya yang terlalu dekat dengan Jalan Raya Porong, juga terancam ditenggelamkan lumpur Lapindo. (EKO WIDIANTO)

     

    (c) TEMPO Interaktif

  • Semburan Gas Liar Kembali Meneror Warga

    Semburan Gas Liar Kembali Meneror Warga

    SIDOARJO – Semburan lumpur dan gas liar lagi-lagi bermunculan serentak di sejumlah titik di sekitar kawasan lumpur Lapindo. Setelah menyembur di rumah warga Desa Mindi, Porong, Kamis lalu (23/9/2010), kali ini semburan lumpur dan gas muncul di belakang sebelah timur gedung SDN Pejarakan, di tiga titik sekaligus. Semburan juga timbul di persawahan Desa Besuki Timur, Jabon.

    Semburan lumpur dan gas di persawahan Desa Besuki Timur pertama kali diketahui Satpam yang sehari-hari bertugas di tanggul 42, pada Jumat malam (24/09/2010) sekitar pukul 19.30. Salah satu warga Besuki menceritakan, awalnya bau gas menyebar dan tidak berselang lama lumpur menyembur secara tiba-tiba.

    “Lumpur menyembur mencapai ketinggian sekitar 1 meter, dan semakin lama semakin membesar,” cerita Selamet, salah satu warga Besuki Timur yang menyaksikan semburan baru tersebut.

    Semburan yang tidak jauh dari warung milik Mariati itu sempat membuat takut pemilik warung yang biasa berjualan nasi. Mariati sempat mengungsikan barang-barangnya.

    Warga Desa Besuki juga menghawatirkan kalau semburan lumpur yang keluar di sebelah timur bekas Jalan Tol Surabaya-Gempol ini akan menenggelamkan desa. “Kalau semakin lama semakin besar kami takut semburan itu bisa menengggelamkan desa kami,” kata salah satu warga Besuki Timur yang enggan disebutkan namanya.

    Ahmad Zulkarnain, Kepala Humas Badan Penangulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), menyatakan, semburan yang berdiameter sekitar 4 sampai 5 meter ini tidak tidak akan membesar. “Semburan yang muncul ini akan mengecil sendiri seminggu sampai sebulan. Apalagi semburan ini muncul di ruang terbuka. Gas yang ikut keluar tidak akan terperangkap dan kecil kemungkinan akan terbakar,” kata Zulkaranin.

    BPLS akan tetap melakukan monitoring jika lumpur semakin membesar.“Kami akan melakukan monitoring. Jika semakin membesar kita akan melakukan penanganan lebih lanjut. Tapi biasanya semburan yang mengeluarkan material pasir dan gas ini akan mengecil dengan sendirinya,” tambah Zulkarnain saat dihubungi lewat telepon. (vik)

     

    (c) Kanal Newsroom

  • PT Minarak Lapindo Tolak Tuntutan Korban Lumpur

    PT Minarak Lapindo Tolak Tuntutan Korban Lumpur

     

    JAKARTA–DPR diminta berhati-hati menyikapi rencana pemerintah menambah Rp 700 miliar untuk me-recovery kerusakan yang ditimbulkan luapan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Sebab, anggaran Rp 1,26 triliun yang akan digelontorkan pemerintah tersebut hanya akan menggerogoti uang negara.

    “Alokasi dan status dananya harus jelas. Apakah dana yang akan digunakan itu berbentuk dana talangan ataukah dana murni yang memang menjadi beban negara. Jika bentuknya talangan boleh-boleh saja karena ganti rugi untuk masyarakat sangat mendesak dan nanti pihak Lapindo akan membayar ke negara,” kata Direktur Eksekutif Walhi, Berry N Furqon, kepada Rakyat Merdeka Online sesaat lalu (22/9).

    Menurut Berry, alokasi anggara Rp 1,19 triliun pada tahun 2010 saja tidak jelas. Tidak ada alokasi untuk upaya penutupan semburan lumpur. Pengalokasian anggarannya bukan upaya langsung kepada menjamin keselamatan warga.

    “Jika statusnya tidak jelas ini hanya akan menggerogoti uang negara saja. Dimana tanggung jawab PT Lapindo-nya,” tuturnya mempertanyakan.

    Sebenarnya sudah banyak indikasi yang memperlihatkan PT Lapindo Berantas tidak memiliki niat baik untuk menyelesaikan permasalahan ini. Mereka misalnya, sudah dua tahun tidak melunasi ganti rugi sesuai tenggat waktu yang diberikan pemerintah. Sesuai Perpre 48/2008 mestinya perusahaan milik keluarga Bakrie ini sudah selesai membayar ganti rugi pada April 2009.

    “Sebaiknya jangan tanggung-tanggung lagi. Itu kan Keppres, mestinya harus diambil tindakan hukum dan politik. Sita seluruh aset Lapindo. Termasuk aset beberapa sumur milik mereka yang beroperasi. Jangan sampai terus menguntungkan PT Lapindo,” demikian katanya lagi. [guh]

    –Ade Mulyana

    (c) Rakyat Merdeka

  • Rp 1,19 Triliun untuk Lapindo Masih Belum Jelas

    Rp 1,19 Triliun untuk Lapindo Masih Belum Jelas

    JAKARTA–DPR diminta berhati-hati menyikapi rencana pemerintah menambah Rp 700 miliar untuk me-recovery kerusakan yang ditimbulkan luapan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Sebab, anggaran Rp 1,26 triliun yang akan digelontorkan pemerintah tersebut hanya akan menggerogoti uang negara.

    “Alokasi dan status dananya harus jelas. Apakah dana yang akan digunakan itu berbentuk dana talangan ataukah dana murni yang memang menjadi beban negara. Jika bentuknya talangan boleh-boleh saja karena ganti rugi untuk masyarakat sangat mendesak dan nanti pihak Lapindo akan membayar ke negara,” kata Direktur Eksekutif Walhi, Berry N Furqon, kepada Rakyat Merdeka Online sesaat lalu (22/9).

    Menurut Berry, alokasi anggara Rp 1,19 triliun pada tahun 2010 saja tidak jelas. Tidak ada alokasi untuk upaya penutupan semburan lumpur. Pengalokasian anggarannya bukan upaya langsung kepada menjamin keselamatan warga.

    “Jika statusnya tidak jelas ini hanya akan menggerogoti uang negara saja. Dimana tanggung jawab PT Lapindo-nya,” tuturnya mempertanyakan.

    Sebenarnya sudah banyak indikasi yang memperlihatkan PT Lapindo Berantas tidak memiliki niat baik untuk menyelesaikan permasalahan ini. Mereka misalnya, sudah dua tahun tidak melunasi ganti rugi sesuai tenggat waktu yang diberikan pemerintah. Sesuai Perpre 48/2008 mestinya perusahaan milik keluarga Bakrie ini sudah selesai membayar ganti rugi pada April 2009.

    “Sebaiknya jangan tanggung-tanggung lagi. Itu kan Keppres, mestinya harus diambil tindakan hukum dan politik. Sita seluruh aset Lapindo. Termasuk aset beberapa sumur milik mereka yang beroperasi. Jangan sampai terus menguntungkan PT Lapindo,” demikian katanya lagi. [guh]

    –Ade Mulyana

    (c) Rakyat Merdeka

  • SBY Renang di Danau Lumpur Lapindo?

    SBY Renang di Danau Lumpur Lapindo?

     

    Lalu mengapa kebocoran sumur Banjar Panji 1 Porong milik Lapindo Brantas Inc (Lapindo) tidak dapat dihentikan, padahal letaknya di darat, yang mestinya lebih gampang dibandingkan kebocoran sumur minyak Teluk Meksiko?

    Rudi Rubiandini, pakar pengeboran minyak dan gas bumi (migas) yang pernah mengerjakan upaya penghentian semburan lumpur Lapindo mengatakan bahwa upaya penyumbatan semburan lumpur Lapindo dihentikan pihak Lapindo yang berdalih kekurangan dana.

    Keterangan Rudi tersebut sesuai dengan laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tertanggal 29 Mei 2007 yang menyatakan bahwa ketidakberhasilan upaya penghentian semburan lumpur Lapindo diantaranya disebabkan oleh ketidaktersediaan peralatan yang dibutuhkan.

    Pemerintah Indonesia tidak berbuat apa-apa membaca temuan BPK itu, tidak melakukan tekanan kepada Lapindo dan Grup Bakrie. Presiden SBY memang beda tipe dengan Presiden Obama dan DPR RI juga beda karakter dengan Kongres AS, dalam bela negara.

    Alih-alih menekan Grup Bakrie, tapi Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TPPLS) DPR RI dahulu malah mengeluarkan “fatwa” bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh gempa Jogja. Wewenangnya “mengontrol” penanggulangan, tapi malah mengeluarkan fatwa teknis.

    Hukum Tata Negara jadi kacau di tangan parlemen kita. Sudah tahu kalau fungsi parlemen itu fungsi kontrol, bujet dan regulasi, malah mblakrak mengeluarkan rekomendasi teknis penyebab semburan lumpur. Namun, ketika pemerintah dan Lapindo tidak serius dalam menyelesaikan masalah korban, TPPLS DPR RI juga tidak berbuat apa-apa.

    Kenapa fatwa gempa Jogja itu bisa keluar dalam rekomendasi TPPLS DPR? Ada isu suap, yang memang sulit dibuktikan, akhirnya hanya menjadi bisik-bisik publik yang menilai rekomendasi DPR irasional.

    Dalih gempa Jogja itu juga mempermalukan tiga ahli Indonesia di Conference & Exhibition yang dilaksanakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) di Cape Town Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008 . Tanggal 29 Oktober 2008 saya dikirimi email oleh Rudi Rubiandini yang menginformasikan hasil konferensi yang dihadiri para ahli geologi seluruh dunia itu.

    Pada acara itu disampaikan sekitar 600 makalah dalam 97 tema yang berbeda, dan terdapat 6 buah tema khusus yang sangat dianggap penting yaitu “Lusi Mud Volcano: Earthquake or Drilling Trigger” yang disampaikan 28 Oktober 2008.

    Konferensi internasional itu menghasilkan tiga suara ahli (dari Indonesia) yang mendukung gempa Jogja sebagai penyebab, 42 orang ahli menyatakan pengeboran sebagai penyebab, 13 ahli menyatakan kombinasi faktor gempa Jogja dan pengeboran sebagai penyebab, dan 16 ahli menyatakan belum bisa mengambil opini.

    Jadi, cukup memprihatinkan ketika pengadilan Indonesia memilih keterangan ahli pihak Lapindo yang berupa asumsi serta hipotesa. Pengadilan menyingkirkan dokumen negara yang otentik, hasil investigasi dan kerja keras tim ahli BPK yang menggunakan data-data primer. Ini menabrak hukum pembuktian pasal 1866 KUHPerdata dan pasal 164 HIR.

    Kebijakan pemerintah (eksekutif) tidak tegas, terkesan memihak Grup Bakrie. Rekomendasi parlemen (legislatif) melalui TPPLS juga memihak Grup Bakrie. Begitu pula putusan lembaga yudisiil juga memihak Grup Bakrie.

    Seluruh lembaga negara itu tak ada yang memihak hak keadilan dan kebenaran rakyat korban langsung, serta rakyat Indonesia seluruhnya yang dipaksa memikul beban masalah lumpur Lapindo itu lewat APBN serta APBD Jawa Timur, hingga semburan lumpur itu berhenti. Sampai kapan?

    Sekarang kita dapat mengambil benang merah antara: mandegnya upaya penghentian semburan lumpur Lapindo dengan kepentingan korporasi Grup Bakrie dalam masalah lumpur itu. Tak lain dan tak bukan adalah: mengamankan posisi finansial korporasi, lalu mengorbankan rakyat dan negara.

    Jika semburan lumpur Lapindo itu berhasil dihentikan maka itu akan menjadi bukti besar bahwa semburan lumpur Lapindo merupakan kesalahan pengeboran oleh Lapindo sehingga Grup Bakrie harus dibebani dana besar seperti BP di Teluk Meksiko.

    Saya tidak menemukan solusi dalam kasus ini melainkan dengan secara guyonan: ada baiknya kita menyewa Hugo Chavez atau Evo Morales untuk menjadi Presiden Indonesia, agar mereka ini mengajari kita bagaimana cara bernasionalisme yang benar.

    Pun andaikan Presiden SBY tegas memerintahkan semburan lumpur Lapindo dihentikan kemudian berhasil, tidak perlulah meniru gaya Obama dengan berenang di danau lumpur Lapindo untuk merayakan kesuksesan itu. Tidak perlu!

    (c) Subagyo, Kompasiana

     

  • Pakar Bantah Ilmuwan Rusia: 90 Persen Yakin Semburan Lapindo Akibat Pemboran

    Pakar Bantah Ilmuwan Rusia: 90 Persen Yakin Semburan Lapindo Akibat Pemboran

    ADELAIDE—Pakar geomekanik dan perminyakan Mark Tingay dari Australian School of Petroleum, Universitas Adelaide, Australia, membantah kajian ilmuwan Rusia, Sergey V Kadurin, yang menyimpulkan lumpur Lapindo disebabkan gempa bumi. Menurut Tingay, kajian Kadurin gagal membuktikan bagaimana gempa Yogyakarta bisa memicu semburan lumpur Lapindo.

    “Laporan (Kadurin dkk.) tersebut tidak memiliki data riil apa pun, dan data kecil yang mereka tunjukkan itu cacat,” kata Tingay seperti dikutip The Australian, Senin (11/10/2010).

    Mark Tingay telah lama mengkaji kasus lumpur Lapindo dan bersama Richard Davies dari Universitas Durham, Inggris, dan sejumlah ilmuwan lain telah mempublikasikan hasil risetnya, “The East Java mud volcano (2006 to present): An earthquake or drilling trigger?)” diterbitkan Earth and Planetary Science Letters 2008. Temuan kajian ini menyatakan lumpur Lapindo dipicu oleh aktivitas pemboran.

    Temuan tersebut diperkuat lagi dengan kajian baru yang dirilis pada Februari 2010. Dalam “The Lusi mud volcano controversy: Was it caused by drilling?” yang diterbitkan Marine and Petroleum Geology, Februari 2010, itu Tingay dan Davies menunjukkan bukti-bukti baru yang memperkuat kesimpulan bahwa pemicu lumpur Lapindo tak lain adalah kegiatan pemboran.

    Karena itu, Tingay membantah keras kesimpulan Kadurin yang diumumkan di Jakarta, 1 Oktober lalu, dan mendapat perhatian luas media-media di Indonesia. Bagi Tingay, kajian ilmuwan Rusia itu lemah.

    “Menurut pendapat saya, berdasarkan kajian-kajian ilmiah yang sudah saya lakukan, gempa tidak bisa memicu semburan lumpur Lapindo. Dan kita 90 persen yakin, bahkan kolega-kolega saya 99 persen yakin, semburan ini terkait dengan kecerobohan pemboran,” ujar Tingay. (ba)

    (c) Kanal Newsroom

  • Semburan Gas Tak Terbendung, Warga Jatirejo Cemas

    Semburan Gas Tak Terbendung, Warga Jatirejo Cemas

    SIDOARJO—Warga Desa Jatirejo Barat, Porong, kembali dicemaskan oleh semburan air bercampur gas. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tak berhasil menangani semburan yang awalnya muncul pada 19 Agustus lalu itu di belakang kompleks Panti Asuhan Nurul Azhar. Upaya memisahkan air dan gas metan berkadar LEL (low explosive limit) 62 persen dengan cara membuang gas ke udara lewat pipa, sedangkan air dialirkan ke sungai, gagal.

    Sejak Senin malam (6/9), air tidak bisa dibendung, dan menyembur setinggi 20 meter. Air juga mengalir ke pipa yang dirancang untuk pembuangan gas metan. Semburan air akhirnya menggenangi makam Desa Jatirejo, yang terletak persis di belakang kompleks panti asuhan. Sumono, salah satu penjaga makam, mengatakan bahwa air yang keluar dari kompleks panti asuhan tidak hanya menggenangi makam Desa Jatirejo, tapi juga membuat banyak makam ambles.

    Kegiatan di panti asuhan pun terganggu sejak semburan air dan gas itu muncul. Sedikitnya ada sekitar lima penghuni panti asuhan yang didirikan almarhum Ustadz Abdurrahim Nur, tokoh Muhammadiyah Jatim, itu keluar karena takut. “Seminggu setelah ada semburan, lima santri keluar karena takut,” ungkap Zunaidi, salah satu penghuni panti asuhan. Awalnya, sebelum ada semburan air dan gas, jumlah penghuni panti asuhan ini dua puluh lima, dan sekarang tersisa duapuluh orang.

    Tidak hanya itu, selama Ramadhan kegiatan di panti asuhan yang dipimpin M Masrukh juga terganggu. “Sejak semburan menyembur, jamaah shalat tarawih mulai merosot. Banyak para jamaah yang mengeluhkan bau gas yang muncul dari semburan,” kata M Masrukh setelah mengimami sholat zhuhur di Masjid Nurul Azhar yang letaknya tidak jauh dari titik semburan, Selasa (7/9).

    “Kami berharap pihak pemerintah bisa menutup semburan yang muncul di kompleks kami, agar kami bisa melaksanakan kegiatan lagi,” lanjut Ketua Yayasan Panti Asuhan Nurul Azhar ini. (vik)

    (c) Kanal Newsroom