Category: Kanal Korban

  • Warga Peringati 12 Tahun Semburan Lumpur Lapindo

    Porong, 29 Mei 2018 – Pagi sekitar jam delapan (29/5) terasa terik di atas tanggul lumpur Lapindo. Musim kemarau sudah dirasakan sejak akhir April. Hujan tak lagi ada. Panas terik disertai bau menyengat lumpur ditengah suasana bulan ramadhan tak menyurutkan puluhan warga korban Lapindo dari berbagai wilayah untuk memperingati 12 tahun tragedi semburan ini. Untuk diketahui, pada 29 Mei 2006 lumpur Lapindo untuk pertama kalinya diketahui menyembur. Ia menjadi bencana yang luar biasa menghancurkan saat dampaknya tak ditangani dengan baik. Desa-desa terdekat dengan semburan merasakan ganasnya lumpur. Rumah, sawah, pabrik-pabrik, dan sekolah terkubur lumpur. Hingga hari ini, semburan lumpur masih terus berlangsung.

    Pengurus negara masih dipandang tak menangani lumpur Lapindo dengan baik hingga kini. Penyelesaian dampak lumpur dengan hanya memberikan ganti kerugian tanah dan bangunan milik warga berujung pada tak terpulihkannya hak-hak warga korban. Lumpur Lapindo membuat kerusakan lingkungan bagi wilayah sekitarnya. Tanah, sungai, kolam, tambak, dan sumur-sumur warga tidak bisa lagi digunakan seperti sebelumnya. Berbagai jenis logam berat ditemukan oleh banyak penelitian. Udara juga tak kalah buruknya. Akibatnya kesehatan warga menurun. Redaksi Kanal merekam beberapa temuan peneliti dan lembaga: kandungan logam berat Pb, Cr, Cd, Arsen dan Hg ditemukan tinggi oleh DR Ir Dwi Andreas Santosa(Antara 14 Desember 2016). Timbal(Pb) dan Kadmium (Cd) jauh melebihi ambang batas aman bagi lingkungan dan manusia (Walhi Jatim, 2008). Tarzan Purnomo 92014) menemukan Cd di air >0.01 ppm, Pb >0.03 ppm. Cadmium dalam tubuh ikan 0.037- 1.542 ppm dan Timbal 0.179-1.367 ppm (>0.008 ppm). Ditemukan 8 jenis logam berat di lumpur Lapindo: tembaga (Cu), besi (Fe), mangan (Mn), kobalt (Co), seng(Zn), kadmium (Cd), molibdenum (Mo) dan boron(Bo) oleh Dagdag, dkk (2015).

    Pada lima tahun awal periode semburan, infeksi pernapasan warga meningkat tajam.  Puskesmas Porong mencatat sekitar 24 ribu warga yang menderita ISPA pada 2005, tahun berikutnya meningkat hingga lebih dari 28 ribu. Jumlah tertinggi mencapai 63 ribu warga pada 2010. Tidak ada jaminan khusus yang diterima korban Lapindo untuk bisa mendapat layanan kesehatan. Mereka harus mengurus surat keterangan miskin jika tak mampu berobat. Untuk mendapat jaminan negara melalui Jamkesda, mereka juga mesti bersusah payah agar bisa masuk daftar penerima jaminan. Saat sistem jaminan kesehatan nasional berlaku, warga juga tak mendapat kekhususan jaminan pelayanan seperti korban bencana. Mereka harus berusaha masuk dalam daftar penerima, atau menjadi peserta JKN secara mandiri.

    “Ide bahwa seolah-olah kasus lumpur Lapindo sudah selesai hanya karena pembayaran kompensasi jual beli tanah bangunan sudah selesai, padahal masih banyak perihal kasus-kasus lain yang belum terselesaikan yang harus dialami warga korban Lumpur akibat semburan,” ujar Rere Christanto, direktur Walhi Jawa Timur. Ia lebih lanjut menjelaskan seharusnya taggung jawab pemerintah adalah mengembalikan hak korban. Salah satu yang paling menonjol adalah kesehatan warga.  Material lumpur Lapindo yang keluar berupa air, lumpur, sedimen, maupun gas semuanya mengandung bahan racun. Dari banyak penelitian diketahui berbagai jenis logam berat seperti timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) tersebar di sekitar area semburan lumpur. Walhi Jatim pernah menemukan adanya jenis poliaromatik hidrokarbon (PAH) yang cukup tinggi. Munculnya berbagai jenis penyakit dan memburuknya kesehatan warga patut diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan yang sangat buruk.

    Harwati, korban Lapindo dari Siring menuturkan hal yang sama. Ia merasakan benar bagaimana dampak lumpur Lapindo tidak hanya pada hilangnya harta bendanya tetapi juga anggota keluarganya yang meninggal karena sakit. Penyakit-penyakit semacam kanker banyak dijumpai.  Orang mati mendadak banyak diketahui, namun tidak ada yang melihat ada hubungan dengan lingkungan yang buruk. Ia berharap agar pemerintah melakukan tindakan-tindakan guna memulihkan kondisi yang ada. “Kesehatan, pendidikan, dan ekonomi yang saat ini diharapkan warga,” kata Harwati. Ia berharap pemerintah turun lapangan dan memeriksa dengan baik kondisi yang ada agar didapatkan pemahaman situasi dengan baik. “Jangan hanya bertanya saja, turun lapangan dan benar-benar lakukan,” pesan Harwati.

    Hal senada disampaikan Rere,”Pemerintahan harus memikirkan ada sebuah jaminan kesehatan ke seluruh masyarakat yang terdampak karena lingkungannya sudah rusak. Bukan mereka yang merusak tetapi akibat bencana lumpur Lapindo. Pemerintah seharusnya merespon dengan cepat karena kalau tidak, lama kelamaan makin banyak orang sakit, makin banyak orang menderita. Kalau tidak ada tanggung jawab pemerintah, ini sama saja membiarkan orang mati perlahan-lahan.”

    Ada dua langkah cepat yang menurutnya bisa dilakukan pemerintah. Pertama, membuat peta kerawanan bencana untuk menunjukan seberapa luas racun dari lumpur Lapindo ini menyebar baik melalui air, melalui sedimen, maupun melalui udara. Kedua, memberikan jamian kesehatan kepada warga agar mereka tidak harus mengeluarkan biaya pengobatan. (Fika_C)

  • KOMNAS HAM Rekomendasikan Pemulihan Hak Korban Lapindo

     

    Korbanlumpur.info – Sidoarjo, 21 Juli 2017

    Emir Firdaus selaku wakil ketua DPRD Kabuoaten Sidoarjo memberikan sambutan mengawali dialog hasil audit HAM yang dilakukan oleh Komnas HAM. Ia berharap hasil audit HAM dalam kasus Lapindo bisa memberikan gambaran yang jelas atas persoalan Lapindo karena sampai saat ini masih banyak persoalan yang belum diselesaikan. Ia juga mengharap terjadi dialog antara warga, baik dalam peta terdampak maupun di luar peta, yang sudah selesai pemenuhan ganti rugi maupun yang belum.

    Nur Khoiron, wakil ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berterimakasih atas fasilitasi DPRD Kabupaten Sidoarjo sehingga Komnas HAM bisa melakukan dialog dengan warga korban lumpur Lapindo. Ia dan tim diberi mandat oleh sidang paripurna Komnas HAM untuk melakukan kajian atau audit atas pengelolaan permasalahan lumpur Lapindo sejak 2006 hingga 2017. Melalui surat mandat paripurna 2015 ia diberi tugas memeriksa semua model kehadiran negara dalam penyelesaian kasus lumpur Lapindo.

    Apapun bentuk bencana, baik disebabkan oleh kejadian alam maupun hal lainnya, ada situasi hilang atau terganggunya hak korban. Dalam kasus lumpur Lapindo juga terjadi hal yang sama dan itu perlu dipulihkan atau reparasi. Ia berharap tim Komnas HAM saat ini adalah tim terakhir untuk merespon pengaduan kasus Lapindo. Sebelumnya telah banyak tim-tim yang dibentuk guna merespon pengaduan warga korban.

    “Setiap korban berhak diberi upaya pemulihan, dalam HAM, upaya ini dikenal sebagai reparasi. Modelnya bisa rehabilitasi, ganti rugi, dan sebagainya,” kata Khoiron.

    Komnas HAM Ham diberi mandat oleh undang-undang sebagai lembaga independen yang tidak masuk dalam kelembagaan eksekutif maupun yudikatif, namun ia bisa berdiri pada keduanya untuk pemenuhan hak asasi manusia.

    Pembelajaran selama selama tahun dalam pengelolaan lumpur Lapindo bisa menjadi rujukan agar tidak membuat kesalahan yang sama dalam pengelolaan bencana serupa. Ia berharap ada masukan dari warga atas bagian rekomendasi laporan agar bisa lebih kuat.

    Hasil Audit HAM
    Dalam penyampaian isi laporan, Khoiron memaparkan bahwa Komnas HAM adalah satu-satunya lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk memantau pemenuhan HAM di Indonesia. Ia juga bertugas memberikan penyuluhan HAM. Kewenangan lain adalah melakukan mediasi atas kasus-kasus yang menimbulkan dampak terhadap terpenuhinya HAM masyarakat.

    Ia dan tim diberi tugas sidang paripurna untuk memeriksa kehadiran negara dan perusahaan dalam melakukan pemulihan korban. Ia mengulangi dan menegaskan,”kejadian bencana selalu memberi dampak mengurangi atau menghilangkan hak-hak warga”.

    Saat ini laporan akhir masih dalam proses penyempurnaan sehingga belum bisa dibagikan. Ia kemudian menyampaikan ringkasan lima bab laporan yang terdiri: pertama, latar belakang kenapa ada tugas memeriksa pemenuhan HAM dalam kasus Lapindo oleh Komnas saat ini maupun tim-tim sebelumnya.

    Komnas pernah memeriksa kasus Lapindo sesuai UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM berkaitan kemungkinan terjadinya pelanggaran berat HAM. Komnas melakukan penyelidikan dan hasilnya disampaikan dalam sidang paripurna. Sayangnya dugaan pelanggaran berat HAM yang disampaikan oleh tim penyelidik belum bisa diterima dalam sidang paripurna Komnas HAM.

    Namun, setelah keputusan sidang paripurna ternyata masih ada pengaduan-pengaduan warga. Komnas kemudian melakukan pemeriksaan sehingga bisa merumuskan pembelajaran penting agar tidak terjadi pengulangan tindakan pelanggaran HAM yang sama dalam kasus serupa dimasa mendatang.

    Pada bab dua, ia paparkan prinsip-prinsip HAM yang mrndasari mengapa negara wajib melakukan pemulihan dan pemenuhan HAM korban bencana. Bab ini juga memaparkan kenapa perusahaan juga punya kewajiban dalam perlindungan, pemulihan, dan pemenuhan HAM karena dalam UU biasanya hanya menyebutkan aktor utama hanya negara. Dalam perkembangannya, norma HAM secara internasional telah mewajibkan perusahaan untuk melakukan perlindungan HAM.

    Dalam praktiknya memang didapati kesulitan jika aktor pelanggar HAM bukan negara, namun Komnas HAM telah menemukan landasan-landasan agar perusahaan juga berkewajiban melakukan pemenuhan HAM seperti negara.

    Bab tiga memaparkan bagaimana tanggjawab negara dan perusahaan dalam pemenuhan HAM korban Lapindo secara runut sejak awal dibentuk Timnas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo hingga dana talangan di era presdien Joko Widodo. Pada beberapa bagian disebutkan masih belum jelasnya status penyebab semburan lumpur dan masih menjadi perdebatan hingga saat ini cukup menyulitkan pemulihan korban.

    Badan ad hoc BPLS dibentuk melalui perpres sejak 2007. Mekanisme yang dijalankan dalam penanganan korban yang diatur dalam kebijakan publik ternyata menggunakan landasan hukum perdata melalui mekanisme jual beli. Ini menjadi problem dalam pemulihan HAM korban hingga saat ini.

    Ada temuan-temuan proses pemulihan yang tidak dilakukan oleh negara maupun perusahaan. Misalnya ada banyak hak-hak korban Lapindo yang belum berkaitan dengan pulihnya lingkungan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan hak dasar lainny . Dalam ranah HAM meski telah dilakukan pemulihan-pun ada hal yang masih perlu diukur yang dalam HAM dikenal sebagai satisfaction. Istilah ini berkaitan dengan terpenuhi atau tidaknya kepuasan korban atas pulih atau tidaknya hak mereka.

    BPLS memang membuat definisi kasus lumpur Lapindo sebagai bencana geologi, namun definisi ini tidak ada landasan hukum dalam UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Tanpa landasan regulasi dalam pengelolaan bencana, pemenuhan HAM ternyata dilakukan melalui asset based, sehingga korban yang diidentifikasi hanya berdasar kepemilikan aset dan bukan individual yang memiliki hak dasar melekat sebagai manusia. Dalam kasus Lapindo, warga yang tidak memiliki aset tidak bisa ditangani pemulihan HAM-nya. Bahkan jika memeriksa kasus Lapindo lebih mendalam, pemulihan hak-hak dasar seperti lingkungan yang baik, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi tidak bisa diperoleh oleh korban.

    Pada bab empat, Komnas HAM telah menganalisis, tidak ada mekanisme landasan hukum yang digunakan menjadi rujukan dalam penegakan hukum terhadap usaha bisnis yang telah membawa dampak pelanggaran HAM. Dalam kasus Lapindo, negara juga tidak melakukan seruan untuk upaya-upaya bantuan kemanusiaan selama sebelas tahun semburan lumpur. Dalam kasus lapindo, negara dan perusahaan tidak memiliki data persebaran korban. Ini menjadi indikator tidak dilakukannya upaya pemulihan HAM korban Lapindo.Pemerintah dan perusahaan dinilai gagal menghentikan semburan lumpur. Tidak ada data terkini karena tidak dilakukan upaya penghentian maupun pencari-tahuan informasi mengenai lumpur Lapindo, dampak, dan para korbannya. Sehingga nampak bahwa korban Lapindo belum pulih hak-haknya sebagai manusia.

    Bab terakhir yang dipaparkan berkaitan dengan rekomendasi. Rangkuman rekomendasi terdiri kepada presiden, menteri pu, bnpb, pemerintah daerah, penegak hukum, legislatif.

    Salah satu rekomendasi Komnas HAM kepada Presiden republik Indonesia adalah untuk mengevaluasi model pemulihan hak korban melalui mekanisme jual beli karena ada dampak-dampak lanjutan bagi korban Lapindo.

    UUPLH 32/2009 bisa menjadi landasan dalam pembangunan yang berdampak pada lingkungan yang bisa memberikan ruang bagi negara untuk melindungi HAM warga sejak masa awal perencanaan kegiatan usaha. UU No 39/1999 tentang HAM juga menjadi landasan bagi pemenuhan hak anak, hak perempuan, dan hak atas lingkungan yang baik sehingga komnas merekomendasi agar dilakukan inventarisasi data terhadap korban bencana.

    Rekomendasi kepada pemerintahan daerah salah satunya adalah merumuskan rencana tata ruang wilayah (RTRW) agar pengelolaan wilayah bencana kedepan bisa lebih jelas. Yang lain, Komnas HAM juga memberikan rekomendasi agar proses ganti rugi fasilitas sosial dan fasilitas umum bisa dilakukan agar korban bisa memulihkan kehidupan sosial mereka.

    Sebagi penutup pemaparan, Khoiron meminta masukan dan komentar atas rekomendasi yang dibuat agar lebih mengena dan bisa ditindaklanjuti dalam pemulihan HAM korban lapindo oleh para pihak.

    Dialog
    Dimoderasi oleh ketua pansus lumpur lapindo, Mahmud, dialog dimulai dengan penyampaian Sungkono, korban Lapindo dan juga anggota DPR RI. Ia menyampaikan ada dinamika Perpres yang semakin tidak menguntungkan posisi warga. Misalnya penggantian kerugian warga didasarkan peta terdampak yang bisa berubah sewaktu-waktu. Penanganan sangat lambat terhadap korban yang sejak masa awal menjadi korban, salah satunya adalah para warga yang memiliki usaha di dekat lokasi semburan dan lahannya terbenam lumpur. Padahal dalam Perpres warga korban disebutkan secara jelas sebagai warga yang memiliki aset tanah dan bangunan di lokasi terdampak. Untuk itu ia meminta agar proses pemulihan awal bisa disegerakan penggantian aset warga korban Lapindo. Keputusan MK seharusnya bisa menjadi landasan pemenuhan hak-hak semua warga korban Lapindo. Rapat komisi DPR selalu merekomendasi kepada pemerintah untuk melakukan itu, namun tidak pernah terealisasi.

    Ketua Pusat Penanganan Lumpur Sidoarjo (PPLS) Dwi Sugiyanto menyampaikan perlu ada penajaman rekomendasi terutama penanganan dalam PAT. Misal kepada presiden bisa direkomendasi dilakukan pemenuhan ganti rugi kepada keseluruhan korban, termasuk kepada pengusaha yang menjadi korban. Memang negara sudah berusaha dengan mengalokasikan dana antisipasi 773M pada tahun 2015, namun ini belum semua korban bisa terpenuhi.

    Ia juga menyampaikan, pendanaan akan sangat mempengaruhi proses pengelolaan lumpur Lapindo dalam PAT terutama berkaitan dengan pemulihan infrastruktur. Untuk memudahkan PPLS menjalankan tugasnya, maka persoalan ganti rugi mestinya sudah diselesaikan.

    Seismik 3 Dimensi sudah diupayakan dilakukan, namun ini belum disetujui kementerian keuangan karena dilihat sebagai upaya mencari tahu potensi migas saja, padahal seismik ditujukan untuk mitigasi bencana.

    Dalam upaya meningkatkan kenyamanan warga maka pemulihan infrastruktur perlu dilakukan serius. Upaya konkrit pengendalian lumpur adalah dengan pengelolaan volume lumpur dengan pengendalian infrastruktur yang terstruktur. Elevasi lumpur terus menurun menandakan adanya penurunan muka tanah secara m=enyeluruh di kawasan sekitar semburan.

    Untuk fasos dan fasum, PPLS memprioritaskan penggantian tanah-tanah waqaf yang landasan aturannya bisa menggunakan peraturan yang sudah ada. Pengamanan aset bisa dilakukan melalui upaya penyelesaian administratif aset warga, misalnya memfasilitasi proses sertifikasi aset warga.

    Sungkono menyela, ia menyampaikan agar ada rekomendasi yang lebih konkrit pada penyelesaian ganti rugi korban lumpur Lapindo keseluruhan warga tanpa membedakan status sebagai pengusaha atau bukan karena sudah ada putusan MK yang menjadi landasan.

    Anggota DPRD lain yang juga menjadi korban Lapindo dari Desa Jatirejo, H Maksum memberikan masukan agar komnas HAM bisa lebih memerinci dan medetailkan model penyelesaian pemenuhan ham korban lapindo, naik korban dalam PAT dan diluar PAT. Ia menceritakan pada saat awal memang ada opsi ganti rugi, ada opsi cash and carry (tunai), resettlement (relokasi), dan juga ada yang tidak jual aset. Di desa Jatirejo misalnya warga tidak tahu apa dasar keputusan harga lahan yang diputuskan pemerintah dan perusahaan. Padahal sebelum ada semburan lumpur harga tanah di Jatirejo sudah lebih dari harga yang ditentukan dalam ganti rugi yang hanya sebesar 120 ribu per meter persegi untuk tanah sawah. Banyak juga aset-aset tanah waqaf yang digunakan kegiatan pendidikan yang belum terealisasi ganti rugi hingga saat ini.

    Ritonga, ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo(GPKLL) merekomendasi agar komnas merekomendasi pemerintah tidak melakukan dikotomi warga pengusaha dalam mendapatkan ganti rugi. Ia mengusulkan agar DPR RI tidak mengesahkan APBN jika masih terjadi dikotomi pemberian ganti rugi. Demikian juga kepada DPRD Sidoarjo agar tidak mengesahkan APBD Sidoarjo.

    Sementara itu perwakilan nadhir musholla dan masjid di Porong menyampaikan bahwa baru dalam kasus penanganan Lapindo ada istilah tanah banci. Misalnya ada yang secara sertifikat tanah kering namun dalam realisasinya digunakan utk pertanian karen BPLS melandasakan pada peruntukan aktual, sehingga ini menjadi sengketa bertahun-tahun. Sebisa mungkin penanganan pemulihan aset-aset tanah kolektif warga bisa dikembalikan kepada warga secepatnya. Ini berkaitan dengan kepercayaan iman bahwa pemulihan tanah waqaf adalah kewajiban penerima waqaf agar tidak berdosa.

    Korban Lapindo lainnya, Supari menceritakan, ada banyak yang tidak bisa memulihkan diri paska semburan Lapindo meski telah menerima ganti rugi. Ini seharusnya diperhatikan oleh pemerintah agar bisa ditangani karena penggantian aset tidak bisa seluruhnya bisa menjadi dasar penilaian pemulihan korban. Masih ada banyak warga yang tidak bisa membangun kembali rumah, tidak mendapat pekerjaan, pendidikan dan juga berkaitan dengan kesehatan. Tidak banyak pihak yang memiliki kepedulian untuk melihat hal-hal seperti ini. Yang selalu dilihat oleh publik adalah warga korban sudah menerima ganti rugi dan masalahnya selesai.

    Djuwito, dari Renokenongo juga menyampaikan memang ada banyak korban Lapindo yang belum pulih dan ketinggalan dalam penyelesaian ganti rugi. Keputusan MK bisa mejadi dasar pelaksanaan ganti rugi terhadap warga yang belum diganti.

    Yang menarik ada pernyataan Jon Subianto, dari Gedang, yang mengharap Komnas HAM bekerja karena panggilan dan rasa kemanusiaan. Ia mencontohkan dirinya yaang istrinya sakit-sakitan sehingga ia sampai disarankan untuk kawin lagi. Penting disampaikan kepada Presiden agar penanganan korban lapindo harus konprehensif seperti masalah kesehatan dan lingkungan. Hal serupa disampaikan pula oleh Ikhwan dari Glagaharum. Ia pernah mendapati di desa Glagaharum terjadi warga meninggal dalam jumlah banyak dan beruntun. Perlu ada jaminan kesehatan yang diprioritaskan bagi korban lumpur Lapindo sehingga bisa berobat diwilayah manapun dan mendapat jaminan pembiayaan dan penanganan medis.

    Kepala BPBD Sidoarjo, Dwijo, menyampaikan agar rekomendasi Komnas HAM ditajamkan mengenai penyelesaian fasum dan fasos sehingga lebih ada landasan bagi para pihak untuk menyelesaikannya. Sementara ketua Pansus lumpur Lapindo, Mahmud, mengharap rekomendasi terkait tata ruang bisa ditajamkan karena belum ada rekomendasi berdasar geologi sejauh mana radius aman bagi kegiatan pembangunan. Ini penting untuk pengelolaan pembangunan kedepan.

    Khoiron menyambut baik kesluruhan masukan para pihak. Laporan akhir akan dilakukan paling akhir Agustus yang hasilnya bisa diunduh pada website Komnas HAM dan untuk korban lapindo jika menginginkan bentuk cetak bisa diupayakan untuk mendapatkannya.

    Pertemuan Warga
    Sehari sebelumnya (20/7) tim Komnas HAM juga melakukan dialog dengan korban Lapindo di Pasuruan. Mereka mendapat banyak masukan terkait situasi pemulihan hak-hak korban Lapindo. Irsyad menyampaikan setidaknya rekomendasi Komnas HAM agar tidak terjadi hal serupa lumpur Lapindo dikemudian hari bisa dibuat rekomendasi tegas yang melarang kegiatan industri migas di dekat permukiman warga.

    Dewan Nasional Walhi, B Catur Nusantara yang juga hadir dalam dialog memberikan masukan kepada Komnas HAM agar merekomendasi pemulihan lingkungan kepada para pihak pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Ia juga berharap rekomendasi Komnas HAM kepada seluruh jajaran pemerintah daerah untuk segera melakukan segala upaya untuk proses pemulihan korban Lapindo. Upaya ini bisa dimulai dengan melakukan inventarisasi sebaran seluruh korban dan status pemulihan kehidupan mereka saat ini.

    “Upaya pemulihan lingkungan harus dilakukan sebagai bentuk pemenuhan dan pemenuhan hak korban Lapindo dan warga yang tinggal di sekitar area semburan.  Dalam berbagai penelitian telah diketahui sebagian wilayah ini mengandung logam berat timbal dan kadmium dalam jumlah tinggi yang bisa mempengaruhi kesehatan warga. Lingkungan yang pulih bisa menjadi faktor utama untuk memulihkan kesehatan dan perekonomian warga,” terangnya. (c)

  • Desa Hendak Dihapus, Korban Lapindo Menolak

    Selasa, 02 Februari 2016

    Korban Lapindo berdialog dengan pegawai Kelurahan Siring (foto: Eko W)

    Porong – Pembayaran ganti rugi 80% korban Lapindo yang tergabung dalam peta 22 Maret 2007 silam secara keseluruhan sudah terealisasi pada September 2015 lalu. Namun hal ini bukan menjadi akhir dari permasalahan yang dihadapi oleh para korban Lapindo terutama yang berasal dari desa Siring Timur. Wacana pengahapusan desa mereka telah disosialisasikan oleh Pemkab Sidoarjo pada November 2015 di Kecamatan Porong. Desa-desa yang akan dihapus dalam peta administrasi kecamatan Porong yakni Siring, Jatirejo, dan Renokenongo.

    Sejumlah delapan warga korban Lapindo mendatangi kantor kelurahan Siring untuk menanyakan hasil dari sosialisasi penghapusan desa oleh DPR Komisi 10 pada bulan Januari 2016. Harwati (39) salah satu warga desa Siring Timur ikut mendatangi kantor kelurahan Siring yang berada di Kelurahan Gedang. Ia menanyakan apa saja yang dibahas dalam sosialisasi tersebut kepada pemerintahan kelurahan. Selain itu, ia juga menanyakan apakah aset desa juga dibahas dalam sosialisasi tersebut.

    Inisiatif penghapusan desa dan kelurahan oleh pemerintah kabupaten Sidoarjo tidak bisa diterima oleh Korban Lapindo dari desa Siring. Mereka memandang penghapusan desa dan kelurahan seharusnya mempertimbangkan banyak hal. Salah satunya terkait kejelasan aset-aset desa yang menjadi bagian yang terdampak lumpur Lapindo. Warga melihat, ada beberapa aset desa dan kelurahan yang masih luput dari pendataan. Di Kelurahan Siring saja sudah ditemukan persoalan demikian. “Iya ada dua aset yag belum disebutkan yaitu lumbung dan bangunan NU yang sampai sekarang masih dipertanyakan oleh warga,” terang Harwati.

    Kedua aset yang diterangkan Harwati, pernah dilakukan pembayaran 20% dan diambil oleh salah satu tokoh masyarakat. Sementara pembayaran 80% tidak diambil. Dana ganti rugi lumbung dan bangunan NU tidak jelas kemana, awalnya dipercayakan kepada ketua RT namun sampai sekarang tidak ada informasi status dana pengganti tersebut.

    Harwati menerangkan, selain aset desa itu, masih ada bangunan publik yang seharusnya diperjelas statusnya. Bangunan sekolah SD 1 Siring, jalan desa, dan fasilitas umum lainnya selayaknya juga diurus karena menjadi aset kolektif warga.

    Korban Lapindo dari desa Siring sepakat akan menindaklanjuti masalah rencana pengahapusan desa dengan mengumpulkan lebih banyak lagi korban Lapindo yang kini tinggal di berbagai wilayah. Mereka berencana mengumpulkan bukti data aset desa yang dimiliki Siring saat masih berstatus desa hingga menjadi kelurahan.

    Dalam waktu dekat, mereka berencana menindaklanjuti menyikapi rencana ini dengan mendatangi berbagai pihak. “Saya dan kawan-kawan sudah sepakat akan meneruskan masalah ini, bahkan nanti kita juga akan mengirimkan surat keberatan serta audiensi ke DPRD,” tutur Harwati. (Eko W)

     

  • Sembilan Tahun Lumpur Lapindo

    Sembilan Tahun Lumpur Lapindo

    Tanggal 29 Mei 2015, tepat 9 (sembilan) tahun lumpur Lapindo menyembur di Desa Siring Kecamatan Porong, yang sudah menenggelamkan dan mengusir warga di 3 (tiga) kecamatan (Porong, Jabon, dan Tanggulangin).

    Pada hari itu ratusan korban Lapindo memperingatinya dengan mengarak ogoh-ogoh yang menyerupai Aburizal Bakrie. Ogoh-ogoh diarak dari taman, bekas Pasar Porong, menuju kolam lumpur. Tidak hanya kaum laki-laki, anak-anak dan perempuan juga ikut serta dalam aksi peringatan itu.

    Selain ogoh-ogoh, peserta aksi juga membawa poster dari kardus dengan pelbagai tulisan, antara lain, “Kampungku dulu tidak begini, Lapindo menghancurkan semua” dan “Tambangku hancurkan, duniaku.” Para perempuan memakai topeng wajah Aburizal Bakrie juga membentang spanduk bertuliskan “9 Tahun Lumpur Lapindo Muncrat, Bakrie Penjahat.”

    This slideshow requires JavaScript.

    Festival Pulang Kampung

    Abdul Rochim, salah satu koordinator aksi, mengatakan aksi dengan mengarak raksasa Bakrie dengan tangan terikat rantai itu ingin mengabarkan bahwa pemilik Lapindo Brantas ini adalah penjahat lingkungan, yang seharusnya diadili.

    “Dalam aksi kali ini, kami sengaja lakukan dengan mengarak ogoh-ogoh Bakire yang terikat rantai. Kami sengaja ingin menyampaikan pesan ke publik dan ke negara bahwa tokoh Partai Golkar ini adalah penjahat lingkungan yang seharusnya diadili,” ujarnya.

    Sesampainya di tanggul lumpur Lapindo, arak-arakan ogoh-ogoh langsung disambut ibu-ibu dari Komunitas Ar-Rohma, yang mendirikan gubuk-gubukan di atas lumpur yang sudah mengering. Komunitas Ar-Rohma sengaja membangun gubuk-gubukan di atas Desa Siring, di titik 21.

    Harwati, salah satu perempuan korban Lapindo dari Komunitas Arrohma, mengatakan bahwa warga yang berprofesi sebagai tukang ojek lumpur sudah membangun gubuk-gubukan sejak tanggal 25 Mei. “Kami membangun kampung kembali di atas lumpur yang sudah mengering.” Dalam aksi “Festival Pulang Kampung” ini mereka berpesan kepada negara bahwa dulu ada kampung dan kehidupan di dalam sini.

    Aksi peringatan 9 tahun lumpur Lapindo berjalan lancar dengan pengawalan tim dari kepolisian. Ogoh-ogoh Aburizal Bakrie diletakkan di atas lumpur yang mengering, dengan rantai yang mengikat kedua tangannya dipasung dalam lumpur. Warga mengerubungi ogoh-ogoh dan melemparinya dengan kembang sambil berteriak “Bakrie Penjahat.”

    Usai dengan ogoh-ogoh, warga berkumpul di gubuk yang sudah disiapkan. Warga melakukan beberapa aktivitas “pulang kampung” di atas lumpur yang mengering itu. Ada perwakilan anak-anak membacakan puisi yang menggambarkan penderitaan mereka kehilangan tempat tinggal, bermain.

    Menghukum Pelaku

    “Presiden Jokowi pernah mengatakan negara harus hadir untuk menyelesaikan semua persoalan yang terjadi di sini,” ungkap Harwati.

    “Seharusnya Jokowi tidak hanya mengganti rugi yang sampai sekarang belum selesai dengan dana talangan, tapi juga harus menyelesaikan persoalan yang lain seperti pemulihan ekonomi warga, jaminan kesehatan dan pemulihan sosial budaya yang saat ini sama sekali tidak diperhatikan,” lanjutnya.

    Harwati dan ibu-ibu yang tergabung dalam komunitas Ar-Rohma akan terus memperjuangkan hak-hak korban Lapindo yang dihilangkan oleh Lapindo dan negara. “Selama kami diusir dari kampung kami, kami tidak pernah mendapatkan jaminan kesehatan dan pendidikan,” katanya.

    Ony Mahardika, Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, juga mengatakan senada. “Seharusnya Presiden Jokowi tidak memaknai persoalan kasus lumpur Lapindo hanya dengan persoalan ganti rugi, tapi harus melihat aspek-aspek yang lain, misalnya jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, pemulihan ekonomi, dan jaminan pemenuhan hak-hak korban Lapindo lainnya,” ungkap Ony.

    Novik Akhmad untuk korbanlumpur.info

  • Korban Lapindo Tidak Masuk dalam SJSN

    Korban Lapindo Tidak Masuk dalam SJSN

    Sidoarjo, korbanlumpur.info – Tepat tanggal 1 Januari 2014 ini, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) akan dilaksanakan. Namun sampai saat ini proses pendataan untuk Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) masih belum sepenuhnya beres khususnya bagi warga korban lumpur Lapindo. Ketidakjelasan informasi soal pendataan PIB membuat Kelompok Belajar Korban Lapindo Ar-Rohma bersusah payah mencari informasi secara mandiri. Setelah mendatangi Dinas Kesehatan Sidoarjo, mereka mengirimkan surat permintaan informasi ke Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Kabupaten Sidoarjo

    “Tidak ada informasi tentang SJSN yang didapat warga selama ini. Kami harus mencari-cari sendiri informasi tersebut. Ini sangat merepotkan bagi kami,” kata Ike Anasusanti (43), warga Siring, Koordinator Ar-Rohma. Ike menambahkan, usaha mencari informasi dipicu oleh keresahan warga atas status mereka bila SJSN diberlakukan.

    Setelah mengirimkan surat permintaan informasi ke TKPKD Kabupaten Sidoarjo 10 November 2013 lalu, Kelompok Belajar Ar-Rohma mendapat surat jawaban. Dalam surat jawaban itu, TKPKD menyatakan bahwa setelah dilakukan validasi, warga korban Lapindo tidak masuk dalam bank data Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011. Data PPLS 2011 merupakan sumber data untuk menetapkan peserta PBI.

    Dalam surat TKPKD itu disebutkan juga bahwa Pemerintah Daerah Sidoarjo akan memasukkan korban Lapindo dalam basis data perserta Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) hanya jika kuota Jamkesda Kabupaten Sidoarjo bisa ditambah. Jika kuota itu tidak bisa bertambah dan berubah, maka korban Lapindo akan difasilitasi dengan Pemberian Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari desa dan kecamatan.

    “Kami terkejut dengan jawaban tersebut. Bagaimana mungkin data korban Lapindo yang berhak menerima jaminan kesehatan dinyatakan tidak ada?,” tanya Mujiyarto (40) warga Jatirejo.

    Mengetahui hal ini, Kelompok Belajar Ar-Rohma geram. Meskipun Pemda Sidoarjo berjanji akan memasukkan korban Lapindo sebagai peserta Jamkesda dan SKTM, mereka masih bingung apakah pelayanan Jamkesda dan SKTM sama dengan pelayanan SJSN.

    Rencananya, mereka akan meminta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo untuk memfasilitasi pertemuan dengan badan publik terkait pelaksanaan SJSN ini, seperti: Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo, Kepala Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Sidoarjo, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sidoarjo.

    “Kami menuntut DPRD Sidoarjo bisa mempertemukan kami dengan pihak-pihak terkait. Supaya informasi jelas. Kami tidak mau diping-pong lagi sama pejabat-pejabat ini,” tegas Harwati (38), warga desa Siring yang juga aktif sebagai anggota Ar-Rohma.

    Selain itu, mereka juga meminta Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sidoarjo, kepala puskesmas di tiga kecamatan (Porong, Tanggulangin, dan Jabon), Camat Porong, Camat Tanggulangin, Camat Jabon, dan Badan Penaggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dihadirkan juga dalam pertemuan itu. Kelompok Belajar Ar-Rohma berharap dapat mendesak untuk pendataan ulang, sekaligus mempertanyakan layanan kesehatan yang diberikan oleh SJSN, Jamkesda, dan SKTM.

    Surat permintaan audensi sudah dikirim pada 10 Desember 2013. Namun, sampai saat ini belum ada respons DPRD Kabupaten Sidoarjo untuk menggelar pertemuan Kelompok Belajar Ar-Rohma dan badan-badan publik yang diminta.

  • Korban Lumpur Lapindo Tuntut Informasi Jaminan Kesehatan Nasional

    Korban Lumpur Lapindo Tuntut Informasi Jaminan Kesehatan Nasional

    Sidoarjo, korbanlumpur.info – Keterbukaan informasi publik rupanya masih menjadi barang langka dalam penyelenggaraan kebijakan-kebijakan pemerintah. Meski UU KIP No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah disahkan, namun semangat transparansi dan akuntabilitas yang menjadi fondasi lahirnya undang-undang tersebut masih jauh dari kenyataan.

    Menyambut Hari Hak untuk Tahu (Right to Know Day), 28 September 2013, warga korban Lumpur Lapindo yang tergabung dalam komunitas Ar-Rohmah, Korban Lapindo Menggugat (KLM) serta Komunitas Jimpitan Sehat mengaku bahwa akses informasi publik terkait akan diselenggarakannya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Januari 2014 ternyata masih sangat minim dan membingungkan korban Lapindo.

    Minimnya informasi ini memunculkan keresahan tersendiri bagi korban Lapindo. Mereka umumnya khawatir program baru ini tidak dapat mereka akses. Karena itulah mereka melakukan permintaan informasi dengan Dinas Kesehatan mengenai program JKN pada Kamis, 26 September 2013 kemarin. Namun, masih sedikit informasi publik yang bisa didapatkan terkait dengan rencana pemerintah tersebut menimbulkan banyak permasalahan.

    “Kami sudah meminta informasi ke Dinas Kesehatan Kamis kemarin (26/09). Namun jawaban dari Dinkes juga belum memuaskan. Kita masih belum tahu lembaga atau departemen apa yang berwenang menentukan siapa yang berhak memperoleh kartu JKN,” tutur Abdul Rokhim (51) warga Desa Besuki, Jabon, Sidoarjo.

    Mencari Informasi Secara Mandiri

    Belum jelasnya informasi tentang program JKN memaksa korban Lapindo untuk mencari sendiri informasi ini. Padahal korban menilai pemerintah yang lebih proaktif menyampaikan informasi publik yang dibutuhkan penduduknya.

    “Seharusnya pemerintah lebih aktif memberikan informasi mengenai jaminan kesehatan kepada masyarakat. Bukan kami yang harus kesana-kemari mencari tahu,” tegas Muhammad Nurul Hidayat (30 tahun), warga Desa Gempolsari yang tergabung dalam Korban Lapindo Menggugat (KLM).

    Bagi Hidayat, lambatnya pemerintah menyampaikan informasi membuat masyarakat bingung tentang implementasi program JKN. “Kesehatan ini masalah yang penting. Apalagi kami tinggal di wilayah yang lingkungannya sudah dirusak dan tidak sehat. Seharusnya, tanggung jawab pemerintahlah untuk memberi jaminan kesehatan bagi korban lumpur,” terang Hidayat.

    Sejak lumpur panas Lapindo mengusir warga di sekitar Sumur Banjar Panji 1 milik Lapindo Brantas Inc., warga yang menjadi korban sangat kesulitan mengakses informasi soal kesehatan. Padahal warga yang tinggal di sekitar tanggul lumpur sangat bereksiko terkena pelbagai penyakit. Sementara informasi kesehatan yang diprogramkan Pemerintah baik itu berupa Jamkesmas dan JKN sangat minim diperoleh warga.

    “Terus terang kami hanya mendapatkan informasi yang sedikit sekali mengenai program layanan kesehatan dari pemerintah. Dulu Jamkesmas banyak korban Lapindo yang kancrit (ketinggalan). Sekarang katanya mau ada program JKN, kita juga belum dapat informasi apa-apa. Masa kita ini mau ketinggalan lagi?,” tanya Harwati (42), warga Siring yang juga koordinator Komunitas Ar-Rohmah.

    Perempuan yang sehari-hari mencari nafkah sebagai tukang ojek di atas tanggul penahan lumpur Lapindo ini menerangkan bahwa sulitnya mendapatkan jaminan layanan kesehatan dari pemerintah sangat berdampak bagi kondisi korban Lapindo yang secara ekonomi sudah terpuruk.

    Kondisi ini semakin rumit bagi korban Lapindo yang belum dilunasi ganti ruginya. “Lapindo ini belum menyelesaikan pembayaran ganti rugi tanah dan bangunan kami. Terus sumber nafkah kita yang dulu juga sudah banyak yang hancur. Kalau kita sakit masih harus membayar biaya pengobatan yang mahal. Harusnya pemerintah itu peka soal kondisi korban Lapindo,” lanjut Harwati.

    Warga Kecewa Tak Terdaftar sebagai Peserta PBI

    Dalam kunjungan ke kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo Kamis lalu, ternyata Dinkes Sidoarjo juga tidak bisa memberikan kejelasan informasi tentang Program JKN pada korban Lapindo yang datang. Kekecewaan warga semakin bertambah saat mengetahui jika warga dipastikan tidak terdaftar sebagai Peserta PBI.

    “Permintaan informasi pada Dinkes ini hasilnya sangat mengecewakan. Dinkes terkesan menutup diri dengan tidak memberi informasi yang banyak. Informasi yang hanya kami dapatkan hanyalah bahwa kami korban Lapindo belum didata sebagai peserta PBI. Dipastikan per Januari 2014 besok, korban Lapindo tidak bisa menerima layanan Program JKN. Kami disarankan tetap mengunakan SKTM sebagai penganti JKN. Ini sangat merepotkan kami,” kata Dwi, salah satu warga korban Lapindo yang ikut dalam kunjungan tersebut.

    Kecewa dengan hasil kunjungan ke Dinkes Sidoarjo, warga berencana mengirimkan surat permintaan informasi resmi pada Dinas Kesehatan Sidoarjo dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sidoarjo terkait Program JKN dan PIB. Tidak hanya itu, warga juga akan meminta DPRD Kabupaten Sidoajo untuk memfasilitasi usaha warga meminta informasi publik terkait Program JKN pada Badan Publik terkait.

  • Rujak Cingur Yuk Tun

    Mardiyatun (50) adalah seorang janda dari Dusun Ginonjo, Desa Besuki. Perempuan yang kerap disapa Yuk Tun ini dulu terkenal dengan rujak cingurnya. Gara-gara lumpur Lapindo, Yuk Tun bersama dengan anak perempuan dan seorang cucunya sekarang pindah ke Desa Wonoayu, Kecamatan Gempol.

    Yuk Tun bisa sedikit bangga dengan rumah barunya. Namun, itu semua tidak berarti ketika tangannya tidak lagi bergoyang mengiris cingur untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. “Masak mau menjilati pintu rumah,” tutur Yuk Tun. Yuk Tun tidak mungkin berjualan rujak cingur di tempat barunya. Di situ sudah ada warga yang menjual rujak cingur, sama seperti Yuk Tun.

    Yuk Tun terpaksa merintis usaha jualan rujak cingur dan es degan di bawah jembatan eks-tol Surabaya-Gempol. Yuk Tun sekarang berharap ada orang yang mampir di warungnya yang tidak beratap dan berdinding itu. Kondisi seperti ini sangat jauh berbeda sebelum semburan lumpur Lapindo. Saat warga Desa Besuki masih utuh orang rela antri demi sebungkus rujak cingur buatan Yuk Tun.

    Yuk Tun mendapat informasi dari seorang yang tak dikenal tentang tanah di daerah Wonoayu, Gempol. Tanpa pikir panjang Yuk Tun langsung membeli tanah tersebut. Menurut Yuk Tun, akibat lumpur Lapindo orang-orang memang kelihatannya dapat uang banyak, tapi kenyataannya tidak ada perubahan menuju kondisi yang lebih baik. Yang dirasakannya adalah justru berantakan. Sumber ekonomi jangka panjang pun tidak pernah jelas. Sanak saudara pecah dan tetangga juga terpencar-pencar.

    Yuk Tun heran, tanah sawahnya dibeli dengan harga Rp 120.000 per-meter persegi. Namun, membeli sawah baru harganya sekarang mencapai Rp 250-300 ribu rupiah. Pemerintah juga tidak peduli dengan nasib korban Lapindo. Sampai saat ini Yuk Tun belum bisa mengurus status kepindahannya karena dia belum punya uang untuk mengurus surat kepindahan tersebut.

    2013 © korbanlumpur.info

  • Kesulitan Biaya Pendidikan, Anak Korban Lapindo Terancam Dikeluarkan

    Sidoarjo, korbanlumpur.info | Sudah lebih dari tujuh tahun kasus Lumpur Lapindo berlangsung. Pihak Lapindo Brantas, Inc yang seharusnya bertanggungjawab melunasi sisa ganti rugi korban yang termasuk dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007 tidak menyelesaikan kewajibannya. Bahkan negara, yang seharusnya menjamin hak-hak pendidikan anak-anak, tidak hadir menyelesaikan persoalan yang membelit warga.

    Setidaknya apa yang dialami Indah Susanti, salah satu anak korban Lapindo dari Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, bisa menggambarkan ketiadaan tanggung jawab para pihak tersebut. Ia sedang menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) PGRI 5 Sidoarjo terancam dikeluarkan dari sekolah lantaran siswa kelas tiga ini belum bisa membayar daftar ulang sebesar 650 ribu rupiah dan tunggakan dua bulan SPP sebesar 600 ribu.

    Menurut ibunya, Satumi (52 Tahun), anaknya sejak masuk kelas tiga pada bulan Agustus 2013 belum bisa melunasi tunggakan biaya sekolah. Ia yang berprofesi sebagai pedagang di Pasar Porong hanya berpenghasilan pas-pasan dan tidak cukup membiayai sekolah anaknya. Tumi, panggilan kesehariannya, mengandalkan pembayaran cicilan ganti rugi dari Lapindo. Padahal cicilan ganti rugi dari Lapindo yang seharusnya dibayar per bulan tidak sekalipun dibayarkan pada tahun 2013 ini.

    “Jum’at kemarin anak saya pulang pagi dan menangis. Katanya mau dikeluarkan dari sekolah kalau tidak segera melunasi tunggakannya. Saya bingung apalagi ganti rugi belum juga keluar,” cerita Tumi.

    Tumi yang anggota kelompok belajar Ar-Rohma, kelompok perempuan para korban Lapindo, mendiskusikan persoalan yang ia hadapi dengan anggota lain kelompok itu. Pada Sabtu (31/8) ditemani Harwati, kordinator Ar-Rohma, ia menemui kepala sekolah SMK PGRI 5 untuk meminta keringanan biaya. Namun, upaya yang dilakukan tak menemukan solusi yang meringankan untuknya. Pihak sekolah tidak mau tahu persoalan kesulitan biaya yang dialaminya. Pihak sekolah hanya memberi batas waktu sampai tanggal 30 September 2013 kepada Susanti untuk melunasi tunggakan.

    “Saat menemui pihak sekolah, mereka malah memberikan pilihan berhenti sekolah atau melunasi biaya tunggakan. Padahal kami hanya meminta waktu sampai cicilan ganti rugi dari Lapindo dibayar. Tapi lha kok malah hanya dikasih waktu sampai bulan depan. Kalau tidak bisa melunasi, Susanti akan dikeluarkan,” kata Harwati.

    Harwati menyesalkan pernyataan dari pihak sekolah yang hanya memberikan batas waktu sampai akhir bulan September 2013 untuk melunasi tunggakan biaya. Padahal jika dicermati, rincian biaya daftar ulang yang tertunggak itu ternyata untuk biaya kaos olahraga, atribut sekolah, dan SPP bulan Juli. Seharusnya pihak sekolah bisa memberikan keringanan atau mendapatkan kelonggaran waktu sampai Tumi memeiliki biaya untuk membayar.

    “Bu Tumi ini kan janda, dia cuma mengandalkan dagang sayur di pasar. Masak tidak mendapatkan keringanan. Padahal kami sudah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya kondisi ibu Tumi saat ini yang kesulitan keuangan,” tutur Harwati. Ia bersama kelompok Ar-Rohma masih berusaha untuk membantu persoalan yang dialami Tumi.

    Dengan kondisi semacam ini, Tumi hanya bisa berharap Lapindo unuk segera melunasi sisa ganti rugi aset tanah dan bangunan warga. “Saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Saya berharap Lapindo segera melunasi sisa pembayaran ganti rugi saya agar saya bisa membiayai sekolah anak saya,” kata Tumi dengan meneteskan air mata.

    Kepada pemerintah dan PT Minarak Lapindo Jaya, korban seperti Tumi berharap tak muluk. Mereka hanya ingin pemerintah lebih tegas kepada  perusahaan agar menepati janji, demikian halnya perusahaan untuk segera selesaikan tanggung jawab pembayaran ganti rugi. Ini semua agar pendidikan anak-anak mereka tidak terbengkalai.(Vik)

  • Korban Lapindo Bertemu Komisi D DPRD Sidoarjo

    Korban Lapindo Bertemu Komisi D DPRD Sidoarjo

    Sidoarjo, korbanlumpur.info — Sekitar 30 warga korban Lapindo yang tergabung dalam kelompok belajar Ar-Rohma hari Senin (3/6) mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo. Tujuan kedatangan warga kali ini adalah ingin menyampaikan persoalan pendidikan dan kesehatan yang selama tujuh tahun belakangtidak mendapatkan perhatian dari Lapindo maupun pemerintah.

    Kelompok warga yang mayoritas perempuan itu langsung ditemui Mahmud, ketua Komisi D DPRD Kabupaten Sidoarjo. Warga langsung menyampaikan aspirasinya terkait persoalan pendidikan dan kesehatan yang tengah mereka hadapi. Mulyani, seorang anggota Ar-Rohma dari Desa Jatirejo, menyampaikan perihal anaknya yang saat ini terancam tidak bisa mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS) karena masih menunggak biaya UAS dan tiga bulan SPP.

    “Saya hanya tukang jahit. Dulu sebelum lumpur menenggelamkan kampung saya, pendidikan tidak menjadi masalah buat saya. Di tempat baru sekarang, saya mati-matian mencari uang untuk membiayai anak saya sekolah.  Sudah 3 bulan saya belum bisa membayar SPP anak saya. Anak saya diancam tidak bisa mengikuti UAS kalau belum bisa melunasi SPP,” cerita Mulyani, yang kini tinggal di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) II.

    Nur Hadi Setiyawan, siswa SMU Walisongo, Gempol, juga terancam tidak menerima ijazah. Pasalnya sejak kelas 1 sampai kelas 3 dirinya juga sering menunggak SPP. Total biaya SPP yang belum dilunasi hampir sebesar 3 juta rupiah. “Anak saya tahun ini lulus SMU, tapi kami belum bisa mengambil ijazahnya karena belum bisa melunasi SPP dan biaya Ujian Nasional,” keluh Nur Ali, orangtua Nur Hadi.

    Menanggapi persoalan pendidikan korban Lapindo tersebut, Mahmud berjanji akan segera menindaklanjutinya. Politisi dari Fraksi PAN ini dalam waktu dekat akan mengundang Dinas Pendidikan dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    “Dalam waktu dekat kami akan mengundang Dinas Pendidikan dan BPLS untuk membicarakan hal ini. Disiapkan saja data anak-anak yang putus sekolah dan yang kesulitan biaya agar bisa ditindak lanjuti,” janji Mahmud.

    Harwati, Kordinator Kelompok Belajar Ar-Rohma, sangat berharap anggota dewan dari Komisi D bisa membantu persoalan warga. Menurutnya selama ini korban Lapindo sudah menderita. Ganti-rugi aset tanah dan bangunan tidak menyelesaikan masalah. Bahkan banyak warga yang kini semakin menderita.

    “Banyak anak-anak korban Lapindo yang putus sekolah. Banyak warga yang kehilangan mata pencaharian, yang lalu kesulitan membiayai sekolah anak-anaknya. Jaminan kesehatan juga sama sekali tidak diperhatikan. Kami berharap Komisi D bisa membantu kami untuk mengatasi masalah ini,” ungkap Harwati di akhir pertemuan.

    Lebih lanjut Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur yang juga ikut dalam pertemuan itu sangat berharap pemerintah lebih memperhatikan persoalan pemulihan pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

    “Kasus lumpur Lapindo ini sudah tujuh tahun berjalan, seharusnya negara juga menjamin dan memulihkan hak-hak korban Lapindo. Persoalan pemulihan pendidikan, kesehatan dan ekonomi juga harus menjadi prioritas,” ungkapnya.

    © Ahmad Novik untuk korbanlumpur.info

  • Tujuh Tahun Lumpur Lapindo, Korban Ingatkan Pentingnya Pemulihan Kehidupan

    Tujuh Tahun Lumpur Lapindo, Korban Ingatkan Pentingnya Pemulihan Kehidupan

    Porong, Sidoarjo – 29 Mei menjadi tanggal yang paling diingat oleh korban lumpur Lapindo. Tujuh tahun lalu, lumpur dan gas beracun mulai menyembur dari bumi Sidoarjo. Sejak itu, warga di tiga kecamatan, Porong, Tanggulangin dan Jabon, harus hidup bersama kehancuran yang ditimbulkan oleh lumpur panas Lapindo.

    Dalam rangka memperjuangkan pemulihan kehidupan dan mengingatkan publik luas bahwa kasus lumpur Lapindo belum tuntas, Rabu (29/5/2013), ratusan warga korban Lapindo dari berbagai desa yang tergabung dalam Korban Lumpur Menggugat (KLM), Komunitas Ar Rohmah, Sanggar Al Faz, dan Komunitas Jimpitan Sehat menggelar peringatan tujuh tahun semburan lumpur Lapindo.

    Mereka mengarak patung menyerupai Aburizal Bakrie di tanggul penahan lumpur. Di akhir prosesi mereka membuang patung itu ke dalam lumpur panas. Acara ini juga didukung oleh sejumlah lembaga antara lain: WALHI Jatim, JATAM, UPC, Sanggar Sahabat Anak – Malang, Sanggar Merah Merdeka – Surabaya, Sanggar Bocah Dolanan – Pare dan puluhan komunitas dari berbagai wilayah konflik tambang di berbagai propinsi yang hadir sebagai wujud solidaritas publik kepada korban Lapindo.

    (more…)

  • Rangkaian Acara Peringatan 7 Tahun Lumpur Lapindo

    Rangkaian Acara Peringatan 7 Tahun Lumpur Lapindo

    Senin, 27 Mei 2013

    Seminar 7 Tahun Semburan Lumpur Lapindo

    08.00 – 12.45 | Ruang Sidang Utama Rektorat, ITS, Arief Rahman Hakim, Keputih, Surabaya.

    CP: Amien Widodo (08121780246); Hendrik Siregar (085269135520)

     

    Selasa, 28 Mei 2013

    Diskusi Rakyat “Potret Buruk Pertambangan dan Politik Penjarahan”

    12.00 – selesai | Hotel Tanjung, Panglima Sudirman 43-45, Surabaya.

    CP: Hendrik Siregar (085269135520)

     

    Rabo, 29 Mei 2013

    “Suara Kami Tak Pernah Padam”

    07.00 – 12.00 | Arak-arakan Ogoh-ogoh & Monumen Daya Rusak Pembangunan Lumpur Lapindo | Tanggul Barat, Jatirejo

    18.00 – 23.00 | Panggung Ekspresi & Solidaritas | ex-Tol Desa Besuki

     

    rangkain acara hantam 2013

  • Polisi Kembali Bubarkan Aksi Korban Lapindo

    Polisi Kembali Bubarkan Aksi Korban Lapindo

    Sidoarjo – Sampai hari ini (22/5), puluhan korban Lapindo masih melakukan aksi pendudukan tanggul di Titik 22. Warga kesal karena Lapindo tidak segera melunasi sisa pembayaran ganti rugi aset tanah dan bangunannya. Mereka bertekad melarang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) melakukan aktivitas di atas tanggul. Warga merasa masih punya hak atas tanah yang kini dijadikan tanggul itu. Mereka menghalangi alat berat BPLS yang sedang melakukan penguatan tanggul di Titik 21, di Desa Siring, Kecamatan Porong.

    Polisi membongkar gubuk korban Lapindo
    Polisi membongkar gubuk korban Lapindo

    (more…)

  • Yustini Sudah Capek Berpindah-Pindah

    “Di tempat lama, kemana-mana dekat. Depan rumah sudah ada bis. Sekarang kemana-mana jauh, sepi lagi,” tutur Yustini (27 tahun).

    Yustini termasuk korban yang masuk di dalam Perpres 40 Tahun 2009. Dia tinggal di Siring (Barat). Di rumah lama itu, suami Yustini, Iyan Riyawangsa, membuka bengkel. Waktu itu penghasilan dari bengkel mencapai 350-400 ribu rupiah per minggu.

    Setelah sempat pindah kontrakan berkali-kali, Yustini dan keluarganya sekarang pindah dan menetap di Pamotan. Dari Siring Barat keluarga Yustini pindah ke sebuah rumah mewah di Simo selama satu tahun, tapi tidak betah. (more…)

  • Ike Masih Bertahan di Siring Barat

    Sejak 2009 rumah Ike teridentifikasi sebagai daerah terdampak lumpur. Rumahnya bersebrangan dengan tanggul lumpur yang ada saat ini. Persis di pinggir Jalan Raya Porong, tempat lalu-lalang truk pengangkut barang. Begitu proses pembayaran penjualan rumah itu lunas, permasalahan Ike berawal.

    Berikut cerita Ike:

    Rumah ini sebetulnya adalah milik [aset] nenek saya sebetulnya. Rumah ini diwariskan ke lima-bersaudara (termasuk ibu saya). Oleh karena itu, uang ganti rugi dari Lapindo dibagi lima saudara ibu saya. Karena yang paling lama tinggal di rumah ini adalah ibu saya, seharusnya ibu saya yang mendapat bagian lebih besar. (more…)

  • Rumah Baru Supadmi

    Supadmi (46 tahun) sedang membangun sendiri rumah barunya di Dusun Pandokan, Desa Kedungcangkring. Dalam memilih rumah barunya, Supadmi tak berpikir panjang. Baginya, yang penting dekat dengan jalan raya dan harga tanahnya murah [40 juta rupiah untuk tanah ukuran 5 x 42 meter). Dia sudah habis sekitar 130 juta. Sampai saat ini Supadmi belum mendapat sertifikat. Dia hanya memegang akta jual beli.

    Supadmi memiliki 5 (lima) anak. Dua diantaranya sudah pisah rumah. Seorang anak perempuannya bekerja di Pabrik Salon Pas di Buduran, Sidoarjo.

    Supadmi merupakan warga Desa Siring Barat yang mendapat uang penjualan dari APBN. Sejak setahun lalu, proses pembayaran sudah lunas.  (more…)

  • Perjalanan Cak Taman

    Cak Taman (45 tahun) berasal dari Besuki (Barat) sekarang menghuni rumah barunya di Dusun Podokaton, Desa Kedungcangkring. Setelah Besuki Barat “masuk peta”, Taman mengikuti seorang tokoh desa Besuki yang menawarkan tanah kapling di Desa Meranggen. Namun, Taman menjual tanah itu karena lokasinya sepi dan terlalu jauh dari desa asalnya, Besuki.

    Selain masalah lokasi dan jarak, Taman juga kecewa karena harga tanah yang dibelinya ternyata lebih mahal lima juta rupiah dari harga umumnya. Ditambah lagi, ternyata sang tokoh yang menawarkan tanah kapling itu tidak turut pindah ke Meranggen. Taman memilih dan memutuskan untuk tinggal di Desa Kedungcangkring adalah karena lokasinya tidak jauh dari warga Besuki Barat. (more…)

  • Menjahit Kehidupan Mulyani

    Agustus 2006 silam, Desa Jatirejo di Kecamatan Porong tidak bisa lagi dihuni akibat tenggelam oleh lumpur Lapindo, Hampir semua warga di Desa Jatirejo mengungsi di Pasar Baru Porong, selama kurang lebih 3 bulan. Mereka menerima uang kontrak sebesar 5,5 Juta untuk dua tahun. Setelah mendapat uang kontrak, warga Jatirejo mencari tempat kontrakan sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi bersama. (more…)

  • Sepenggal Kisah dari Suatu Sudut KNV

    Ibu Eli (41) dan Pak Indar (43) merupakan sebagian korban lumpur Lapindo dari Desa Jatirejo yang sekarang tinggal di Kahuripan Nirvana Village (KNV). Selain mereka, juga ada sekitar 15 keluarga Desa Jatirejo yang sekarang tinggal di KNV.

    Salah satu permasalahan yang masih tersisa dari kedua warga Jatirejo ini adalah masalah sertifikat tanah dan bangunan di KNV. Pihak Lapindo pernah menjanjikan bahwa sertifikat akan diberikan pada warga paling lambat Oktober 2012. Akan tetapi, sampai Februari 2013, Lapindo belum memberikan sertifikat tanah dan bangunan pada Eli dan Indar. (more…)

  • Sukarnya Hidup Sukari

    Sukari (70) asal Desa Kedungcangkring (utara) sekarang menempati rumah dari sisa bangunan yang sudah dibongkar, atau lebih tepatnya bekas dapur rumah warga Kedungcangkring. Dulu Sukari punya tanah warisan dari orang tuanya seluas 7X10 m di atasnya berdiri rumah kecil yang di tempati sendirian. Sukari tidak beristri juga tidak punya anak. (more…)

  • Kehabisan Uang Kontrak, Warga Kembali ke Rumah Lama

    Sidoarjo – Warga Korban lumpur lapindo di 9 RT desa Jatirejo, Siring barat, dan Mindi kecamatan Porong, sejak sepekan terakhir kembali ke rumah masing-masing setelah  uang kontrak mereka habis. Pada tahun 2009 silam warga mendapatkan bantuan dari Badan penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) uang sebesar 2,5 juta/tahun untuk mengontrak, dan juga mendapatkan bantuan biaya Hidup (jadup) sebesar 300 ribu/jiwa selama 6 bulan.

    Gandu Suyanto, Ketua RT O3 Desa Siring, mengatakan banyak warga yang kini kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. Namun ada juga sebagian warga yang terpaksa mengontrak dengan biaya sendiri. (more…)