Blog

  • Benang Kusut Lumpur Lapindo

    Sejak Mei 2006 atau dua tahun tujuh bulan sejak menyemburnya lumpur panas Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, belum seluruh persoalan tertuntaskan, terutama persoalan sosial dan lingkungan akibat semburan. Bila diumpamakan benang, lumpur Lapindo ibarat benang yang kusut berkepanjangan.

    Persoalan utama dampak semburan lumpur Lapindo adalah ganti rugi tanah dan bangunan milik ribuan warga yang terendam lumpur sehingga harus mengungsi. Sejauh ini, bos Lapindo, Aburizal Bakrie, menyatakan telah menghabiskan Rp 3,5 triliun hanya untuk membayar ganti rugi. Namun, pembayaran ganti rugi belakangan ini tersendat. Diduga, pemicunya adalah krisis keuangan global yang mengakibatkan kekayaan Grup Bakrie menguap hingga menyisakan 10 persen saja, seperti yang dikatakan Aburizal.

    Meskipun demikian, PT Minarak Lapindo Jaya (anak perusahaan Lapindo Brantas Inc yang bertugas menyelesaikan ganti rugi korban lumpur) berulang kali menegaskan akan menuntaskan pembayaran ganti rugi. Sejauh ini, iktikad baik itu terlihat dengan masih berlangsungnya proses pembayaran ganti rugi meski kerap tersendat dan dicicil.

    Kenyataannya, tak semua dari sekitar 13.000 korban lumpur merasa puas. Sebagian memang sudah merasa tenang dengan menerima ganti rugi tanah dan bangunan. Namun, sebagian yang lain belum menerima ganti rugi sama sekali, yaitu sekitar 1.400 pemilik berkas termasuk warga Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, yang tinggal di pengungsian Pasar Porong Baru.

    Wakil Ketua DPRD Sidoarjo Jalaluddin Alham mengingatkan pemerintah pusat agar menyiapkan skenario terburuk jika Minarak benar- benar tidak memiliki dana untuk ganti rugi. Skenario itu adalah pilihan dana talangan dari APBN sebagai ganti rugi korban lumpur. Syaratnya, kata Jalaluddin, Minarak harus memberi jaminan kepada pemerintah bahwa suatu saat mereka sanggup membayar atas dana talangan yang dikeluarkan.

    Rupanya sebagian korban lumpur enggan mengerti kondisi keuangan Lapindo. Menurut Wakil Ketua Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo Pitanto, warga tidak paham jika disodori penjelasan bahwa saham-saham Lapindo berjatuhan di lantai bursa sehingga bangkrut dan pembayaran ganti rugi tersendat. “Kami tidak mengerti soal itu. Yang jelas, tanah dan rumah kami terendam. Kami hanya menginginkan ganti rugi yang menjadi hak kami, tidak peduli uang itu dari mana,” ujarnya.

    Persoalan lain yang tidak boleh luput dari perhatian adalah dampak lingkungan akibat semburan lumpur Lapindo. Hingga saat ini lumpur masih menyembur sebanyak 100.000 meter kubik per hari. Sebagian lumpur itu dibuang ke Sungai Porong. Dampaknya sudah mulai terasa, yaitu usaha tambak di bagian hilir sungai tercemari endapan lumpur yang mengandung gas berbahaya. Selain itu, endapan lumpur belum seluruhnya hilang dari Sungai Porong yang mengakibatkan terganggunya aliran sungai menuju laut.

    Apakah pemerintah harus turun tangan sepenuhnya? Mungkin juga tidak, seperti yang dikatakan Kepala Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) Soenarso. “Yang diurusi pemerintah tidak hanya lumpur Lapindo,” katanya. Jawaban yang masuk akal. Apalagi, pada 2009 seluruh pejabat negeri ini akan disibukkan hajatan besar bernama pemilu.

    Sampai saat ini belum ada jawaban bagaimana penyelesaian semburan lumpur Lapindo dan kapan berakhirnya. Persoalan ini ibarat benang kusut yang memerlukan tidak hanya satu tangan untuk dapat mengurainya.

    ARIES PRASETYO (Dimuat pada Catatan Akhir Tahun Kompas, 30 Desember 2008)

  • Korban Menagih Janji PT MLJ

    SIDOARJO, KOMPAS – Sekitar 150 korban lumpur Lapindo dari Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera Sidoarjo mendatangi kantor perwakilan PT Minarak Lapindo Jaya, Selasa (30/12) pukul 08.00 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka menagih janji PT MLJ yang hendak mencicil sisa ganti rugi 80 persen pada Desember 2008.

    Warga bermaksud menemui perwakilan PT MLJ untuk menanyakan cicilan pertama sisa ganti rugi 80 persen yang jatuh tempo akhir Desember 2008. Namun, tak satu pun staf PT MLJ berada di kantor.

    Koordinator warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) Sidoarjo, Koes Sulassono, mengatakan, hingga saat ini tak sampai 200 dari 1.170 warga Perumtas korban lumpur yang mendapatkan cicilan ganti rugi.

    Kesepakatan kami dengan Minarak yang difasilitasi Presiden pada awal Desember di Istana Negara menyatakan, sisa ganti rugi 80 persen dicicil Rp 30 juta setiap bulan. Nyatanya, tidak semua warga sudah mendapatkan cicilan. Yang mendapat pun hanya dibayar Rp 15 juta,” kata Koes.

    Menurut Koes, jika sampai 10 Januari 2009 tidak ada kejelasan mengenai pembayaran sisa ganti rugi 80 persen, warga Perumtas akan berangkat ke Jakarta lagi untuk meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membantu penyelesaian ganti rugi. Warga yang ke Jakarta akan lebih banyak dibanding pada 3 Desember lalu yang berjumlah 1.000 orang.

    ”Kami juga sudah mengirim surat kepada Menteri Sosial dan Menteri Pekerjaan Umum untuk melaporkan bahwa realisasi ganti rugi tidak sesuai dengan kesepakatan di Jakarta,” kata Koes.

    Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabussala saat dihubungi mengatakan, pihaknya sedang mengkaji kembali mengenai pembayaran sisa ganti rugi 80 persen.

    Dalam pesan singkatnya Andi mengemukakan, persoalan tersebut mendapat perhatian khusus perusahaan dan sedang dilakukan rapat koordinasi. (APO)

  • Masalah Lumpur Lapindo Segera Dibawa ke Sidang Paripurna Komnas HAM

    Jakarta, TEMPO Interaktif – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berjanji akan membawa nasib korban lumpur panas Lapindo ke sidang paripurna komisi pada 7 Januari mendatang. “Mudah-mudahan hasilnya tidak mengecewakan,” ujar Ketua Tim Penanganan Lumpur Lapindo, Komnas HAM, Syafruddin Ngulma Simeulue, di Jakarta, Ahad (28/12).

    Setelah temu sidang pada 7 Januari, ia berjanji akan menggelar konferensi pers sehari kemudian. “Dengan catatan kalau tanggal 7, perdebatan bisa berakhir,” kata Syafruddin. Komisi berharap keputusan yang dihasilkan nanti benar-benar bulat dari 11 anggota tanpa  perlu pemungutan suara.

    Syafruddin melanjutkan, Komisi Hak Asasi Manusia berjanji rekomendasi yang dibawa ke sidang akan menunjukkan hal yang berbeda. Selama ini, menurut dia, pihaknya menghadirkan tiga kelompok yang akan menentukan Lapindo terjadi akibat bencana atau bukan. “Dua pihak yang kontradiksi dan satu pihak yang netral,” katanya.

    Pada pertengahan November lalu, puluhan korban semburan lumpur Lapindo mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta. Mereka meminta komisi memperjuangan nasib para korban, termasuk soal pembayaran ganti rugi dari Lapindo yang tak kunjung beres.

    DIANING SARI

    Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/12/28/brk,20081228-152802,id.html

  • Korban Lumpur Lapindo Rayakan Tahun Baru di Tenda

    SIDOARJO, KOMPAS – Warga korban lumpur Porong yang tergabung dalam Laskar Bonek Korban Lumpur (Lasbon K-Pur) memilih tinggal di tenda keprihatinan dalam menyambut Tahun Baru Islam 1430 Hijriah dan Tahun Baru 2009.

    “Kami lebih memilih tinggal di tenda keprihatinan sebagai salah satu bentuk reaksi atas nasib kami yang selama dua tahun ini masih belum jelas,” kata Haryanto, salah satu koordinator aksi, ketika dikonfirmasi di Sidoarjo, Minggu (28/12).

    Ia mengatakan, tidak ada acara yang spesial untuk menyambut pergantian tahun baru 1430 Hijriah. “Mungkin kami hanya melakukan renungan malam untuk mengingat kembali nasib kami yang selama dua tahun ini masih belum jelas,” ujarnya.

    Lasbon K-Pur merupakan warga yang setuju dengan realisasi pembayaran ganti rugi dengan skema cash and resettlement. Kegiatan itu diakuinya juga sebagai langkah untuk mengantisipasi rencana pembongkaran paksa tenda keprihatinan yang mereka dirikan 16 Desember lalu. “Kami mendapatkan informasi jika aparat keamanan akan membongkar paksa tenda kami. Oleh karena itu, kami akan bertahan,” katanya.

    Haryanto menambahkan, tenda keprihatinan tersebut sengaja dibuat untuk mengawal realisasi janji Minarak Lapindo Jaya (MLJ) menanggung ganti rugi atas nasib mereka. Selain itu, tenda keprihatinan tersebut, sengaja tidak dibongkar hingga pergantian tahun baru masehi, dari 2008 ke 2009.

    MLJ, kata dia, pernah berjanji akan membangun 450 unit rumah setiap tiga bulan dan diselesaikan dalam waktu tiga bulan. “Mereka (MLJ) berjanji akan memulai pembangunannya pada awal tahun depan, dan kami ingin melihat realisasinya,” katanya.

    Sementara itu,  Ulfiati,  salah seorang korban yang lain menilai, seharunya korban lumpur yang menerima skema pembayaran cash and resettlement sudah bisa menempati rumah mereka sejak Oktober lalu. Akan tetapi, hingga kini rumah yang dijanjikan itu belum juga siap dihuni.

    “Seharusnya, kami sudah bisa menempati rumah tersebut sejak Oktober lalu,  karena penandatanganan ikrar jual beli (PIJB) sudah dilakukan sejak April 2008,” ujarnya.

    Sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/28/18024586/korban.lumpur.lapindo.rayakan.tahun.baru.di.tenda

  • Perpres Tong Pes

    SUBAGYO

    Tanggal 3 Desember 2008, ada sebuah peristiwa sejarah hukum yang mengenaskan. Kacamata hukum memandang itu luar biasa. Apa itu? Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 gugur di istana negara, menjelma dalam kesepakatan perdata di tangan orang-orang yang tidak mempunyai kedudukan hukum utuh.

    Sembilan wakil korban Lapindo asal Perumahan Tanggung Angin Sejahtera (Perumtas), Sidoarjo, menyepakati tawaran Nirwan Bakrie yang mewakili Lapindo Brantas Inc, untuk mencicil sisa ganti rugi jual-beli tanah dan rumah korban lapindo yang masih 80 persen itu dengan cicilan sebesar Rp. 30 juta per bulan. Hasil itu disambut dengan demo korban Lapindo lainnya di Sidoarjo yang menolaknya.

    Di luar kacamata hukum, itu sukses Lapindo kesekian kalinya memecah-belah warga korban Lapindo. Harus diakui, Lapindo lebih hebat dibandingkan para relawan pendamping korban Lapindo. Sebab, Lapindo dibantu kekuatan pemerintah.

    Kronologi Perpres 14 Tahun 2007

    Setelah semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2006 mulai menghancurkan pemukiman penduduk sekitarnya, pemerintah tidak mengambil kebijakan yang tegas dan tepat untuk menyelamatkan korban. Saat itu pemerintah menyatakan bahwa masalah itu menjadi tanggung jawab Lapindo. “Pemerintah tak akan mengeluarkan uang sesenpun. Itu tanggung jawab Lapindo,” kata pemerintah waktu itu.

    Statement pemerintah itu tampak dalam Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 yang membebani tanggung jawab semburan lumpur Lapindo seratus persen, sebagaimana disebutkan dalam Diktum Kelima Keppres itu: “Dengan terbentuknya Tim Nasional dengan tugas sebagaimana dimaksud pada Diktum Ketiga, tidak mengurangi tanggung jawab PT. Lapindo Brantas untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkannya.”

    Bahkan biaya pelaksanaan tugas Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo dibebankan sepenuhnya kepada Lapindo Brantas Inc. (Diktum Keenam Keppres No. 13 Tahun 2006).

    Entah siapa yang menjadi pembisik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sehingga Keppres No. 13 Tahun 2006 yang menjadi ‘angka sial’ bagi Lapindo itu diganti dengan Perpres No. 14 Tahun 2007.

    Eliminasi Keppres No. 13 Tahun 2006 dengan kelahiran Perpres No. 14 Tahun 2007 lebih menguntungkan anak Grup Bakrie itu, sebab berdasarkan pasal 15 Perpres tersebut ditentukan bahwa masalah sosial kemasyarakatan korban pada peta terdampak 22 Maret 2007 akibat semburan lumpur itu dibebankan kepada Lapindo, sedangkan di luar peta 22 Maret 2007 itu menjadi beban negara.

    Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, termasuk penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong dibebankan kepada Lapindo, sedangkan biaya penanganan masalah infrastruktur termasuk infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah.

    Cara penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan korban Lapindo dalam peta terdampak 22 Maret 2007 adalah dengan “jual-beli” tanah dan rumah korban Lapindo yang terkena dampak semburan lumpur. 20 persen dibayar di muka, sisanya 80 persen dilunasi paling lambat sebulan sebelum masa kontrak dua tahun habis. Demikian ketentuan pasal 15 Parpres No. 14 Tahun 2007.

    ”Tong Pes”

    Dalam pelaksanaannya, pembayaran uang muka 20 persen dilakukan dengan cara kelompok per kelompok berkas, dalam gelombang waktu yang berbeda-beda. Kini, jatuh tempo pelunasan pembayaran 80 persen itu sudah terlewati bagi sebagian besar kelompok korban yang ada, sejak Maret 2008 lalu.

    Jangankan pelunasan 80 persen, ternyata masih ada ratusan berkas yang belum menerima pembayaran 20 persen, dipaksa Lapindo mengikuti cara relokasi. Di Desa Kedungbendo masih ada 182 berkas dan di Perumtas I Tanggulangin ada 48 berkas belum dibayar 20 persen, termasuk lebih dari 600 kepala keluarga yang mengungsi di Pasar Porong Baru. Belum lagi kelompok-kelompok korban yang ada di Gempolsari, Jatirejo, Renokenongo yang sama sekali belum menerima uang pembayaran 20 persen itu (data Posko Korban Lapindo di Desa Gedang).

    Tak kalah mengenaskan, bagi korban yang kadung mau mengikuti program pembayaran tunai bangunan dan tukar tanah (relokasi) ternyata banyak yang menangis karena belum dibayar uang muka 20 persen dan tanah relokasinya belum jelas. Tidak cocok dengan yang diiklankan di media-media massa. Korban Lapindo yang ‘tertipu’ itu dalam kelompok Gabungan Korban Lapindo (GKLL) dan Pagarekontrak yang selama ini paling lama mengungsi di Pasar Porong Baru.

    Korban yang belum dilunasi 80 persen datang ke Jakarta. Dengan dalih masalah ekonomi global, di hadapan Presiden SBY terjadi negosiasi yang membenarkan cicilan Rp. 30 juta per bulan. Sementara itu pemerintah menyatakan menutup pintu negosiasi, padahal gelombang korban Lapindo yang menolak hasil negosiasi di sitana negara itu jumlahnya juga masih ribuan, dari kelompok yang berbeda-beda.

    Tragedi hukum yang terjadi adalah bahwa Perpres No. 14 tahun 2007 sebagai regulasi ternyata tidak dipatuhi oleh Lapindo, lantas digeser bentuknya dari hukum publik menjadi hukum perdata. Pun penggeseran tersebut belum dapat memenuhi kedudukan hukum para wakil korban Lapindo dari kelompok tertentu, yang tentunya tak dapat mewakili seluruh korban yang ada.

    Dari segi hukum, bagi warga dalam satu kelompok pun yang tidak menyetujui hasil negosiasi dalam istana negara itu berhak untuk melakukan aksi opt out (memilih keluar) dari kelompok yang diwakili oleh orang yang tidak dipercayainya. Bagi kelompok korban yang tak terwakili tentu tak boleh dipaksa tunduk dengan hasil negosiasi wakil kelompok yang lainnya. Grup Bakrie dibiarkan Presiden SBY tidak patuh dengan Perpres, lalu apa korban lumpur mau dipaksa patuh hasil negosiasi yang menabrak Perpres?

    Pemerintah telah kehilangan kewibawaannnya dalam kasus lumpur Lapindo, yang masih akan menyisakan persoalan dan jalan panjang. Jika terhadap ketentuan hukum publik berupa Perpres itu mudah disimpangi, apalagi terhadap produk hukum perdata berupa hasil negosiasi yang menabrak ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007. Lebih gampang lagi disimpangi.

    Solusinya hanya satu: pemerintahan yang tegas dan berwibawa. Kemarahan seorang Presiden atas penelantaran nasib rakyat korban seharusnya membuahkan garis kebijakan tegas. Perpres No. 14 Tahun 2007 harus dijalankan Lapindo. Jika tidak, diberi sanksi, sebagai ciri hukum yang adil dan pasti. Jika perlu Grup Bakrie dipailitkan oleh pemerintah untuk mempercepat pemberesan seluruh kewajibannya kepada korban Lapindo. Kepailitan bukanlah akhir hidup sebuah korporasi, sebab dalam proses kepailitan itu kegiatan usaha tetap berjalan atas izin Hakim Pengawas.

    Apa guna membuat Perpres jika hanya dijadikan tong pes alias gentong kempes yang tak dihargai? Jangan sampai contoh buruk pelaksanaan hukum itu akan menjadi preseden yang berlanjut dalam pemerintahan selanjutnya. Jika ditiru, semua orang boleh dong tidak patuh regulasi pemerintah, dengan dalih ini dan itu?

  • DPR Pertanyakan 4 Desa Tidak Masuk Area Terdampak Lumpur

    JAKARTA, KOMPAS — Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) mempertanyakan tidak dimasukkannya 4 desa yaitu Besuki Timur, Mindi, Siring, dan Jatirejo ke dalam peta area terdampak.

    Dalam laporannya pada rapat dengar pendapat umum dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Rabu (17/12) malam, Ketua Dewan Pengarah BPLS Djoko Kirmanto memaparkan bahwa bagi 4 desa tersebut, BPLS menyiapkan program darurat jika terjadi hal yang tidak diinginkan.

    “Kenapa tidak dimasukkan (peta area terdampak)? Ini harus dijelaskan, karena ini menjadi landasan kita. Empat desa itu kan sudah kita sepakati,” kata Ketua TP2LS Priyo Budi Santoso.

    Atas hal ini, Djoko menjawab jika masuk ke peta area terdampak maka warga di 4 desa tersebut akan mendapat pembayaran sama besar dengan yang dibayarkan Lapindo. “Oleh karena itu, kita siapkan dana darurat 2009,” ujar Djoko.

    Padahal, ada tuntutan warga desa Jatirejo, Siring Barat, dan Mindi untuk dimasukkan peta area terdampak karena merasa rumah mereka sudah tidak layak huni, demikian pula tuntutan warga desa Besuki dan desa-desa sekitar luapan lumpur yang sudah merasa tidak aman.

    Namun, anggota TP2LS Abdullah Azwar Anas justru mempertanyakan mengapa pemerintah tidak menetapkan ambang batas rasional yang bisa dibayarkan pemerintah kepada warga 4 desa tersebut.

    “Berapa ambang batas rasional yang tidak memberatkan pemerintah? Seharusnya ini ditetapkan jika pemerintah tidak ingin disamakan dengan jual beli yang dilakukan Lapindo. Itu yang ingin kami dengan dari pemerintah. Kalau tidak, rapat kita ya sama saja,” kata anggota Fraksi PKB ini.

    Menurut Anas, ada warga yang mengatakan bahwa mereka bersedia dibayar tidak sama dengan jual beli Lapindo asalkan pembayaran cepat selesai.

    Inggried Dwi Wedhaswary

  • Pemerintah Siapkan Program Darurat bagi Korban Lumpur Lapindo

    JAKARTA, KOMPAS – Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Djoko Kirmanto mengatakan, pemerintah menyiapkan program darurat pada tahun 2009 bagi warga di sekitar area luapan lumpur Lapindo. Program tersebut, diperuntukkan jika terjadi hal yang tidak terduga di 4 desa yaitu Besuki Timur, Mindi, Siring, dan Jatirejo.

    Sebab, Djoko mengatakan, Besuki Timur dinyatakan sebagai daerah yang tidak terkena dampak. Sementara, Desa Mindi, Siring, dan Jatirejo jika dimasukkan sebagai area terdampak akan membengkakkan anggaran.

    “Untuk Mindi, Siring, dan Jatirejo kalau dimasukkan ke dalam peta area terdampak akan menambah anggaran hingga triliunan. Pemerintah sangat berhati-hati sambil menunggu hitungan ekonomisnya. Namun, bila terjadi hal tidak terduga, kami sudah menyiapkan program darurat 2009,” papar Djoko dalam rapat dengan pendapat umum dengan Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) DPR, Rabu (17/12) malam, di Gedung DPR.

    Program darurat tersebut, biaya untuk memobilisasi (mengevakuasi korban), biaya jaminan hidup, dan dana untuk membeli rumah sederhana sehat. Dalam laporan awalnya, Djoko menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur sudah dimulai, seperti pembangunan jalan dan jembatan. “Pembangunan jalan tol masih menunggu,” kata Djoko, yang juga menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum.

    Inggried Dwi Wedhaswary

    Sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/17/20284761/pemerintah.siapkan.program.darurat.bagi.korban.lumpur.lapindo

  • Korban Lapindo di Luar Peta Dampak Merasa Diabaikan

    JAKARTA, KORAN TEMPO – Ribuan warga korban Lapindo dari luar peta kena dampak lumpur merasa diabaikan oleh pemerintah dan pengelola PT Lapindo Brantas. Untuk itu mereka terus menuntut agar pemerintah dan Lapindo bertanggung jawab karena dinilai telah membuat kehidupan normal mereka porak-poranda sejak semburan lumpur terjadi lebih dari dua tahun lalu.

    “Publik hanya tahu korban lumpur Lapindo itu yang rumah atau pekarangannya sudah tenggelam dan masuk dalam peta terdampak,” kata A. Salam, perwakilan warga Ketapang, Sidoarjo, saat berkunjung ke kantor Tempo kemarin. “Padahal kehidupan warga di luar peta terdampak juga bertambah parah, bukannya membaik.”

    Sebelumnya, sekitar 500 warga korban Lapindo dari luar peta dampak itu datang ke Jakarta bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, 10 Desember lalu. Mereka berasal dari Desa Permisan, Ketapang, Siring Barat, dan Besuki Timur. Untuk menuntut tanggung jawab pemerintah dan Lapindo, warga bergabung dalam pergelaran karya seni perupa Dadang Christanto bertema “Survivor” di Tugu Proklamasi, Jakarta.

    Salam menambahkan, desa-desa di luar peta dampak mengalami masalah setelah terjadi semburan lumpur Lapindo, antara lain, air minum tidak bisa lagi digunakan untuk konsumsi sehari-hari dan fasilitas umum mengalami kerusakan berat. Pencemaran logam berat dalam kandungan udara yang dihirup sehari-hari oleh warga juga telah mengakibatkan berbagai macam penyakit. “Kejadian penyakit infeksi saluran pernapasan akut meningkat pesat,” katanya.

    Menanggapi hal itu, Yuniwati Teriana, juru bicara PT Lapindo, menyatakan pihaknya hanya bekerja sesuai dengan peta dampak. Jika daerah yang tidak masuk peta ingin mendapatkan penanganan seperti desa yang masuk peta, kata dia, mereka dipersilakan mengusulkan desa mereka kepada pemerintah daerah setempat. “Daerah yang mengusulkan dan menyurvei untuk dilihat dampaknya, apakah dampak langsung atau tidak langsung,” kata dia.

    DWI WIYANA | REH ATEMALEM

    Sumber: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/12/12/Nusa/krn.20081212.150725.id.html

  • Harus Berani Bersikap Tegas

    AMIN FTH

    Mencuatnya berita Aburizal Bakrie sebagai orang terkaya di Indonesia ternyata tidak membawa angin segar untuk korban lumpur Lapindo. Pihak Lapindo masih adem ayem menyuguhkan skema penundaan pembayaran ganti rugi tanpa kejelasan waktu.

    Hingga kini tragedi tragis semburan lumpur Lapindo masih menyisakan duka bagi para warga Porong, Sidoarjo. Mereka bukan hanya kehilangan tempat tinggal, harta, dan mata pencaharian, melainkan juga ketidakpastian masa depan.

    Sebagian besar para korban sampai sekarang masih belum mendapatkan tempat tinggal tetap, bahkan hingga kini masih banyak yang masih terlunta-lunta di penggungsian. Ny Jumik (52), misalnya, harus mengembuskan napas terakhirnya di pengungsian (30/11). Warga Desa Renokenonggo ini wafat setelah dua tahun mengidap penyakit kanker dan tumor tanpa bantuan pengobatan, baik dari Lapindo maupun pemerintah. Korban lainnya, Luluk, warga Desa Jatirejo Barat, Yakup dan istrinya, warga Desa Siring, mengalami nasib sama.

    Berdasarkan diagnosis dokter, mereka menderita sesak napas akibat menghirup gas beracun di sekitarnya (www.korbanlapindo.net). Menurut penelitian para ahli, lumpur Lapindo mengandung zat beracun yang mengakibatkan gangguan pernapasan, bahkan mengandung polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) 2.000 kali lipat di atas normal, yang secara tidak langsung dapat menyebabkan penyakit kanker dan tumor.

    Semua pihak mengetahui semburan lumpur Lapindo bukan karena malapetaka alam murni, melainkan karena tindakan manusia. Kecongkakan sebuah perusahaan besaryang tidak berpikir pada masyarakat kecil di dekatnyamelakukan pengeboran tanpa memakai casing yang seharusnya digunakan untuk menjamin bahan yang keluar dari perut bumi tidak masuk ke dalam celah-celah tanah. Dan kecerobohan tersebut mempunyai akibat fatal.

    Sekalipun ini bukan sebuah tindakan kejahatan, faktanya malapetaka ini telah menimbulkan puluhan ribu orang kehilangan kampung halaman dan masa depan. Ironisnya, hingga kini pertanggungjawaban PT Lapindo sebagai pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam tragedi ini masih sepi dari realisasi.

    Lapindo selalu menghadirkan penundaan pembayaran 80 persen cash and carry yang dijanjikan dengan alasan pailit. Skema ini terasa kontras ketika Aburizal Bakriesalah satu pemilik Lapindo bertengger sebagai orang terkaya di negeri ini.

    Bukan suatu yang membanggakan ketika para korban lumpur Lapindo lebih percaya untuk mengadukan nasib mereka pada Kedubes Belanda. Negara yang telah menjajah bangsa ini selama bertahun-tahun tersebut dinilai lebih memerhatikan hak ekonomi dan sosial warganya (www.kompas.com).

    Kemarahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam rapat dengan pihak Lapindo mungkin menjadi secercah harapan bagi para korban. Selama ini perlakuan pemerintah terhadap Lapindo terkesan lunak, tidak ada sanksi hukum, sanksi sosial, dan sanksi ekonomi pun diulur-ulur.

    Presiden selaku pemimpin negara dan pemerintahan selaiknya berani bertindak tegas, menjalankan motor keadilan, meskipun itu harus menggerus orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya.

    Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/12/10085782/harus.berani.bersikap.tegas

  • Saham Santos Naik Setelah Mundur dari Sidoarjo

    Pada Jumat siang waktu Australia harga saham Santos naik 13 sen (0,09 persen) menjadi AU$ 14,93, sehari setelah Santos setuju melepas sahamnya dalam Kontrak Bagi Hasil Produksi Brantas.

    Saham Santos dalam kontrak itu adalah 18 persen yang akan diserahkan ke Minarak Labuan. Tidak ada keterangan nilai penyerahan saham itu. Bahkan Santos menyatakan akan membayar Minarak 22,5 juta dolar (246 miliar) kepada Minarak Lapindo untuk penanganan semburan lumpur Lapindo.

    Kesepakatan itu dilaporkan akan melepaskan Santos dari semua tuntutan di masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang yang berkaitan dengan lumpur Lapindo.

    Seperti diberitakan Santos adalah salah satu dari lima perusahaan energi yang tergabung dalam konsorsium penambangan gas di Sidoarjo. Empat perusahaan lainnya adalah Energi Mega Persada, Kalila Energy Ltd; Pan Asia Enterprise; dan PT Medco Energi Tbk.

    Santos dan keempat perusahaan itu lolos dari tuntutan pengrusakan lingkungan yang diajukan Walhi tahun 2007, dan kemunduran Santos ini diumumkan setelah ahli geologi perminyakan Amerika (American Association of Petroleum Geologists) menyimpulkan dalam konferensi mereka di Afrika Selatan akhir bulan Oktober lalu, bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh penambangan gas di kawasan itu. AFP | RONALD

  • Peta Terdampak Lumpur Lapindo Cuma Akal-Akalan

    Empat desa ini terkena dampak buruk luapan lumpur Lapindo yang membuat menurunnya kualitas air, udara dan juga hilangnya mata pencaharian warga setempat. “Tidak ada keseriusan untuk memperhatikan nasib warga. Makanya ini (peta terdampak) hanya untuk membatasi tanggung jawab saja,” tutur Irsyad, warga Besuki Timur usai keterangan pers di Kantor Kontras Jakarta, Kamis (11/12).

    Akibat peristiwa luapan lumpur, Irsyad kehilangan tambak yang selama ini menjadi sumber mata pencahariannya. Sementara itu, warga tak dapat mengkonsumsi air seperti biasanya karena sudah tercemar dan dinilai tidak aman lagi. Irsyad juga menyesalkan keluarnya Perpres No.48 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa antisipasi terhadap korban luapan lumpur bagi warga dan juga pembangunan tanggul-tanggul di luar peta terdampak ditanggung oleh APBN.

    “Pemerintah keliru sekali. Carut marutnya di Perpres itu. Ketika ini keluar, Lapindo hanya bertangung jawab di dalam peta 22 maret. Di luar peta, itu tanggung jawab pemerintah. Sedangkan sumber masalah lumpur terus keluar dan tidak ada kepastian tahun berapa selesai. Kalau puluhan tahun, ya berapa hektar lagi? Padahal tanggung jawab Lapindo hanya di dalam. APBN harus menanggung yang lebih besar,” tutur Irsyad.

    Irsyad juga mengatakan selama ini minim sekali penyebutan alokasi ganti rugi kepada warga. Lapindo hanya memberlakukan sistem jual beli terhadap tanah warga dengan alasan untuk membangun saluran limpahan lumpur ke laut. LIN

  • Dampak Lumpur Lapindo Lampaui Peta Terdampak

    Dalam keterangan pers di Kantor Kontras hari ini, Kamis (11/12), para warga yang datang ke Jakarta dalam rangka peringatan hari HAM sedunia kemarin, menuturkan betapa dampak lumpur Lapindo juga telah membuat kualitas hidup mereka menurun. Apalagi, mereka tidak tergolong memperoleh ganti rugi.

    Budiono, warga desa Bangun Sari mengeluhkan bahwa air yang biasa mereka peroleh dari Sungai Brantas dan sumur kini tak aman lagi untuk dikonsumsi. Akibatnya, mereka harus membeli air dan kuota yang disediakan untuk satu kampung pun tak mencukupi. Hanya cukup untuk minum, tak dapat dipakai untuk mandi. “Mulai dari Tanjung Sari, Bangun Sari, Kebubuyang, Permisan, air minum tidak aman lagi. Masa air minum saja beli,” tutur Budiono.

    Sementara itu, perwakilan warga dari desa Permisan, Mundir Iwan, mengatakan, dampak lumpur Lapindo juga mengancam mata pencaharian mereka sehari-hari sebagai petambak udang dan bandeng. “Sirkulasi air ke tambak tidak lancar, petani pada siklus kedua dan ketiga tidak mau ambil risiko ikannya mati gara-gara dimasukin air ke tambak,” ujar Mundir.

    Selain itu, infrastruktur jalan raya sebagai akses warga ke kota juga mengalami kerusakan sehingga kegiatan warga terhambat. Muncul juga masalah kesehatan karena bau dari luapan itu mengganggu. Dampak buruk juga menyerang kondisi psikis anak-anak. “Secara psikis pikiran mereka sudah terkontaminasi dengan kekhawatiran kalau-kalau orangtuanya nganggur, rumahnya tenggelam, dan sebagainya,” tandas Mundir.

    Warga menuntut pemerintah memberikan akses terhadap sejumlah infrastruktur dan fasilitas yang tidak aman lagi, bahkan rusak akibat luapan lumpur, seperti penyediaan air bersih yang cukup, balai pengobatan gratis secara rutin, dan hibah untuk membangun kembali mata pencaharian mereka. LIN

  • Warga Korban Lumpur Lapindo di Luar Peta Terdampak Menuntut Tanggung Jawab Lapindo dan Pemerintah

    Desa-desa tersebut mengalami berbagai kerusakan akibat semburan lumpur Lapindo yang selama dua tahun lebih dibiarkan meluber. Air minum tidak lagi bisa digunakan untuk konsumsi sehari-hari. Fasilitas umum mengalami rusak berat. Pencemaran logam berat dalam kandungan udara yang dihirup sehari-hari oleh warga telah mengakibatkan berbagai macam penyakit. Sedikitnya 4 orang meninggal dunia akibat inhalasi udara tersebut.

    Sedikitnya 268 rumah di Desa Ketapang dan 215 rumah di Desa Siring Barat mengalami kerusakan berupa retakan akibat amblesan (land subsidence). Kerusakan irigasi di Desa Permisan mengakibatkan sedikitnya 865 hektar lahan tambak hancur, sehingga tingkat produksi tambak menurun hingga 50 persen, di saat biaya produksi meningkat sedikitnya 25 persen. Lahan sawah sedikitnya 30 hektar di Desa Besuki Timur yang menjadi sumber penghidupan warga tidak lagi bisa digunakan.

    Tapi Pemerintah tidak memberi penanganan terhadap wilayah tersebut dengan alasan tidak masuk peta terdampak. Lapindo juga dibiarkan bebas tanpa konsekuensi perdata maupun pidana apa pun. Memang, Pemerintah mengklaim telah memberikan pasokan air bersih, tapi itu sama sekali jauh dari kebutuhan warga. Di Ketapang, misalnya, hanya disediakan 4 tandon air bersih untuk warga sebesar 1462 keluarga. Kerusakan fasilitas umum seperti drainase tidak dilakukan perbaikan oleh Pemerintah.

    Oleh karena itu, demi keselamatan hidup warga, kami menuntut Pemerintah dan Lapindo untuk menangani segala kerusakan yang terjadi sebagai akibat dari semburan lumpur Lapindo. Juga kami meminta pemulihan segala aspek kehidupan kami yang telah hilang maupun rusak akibat munculnya semburan.

    Sekaitan dengan itu juga kepastian hukum untuk Lapindo harus segera ditegaskan. Setelah pertemuan para ahli Geologi Iternasional di Cape Town, Afrika Selatan yang menyebutkan bahwa semburan lumpur ini disebabkan oleh kegiatan eksplorasi PT Lapindo Brantas, Inc.

    Kami menunggu bukti nyata keseriusan pemerintah dan Lapindo hingga akhir tahun ini, jika kemudian kami tidak menemukan keseriusan dalam usaha penyelamatan dan pemulihan hidup kami oleh pemerintah dan Lapindo, maka kami akan terus memperjuangkan hak-hak kami melalui berbagai aksi solidaritas baik di Jakarta ataupun di Sidoarjo.

    Jakarta, 11 Desember 2008
    Masyarakat Desa di Luar Peta Terdampak   

    Mundir D.I (Permisan) 081230051661, Jarot. S Suseno (Siring Barat) 081703430135, M. Irsyad (Besuki Timur) 081332482952, A. Salam (Ketapang) 081553209985

  • Janji Baru Pemilik Lapindo

    GEMA takbir dan selawat menyambut sembilan orang perwakilan warga korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam Tim 16 saat keluar dari kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu petang pekan lalu. Ketua tim itu, Kus Sulasono, dan delapan rekannya memeluk puluhan warga korban lumpur lain yang sudah menunggu di depan Istana Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.

    Perwakilan 4.000 kepala keluarga Perumahan Tanggul Angin Sejahtera (Perumtas) I, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, ini baru saja bernegosiasi dengan Nirwan Dermawan Bakrie (penanggung jawab kelompok usaha Bakrie sekaligus Pemimpin Eksekutif PT Lapindo Brantas Inc.), Komisaris Minarak Lapindo Jaya Gesang Budiarso (afiliasi Lapindo Brantas), dan General Manager Lapindo Brantas Imam Agustino mengenai sisa pembayaran ganti rugi 80 persen.

    Negosiasi yang dimulai pukul 14.00 berjalan alot. Tawar-menawar Tim 16 dengan Nirwan pun tak terhindarkan. Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, dan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi serta Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Soenarso, yang ikut mendampingi, sesekali memberikan pandangan.

    Tim 16 meminta Minarak membayar penuh sisa ganti rugi secara tunai. Nirwan berkeberatan dengan alasan usaha Grup Bakrie terimbas krisis finansial global. Minarak bersedia mencicil Rp 30 juta per bulan tanpa pembayaran uang kontrak. Ini berbeda dari tawaran Rp 20 juta per bulan plus pembayaran uang kontrak Rp 5 juta yang diajukan Minarak pada pertemuan sehari sebelumnya di kantor Departemen Pekerjaan Umum.

    Para warga menurunkan tawarannya: pembayaran tunai Rp 75 juta, sisanya dicicil setiap bulan. Nirwan tetap tak sanggup. Terpaksa penawaran diturunkan menjadi Rp 50 juta, bahkan Rp 40 juta. Nirwan kukuh pada angka Rp 30 juta. Tim pun menurunkannya menjadi Rp 30 juta, dengan pembayaran uang kontrak rumah Rp 5 juta. Nirwan hanya sanggup mencicil Rp 30 juta per bulan plus pembayaran uang kontrak Rp 1 juta. Tim 16 meminta Nirwan menaikkan uang kontrak menjadi Rp 2,5 juta. Nirwan akhirnya setuju.

    Deal. Para warga akan menerima pembayaran awal Rp 32,5 juta dan selanjutnya Rp 30 juta per bulan sesuai jatuh tempo masing-masing. Pembayaran ganti rugi, kata Kus, memang tidak optimal. Tapi mereka mau menerima tawaran karena memahami kesulitan Grup Bakrie. ”Yang terpenting kami sudah bertemu dengan Presiden dan mendapat jaminan pemerintah,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. Negosiasi berakhir menjelang magrib.

    lll

    Senin, 29 Mei 2006, lumpur menyembur dari ladang gas Banjar Panji 1 milik Lapindo Brantas. Luberannya menenggelamkan area permukiman, pertanian, industri, fasilitas pendidikan, dan sarana publik lainnya seluas 470 hektare. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, kerugian langsung mencapai Rp 7,3 triliun dan potensi kerugian mencapai Rp 16,4 triliun. Jika tak ada penanganan sampai 2015, kata Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dampak luberan lumpur akan mencapai 580 kilometer persegi atau 80 persen luas Kabupaten Sidoarjo.

    Semburan lumpur menjadi mimpi buruk warga di kawasan Porong, Sidoarjo. Yuini, 52 tahun, warga Desa Renokenongo, harus kehilangan dua petak sawahnya. Dari sawah ini, dia dan suaminya, Rabit, 54 tahun, menghidupi 13 anggota keluarganya. Kini sawahnya telah tenggelam oleh lumpur. Ia hanya mendapatkan ganti rugi Rp 1,25 juta dari Minarak. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sesekali Yuini mengemis di sepanjang Jalan Raya Porong. ”Mau gimana lagi, Mbak? Daripada cucu-cucu saya ndak makan, lebih baik saya yang minta-minta.”

    Amin Shahuri, warga Perumtas, mengisahkan selama dua tahun terakhir kehidupan warga korban lumpur morat-marit. Tak sedikit yang kehilangan pekerjaan. Kini mereka harus mengurusi keluarga yang menjadi korban lumpur, termasuk menunggu kepastian pembayaran sisa ganti rugi. ”Banyak juga yang sakit jiwa karena enggak kuat menanggung beban,” ujarnya. Yuini, Rabit, dan Amin tak sendirian. Masih ada 13 ribu keluarga di sembilan desa yang kehilangan tempat tinggal. Harapan satu-satunya adalah ganti rugi memadai dan cepat dari Lapindo.

    Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007, Lapindo harus bertanggung jawab menutup semburan lumpur. Lapindo juga wajib membayar ganti rugi tanah dan bangunan milik warga di tujuh desa (”peta terdampak”), yakni Jatirejo, Siring, Kedungbendo, Renokenongo, Gempolsari, Ketapang, dan Kalitengah. Pembayaran dilakukan dua tahap: uang muka 20 persen dan sisanya, 80 persen, dibayar paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah habis selama dua tahun.

    Sejak payung hukum penanganan lumpur Lapindo diteken pada 8 April 2007, Grup Bakrie memang mulai membayar ganti rugi. Tapi tak sepenuhnya lancar: pembayaran uang muka 20 persen terlambat. Lapindo gagal memenuhi tenggat untuk uang muka yang ditetapkan Presiden, yakni 14 September 2007.

    Menurut Vice President Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla, keterlambatan terjadi karena para korban lumpur, terutama di Pasar Porong, selalu mengubah sistem yang telah disepakati bersama korban lumpur lain. ”Sampai batas akhir, mereka tidak mau. Beberapa bulan kemudian, mereka baru mau,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. Pembayaran sisa ganti rugi 80 persen sejak awal Mei 2008 tersendat-sendat. Kendati, ada upaya Lapindo mempercepatnya bagi warga yang memilih dibayar dengan rumah di Kahuripan Nirwana Village.

    Menurut ekonom Hendri Saparini, terkatung-katungnya pembayaran sisa ganti rugi terjadi karena pemerintah tak mampu menekan Grup Bakrie. ”Mestinya pemerintah bertindak tegas kalau memang berpihak kepada rakyat,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. Seharusnya, kata ekonom dari Econit Advisory Group ini, pemerintah sejak dulu menyita aset Grup Bakrie sesuai jumlah yang harus dibayarkan kepada korban lumpur. ”Itu bisa menjadi jaminan penyelesaian.”

    Dari sisi kemampuan ekonomi, Grup Bakrie memang memiliki banyak perusahaan bagus. Konglomerat ini juga masih bisa membereskan pembayaran ganti rugi yang ditaksir hanya Rp 3,5-4 triliun. Itu tak seberapa dibanding kekayaan keluarga Bakrie versi majalah Forbes Asia pada 2007 sebesar US$ 5,4 miliar atau sekitar Rp 54 triliun.

    Lalu datang badai finansial. Lapindo pun mengerek bendera putih dan mengaku tidak mampu membayar ganti rugi. Pada 23 Oktober 2008, Direktur Utama Minarak Lapindo Jaya Bambang Mahargyanto mengirim surat kepada Badan Penanggulangan Lumpur, yang intinya meminta Badan sementara waktu menangani lumpur Lapindo.

    Minarak beralasan, krisis global telah berdampak langsung kepada Grup Bakrie sebagai induk perusahaan. Minarak kesulitan likuiditas untuk membayar ganti rugi. Tapi, 3 November lalu, Minarak mencabut surat terdahulu. Dan menyatakan berkomitmen membayar ganti rugi kepada korban lumpur.

    Faktanya, pembayaran masih terkatung-katung. Tak aneh, banyak korban Lapindo kehilangan kesabaran. Unjuk rasa menjadi pilihan. Berkali-kali warga korban lumpur berunjuk rasa ke kantor Bupati Sidoarjo, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur, dan Gubernur Jawa Timur. Juga, ke Jakarta.

    Dua puluhan lelaki dan wanita lanjut usia korban lumpur, pada 16 November lalu, mencoba sowan ke rumah Aburizal Bakrie di Jalan Mangunsarkoro, Jakarta Pusat. Para warga dari Kedungbendo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, ini membawa kelapa, pisang, kangkung, singkong, dan hasil bumi lainnya untuk oleh-oleh bagi keluarga Bakrie. Tapi bukan Aburizal atau Nirwan Bakrie yang dicari. ”Kami hanya ingin bertemu ibunya. Kami ingin ngobrol panjang-lebar tentang kelakuan anaknya,” ujar seorang di antaranya bernama Marwan kepada Ferry Firmansyah dari Tempo. Tapi upaya ini juga gagal.

    Berlarut-larutnya pembayaran ganti rugi dan maraknya gelombang unjuk rasa korban lumpur sampai juga ke telinga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 29 November lalu, Presiden memanggil Nirwan ke Istana. ”Arahan Presiden begini, ’Ya sudah, panggil Nirwan. Paksa harus bisa (bayar) ini’,” kata Djoko Kirmanto kepada wartawan di Jakarta dua pekan lalu.

    Alih-alih surut, unjuk rasa korban lumpur Lapindo terjadi lagi. Puncaknya, 1.034 korban lumpur dari Tim 16 dan seratusan korban lumpur Lapindo dari Gerakan Pencinta Keputusan Presiden (Geppres) ngeluruk ke Jakarta. Tim 16 menginap di Masjid Istiqlal. Masjid terbesar di Asia Tenggara ini tak ubahnya sebuah penginapan.

    Seribuan korban lumpur selonjoran dan tidur-tiduran beralaskan koran di dalam dan selasar masjid. ”Kami datang ke sini karena ingin meminta sisa pembayaran ganti rugi,” kata Ninuk Harmiyati, 45 tahun, warga Perumtas I Blok E3, yang sudah ”almarhum” ditelan lumpur. Adapun Gerakan Pencinta Keputusan Presiden menginap di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Jalan Borobudur 14, Jakarta Pusat.

    Sejak Ahad hingga Rabu pekan lalu, Tim 16 dan Geppres berdemo meminta pemerintah membantu penyelesaian ganti rugi. Mereka berunjuk rasa di Departemen Pekerjaan Umum, Kedutaan Belanda, hingga di depan Istana Presiden. Selama dua hari, Djoko juga menemani Minarak bernegosiasi dengan warga korban lumpur. Ketika itu, Minarak menawarkan pembayaran cicilan Rp 20 juta plus pembayaran kontrak rumah Rp 5 juta. Tapi para korban emoh.

    Tak ada hasil positif, Presiden kembali memanggil Nirwan ke Istana, Rabu siang pekan lalu. Presiden membuka pertemuan dengan ucapan terima kasih kepada Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Soenarso karena sudah berusaha keras menyelesaikan persoalan di Jawa Timur itu. Nada suara Presiden mendadak meninggi saat menyinggung ganti rugi kepada korban lumpur. ”Saya sudah merasa tidak nyaman dengan suasana ini,” kata Yudhoyono sambil menepukkan tangan kanannya ke dada kiri. ”Saya kecewa, (masalah) Aceh saja bisa diselesaikan, kenapa ini tidak?”

    Nirwan, yang menjadi sasaran tembak, terdiam. Duduk di antara Bachtiar Chamsyah dan Soenarso, dia menundukkan kepala. Djoko, yang duduk paling dekat dengan Presiden, hanya memandang lurus ke depan. Hatta Rajasa, Purnomo Yusgiantoro, Sudi Silalahi, dan Kepala Kepolisian Indonesia Jenderal Bambang Hendarso Danuri juga mematung dan membisu.

    Yudhoyono memerintahkan Nirwan dan Badan Penanggulangan Lumpur menyelesaikan masalah ganti rugi saat itu juga. ”Murka” sang Presiden cukup ampuh. Nirwan langsung bernegosiasi dengan Tim 16. Hasilnya, Minarak Lapindo berjanji membayar sisa ganti rugi 80 persen dengan cara mencicil Rp 30 juta per bulan.

    lll

    Kesepakatan antara Nirwan dan Tim 16 tak lantas membuat masalah selesai. Gerakan Pencinta Keputusan Presiden menolak pembayaran secara angsuran Rp 30 juta per bulan. Mereka menuntut Lapindo membayar tunai. ”Pembayaran dengan mencicil tidak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 14,” ujar juru bicara Geppres, Sumitro, kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

    Penolakan juga terjadi di Sidoarjo. Sekitar 850 korban semburan lumpur dari tujuh desa, yakni Jatirejo, Siring, Kedungbendo, Renokenongo, Gempolsari, Ketapang, dan Kaliwungu, memblokade Jalan Raya Porong. Mereka tetap menuntut sisa pembayaran ganti rugi secara tunai. ”Kami tidak puas dengan kesepakatan angsuran Rp 30 juta,” kata koordinator unjuk rasa, Hari Suwandi.

    Penolakan itu tak aneh. Sebab, sejak awal, para korban lumpur Lapindo memang tak kompak, bahkan terbelah menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama pendukung pembayaran tunai 20 persen uang muka dan sisanya 80 persen. Kelompok Kedua pendukung cash and resettlement, yakni pemberian uang muka 20 persen, dan sisanya, 80 persen, dalam bentuk lahan seluas tanah warga yang terkena lumpur. Kelompok ketiga adalah warga pendukung pola pembayaran relokasi plus, yakni mendapatkan 20 persen uang tunai, sementara 80 persen sisanya berupa lahan plus rumah yang dipilih dan dibangun Lapindo.

    Menurut Ketua Tim Ad Hoc Pelanggaran Hak Asasi Manusia Lumpur Lapindo Syafrudin Ngulma Simeulue, pemerintah seharusnya menjalankan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007. Ketentuan ini tidak mengatur cicilan, tapi pembayaran 20 persen dan 80 persen. Pemerintah, kata dia, tidak boleh diatur oleh Lapindo. ”Korporasi yang harus diatur oleh pemerintah.”

    Tapi, di mata pemerintah, kesepakatan baru antara Nirwan dan korban lumpur yang diwakili Tim 16 di Sekretariat Negara, Rabu pekan lalu, sudah maksimal dan final. Kesepakatan itu berlaku untuk semua korban. ”Tidak akan ada lagi negosiasi antara masyarakat dan Lapindo,” katanya. Dia menambahkan, Grup Bakrie tidak boleh ingkar janji. ”Ada sanksi hukumnya.”

    Nirwan mengatakan akan berusaha mendekati warga Porong yang belum bersedia menerima pembayaran secara cicilan Rp 30 juta per bulan. ”Kami akan terus berbicara dengan mereka, tapi tentu saja dalam batas sesuai dengan kemampuan,” ujarnya kepada Wahyu Muryadi dari Tempo pekan lalu.

    Sampai 3 Desember 2008, Lapindo sudah membayar uang muka 20 persen sebanyak 12.865 berkas sertifikat senilai Rp 718 miliar. Adapun pembayaran sisa ganti rugi 80 persen secara tunai sebanyak 1.768 berkas senilai Rp 344 miliar, dan 2.938 berkas secara cash and resettlement senilai Rp 1,6 triliun. Kini saatnya menunggu pembuktian janji baru Grup Bakrie sang pemilik Lapindo.

    Padjar Iswara, Ismi Wahid, Ninin Damayanti, Gabriel Titiyoga, Agung Sedayu, Dini Mawuningtyas (Sidoarjo)

    http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/08/LU/mbm.20081208.LU128953.id.html

  • Korban di Luar Peta Makin Terabai

    Korban di Luar Peta Makin Terabai

    Dewi, seorang anak berumur 3,5 tahun nampak terbaring dengan menahan gatal di sekujur tubuhnya. Bintik-bintik merah sudah hampir merata di setiap inci badan mungilnya. Sesekali terlihat tangannya ingin menggaruk bagian tubuhnya yang terasa gatal, namun niatan itu dihalang-halangi oleh ibunya, Suliyani, 37 tahun.

    Dewi dengan ayah dan ibu

    Dewi adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Anggota keluarganya yang lain juga mengalami gatal-gatal, namun tidak sampai separah Dewi. “Yang lain gatalnya di bagian selangkangan, Mas. Di sekitar kemaluan,” tutur Djuari, 45 tahun, ayah Dewi.

    Telah lebih dari satu minggu Dewi merasakan keadaan yang sangat tidak menyenangkan itu. Hari-hari yang dilewatinya kini tidak seceria sebelum-sebelumnya. Wajahnya pun tidak lagi terlihat ceria sebagaimana biasanya wajah anak seumurannya yang lain. Rumahnya yang sederhana di RT 10 Kelurahan Mindi berjarak sangat dekat dengan tanggul penahan lumpur Lapindo. Di sekitar pekarangannya ada ratusan semburan gas liar.

    “Yang di sekitar tanggul lebih banyak lagi, kalau kita bakar bisa menyemburkan api,” tutur Pak Casiyono, 58 tahun, Ketua RT 10 Kelurahan Mindi, tempat Dewi tinggal. Semburan gas tersebut mengeluarkan bau menyengat, dan ketika malam akan lebih menyengat lagi. Tidak jarang juga menyebabkan sesak napas.

    Djuari, ayah Dewi, sehari-harinya bekerja sebagai pedagang sayur keliling. Penghasilannya hanya sekitar 50 ribu rupiah setiap harinya. Dan dengan penghasilannya itu ia harus menghidupi 3 orang anak dan 1 orang istrinya. Anak pertamanya baru saja menyelesaikan sekolah dan sekarang telah bekerja. “Itu belum bisa membantu keuangan keluarga, lagi pula kebutuhannya juga banyak. Maklum, Mas, anak sekarang,” ujar Djuari. Sedangkan anak kedua mereka masih sekolan kelas 6 SD.

    Selama sakit Dewi belum pernah dibawa ke dokter. “Gak ada duitnya, Mas. Buat makan sehari-hari saja kadang kurang,” ujar Djuari kembali. Dewi baru mendapatkan perawatan dari tim kesehatan Mer-C yang kemarin (26-29/11) mengadakan pengobatan gratis di desanya.

    Djuari mengaku terpaksa harus tetap tinggal di rumahnya tersebut karena tidak punya tempat tinggal yang lain lagi. Meskipun dengan ancaman kematian yang sangat besar. Tingkat polutan yang ada akibat semburan lumpur Lapindo sudah sangat tinggi. Kandungan senyawa berbahayanya sudah mencapai ribuan kali di atas ambang batas. Dan semuanya dapat menyebabkan kanker jika terjadi kontaminasi dengan manusia.

    Kondisi  rumah tetangga di sekitarnya juga tidak kalah buruknya. Air sumur mereka sekarang berubah menjadi kotor dan berbau. Di permukaan airnya terlihat seperti berminyak. Baunya bau gas pula. Semburan gas juga banyak di pekarangan mereka. Bahkan ada yang memanfaatkannya dengan membuatkan tungku dan digunakan untuk memasak. “Kalau gak dibakar bisa bau sekali. Baunya jadi menyebar,” tutur Pak Casiyono kembali.

    Warga biasanya mendapatkan air bersih dari tandon yang di berikan oleh BPLS. Tapi itu pun dinilai warga tidak cukup. Air bersih mereka gunakan untuk masak dan minum. Sedangkan untuk keperluan lain mereka masih menggunakan air dari sumur mereka. “Kadang-kadang kita cuman dapat 1 jerigen air, Mas. Biasanya beli air juga. Sejerigennya seribu dua ratus rupiah, Mas,” ujar Djuari kembali. Air yang dibeli Djuari digunakan untuk memandikan Dewi, soalnya kata dokter yang telah memeriksanya Dewi tidak boleh dimandikan pakai air sumur.

    Djuari juga menyatakan belum pernah ada survei langsung di lokasi tempat tinggalnya oleh lembaga terkait. Baik dari Dinas Kesehatan, BPLS maupun dari Lapindo. “Belum pernah ada perhatian sama sekali, Mas. Apalagi bantuan,” keluh Djuari. Rumahnya yang juga mengalami kerusakan sama sekali belum mendapatkan perhatian apalagi penanganan. “Dulu pernah ada dari ITS yang melihat kerusakan rumah saya, tapi itu pun tidak ada kelanjutannya,” ungkap Djuari kembali.

    Pak Arif, 58 tahun, tetangga sebelah rumah Djuari juga mengeluhkan hal yang sama. Bagian kakinya gatal-gatal seperti gigitan nyamuk. Air sumurnya pun sudah tidak layak pakai tapi tetap digunakan. “Sekitar kaki dan selangkangan ini loh, Mas. Gatalnya kayak digigit nyamuk gitu,” keluh Pak Arif.

    Djuari sekarang hanya bisa berharap kondisinya dan warga sekitarnya bisa mendapat perhatian dari Pemerintah dan Lapindo. Jarak tempat tinggalnya yang sangat dekat dengan tanggul penahan lumpur membuatnya seringkali dihinggapi rasa was-was. “Dulu pernah air dari tanggul sampai ke depan rumah kami. Tapi untungnya tidak sampai masuk,” jelas Djuari. “ Saya sudah tidak tahu mau tinggal di mana lagi. Rumahnya ya cuman satu ini. Tempat yang paling dekat dengan tanggul tapi paling tidak diperhatikan. Kalau tahu gini, saya dulu tidak pindah dari kampung halaman saya di Jombang,” tandas Djuari kembali. (mas)

  • Tolak 80% Dicicil, Warga Geppres Aksi Tutup Jalan Raya Porong

    Tolak 80% Dicicil, Warga Geppres Aksi Tutup Jalan Raya Porong

    Sekitar 750 orang warga korban lumpur Lapindo melakukan aksi menutup jalan di jalan raya Porong-Gempol pada hari Kamis (04/12). Aksi yang sempat menyebabkan kemacetan sepanjang 5 kilometer ini dilaksanakan oleh warga yang tergabung dalam Gerakan Pendukung Peraturan Presiden No. 14 tahun 2007 atau Geppres.

    Aksi ini dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap perwakilan warga yang sedang berada di Jakarta. Sejak tanggal 30 November 2008, sejumlah 40 orang perwakilan warga berangkat ke Jakarta guna menuntut kejelasan mengenai pembayaran sisa ganti rugi 80%. Dua hari berikutnya perwakilan warga Geppres bertambah hingga pencapai 70 orang.

    Perwakilan warga Geppres bertolak ke Jakarta bersama dengan 1.500 orang warga korban yang berasal dari Perumtas yang telah berangkat ke Jakarta lebih awal, yaitu pada hari Sabtu (29/11). Sebelum keberangkatan baik warga yang tergabung dalam Geppres maupun Perumtas telah menyusun agenda bersama yang akan mereka sampaikan pada Presiden.

    Seperti yang dituturkan Rafi’i, salah seorang warga yang tergabung dalam tim relawan Desa Jatirejo, terdapat tiga tuntutan bersama yang telah disusun oleh perwakilan Tim Geppres bersama denga Tim 16 dari Perumtas. Ketiga tuntutan tersebut yaitu, 1) pembayaran sisa ganti rugi 80% segera dilaksanakan terhadap semua jenis sertifikat tanah warga, 2) Petok D, Letter C, dan SK Gogol sama kedudukannya dengan Sertifikat Hak milik sesuai dengan risalah menteri dan Perpres No. 14/2007, dan yang terakhir pembayaran 80% harus dikawal seperti pada pembayaran 20%.

    Dalam rapat koordinasi itu juga disepakati untuk membentuk tim negosiator yang nantinya akan menemui presiden dan menyampaikan tuntutan. Tim negosiator sendiri terdiri dari 3 orang dari perwakilan Geppres dan 2 orang dari Tim 16.

    “Hari senin itu (1/12) perwakilan Geppres diundang rapat oleh Tim 16 Perumtas. Mereka menyatakan tim Geppres tidak lagi tergabung dengan Perumtas,” tutur Samanuddin, Koordinator Lapangan dari desa Jatirejo. Dan pada hari Rabu kemarin (3/12), sejumlah 1500 orang warga dari Perumtas melakukan aksi dengan mengepung istana Presiden.

    Dalam aksi tersebut, sejumlah 9 orang perwakilan dari Tim 16 Perumtas akhirnya melakukan pertemuan dengan Presiden. Dalam pertemuan itu disepakati pembayaran sisa ganti rugi 80% untuk warga korban Lapindo akan dibayar secara cicil.  Besarannya yaitu 30 juta rupiah setiap bulannya. Sedangkan perwakilan Geppres menyatakan menolak sistem pembayaran sisa ganti rugi 80% dibayar cicil.

    Mereka menilai model pembayaran itu tidak sesuai dengan Perpres No. 14 tahun 2007. Pada saat itu mereka melakukan aksi di Kedutaan Belanda untuk meminta tempat mengungsi di negara tersebut. Perwakilan warga Perumtas menyatakan pembayaran 30 juta perbulan hanya untuk warga Perumtas.

    Aksi yang dilakukan warga dari Geppres di jalan raya Porong-Gempol dimaksudkan sebagai bentuk dukungan terhadap aksi yang dilakukan oleh tim Geppres yang ada di Jakarta. Aksi tersebut dimulai pada pukul 08.30 WIB. Mereka menolak skema pembayaran ganti rugi 80% secara cicilan dan menuntut pembayarannya dibayar lunas segera. Sejumlah besar aparat kepolisian dari Polres Sidoarjo diturunkan untuk mengamankan aksi ini.

    Aksi yang sebelumnya  berjalan lancar ini akhirnya berujung ricuh. Aparat kepolisian memaksa para peserta aksi untuk tidak menutup keseluruhan badan jalan.  Upaya tersebut mendapatkan perlawanan dari pihak warga hingga terjadi beberapa kali bentrokan fisik dengan aparat. “Kendala kami salah satunya karena warga dari 4 desa ini belum saling mengenal satu sama lain. Jadi kami tidak tahu siapa warga yang memulai kericuhan. Malahan ada sebagian aparat kepolisian berpakaian preman yang ikut memprovokasi warga,” ungkap Rafi’i.

    Sejumlah warga mengalami luka memar akibat merasakan pentungan aparat keamanan. Peserta aksi yang kebetulan sebagian besar perempuan tidak sanggup menghadapi tindakan represif oleh aparat keamanan.

    Dalam kericuhan ini setidaknya ada 3 orang yang warga yang diamankan oleh pihak keamanan. Mereka adalah Iskak, warga Jatirejo RT 11, Sungkowo RT 12, dan Sugeng, juga dari Jatirejo RT 8. Setelah kericuhan mereda, warga selanjutnya menuju Pasar baru Porong sembari menunggu kabar dari perwakilan mereka di Jakarta.

    Pada saat yang sama, perwakilan warga yang berada di Jakarta tengah bertemu dengan Kapolda Metro Jaya. Mereka berharap Kapolda Metro Jaya dapat memfasilitasi pertemuan mereka dengan Presiden SBY. Warga Geppres yang menunggu di Pasar Baru Porong juga menanti kejelasan tentang 3 orang warga yang diamankan oleh aparat keamanan dari Polres Sidoarjo.

    “Kapolres meminta perwakilan warga sebanyak 5 orang untuk melepasakan warga yang ditahan. Teman-teman kami itu juga didampingi oleh 5 orang pengacara. 3 orang dari YLBHI dan dua lagi dari Malang,” ujar Samanuddin.

    Hingga pukul setengah 5 sore warga belum juga mendapatkan kejelasan mengenai status 3 orang warga yang ditahan tersebut. Mereka pun memutuskan untuk menuju ke Mapolres Sidoarjo guna menuntut agar ketiga teman mereka dibebaskan. Sekitar 200 orang warga yang datang kembali mendapatkan blokade kawat berduri dari aparat kepolisian. Namun tidak sampai terjadi bentrok seperti aksi pada siang harinya.

    Menjelang malam perwakilan warga yang ada di dalam kantor Mapolres Sidoarjo menemui warga yang berada di luar kantor. Sempat terjadi perdebatan antara perwakilan warga yang ada didalam dengan warga yang ada di luar. Bahkan warga yang ditahan pun akhirnya keluar juga menenangkan warga. “Bapak-bapak silahkan pulang dulu saja,  anak dan istri sudah menunggu dirumah. Saya dan teman-teman yang lain sudah ada yang urus,” ujar salah seorang warga yang ditahan. Baru pada keesokan pagi harinya, (Jum’at,5/12) ketiga orang warga resmi dibebaskan. (mas)

  • Kesepakatan SBY-Lapindo dan Tim 16 Perumtas Menyisakan Persoalan

    Gerakan  Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo  kecewa terhadap SBY, yang seolah tidak berdaya menghadapi Lapindo Brantas. Sikap marah yang ditunjukkan SBY tidak bisa diartikan sebagai keseriusan SBY menuntaskan kasus ini. Sebab, dengan kewenangan yang dimilikinya, harusnya Presiden dapat mengambil tindakan  jauh lebih tegas, dibanding saat ini yang kerap melindungi pemilik PT Lapindo Brantas. seperti yang selama ini terjadi. Kompromi yang dilakukan SBY,  memperlihatkan kelemahan SBY sebagai pimpinan Republik ini. Lagi-lagi,  korbanlah yang terus dirugikan.

    Pasal 15 ayat (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 tentang Badan PenanggulanganLumpur Sidoarjo menyatakan, dana jual beli bertahap untuk area peta terdampak versi 4 Desember 2006, sebanyak 20% dibayarkan dimuka, sisanya paling lambat sebulan sebelum belum masa kontrak rumah dua tahun habis. Celakanya, ketentuan tersebut hanya  di atas kertas. Prakteknya, berbagai janji dan kesepakatan tersebut disendat-sendat. Sampai kontrak warga korban Lumpur, termasuk warga Tim 16 Perumtas habis, sisa uang mereka tak dilunasi. Bahkan masih banyak pembayaran 20%  yang belum dilunasi. 

    Langkah-langkah SBY-JK menangani semburan lumpur panas Lapindo, cenderung menguntungkan keluarga Bakrie – pemilik Lapindo dan mengalahkan warga. Diantaranya,  Pertama. Perpres No. 14 Tahun 2007, yang salah satunya mengatur pembayaran dan membagi warga dalam kelompok di dalam peta terdampak dan diluar peta. Status warga korban berubah menjadi mitra jual beli. Ini belum selesai, pengelompokan di dalam dan di luar peta, proses pembayaran yang ditunda-tunda dan bentuknya kerap berubah, membuat warga korban  terpecah belah satu sama lain.

    Kedua. Diskriminasi juga dilakukan PT Lapindo Brantas terhadap warga korban yang memiliki tanah dengan status letter C, petok D atau belum bersertifikat. Meskipun Pemerintah dan Badan Pertanahan Nasional telah menjamin bahwa para korban ini berhak atas jual beli menurut Perpres 14 tahun 2007, tapi perusahaan ngotot tak mau membayar.  Ketiga.  Penegakan hukum yang seolah mandek ditempat. Kinerja para penegak hukum sangatlah buruk, terkesan tak berdaya mengurus kasus ini, Penyidikan polisi juga tidak transparan dan tak mengalami kemajuan.

    Keempat. Penanganan semburan lumpur dan perusakan lingkungan sekitarnya. Di lapang, warga berhadapan  dengan  konflik, ketidakpastian dan tinggal di lingkungan yang tidak sehat, akibat semburan lumpur dan gas serta jatuhmiskin.

    Ketidakadilan diatas terus berlangsung. Kesepakatan terakhir warga korban Tim 16 Perumtas, yang baru ditandatangani SBY, disaksikan para menterinya, membuat nasib warga makin tidak pasti dan justru menyisakan berbagai persoalan. Mengapa begitu?

    Pertama. Kesepakatan serupa telah dilakukan satu setengah tahun lalu – bersama SBY, dan sekarang berulang lagi tanpa kepastian. Dari tuntutan jual beli tunai 100%, pemerintah dan Lapindo memaksakannya menjadi  tunai 20% : 80%. Dan kini, angka 80% untuk warga tim 16 Perimtas berubah menjadi cicilan sebulan Rp 30 juta,dan uang kontrak 2,5 juta. Artinya,  Presiden melanggar Perpresnya sendiri.

    Kedua. Perubahan kesepakatan ini menjadi alat efektif memecah belah warga, karena pemerintah menutup mata terhadap fakta beragamnya kelompok warga korban Lapindo di lapang. yag menuntut , akibat penanganan selama ini. Tak hanya kelompok yang tergabung dalam Tim 16, yang jumlahnya 4 ribuan orang. Ada kelompok-kelompok lain  yang masih menuntut pembayaran tunai cash and carry sesuai Perpres No. 14 Tahun 2007. Oleh karenanya, kesepakatan yang dibuat delegasi Tim 16 dengan PT Lapindo – SBY sebenarnya hanya mengikat  pihak-pihak yang bernegosiasi saja, bukan seluruh korban.

    Ketiga. Tidak ada jaminan bahwa persoalan yang diahadapi warga korban lainnya seperti yang tidak bersertifikat dan berada di luar peta are terdampak akan dapat diselesaikan dengan baik pasca kesepakatan ini. Merujuk kepada pengalaman yang sudah-sudah, persoalan di lapangan selalu saja menempatkan korban pada posisi yang tidak menguntungkan.

    Mencermati situasi ini, Gerakan  Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo  menyampaikan:

    1. Logika “Bantu yang Kaya Lebih Dulu, Yang miskin Belakangan”, yang ditunjukkan pemerintah RI dalam menanggapi aksi korban lumpu Lapindo kali ini menunjukkan kembali politik anti-rakyat dari pemerintahan SBY. Dalam keadaan sebelum krisis keuangan, apalagi sekarang, Pemerintah harus mendahulukan kepentingan korban lumpur Lapindo daripada kepentingan PT Lapindo, yang beralasan tak mampu membayar sesuai kesepakatan. Pemerintah justru harus mempercepat pembayaran, bukan memperpanjang masa pencicilanpembayaran. Ironis, Menteri Keuangan bisa mengantisipasi penyuntikan dana ke lembaga-lermbaga keuangan, tetapi melayani warga negaraIndonesia yang serba lemah tidak ada tanggapan sama sekali, justru menunda penuntasan hak.
    2. Menyerukan warga korban Lapindo terus bersatu dan menuntut hak-haknya termasuk membayaran  tunai 80%. Terus menyuarakan tuntutannya, termasuk kebutuhan dasar dan layanan kesehatan.
    3. Menyerukan media membantu korban Lapindo, dengan tak mengaburkan kesepakatan Tim 16 dengan PT lapindo Brantas – SBY, sebagai kesepakatan seluruh korban Lapindo.
    4. Pemerintah melakukan sosialisasi dengan benar kepada masyarakat tentang negosiasi yang telah dilakukan, mencakup siapa yang melakukan negosiasi, hasil negosiasi, impilikasi dari hasil negosiasi tersebut. Termasuk menjelaskan kepada publik dan korban bahwa negosiasi hanya dilakukan antara PT Lapindo dengan Tim 16, bukan dengan keseluruhan korban.
    5. Mendesak aparat keamanan menghentikan pendekatan represif dalam menangani aksi-aksi dan protes warga korban Lapindo, baik di dalam peta maupun luar peta terdampak.

    Kontak Media:
    Wardah Hafidz (UPC), 08161161830 – Bambang Sulistomo(GMLL)0818103674 – Berry Nahdian Forqan (WALHI) 08125110979 – Chalid Muhammad (aktivis lingkungan) 0811847163 – Firdaus Cahyadi (Satu Dunia) 0081513275698 – Siti Maimunah (Jatam) 0811920462 – Taufik Basari (LBHM) 081586477616 – Usman Hamid (Kontras), 0811812149

    Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo:
    Jatam, Kontras, Walhi, Satu Dunia, LBH Masyarakat, GMLL, UPC, Uplink, Imparsial,  YLBHI, LBH Jakarta, ICEL, Lapis Budaya, Elsam, Yappika, HRWG, Air Putih, TIFA

  • Tolak Ganti Rugi Bertahap, Warga Duduki Jembatan

    Sejak pukul 08.00, sekitar 300 warga korban lumpur Lapindo, yang tergabung dalam Gabungan Bersama Pendukung Keppres, menduduki Jembatan Porong di ruas Jalan Raya Porong. Aksi blokade warga mengakibatkan antrean panjang kendaraan hingga mencapai belasan kilometer selama dua jam.

    ”Kemarin sebenarnya kami ingin bertemu langsung dengan Presiden, tetapi perwakilan kami tak bisa masuk ke Istana Negara. Kami menolak hasil kesepakatan Tim 16 dan menuntut ganti rugi 80 persen dibayar tunai sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2007,” ujar koordinator aksi, Hari Suwandi.

    Menurut dia, saat ini terdapat 1.350 berkas berupa letter C dan petok D milik warga dari empat desa, yaitu Siring, Jatirejo, Renokenongo, dan Kedungbendo. Mereka berharap pembayaran semua berkas secara tunai sesuai Keputusan Presiden No 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. ”Berkali-kali kami ingin bertemu dengan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) sebagai perwakilan PT Lapindo Brantas, tetapi sulit. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pernah mempertemukan kami, tetapi PT MLJ tak mau menandatangani kesediaan untuk membayar secara tunai,” ujar Hari.

    Direktur Operasional PT MLJ Bambang Prasetyo Widodo mengakui, ada sejumlah warga yang setuju dengan skim pembayaran bertahap, tetapi ada juga yang sebagian menuntut pembayaran secara tunai.

    ”Skim angsuran atau pembayaran secara bertahap sangat berkaitan dengan efek krisis keuangan global yang kami alami. Selain itu, ada beberapa permasalahan administrasi dokumen tanah yang kadang menjadi hambatan, seperti ketidakjelasan ahli waris dan masalah over kredit. Kalau sudah beres semua, kami siap mencairkan,” tuturnya.

    Pada awal aksi demonstrasi, pihak kepolisian membiarkan karena arus kendaraan masih bisa mengalir meski tersendat.

    Sekitar pukul 10.00 terjadi bentrokan saat warga bersikeras memblokade sisi timur Jalan Raya Porong. ”Karena mengganggu arus transportasi, tiga warga kami amankan,” ujar Wakil Kepala Polres Sidoarjo Komisaris Denny Nasution. Polisi mengerahkan 360 personel gabungan antara Polres Sidoarjo dan Polwiltabes Surabaya. (ABK)

  • Korban Lumpur Lapindo, Terabai Hingga Akhir Hayat

    Korban Lumpur Lapindo, Terabai Hingga Akhir Hayat

    Dalam keadaan sakit kronis yang dideritanya, Bu Jumik terpaksa  harus menjalani hari-harinya di pengungsian. Rumahnya di Desa Renokenongo sudah terkubur lumpur selama sekitar 2 tahun. “Rumah ibu saya itu terendamnya habis ledakan pipa gas Pertamina, tapi mengungsi di sini sudah sejak semburan pertama. Waktu itu baru air yang menggenangi rumah,” ujar Sugiyat, 32, anak tunggal Jumi.

    Sudah sekitar 6 bulan ini Bu Jumik hanya mampu terbaring lemah di tempat salah seorang adiknya, juga di pengungsian Pasar Porong Baru. “Sebelum sakit, tinggalnya di los-los yang enggak ada temboknya itu, yang di sebelah musolla. Tapi sejak sakit saya tampung di sini,” tutur Sutari, adik kandung Bu Jumik. Bu Jumik didiagnosa mengidap penyakit kanker dan tumor ganas. Bu Jumik pertama kali merasakan sakit pada pertengahan Juni 2008 lalu. Setelah dirawat 2-3 hari di RSUD Sidoarjo, perut Bu Jumik tiba-tiba membesar, seperti orang hamil.

    Setelah dua minggu menginap di rumah sakit dan keluarganya tak sanggup lagi menanggung biaya, Bu Jumik akhirnya dibawa kembali ke pengungsian. Lagi pula kesehatannya tak jua membaik. “Akhirnya kami ngasih pengobatan alternatif buat ibu. sudah banyak yang kami coba, dari berbagai tempat malahannya,” ujar Sugiyat lagi.  

    Baru  pada September kemarin, Bu Jumik melaksanakan operasi untuk mengangkat tumor dan kanker ganas diperutnya tersebut. Untuk pembiayaan dan pengobatan, Bu Jumik sama sekali tidak mendapat tunjangan atau pun bantuan apa-apa yang mereka dapatkan dari pemerintah apalagi Lapindo. “Biayanya yah ditanggung sendiri, Mas. Ada juga dari pinjaman orang lain. Waktu itu kita musti nyari pinjaman untuk membayar biaya operasi ibu,” tutur Sugiyat kembali.

    Namun setelah beberapa waktu setelah operasi perut Bu Jumik kembali membesar. “Kata dokter akar kankernya masih ada dan menyebar ke seluruh badan.dokternya yang di Sidoarjo juga sudah ngomong nyerah. Disuruh bawa ke surabaya, tapi karena tidak ada biaya lagi, kami tidak bawa ke Surabaya. Kami hanya lanjutin pengobatan alternatifnya,” tambah Sugiyat. Sebelumnya Bu Jumik juga pernah menjalani operasi hernia yang sudah dideritanya selama satu setengah tahun.

    Ketika ditanyai, pihak keluarga menyatakan tidak curiga jika ada kaitan antara kandungan zat berbahaya dari semburan lumpur  Lapindo dengan penyakit yang diderita Bu Jumik. Padahal pemberitaan dan informasi mengenai hal ini sudah sangat banyak. Untuk senyawa yang tergolong polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) yang terkandung dalam lumpur Lapindo saja sudah mencapai 2000 kali di atas ambang batas.

    Senyawa ini tergolong sangat berbahaya jika terkontaminasi dengan manusia karena bersifat karsinogenik. Senyawa tersebut tidak menyebabkan terbentuknya tumor ataupun kanker secara langsung, tetapi dalam sistem metabolisme tubuh akan diubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan sangat berpotensi menyebabkan timbulnya tumor dan resiko kanker.

    Salah seorang adik Bu Jumik hanya berujar penyakit kakaknya disebabkan oleh stres karena memikirkan masalah ganti rugi yang tak kunjung terbayar dan lokasi pengungsian yang tidak layak. ”Sebelum semburan lumpur Lapindo ini terjadi ibu saya sehat-sehat saja. Segar bugar malahan. Dulunya beliau kan menjual bakso sehari-harinya,” tutur Sugiyat.

    Bu Jumik adalah anak pertama dari sembilan bersaudara. Dan semua saudaranya yang lain juga menjadi korban lumpur Lapindo. ” Saudaranya ada sembilan orang, Mas. Baru satu itu yang meninggal. Yang lain masih hidup dan juga rumahnya terendam lumpur Lapindo. Sebelum meninggal Bu Jumik berpesan lewat suaminya, ”Jadi anak nggak boleh berani sama orang tua. Dia juga ngomong saya mau ikut siapa kalau dia sudah tidak ada?” tutur Supardi, suami Bu Jumik. ”Sebelum meninggal malamnya itu dia ngomong kayak gitu sambil memeluk saya sekenceng-kencengnya,” kenang Supardi. [mas]

  • Pengumpul Bata Bekas, Mengais Reruntuhan untuk Bertahan

    Pengumpul Bata Bekas, Mengais Reruntuhan untuk Bertahan

    Mereka tahu, pekerjaan itu sangat tidak layak bahkan berbahaya. Tapi tuntutan untuk menyambung hidup dan menghidupi anggota keluarga memaksa mereka menjalani pekerjaan itu. Manat mengais batu bata bekas dari puing-puing rumah yang sebelumnya berdiri kokoh. Rumah-rumah itu telah ditenggelamkan oleh air berwarna kemerahan yang keluar bersama semburan lumpur Lapindo.

    Ini jelas beresiko. Kandungan zat berbahaya pada air yang menggenangi desa Manat terbilang sangat tinggi. Lewat sebuah penelitian, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menemukan adanya kandungan senyawa-senyawa yang tergolong polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) dalam lumpur Lapindo. Ini termasuk senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik.

    Senyawa tersebut memang tidak secara langsung menyebabkan terbentuknya tumor ataupun kanker. Tetapi, dalam sistem metabolisme tubuh, ia akan diubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan sangat berpotensi menyebabkan timbulnya tumor dan resiko kanker. PAH juga bisa mengakibatkan kanker paru-paru, kanker kulit dan kanker kandung kemih.

    Penelitian tersebut juga menghasilkan temuan yang sangat mencengangkan mengenai besarnya zat berbahaya itu. Bayangkan saja, kadar PAH (chrysene dan benz(a)anthracene) dalam lumpur Lapindo yang mencapai 2000 kali di atas ambang batas bahkan ada yang lebih dari itu. Pada angka di atas ambang normal saja efek dari kontaminasi dengan senyawa berbahaya tersebut dapat terasa dalam waktu 5-10 tahun.

    Tapi Manat agaknya tidak punya pilihan lain. Ia harus memilih bekerja dengan resiko besar kematian akibat kanker. Pabrik tempatnya dulu bekerja telah hilang terendam lumpur. Sedangkan ia harus mempertahankan kelangsungan hidup orang-orang yang disayanginya, istri dan anak-anaknya. “Anak saya tiga, Mas. Dan semuanya masih sekolah. Yang pertama sudah SMP, yang kedua SD, dan yang terakhir masih TK. Butuh makan juga,” ungkap Manat.

    Dari pekerjaannya ini, Manat bisa mendapatkan uang sebesar 150 ribu rupiah untuk setiap 1.000 buah batu bata bekas yang dikumpulkan dan dijualnya. Tapi ini tidak mudah. Manat tidak dapat lagi mengumpulkan batu bata bekas ketika matahari telah sedikit meninggi. Sebab, air yang harus dilaluinya akan menjadi panas. “Di bawah air ini sudah ada lumpurnya, Mas. Lumpur panas malah. Sepertinya lumpur panasnya sudah dialirkan ke sini. Dan kalau ada panas matahari, ya sudah, panas ketemu panas,” tutur Manat.

    Ahmad, 30 tahun, adik kandung Manat juga mengalami hal nyaris serupa. Ia juga harus menghidupi istri dan kedua anaknya yang sekarang masih tinggal di Pasar Porong Baru. Bersama dengan Manat, sang kakak, Ahmat mengais-ngais sisa bahan bangunan untuk dijual sebagai mata pencaharian. “Kita sih juga tahu, Mas, gimana bahayanya bersentuhan dengan air ini. Kalau gatal-gatal dulunya iya, tapi sekarang sudah kebal. Nggak kerasa lagi,” ujar Ahmad.

    Kemalangan Manat dan Ahmad tak cukup sampai di situ. Selama dua tahun lebih ini, mereka belum mendapatkan kompensasi serupiah pun atas tanah dan rumah mereka yang ditenggelamkan Lapindo. Pembayaran uang muka 20 persen oleh PT. Minarak Lapindo Jaya, yang sudah lewat dua bulan lebih dari kesepakatan, belum juga terbayarkan.

    Belum hilang kebingungan mereka soal waktu pembayaran yang terus menerus diulur tanpa kejelasan, Manat mendapatkan kabar bahwa pembayaran ganti rugi rumah dan tanahnya akan dicicil oleh PT. MLJ. Mereka akan diberikan uang sejumlah 15 juta rupiah sebagai cicilan. Itu pun sisanya tidak jelas akan dibayar kapan. Manat seharusnya mendapatkan 60 juta rupiah dari ganti rugi tanah dan rumahnya sebesar 20 persen tersebut. “Sebagian warga sudah menerima 15 juta di rekening mereka. Sebagian lagi belum juga dapat, termasuk saya,” kata Manat. PT. MLJ menjadikan krisis keuangan global sebagai dalih untuk menunda-nunda pembayaran.

    Upaya Manat bersama ratusan keluarga lain dari Desa Renokenongo menuntut pembayaran 20 persen dengan cara menutup akses pembangunan tanggul harus berbenturan dengan keinginan BPLS untuk melanjutkan penanggulan di desa tersebut. Aksi penutupan tanggul pun dihentikan pada hari Sabtu (22/11). Jebolnya tanggul yang menyebabkan terendamnya 5 RT di Dusun Risen Desa Glagaharum menambah patah upaya tersebut.

    Kondisi itu membuat potensi konflik horisontal semakin besar antara kedua desa. “Warga Risen kemarin itu sudah siap-siap untuk menyerang kami. Sudah ada yang bawa macam-macam (senjata tajam, Red). Mereka tidak terima tanggul jebol dan air hujan merendam desa mereka. Jadinya ‘kan kita bermusuhan sama saudara sendiri kalau begitu,” keluh Manat. [mas]