Category: Lapindo di Media

  • Semburan Gas Tak Terbendung, Warga Jatirejo Cemas

    Semburan Gas Tak Terbendung, Warga Jatirejo Cemas

    SIDOARJO—Warga Desa Jatirejo Barat, Porong, kembali dicemaskan oleh semburan air bercampur gas. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tak berhasil menangani semburan yang awalnya muncul pada 19 Agustus lalu itu di belakang kompleks Panti Asuhan Nurul Azhar. Upaya memisahkan air dan gas metan berkadar LEL (low explosive limit) 62 persen dengan cara membuang gas ke udara lewat pipa, sedangkan air dialirkan ke sungai, gagal.

    Sejak Senin malam (6/9), air tidak bisa dibendung, dan menyembur setinggi 20 meter. Air juga mengalir ke pipa yang dirancang untuk pembuangan gas metan. Semburan air akhirnya menggenangi makam Desa Jatirejo, yang terletak persis di belakang kompleks panti asuhan. Sumono, salah satu penjaga makam, mengatakan bahwa air yang keluar dari kompleks panti asuhan tidak hanya menggenangi makam Desa Jatirejo, tapi juga membuat banyak makam ambles.

    Kegiatan di panti asuhan pun terganggu sejak semburan air dan gas itu muncul. Sedikitnya ada sekitar lima penghuni panti asuhan yang didirikan almarhum Ustadz Abdurrahim Nur, tokoh Muhammadiyah Jatim, itu keluar karena takut. “Seminggu setelah ada semburan, lima santri keluar karena takut,” ungkap Zunaidi, salah satu penghuni panti asuhan. Awalnya, sebelum ada semburan air dan gas, jumlah penghuni panti asuhan ini dua puluh lima, dan sekarang tersisa duapuluh orang.

    Tidak hanya itu, selama Ramadhan kegiatan di panti asuhan yang dipimpin M Masrukh juga terganggu. “Sejak semburan menyembur, jamaah shalat tarawih mulai merosot. Banyak para jamaah yang mengeluhkan bau gas yang muncul dari semburan,” kata M Masrukh setelah mengimami sholat zhuhur di Masjid Nurul Azhar yang letaknya tidak jauh dari titik semburan, Selasa (7/9).

    “Kami berharap pihak pemerintah bisa menutup semburan yang muncul di kompleks kami, agar kami bisa melaksanakan kegiatan lagi,” lanjut Ketua Yayasan Panti Asuhan Nurul Azhar ini. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Api Membakar Rumah dan Penghuninya

    Api Membakar Rumah dan Penghuninya

    SIDOARJO – Satu keluarga di Siring Barat, Porong, kini dirawat di kamar mawar pink RSUD Sidoarjo karena mengalami luka bakar yang cukup serius. Hampir sekujur tubuh Purwaningsih (51) dan Devi Purbawianto (23) terkena luka bakar. Menurut tim dokter yang menangani mereka, luka bakar ibu dan anak ini mencapai 75 persen. Sementara Hadi Wianto (55), sang kepala keluarga, mengalami luka bakar di kaki sebelah kirinya.

    Kejadian pada Rabu dini hari (8/9/2010) itu berawal dari api yang muncul dari semburan gas liar tak jauh rumah mereka. “Kami tak tahu apa penyebabnya. Yang jelas, rumah, warung dan isinya, serta kami pun ikut terbakar,” tutur Hadi. Selain rumah Hadi, api juga membakar dua rumah lain yang letaknya tak jauh dari rumah Hadi.

    Hadi juga menambahkan, api pertama kali menyambar Purwaningsih dan Devi. Ketika hendak menolong, Hadi juga terkena percikan api dan mendapat luka bakar di kaki kirinya. “Kejadiannya sangat cepat, banyak orang panik saat itu,” tambahnya.

    Mereka kini bingung untuk pembiayaan rumah sakit. Sampai saat ini pun, belum ada pihak terkait yang menyanggupi pembiayaan satu keluarga ini. Mereka berharap pemerintah atau Lapindo menanggung semua biaya pengobatan mereka. Pasalnya, pendapatan dari berjualan sembako dan warung nasi menurun drastis pasca semburan lumpur Lapindo yang menyembur 29 Mei 2006 lalu itu.

    Berita ini menyebar cepat ke telinga warga Siring Barat. Mereka khawatir kejadian serupa akan terjadi lagi dan menimpa mereka. Ahmad Faisol (27), warga Siring Barat mengatakan, hendaknya tragedi yang menimpa keluarga Hadi Wianto menjadi pelajaran untuk pemerintah dan Lapindo, agar segera menyelesaikan masalah lumpur Lapindo dan tak jatuh korban lagi. (fahmi)

    (c) Kanal News Room

  • Sebulan Menginap di Gedung Dewan, Warga Masih Ditipu Lapindo

    Sebulan Menginap di Gedung Dewan, Warga Masih Ditipu Lapindo

    SIDOARJO – Sudah satu bulan warga korban lumpur Lapindo dari empat desa peta terdampak menginap di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Sidoarjo. Sejak 6 Agustus lalu, tak kurang dari 80 warga dari desa Kedungbendo, Renekonongo, Jatirejo dan Siring itu menuntut pemerintah mengambil alih penanganan pembayaran aset 80 persen, yang belum juga dilunasi PT Minarak Lapindo Jaya. Mereka menolak skema cicilan yang disodorkan MLJ, dan menuntut pembayaran sisa 80 persen secara tunai.

    Herannya, PT MLJ sendiri menolak jika pelunasan 80 persen harus dibayarkan secara tunai, meski hal tersebut bertentangan dengan Perpres 14/2007. Menurut Perpres tersebut, Lapindo diwajibkan melakukan pembayaran 80 persen secara tunai paling lambat 23 bulan setelah pembayaran 20 persen dilakukan. Warga dari empat desa tersebut seharusnya sudah menerima sisa 80 persen per Agustus 2008.

    Subchan Wakid, salah satu warga yang ikut menginap di depan gedung dewan, mengatakan dirinya dan warga yang lain akan bertahan sampai pemerintah mau memenuhi tuntutan warga. “Kami akan bertahan sampai ada tindakan dari pemerintah untuk segera memenuhi tuntutan kami,” ungkapnya saat tidur-tiduran di depan gedung dewan. “Meskipun sampai lebaran, kami akan berlebaran di sini, sampai ada kejelasan dari pemerintah,” tambahnya.

    Sampai saat ini, pemerintah belum memberikan informasi apa pun terkait tuntutan warga. Ketika PT MLJ pada Kamis pekan lalu (2/9/2010) menyatakan penolakannya atas tuntutan warga agar sisa 80 persen dibayar tunai, pemerintah juga tidak memberi tanggapan apa pun.

    Lebih dari itu, warga merasa Panitia Khusus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo tidak memberikan informasi terkait hasil pertemuan pimpinan DPR RI dalam rangka mengusulkan dana talangan melalui APBN Perubahan 2010, pertengahan Agustus kemarin.

    “Kami belum mendapatkan informasi sampai dimana yang dilakukan Pansus (DPRD Sidoarjo) saat bertemu dengan pimpinan DPR-RI,” ungkap M. Zainul Arifin, koordinator aksi. “Bahkan sampai sekarang apa yang dilakukan Pansus saya juga tidak tahu. Saya berharap ada langkah kongkrit dari Pansus dan pemerintah untuk menangani ganti rugi semua korban,” kata Zainal.

    Zainal dan warga lainnya tetap menuntut pemerintah mengambil alih penanganan pelunasan 80 persen aset warga, sebab PT MLJ kerap bertindak seenaknya. Bahkan, janji terakhir PT MLJ untuk mulai membayarkan cicilan sisa 80 persen kepada warga yang menerima skema cicilan Rp 15 juta per bulan juga tidak dipenuhi sebagaimana mestinya. Setelah empat bulan lebih telat, PT MLJ berjanji melakukan transfer pembayaran cicilan ke rekening warga mulai Senin pekan lalu (30/8/2010).

    Namun, PT MLJ ingkar, dan mengatakan akan melakukan pembayaran pada Jumat (3/9/2010). Warga kemudian memeriksa rekening mereka pada Jumat, namun ternyata yang mereka terima cuma Rp 5 juta, bukan Rp 15 juta seperti yang dijanjikan. Lagi-lagi, PT MLJ juga tidak mendapatkan sanksi apa pun atas tindakannya yang seenaknya sendiri. (vik)

  • Safari (Zona Kematian) Lapindo

    Safari (Zona Kematian) Lapindo

    Makna sebuah safari yang dilakukan pada saat bulan ramadhan umumnya untuk menjalin dan mempererat hubungan atau tali silaturahmi diantara sesama umat manusia. Itu pula yang disadari betul oleh Koalisi Masyarkat Indonesia (KMI) melakukan Safari Ramadhan ke lokasi Lumpur Lapindo. Biasanya suasana silaturahmi selalu dalam keadaan menyenangkan dan menghibur. Namun, pada kesempatan ini rombongan safari, betul-betul disuguhkan kehidupan yang hanya menunggu “klik” kematian karena berada di zona kematian. Tidak hanya karena resiko akibat semburan lumpur Lapindo, tapi karena kondisi warga tidak membuka mata hati nurani pemimpin bangsa ini yang telah mati.

    ***

    Dengan menaiki kereta malam, Jumat 27 Agustus 2010, Kami 14 orang (WALHI 2 orang, JATAM 3 orang, KIARA 2 orang dan IHI, Lingkar Madani, Sawitwacth serta JKPP masing-masing 1 orang) dalam rombongan safari ramadhan Lapindo mengusung tema “Selamat Tinggal Pemimpin Citra. Selamat Datang Pemimpin Sejati”. Tema ini diusung mengingat pemerintah SBY yang semakin abai terhadap rakyat dan lebih mendahulukan citranya. Harga-harga naik, TDL naik, teror kompor hingga kasus yang tak kunjung selesai juga seperti kasus lumpur Lapindo.

    Setibanya kami di stasiun Pasar Turi Surabaya, kami langsung menuju Posko Bersama Korban Lapindo di Desa Mindi. Tanpa mengenal lelah dan sedang menjalani ibadah puasa, kami beserta kru posko menuju desa Siring yang bersebelahan langsung dengan tanggul Lumpur Lapindo. Desa yang tak termasuk dalam peta terdampak dalam Perpres 14 Tahun 2007 termasuk 2 perubahannya yaitu Perpres 48/2008 dan Perpres 40/2009. Image

    Sialnya, desa yang tak masuk dalam peta terdampak, justru membuat rombongan terpana. Aroma menyengat hidung kali pertama menyambut kami di desa Siring. Kami menyaksikan sebuah rumah dengan model dan ukurannya boleh dikatakan mewah, namun tak dihuni lagi akibat munculnya semburan sejak tahun 2007 berdiameter 7-8 meter tepat dirumah tersebut. Rumah dan luas halaman yang jika di Jakarta mencapai milyaran rupiah, hanya tinggal bangunan yang rusak tersia-siakan.

    Tak jauh dari sana, kami mengobrol disebuah rumah makan milik Purwaningsih yang hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari tanggul. Dirumah makannya ini, Ibu Purwaningsih menggunakan kompor dengan gas yang keluar dari sekitar rumahnya. Kompornya terus menyala dengan gas yang tak akan habis-habisnya. Sekitar 50 meter dibelakang rumahnya semburan-semburan kecil banyak muncul, bahkan disebuah rumah juga dibelakang warung Purwaningsih, gas terisolir dalam dapur yang menyebabkan saya dan beberapa rekan langsung merasakan pusing dan mual ketika berada ditempat tersebut. Image

    Sungguh luar biasa, hidup diantara gas yang bergentayangan sewaktu-waktu dapat meledak. Udara sehat yang seharusnya menjadi hak manusia khususnya warga Siring menjadi barang mahal untuk didapatkan, sebaliknya beresiko terhadap kesehatan mereka. Itu pula yang membuat Ibu Purwaningsih tidak tinggal disana, hanya warung makannya berada disitu.

    Kami kemudian bergeser sekitar 500-600 meter menjauh dari tanggul. Kembali kami mendapati sebuah rumah yang juga telah ditinggalkan pemiliknya karena adanya semburan yang bias mencapi atap rumah. Bahkan didekat semburanya dibuatkan sebuah tabung dari cor semen untuk menampung gas dan pipa yang cukup besar dari tabung tersebut untuk mengalirkan gasnya.

    Kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju desa Besuki, lagi-lagi desa ini tidak masuk dalam peta terdampak. Disana, kami mengobrol dipinggir bekas sawah yang sudah tak bias lagi diolah. Kami mengobrol dengan warga, salah satunya Pak Irsyad, dia menuturkan bagaimana sawah-sawah itu kemudia hanya menjadi lading rumput dan Lumpur. Panas terik matahari yang kebetulan saat itu telah menunjukkan pukul 12.30 waktu setempat, semakin membuat hati panas mendengar penuturan Pak Irsyad.

    Hanya senyuman pahit yang dapat keluar, mendapati persoalan yang ternyata tidak serendah anggapan Lapindo maupun pemerintah. Mungkin karena rendahnya akal sehat dan nurani pemimpin bangsa ini, maka persoalan Lapindo hanya terbatas pada soal penanggulan Lumpur termasuk infrastruktur dan hanya soal jual beli tanah.

    Tapi apakah kemudian persoalan infrastruktur dan terutama jual beli (yang semula ganti rugi) juga selesai urusannya sebagaimana selalu dikampanyekan oleh Lapindo termasuk Aburizal Bakrie? Bahkan terakhir dalam kesempatan kesempatan yang sama melakukan safari. Bakrie menyatakan bahwa PT. Minarak Lapindo Jaya telah menyelesaikan tanggungjawabnya dan mengeluarkan Rp 8 triliun (tempointeraktif, 26/08) sebagai kompensasi.

    Benarkah apa yang dikatakan Bakrie tersebut? Kami menemukan fakta lain. Tujuan akhir kami adalah mendatangi warga yang sedang melakukan aksi di depan gedung DPRD Sidoarjo. Warga yang berasal dari Perumtas ini telah melakukan aksi selama 21 hari ketika kami temui. Mereka mengatakan belum mendapat 20% bayaran yang dijanjikan. Bahkan seorang warga mengungkapkan fakta, bahwa Lapindo telah membodohi dan menipu warga.

    Bukti yang diserahkan ke kami, menunjukkan mengapa Lapindo bisa mengklaim bahwa mereka telah melunasi semua kewajibannya. Karena ternyata, saat warga mengurus pembayaran, mereka diharuskan menandatangi 2 kwitansi yaitu kwitansi pembayaran 20% dan 80%. Artinya, secara tidak sadar warga telah ditipu dengan menandatangani kwitansi kosong, sehingga membenarkan klaim Lapindo selama ini. Jangankan yang 30% (Perpres 40/2009), yang 20% saja belum dibayar. Hal ini kemudian terbukti, sehari kemudian, 29 Agustus 2010, pada sebuah media Jawa Timur, Minarak berencana melunasi 20% pembayaran.

    Lain lagi kasus yang dialami seorang warga yang juga dari Perumtas. Berdasarkan perjanjian semula total seharusnya mendapatkan Rp.363 juta, namun secara sepihak Lapindo memutuskan warga tersebut hanya akan mendapatkan Rp.164,2 juta. Dengan alasan bahwa pembayaran menjadi B to B (Bisnis), hanya karena dirumah tinggalnya di perumtas dahulu ada sebuah usaha kecil. Belakangan, Lapindo mengaku sudah tidak punya uang. Apakah ini strategi lain untuk memastikan APBN ditetapkan dalam UU melunasi pembayaran kewajiban Lapindo?

    Tukang tipu, mungkin belum cukup untuk menamai Lapindo, tapi juga karena ulahnya, membuat warga hidup berdampingan dengan maut. Bayangkan jika punya niat jahat untuk melenyapkan mereka cukup hanya dengan menghidup gas-gas liar dengan sepuntung rokok saja, habislah sudah mereka dilalap api.

    Terbukti sudah, satu hari perjalanan safari, kami diyakinkan bahwa pemerintah betul-betul abai terhadap keselamatan rakyatnya dan bukan menjadi perhatian utama. Bahwa pemerintah hanya mau mengurus sesuatu yang akan merusak citranya sebagai selebritas, termasuk urusan video mesum yang menggangu jiwa malakonlis sehingga punya waktu untuk mengurusinya.

    Hal itu juga dipertanyakan oleh Plt. desa Mindi, yang turut hadir saat berbuka puasa bersama. Beliau menanyakan, siapa yang akan bertanggung jawab seandainya lumpur ditanggul jebol (desa Mindi bersebelahan dengan tanggul), atau air didalam tanggul penuh dan meluap.

    Sungguh pertanyaan ini sangat menyayat hati, karena warga sudah tidak tahu lagi siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu. Pertanyaan ini semakin mengguatkan kami, bahwa sudah waktunya kita butuh pemimpin sejati yang sangat peduli dan mau membela rakyatnya dari penindasan dan tindakan sewenang-wenang. Tidak hanya sekedar marah-marah atau berpura-pura nangis atas tindakan sewenang-wenang.

    Kami mempercayai, bahwa pemerintah saat ini tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang membuat rakyat bangga atas bangsanya sendiri. Lihat saja misalnya masalah pejabat DKP yang ditukar dengan pencuri, sungguh rendah martabat bangsa ini. Menjadi wajar jika kemudian bangsa ini dengan mudah diatur dan tunduk oleh koorporasi/modal. Borok dalam diri sendiri saja tak mampu diobati, malah semakin banyak borok, apalagi mengurus masalah antar bangsa.

    Sungguh safari ramadhan Lapindo, membuat kami sepakat bahwa pemerintah telah membiarkan warga untuk mati secara perlahan dan terus melanggengkan penipuan yang dilakukan Lapindo. Safari ini menjadi salah satu momentum kami untuk terus memperjuangkan hak-hak warga dari rampasan pimimpin citra dan tukang tipu seperti Lapindo./JB (Hendrik Siregar)

    (c) jatam.org

  • Lapindo Ingkar Lagi, Warga Kecewa

    Lapindo Ingkar Lagi, Warga Kecewa

    Sejak Senin, banyak warga korban lumpur Lapindo mendatangi Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang berada di kawasan Sidoarjo untuk mengecek apakah uang cicilan dari Lapindo sudah ditransfer atau belum. Namun, hasilnya nihil. Tidak ada uang masuk dari Lapindo. PT. Minarak Lapindo Jaya, selaku juru bayar PT Lapindo Brantas, menurut aturan harusnya membayar cicilan Rp 15 juta per bulan melalui BRI.

    Multajam, salah satu warga Desa Kedungbendo, mendatangi Bank BRI Tanggulangin. Ia mengaku tidak ada dana masuk dari Lapindo di rekeningnya. “Informasinya, hari ini ada trasferan pembayaran cicilan Rp 15 juta per bulan. Setelah saya cek di ATM, ternyata tidak ada trasferan,” ujarnya saat memeriksa rekeningnya, Senin (30/8).

    Multajam jelas kecewa. Ia hanya menerima cicilan Rp 15 juta per bulan sebanyak lima kali, dan sejak bulan Mei 2010 pembeyaran terhenti. Multajam saat ini tidak berkerja lagi setelah pabrik tempatnya bekerja di Desa Kedungbendo tenggelam pada 2006. Cicilan pembayaran itu menjadi harapan satu satunya.

    “Wis empat tahun aku nganggur. Sing digawe keperluan bendino jagakno cicilan Lapindo (Sudah empat tahun saya menganggur. Yang dibuat keperluan sehari-hari, ya, mengandalkan uang cicilan dari Lapindo),” ucap Multajam sembari menahan emosinya.

    Tidak hanya Multajam yang kesal. Muhammad Buadi pun juga kecewa setelah melihat PT MLJ ingkar, tak mentransfer uang cicilan ke rekeningnya. Buadi, salah satu warga Jatirejo, juga datang ke Bank BRI Tanggulangin. Bersama istrinya, Buadi berharap ada uang transferan dari PT MLJ. Selain untuk keperluan lebaran, Buadi juga harus segera membayar utang-utangnya di bank yang sudah jatuh tempo. Buadi pun sudah menggadaikan Surat Tanda Kendaraan Bermotor (STNK) di Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

    Namun, harapan Buadi yang sehari-hari mengojek di tanggul ini sirna.”Informasinya hari ini ada trasferan Rp 15 juta. Setelah saya cek, ternyata tidak ada trasferan,” ucap Buadi saat setelah keluar dari mesin ATM BRI Tanggulangin, Senin kemarin. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

     

  • PT Minarak Lapindo Tolak Tuntutan Korban Lumpur

    PT Minarak Lapindo Tolak Tuntutan Korban Lumpur

    SIDOARJO – PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) menolak memenuhi tuntutan warga korban lumpur yang hingga saat ini masih bertahan di depan Gedung DPRD Sidoarjo, Jawa Timur.

    Tuntutan korban lumpur yang bertahan di depan gedung dewan tersebut adalah meminta agar proses pembayaran dilakukan seperti diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007. Dalam Perpres tersebut ditegaskan bahwa pembayaran dilakukan dengan dua tahap yaitu uang muka 20% dan setelah dua tahun menempati rumah kontrakan, sisanya 80% akan dilunasi.

    Demi berjuang agar tuntutan tersebut dipenuhi, warga kemudian bertahan di depan gedung DPRD Sidoarjo sejak 6 Agustus lalu. Mereka nekad menginap di depan gedung wakil rakyat karena mengaku masa kontrak rumah selama dua tahun yang diberikan pihak PT MLJ sudah habis.

    “Maaf, dengan tegas kami tidak bisa memenuhi permintaan warga itu,” kata Direktur Utama PT Minarak Lapindi Jaya Andi Darusalam Tabusala seusai bertemu korban lumpur dari kelompok Tim 16 di Sidoarjo, Kamis (2/9).

    Menurut Andi, warga yang menuntut dibayar tunai tersebut jumlahnya tidak lebih dari satu persen. Sebab jumlah keseluruhan yang mendapatkan ganti rugi sebanyak 13.237 berkas semuanya dilakukan dengan sistem dicicil. (HS/OL-01)

    –Heri Susetyo

    (c) Media Indonesia

  • Safari Aktifis: Pemerintah Lemah di Hadapan Lapindo

    Safari Aktifis: Pemerintah Lemah di Hadapan Lapindo

    SIDOARJO—Belasan aktifis dari Jakarta mengadakan safari Ramadhan ke desa-desa di kawasan semburan lumpur Lapindo pada Sabtu (28/7/2010). Mereka di antaranya dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Institut Hijau Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan Komite Anti Uang (KAU).

    Safari Ramadhan yang dilakukan aktivis ke lumpur lapindo ini hendak memperlihatkan kepada pemerintah dan korporasi jika masyarakat sipil tidak tinggal diam melihat ketidakadilan yang dihadapi korban lumpur Lapindo selama empat tahun lebih.

    Selamet Daroyni dari Institut Hijau Indonesia mengatakan, aksi ini merupakan bentuk solidaritas masyarakat sipil terhadap korban yang sampai sekarang belum jelas nasibnya.  “Selama empat tahun lebih, korban Lapindo dilanda penderitaan yang tidak kunjung selesai,” ujar Selamet.

    Sementara, pemerintah sendiri terlihat sama sekali tak berdaya menghadapi korporasi Lapindo. “Ini yang membuat warga korban lumpur Lapindo tidak jelas nasibnya,” ujar Dani Setiawan dari Ketua Komite Anti Utang (KAU). Pemerintah menggelontorkan dana dari APBN, sementara pihak Lapindo dibiarkan lepas dari tanggung jawab. “Ini membuktikan bahwa Pemerintah lemah di hadapan korporasi,” katanya saat mengunjungi warga di Desa Siring Barat.

    Selain mengunjungi warga yang berada di luar peta terdampak seperti Desa Besuki, Mindi, dan Siring Barat, tim safari juga berdiskusi dengan warga korban yang menginap di Gedung DPRD Sidoarjo.

    Tim safari juga mengasakan buka puasa bersama. Sebelum berbuka puasa, tim safari melakukan diskusi dengan perwakilan korban di beberapa desa. Tim juga memberikan bantuan pendidikan yang diperoleh dari “Aksi Seribu Rupiah untuk Pendidikan Korban Lapindo” di sejumlah tempat. Bantuan solidaritas pendidikan sebesar 1,4 juta diterima langsung oleh perwakilan korban di Posko Keselamatan Korban Lumpur Lapindo, Mindi, Porong. (novik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Buka Puasa, LSM dari Jakarta Beri Koin Peduli Korban Lumpur Lapindo

    Buka Puasa, LSM dari Jakarta Beri Koin Peduli Korban Lumpur Lapindo

    SIDOARJO–MI: Warga korban lumpur Lapindo di Desa Mindi, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo mengikuti buka puasa bersama yang diadakan sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang datang dari Jakarta, Sabtu (28/8).

    LSM yang mengadakan kegiatan ini di antaranya adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Kontras, Institut Hijau Indonesia, dan belasan LSM lainnya. Mereka sengaja datang ke Porong untuk bertemu langsung dengan warga korban lumpur Lapindo.

    Warga korban lumpur yang mengikuti buka puasa bersama ini adalah korban yang wilayahnya belum dimasukkan dalam areal peta berdampak. Jadi, walaupun wilayah mereka sudah terkena dampak semburan lumpur namun tidak menerima ganti rugi seperti korban lumpur lainnya.

    Pada kesempatan tersebut, para aktivis LSM ini juga menyerahkan bantuan uang senilai Rp1,2 juta kepada warga. Bantuan hasil pengumpulan koin peduli korban lumpur Lapindo di Jakarta ini akan dipergunakan untuk membantu biaya sekolah anak-anak korban lumpur.

    Setelah berbuka puasa, warga dan aktivis melakukan salat bersama. Salat bersama ini dipimpin Kiai Fattah, salah satu korban lumpur yang pondok pesantrennya lenyap ditelan luapan lumpur Lapindo.

    Salah satu aktivis LSM, Ray Rangkuti, mengatakan, pemerintahan SBY dalam dua periode ini sangat disibukkan dengan upaya memelihara citra dan membangun simpati publik lewat keluh kesahnya. Pemerintah dinilai tidak berpikir bagaimana menyelamatkan warganya dari himpitan ekonomi karena naiknya harga-harga bahan pokok, rencana kenaikan harga BBM, ledakan tabung gas, hingga persoalan semburan lumpur Lapindo.

    “Persoalan lumpur Lapindo ini seolah tenggelam dan dilupakan pemerintah. Padahal masih banyak warga yang belum menerima ganti rugi dan bahkan masih banyak wilayah terkena dampaknya namun tidak jelas ganti ruginya karena tidak dimasukkan peta berdampak,” kata Ray. (Heri Susetyo)

    (c) mediaindonesia.com

  • Hanya 100 Meter dari Tanggul, Tapi Tak Dapat Ganti Rugi

    Hanya 100 Meter dari Tanggul, Tapi Tak Dapat Ganti Rugi

    Sidoarjo – Tim safari untuk mencari pemimpin sejati dan menghentikan pemerintahan citra dibawa warga ke sejumlah titik yang rusak oleh semburan lumpur Lapindo di Desa Siring Barat, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu siang (28/8).

    Dari empat titik semburan lumpur, dapat dilihat tipologi semburan yang berbeda. Di titik pertama, luapannya tidak terlalu besar dan air yang keluar bersama lumpur berwarna bening. Tetapi tapi kalau sudah mengalir ke selokan akan terlihat perbedaan air dan minyak.

    Di titik kedua, luapan air berdiameter besar dan keruh. Sementara di titik ketiga, luapan air kecil namun airnya berwarna begitu bening. Tetapi di titik ini, kandungan belerang disebutkan cukup tinggi dan baunya pun menyengat.

    Adapun titik terakhir yang dikunjungi tim yang dipimpin Ray Rangkuti Cs ini baru bocor pekan lalu.

    Di keempat titik ini air yang meluap pada tahun 2007 sempat dihentikan dengan beton. Tetapi lama kelamaan, beton pun tak sanggup lagi menahannya, sehingga luapan kembali terjadi.

    Seorang warga korban bernama Hadi Liantipo sempat memanjatkan doa agar semua masalah yang dihadapi warga dapat segera selesai ditangani. Hadi tak tahu pasti bagaimana cara mengakhiri bencana ini. Sebagai orang kecil, hanya doa yang dipanjatkannya. Bila pihak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mau lagi mendengar derita korban, Tuhan Yang Maha Kuasa pastilah masih bersedia.

    Selain keempat titik luapan tersebut, tim yang juga diperkuat oleh aktivis dari Komite Anti Utang (KAU) Dani Setiawan dan aktivis Walhi itu mengunjungi bekas persawahan seluas 28 hektar yang terendam lumpur di Desa Besuki. Ke-28 hektar persawahan ini tadinya dimiliki 100 warga Besuki.

    Cak Irsad, salah seorang warga, mengatakan dia memiliki sawah seluas 2.000 meter persegi. Tetapi sekarang dia tidak tahu lagi yang mana bekas sawah miliknya.

    “Saya pernah mencoba menanam padi di tempat ini. Tapi tidak tumbuh. Lumpurnya saja setebal dua jengkal, Mas,” katanya kepada Rakyat Merdeka Online.

    Warga di Desa Siring Barat dan Desa Besuki mengaku belum mendapatkan ganti rugi. Setiap kali menanyakan soal itu kepada pihak Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), mereka mendapat jawaban yang itu-itu juga: desa mereka tidak termasuk di dalam peta dampak lumpur.

    Padahal, posisi desa mereka benar-benar di samping tanggul.

    Wajar bila kemudian warga mempertanyakan Inpres tentang penmyelesaian korban lumpur yang mengatakan bahwa semua korban yang berada hingga radius lima kilometer akan mendapatkan ganti rugi.

    “Ini deket kok, Mas. Cuma 100an meter dari tanggul.” ujar Hadilianto Masygul. [guh]

     

    (c) rakyatmerdeka.co.id

  • Sedih, Berbuka Bersama Korban Lapindo

    Sedih, Berbuka Bersama Korban Lapindo

    Jakarta, –  “Menyedihkan berbuka bersama warga korban Lapindo,” begitulah ungkapan yang disampaikan Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) M Riza Damanik di Desa Besuki Porong Sidoarjo Jawa Timur, Sabtu (28/8). Bersama dengan sejumlah aktivis dia melakukan dialog dengan warga di Besuki, Porong serta korban lumpur yang belum diketahui akan akan berhenti.

    Wajar jika Riza merasa trenyuh dan rasa empatinya muncul ketika berbuka puasa dengan puluhan warga korban Lapindo. Mereka orang yang kehilangan tempat tinggal dan tempat mengais rizki. “Lebaran pun tak terpikirkan oleh mereka karena tak punya tempat tinggal lagi. Tak terbetik satu asa pun untuk menikmati Hari Raya Idul Fitri tahun ini bersama keluarga bersama anak dan cucu mereka,” lanjutnya.

    Warga Mejat yang ditemui pun lebih tragis nasibnya. Sebagaian warga tak hanya stres memikirkan masa depan yang belum menentu. “Warga Mejat ini sedikit terdapat 60 orang warga yang masuk RSJ (rumah sakit jiwa) karena stres berat,” tulis Riza dalam pesan singkat yang diterima Suara Merdeka CyberNews.

    Soal ganti rugi masih sebagian besar belum menerima. Menurutnya baru 80 persen belum menerima dan yang sudah menerima juga tidak utuh. “Nasib mereka sulit bisa keluar dari masalah yang melilit mereka. Jika peduli tentu tak menyedihkan seperti sekarang ini,” ujar Riza.

    Selain melakukan dialog, Riza dan sejumlah aktivis juga akan memberi bantuan pada sejumlah siswa Madrasah Ibtidaiyah (MI) korban lumpur Lapindo. (A Adib /CN14 )

    (c) CyberNews.

  • BPLS Akan Survei Ulang Lokasi Lumpur Lapindo

    BPLS Akan Survei Ulang Lokasi Lumpur Lapindo

    JAKARTA–Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) akan meninjau kembali lokasi luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Hal ini disebabkan ada laporan bahwa 45 Rukun Tangga di luar kawasan yang dipertanggungjawabkan juga terkena imbas dari lumpur Lapindo, menyusul 9 RT yang telah ditangani.

    “Menurut pakar, ada sekitar 45 Rukun Tangga yang terkena imbas lumpur itu,” ujar Djoko Kirmanto, Menteri Pekerjaan Umum yang juga sebagai Ketua Dewan Penasihat BPLS, di kantornya, Jumat (27/8).

    Rencana peninjauan kembali berdasarkan hasil rapat koordinasi bersama enam kementerian, yakni Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kementerian Pekerjaan Umum, serta bersama Kabupaten Sidoarjo.

    Menurut Djoko, 45 RT merupakan daerah yang berada di luar peta areal terdampak yang telah disepakati pemerintah dan PT Lapindo sebelumnya. Namun, tim penelitian  bekerja sama dengan Badan Geologis Kementerian ESDM akan diturunkan ke sana dengan dilengkapi oleh subservices studies. “Studi ini dipakai agar bisa meyakinkan bahwa 45 RT itu masih layak atau tidak untuk dihuni,” kata dia.

    Dia menambahkan, jika dalam satu RT, lebih dari 3/4 jumlah kepala keluarga terkena dampak lumpur, maka pemerintah akan mengganti rugi RT tersebut. Hal ini melihat pengalaman sebelumnya terhadap 9 RT yang telah ditangani melalui Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.

    Dalam aturan tersebut, sebanyak 9 Rukun Tangga yang berada di luar peta area terdampak mendapatkan ganti rugi dari pemerintah karena terkena imbas dari lumpur Lapindo. Mereka diberikan uang untuk mengontrak selama dua tahun juga biaya hidup selama enam bulan. Jika korban bertambah lagi, kata Djoko, aturan tersebut pun harus diubah. “Kami belum bisa membayar di luar 9 RT kalau tidak terakomodasi dalam peraturan presiden itu,” ujarnya.

    Sebelumnya, pada 27 Mei 2006, lumpur panas menyembur di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa Renokenogo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Semburan lumpur panas dalam beberapa bulan ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.

    –SUTJI DECILYA

    (c) Tempo Interaktif

  • BPLS Diminta Ajukan Dana Talangan untuk Ganti Rugi Korban Lumpur Lapindo

    BPLS Diminta Ajukan Dana Talangan untuk Ganti Rugi Korban Lumpur Lapindo

    SIDOARJO – DPRD Kabupaten Sidoarjo mendesak Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mengajukan dana talangan pada pemerintah untuk membayar ganti rugi korban lumpur.

    Desakan ini disampaikan Pansus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo menyusul macetnya proses pembayaran ganti rugi oleh PT Minarak Lapindo Jaya.

    Desakan tersebut disampaikan saat dalam dengar pendapat antara anggota Pansus Lumpur Lapindo dengan BPLS di gedung DPRD Sidoarjo, Rabu (25/8). PT Minarak Lapindo Jaya yang juga diundang namun tidak hadir dalam rapat ini.

    Menurut para anggota pansus, BPLS selama ini mendapat triliunan rupiah dari APBN tiap tahunnya. Namun BPLS dinilai hanya terlalu mementingkan proyek pembangunan infrastruktur, sementara nasib korban lumpur yang ganti ruginya macet tidak diperhatikan.

    Selain itu, daya serap BPLS akan dana APBN untuk penanganan lumpur ternyata sangat kecil yaitu kurang dari 50%. BPLS bisa mengajukan dana talangan pada pemerintah guna membayar ganti rugi korban lumpur yang macet. Setelah itu, pemerintah bisa menagih pada PT Minarak Lapindo Jaya untuk mengembalikan dana talangan yang sudah dibayarkan kepada para korban lumpur. “Dengan adanya dana talangan tersebut maka nasib korban lumpur tidak memprihatinkan seperti sekarang ini,” kata anggota pansus lumpur DPRD Sidoarjo Aditya Nindiatama. (HS/OL-04)(Heri S)

    (c) mediaindonesia.com

  • 13 Desa di Sekitar Semburan Lapindo Tak Layak Huni

    13 Desa di Sekitar Semburan Lapindo Tak Layak Huni

    SIDOARJO–Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyebutkan 13 Desa yang berada di sekitar pusat semburan lumpur Lapindo sebagai pemukiman yang tak layak huni.

    Ketiga belas Desa diantaranya Siring Barat, Jatirejo Barat, Mindi, Besuki Timur, Keboguyang, Plumbon, Glagaharum, Sentul, Penatarsewu, Gempolsari, Kalitengah, Ketapang, Pamotan, Kalisampurno dan Gedang.

    Keputusan ini terungkap dalam rapat dengar pendapat Panitia Khusus Lumpur Dewan Perwakilan Rakyat Sidoarjo, Tim Independen Kajian Kelayakan Pemukiman yang dibentuk Pemerintah Provinsi Jawa Timur di gedung dewan setempat, Rabu (25/8).

    “Ketiga belas desa diusulan sebagai kawasan tanggap darurat,” kata Dewan Pengarah Panitia Khusus Lumpur, Khulaim Junaidi.

    Tim independen telah melakukan survei kelayakan pemukiman warga di sekitar semburan lumpur Lapindo sejak beberapa bulan terakhir. Mereka mengusulkan kepada Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo akan ditetapkan sebagai kawasan tanggap darurat.

    Tim Independen menggunakan sejumlah parameter diantaranya semburan, retakan, penurunan tanah, pencemaran air, kerusakan aset, ekonomi, dan psikologi masyarakat.

    Mengenai pemukiman warga dalam status tanggap darurat, Pemerintah diharapkan menyediakan rumah sehat sederhana, jaminan hidup Rp 300 ribu selama enam bulan, uang sewa rumah Rp 5 juta per keluarga serta biaya pindah rumah Rp 500 ribu.

    Dalam dengar pendapat tersebut, juga direkomendasikan agar korban lumpur yang belum mendapat ganti rugi 20 persen segera dilunasi. Sedangkan proses pembayaran sisa jual beli lahan dan aset 80 persen yang tak terbayar selama lima bulan juga ditetapkan dalam rekomendasi.

    Proses pembayaran jual beli lahan dan aset oleh PT Minarak Lapindo Jaya tersendat. Pembayaran angsuran 80 persen terhenti sejak lima bulan terakhir. Manajemen PT Minarak Lapindo Jaya beralasan tengah mengalami kesulitan keuangan sehingga tak bisa melaksanakan kewajiban membayar angsuran.

    Hingga kini, puluhan korban Lapindo tetap bertahan di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat daerah Sidoarjo. -EKO WIDIANTO

    (c) Tempo Interaktif

  • Serapan BPLS Minim

    Serapan BPLS Minim

    SIDOARJO – Penyerapan APBN yang dialokasikan ke Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) ternyata sangat minim. Pada 2007 dan 2008, serapan dana kurang dari 50 persen, sedangkan pada 2009 hanya 61,5 persen. Padahal, peran BPLS cukup vital. Salah satunya, merelokasi Jalan Raya Porong.

    Berdasar data di BPLS, pada 2007, badan bentukan presiden itu mendapat alokasi anggaran Rp 505 miliar. Namun, yang terserap hanya Rp 119 miliar atau 23 persen. Meski serapan minim, BPLS malah mendapat gerojokan dana lebih besar.

    Terbukti, pada 2008, badan tersebut mendapat alokasi anggaran Rp 1,1 triliun. Namun, lag-lagi penyerapannya tidak seberapa. BPLS hanya mampu menggunakan 46 persen atau sekitar Rp 513 miliar. Pada 2009, BPLS mendapat gerojokan dana Rp 1,14 triliun, namun yang terserap hanya Rp 705 miliar atau 61 persen.

    Nah, pada 2010 ini, badan itu mendapat alokasi anggaran lebih besar. Untuk pengerjaan selama setahun, BPLS mendapat alokasi Rp 1,2 triliun. Hingga semester pertama ini, uang yang digunakan baru Rp 107 miliar atau hanya 8 persen.

    Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnain menjelaskan, minimnya serapan itu disebabkan adanya masalah teknis. Dia mencontohkan, pada 2007, BPLS menerima kucuran dana tersebut pada Desember. ”Tahun anggarannya berganti ketika ganti tahun,” katanya.

    Pada 2008, penyerapan minim karena terkendala pembebasan lahan untuk relokasi. Karena itu, alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur tidak bisa maksimal. Blokade warga yang belum dibayar PT Minarak Lapindo Jaya terhadap proyek juga menghambat kegiatan konstruksi.

    Kendala yang sama terjadi pada 2009 sehingga penyerapannya tidak lebih dari 61 persen. ”Kalau lahan belum bisa dibebaskan, proyek belum bisa dikerjakan,” ucapnya.

    Lain halnya dengan 2010. Mantan aktivis Universitas Trisakti, Jakarta, itu menyatakan, serapan semester pertama minim karena proyek-proyek besar baru dikerjakan pada triwulan kedua. Misalnya, peninggian tanggul.

    Zulkarnain menuturkan, sebenarnya BPLS berupaya menyerap anggaran sebanyak-banyaknya untuk kegiatan yang sudah diprogramkan. Namun, hambatan berupa kendala teknis yang tidak bisa dihindari membuat kinerja terhambat. ”Kalau tidak ada hambatan, serapannya pasti sesuai rencana,” jelasnya. (eko/sha/c5/ib)

    SERAPAN BPLS

    Tahun Anggaran | Alokasi | Penyerapan | Persentase |

    2007 | Rp 505 miliar | Rp 119 miliar | 23,56 persen

    2008 | Rp 1,1 triliun | Rp 513 miliar | 46,67 persen

    2009 | Rp 1,147 triliun | Rp 705 miliar | 61,5 persen

    2010 | Rp 1,216 triliun | Rp 107 miliar | 8,87 persen*)

    *): penyerapan per akhir Juni 2010

    Sumber: BPLS

    (c) jawapos.co.id

  • Tidak Ada Upaya Menutup Semburan

    Tidak Ada Upaya Menutup Semburan

    Jakarta – Penanganan lumpur yang menyembur dari areal konsesi PT Lapindo Brantas yang menghabiskan dana Rp 2,8 triliun gagal mencegah bertambah luasnya areal yang terkena dampak semburan. Namun, dari Rp 1,3 triliun rencana anggaran bagi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo pada 2011, tak ada alokasi untuk mengkaji dan menutup semburan.

    Areal terdampak semburan jutaan meter kubik lumpur yang terjadi sejak 29 Mei 2006 semakin luas. Berdasarkan penelitian Tim Kajian Kelayakan Permukiman, 45 RT baru di luar area terdampak tidak lagi layak huni. Dengan demikian, total permukiman tidak layak huni di luar peta terdampak pemerintah telah mencapai 53 RT.

    Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Ucok Sky Khadaffi menyatakan, dana Rp 1,3 triliun yang dianggarkan dalam Rancangan APBN 2011 akan digunakan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk membayar gaji pegawai, bantuan dan ganti rugi bagi warga, serta pemeliharaan tanggul.

    ”Penanganan semburan selama ini memakan biaya Rp 2,8 triliun, tanpa hasil yang pasti. Pihak DPR harus menolak rencana penanganan yang diajukan melalui anggaran BPLS. Pemerintah harus didesak segera menutup semburan lumpur atau uang rakyat terpakai tanpa hasil,” ujar Ucok di Jakarta, Selasa (24/8).

    Selain areal terdampak yang terus meluas, pembiaran lumpur menyembur meningkatkan risiko. Sabtu (21/8), gunungan lumpur di sekitar pusat semburan lumpur Lapindo longsor dan mengempas tiga kapal keruk yang sedang beroperasi. Karena kapal keruk dan pipa pengeruk rusak, pengerukan lumpur terhenti hingga dua pekan mendatang.

    Menurut relawan Pos Keselamatan Korban Lumpur Lapindo, Mujtaba Hamdi, akibat kerusakan formasi geologis di sekitar formasi semburan, terus muncul gelembung gas metana yang mudah terbakar. ”Gelembung gas itu terus bermunculan hingga kini, bahkan mencapai kawasan di sebelah barat badan jalan tol baru. Semakin lama dibiarkan menyembur, risiko ledakan akibat konsentrasi gas metana semakin tinggi, bahkan di areal relokasi tol yang sebelumnya dinyatakan aman,” katanya.

    Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnain membenarkan dalam anggaran Rp 1,3 triliun dari RAPBN 2011 tidak ada dana untuk mengkaji penutupan atau menutup semburan lumpur. ”Sampai sekarang tak ada metode yang tepat untuk menutup semburan. Tawaran teknologi untuk menutup semburan banyak, tetapi tak ada yang efektif menghentikan semburan lumpur. Apalagi sebagian ahli berpendapat, penutupan semburan lumpur telah terlambat dan sia-sia,” kata Zulkarnain.

    Meski demikian, dia menyatakan, semburan lumpur Lapindo cenderung berkurang, kini tinggal 15.000 meter kubik per hari. Semburan awal rata-rata mencapai 100.000 meter kubik per hari. (ROW)

     

    (c) cetak.kompas.com

  • Bukit Lumpur Lapindo Longsor lagi, Alat Berat BPLS Terhempas

    Bukit Lumpur Lapindo Longsor lagi, Alat Berat BPLS Terhempas

    SIDOARJO–Endapan lumpur kering yang membentuk bukit di dekat pusat semburan utama lumpur Lapindo kembali longsor dan menghempaskan beberapa peralatan berat milik Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Sabtu (21/8).

    Peristiwa longsornya bukit lumpur terjadi sekitar pukul 12.00 WIB di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Longsor menimbulkan ombak besar.

    Peralatan berat BPLS di titik 43 yang terhempas akibat peristiwa itu di antaranya tiga unit kapal keruk dan dua excavator terapung (eksaponton).

    Peristiwa longsornya bukit lumpur ini merupakan yang ketiga kali. Bahkan peristiwa itu mengakibatkan BPLS tidak bisa mengalirkan lumpur ke Kali Porong sejak dua minggu lalu. Sebab pada saat terjadi longsor pertama dua kapal keruk BPLS karam.

    “Praktis, pengaliran lumpur ke Kali Porong terhenti. Sebab kapal keruk selama ini dipergunakan untuk membantu menyedot lumpur dialirkan ke Kali Porong,” kata Kepala Humas Badan Pelaksana BPLS Ahmad Zulkarnaen. -Heri Susetyo

    (c) Media Indonesia

  • Gas Metana Muncul di Luar Peta Terdampak, Warga Sidoarjo Panik

    Gas Metana Muncul di Luar Peta Terdampak, Warga Sidoarjo Panik

    Sidoarjo – Semburan gas metana bercampur air dan lumpur (bubble) kembali muncul di luar peta terdampak. Semburan gas metana keluar di rumah Jamin, warga Desa Bringin RT 8 RW 3 Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

    Lokasi semburan sekitar 1,5 kilometer arah barat tanggul penahan lumpur. “Kami panik semburan semakin membesar,” kata Tohari kerabat Jamin, Sabtu (21/8).

    Tohari bertugas menjaga rumah yang ditinggalkan Jamin sejak dua tahun lalu. Mengetahui keluar semburan air, Tohari berusaha menghentikan semburan, menimbunnya dengan tanah dan bebatuan. Namun, upaya menghentikan semburan gagal. Air bercampur lumpur menggenangi lantai rumah tersebut.

    Ketinggian semburan air bercampur lumpur sekitar 2 meter hingga merusak atap rumah. Semburan gas metana ini menyebabkan atap rumah porak poranda akibat terdesak semburan gas bercampur air dan lumpur tersebut. Semburan gas keluar dari sumur yang terletak di ruang dapur rumah, akibatnya tembok dapur retak.

    Ia melaporkan semburan gas metana ini kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Selanjutnya, tim Geo Hazard BPLS turun ke lokasi untuk menghentikan semburan. Petugas memasang pipa untuk mengalirkan air dan lumpur ke saluran pembuangan air.

    Sedangkan gas metana dilepaskan ke udara bebas menghindari ledakan dan kebakaran. “Kandungan gas metana fluktuatif,” kata juru bicara BPLS, Akhmad Zulkarnain.

    Menurutnya, fenomena semburan gas metana ini merupakan dampak proses deformasi geologi. Akibat retakan aktif di dekat pusat semburan sehingga mendorong gas metana yang tersimpan di bawah permukaan tanah keluar rongga tersebut. Sumur merupakan salah satu celah yang mudah ditembus gas metana tersebut.

    Ia memperkirakan fenomena munculnya semburan baru akan kembali terjadi. Bahkan, semburan yang sebelumnya mati akan kembali aktif. Selama sepekan terakhir, muncul dua semburan salah satunya berada di Panti Asuhan Jatirejo. Desa Bringin, kata Zulkarnain, kerap muncul bubble dan kadang mati sendiri. (EKO WIDIANTO)

     

    (c) TEMPO Interaktif

  • Dilarang Menggelar Upacara, Warga ‘Gantung Diri’

    Dilarang Menggelar Upacara, Warga ‘Gantung Diri’

    SIDOARJO — Setelah sempat dilarang pihak Kepolisian Resor Sidoarjo untuk menggelar upacara kemerdekaan, korban lumpur Lapindo menggelar aksi ‘gantung diri’, Selasa siang (17/8/2010). Aksi itu digelar setelah upacara peringatan kemerdekaan “resmi” yang dipimpin Bupati Sidoarjo usai dilaksanakan.

    Ini aksi korban Lapindo yang kesekian kalinya sepanjang mereka menginap di gedung DPRD Sidoarjo sejak 8 Agustus lalu. Sekitar 80 peserta aksi terlihat membentangkan spanduk persis di depan gedung dewan. Mereka juga berjalan mengelilingi alun-alun kota, berorasi, dan lalu ‘gantung diri’.

    Seorang warga ditandu untuk membacakan pernyataan dan perasaan korban lumpur Lapindo. Isinya, warga korban lumpur sungguh belum merdeka, karena selama empat tahun lebih hak-hak mereka digantung. Pemerintah harus bertanggung jawab, segera mengambil alih penanganan ganti rugi yang selama ini belum beres. Dalam pernyataan itu, warga juga menegaskan, mereka akan tetap bertahan dan menduduki gedung dewan sampai tuntutan mereka dipenuhi.

    Warga lalu menampilkan orang yang digantung di pohon. Ini sebagai simbol digantungnya penderitaan warga selama empat tahun, yang diabaikan Lapindo maupun Pemerintah. Soim (45 tahun), salah satu peserta aksi, mengatakan, “Sudah empat tahun lebih hak-hak kami digantung oleh Pemerintah dan Lapindo. Bahkan Pemerintah seakan-akan membiarkan penderitaan yang kami alami.”

    Kordinator Aksi M.Zainal Arifin menyatakan di depan peserta aksi, mereka akan terus berjuang. “Meskipun bulan puasa kami akan terus berjuang, sampai tuntutan kami terpenuhi. Dan kami akan bertahan di depan Gedung DPRD, meskipun harus berlebaran disini,” ucap Zainal dalam orasinya. (vik)

    (Kanal Newsroom)

  • Genap Seminggu di Depan Gedung Dewan

    Genap Seminggu di Depan Gedung Dewan

    SIDOARJO – Sudah seminggu terakhir korban Lapindo menginap di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo. Mereka, korban Lapindo, juga menjalankan ibadah puasa di tempat tersebut. Aksi yang dilakukan oleh korban dari empat desa yaitu Jatirejo, Siring, Kedungbendo dan Renokenongo ini untuk menuntut kejelasan ganti rugi aset mereka.

    Selain orang dewasa, terdapat juga anak-anak dalam aksi ini. “Walaupun bulan puasa kami akan tetap meneruskan aksi ini,” kata Muhamad Soim (48), salah satu peserta aksi. Ia juga mengatakan, ada beberapa pejabat setempat termasuk Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso yang menemui korban. Tapi semua tidak ada yang berani memberi kepastian.

    “Ini semua bukan wewenang kami,” celoteh Soim menirukan ucapan pejabat yang sempat mendatangi aksi. Warga asal Jatirejo yang ikut aksi sejak hari pertama ini, mengaku masih sanggup meneruskan aksi hingga ada kepastian dari pihak pemerintah atau Lapindo.

    Demikian pula dengan Agus Suyitno (30), yang juga ikut aksi ini. Ia mengaku akan tetap meneruskan aksi. “Kami akan pulang jika ada realisasi pembayaran, tapi kalau cuma diberi janji kami akan tetap di sini,” jawabnya.

    Warga sendiri belum tahu pasti apa akan mengakhiri aksi ini tanpa kejelasan, atau sebaliknya, tetap bertahan demi hak mereka yang terampas oleh Lapindo. Mengingat mereka juga harus menjaga kesehatan untuk tetap bisa menjalankan ibadah puasa sebulan penuh.(fahmi)

    (c) Kanal News Room

  • Grup Bakrie dan Pengamen Anak-anak

    Grup Bakrie dan Pengamen Anak-anak

    Malam itu jalanan penuh debu. Jalan raya di negara ini konon dibangun dengan bacaan basmallah, yang memanipulasi kualitasnya, demi kekayaan dan kesenangan. Lalu Tuhan diminta memaklumi kelakukan bejat para maling berupa penguasa modal dan pembuat keputusan pemerintahan itu, yang merayuNya dengan sumbangan ke panti asuhan, zakat dan sedekah dengan uang haram. Kapitalisme kasar menyusupi tafsir-tafsir dalil agama yang mulia. Seluruh agama di muka bumi telah disusupi watak rakus kapitalisme.

    Debu jalanan tampak dari kepulannya yang membumbung, yang diterangi lampu jalan raya yang tak begitu terang. Malam itu, dalam suatu urusan, 12 Agustus 2010, sekitar jam 22.00 WIB, aku berada di dalam bus yang sedang berjalan dari Porong ke Surabaya.

    Malam yang lusuh di dalam bus itu dihangatkan dengan lagu-lagu merdu tiga pengamen kecil. Seorang remaja lelaki usia 17 tahunan memainkan gitar kecil berkolaborasi dengan remaja perempuan berusia sekitar 15 tahunan yang juga mahir memetik gitar kecil. Mereka tampak kompak dan terlatih, suaranya juga tak kalah merdu dibandingkan suara para penyanyi remaja yang tayang di TV-TV.

    Satu lagi anggota pengamen itu anak laki-laki berusia sekitar 13 tahun mengedarkan amplop putih. Pada bagian luar amplop putih itu bertuliskan kalimat tulisan tangan, kurang-lebih: “Assalamu’alaikum wr.wb. Kepada Yth. Bapak dan ibu, mohon bantuan seikhlasnya untuk keperluan biaya sekolah kami, dan jika ada lebihnya akan kami gunakan untuk membantu orang tua kami. Terima kasih. Wassalamu’alaikum wr.wb.”

    Otak bisa saja berkelana memikir segala kemungkinan. Mungkin anak-anak itu termasuk korban Lapindo seperti pengakuan mereka. Mungkin anak-anak itu bohong, bukan korban Lapindo. Mungkin anak-anak itu sejak kecil dipelihara orang orang tua yang bermental pengemis. Atau bisa saja banyak kemungkinan yang dapat aku pikirkan.

    Tapi, apakah segala kemungkinan akan terjadi jika negara ini diurus dengan benar? Mengapa di negara ini ada rakyat kecil yang miskin dan bermental pengemis? Apakah itu berkaitan dengan banyaknya pengurus negara yang bermental perampok padahal mulutnya berbuih fatwa dan otaknya terisi ilmu kebenaran?

    Pertanyaan lain yang tak kalah penting adalah: apakah layak dalam sebuah wilayah tambang kaya gas bumi yang bernama Blok Brantas, yang dikelola Lapindo Brantas Inc (Grup Bakrie) itu, ada anak-anak kecil yang berkeliaran di malam hari hanya untuk mencari biaya sekolah atau mencari makan sendiri? Sementara itu, pada malam itu anak-anak orang berkemampuan ekonomi sedang belajar di rumah, atau bermain-main, dan bahkan sudah banyak yang tidur lelap tanpa memanggul beban apa-apa sebab sudah dicukupi para orang tua. Ini negara kapitalis liberal atau negara Pancasila yang berkeadilan sosial?

    Anda mau tahu, berapa luas Blok Brantas, dan berapa kekayaan gas di dalamnya?

    Blok Brantas membentang dari wilayah Jombang, Mojokerto, Sidoarjo hingga Pasuruan. Berdasarkan klasifikasi data Walhi Jawa Timur, wilayah Blok Brantas Ring I terdiri dari  11 desa/kelurahan di Sodoarjo. Ring II terdiri dari 29 desa di Sidoarjo. Ring III meliputi 441 desa terbentang di Jombang, Mojokerto, Sidoarjo hingga Pasuruan. Membentang di 481 desa di empat kabupaten! Ternyata wilayah kekuasaan korporasi ini bisa menyamai luas negara-negara makmur di Eropa.

    Di wilayah Sidoarjo saja, Lapindo Brantas Inc menguasai konsesi wilayah minyak dan gas bumi (migas) lebih dari 10.000 hektar, atau lebih dari separuh wilayah Sidoarjo.

    Blok Brantas mempunyai kurang lebih 7 (tujuh) cadangan migas dengan sumber daya gas bumi sebesar 677 BCF (triliun kaki kubik) dan minyak bumi sebesar 12,5 MMBBL (juta barrel).

    Blok Brantas pada mulanya dikelola oleh Huffco Brantas Inc, anak Huffco Group dari Amerika Serikat. Pada tahun 1990 Huffco Brantas Inc mendapat hak penambangan Blok Brantas berdasarkan persetujuan dari Presiden Suharto dengan surat No.B-105/Pres/4/1990 tanggal 12 April 1990.

    Pada tahun 1996 Lapindo Brantas mulai mempunyai 50 persen interest Blok Brantas setelah membeli interest dari pemilik semula.

    Pemegang interest di Blok Brantas sesuai surat BP Migas kepada Lapindo Brantas Inc No.424/BP00000/2005-S0 tanggal 4 Juli 2005 adalah:  Lapindo Brantas Inc. 50 persen, PT Medco E&P Brantas 32 persen dan Santos Brantas Pty Ltd 18 persen. Selain sebagai pemegang participating interest, Lapindo juga bertindak sebagai operator.

    Setelah peristiwa semburan lumput Lapindo tersebut kepemilikan interest Medco di Blok Brantas dialihkan ke Grup Prakarsa (dengan jaminan dari Minarak Labuhan, yang juga anak Grup Bakrie). Sedangkan interest Santos di Blok Brantas dialihkan kepada Minarak Labuhan tersebut dengan harga 22,5 juta dollar AS. Sehingga, kini kepemilikan konsesi migas Grup Brantas kini ada di tangan Lapindo (Grup) Bakrie dan Grup Prakarsa yang dijamin Minarak Labuhan (Grup Bakrie).

    Dengan kekayaan seluas itu, lalu apakah lalu rakyat Jawa Timur, terutama Sidoarjo, Mojokerto, Jombang dan Pasuruan menjadi makmur setelah kekayaan alam minyak dan gas bumi (migas) mereka ditambang sejak tahun 1990 hingga sekarang itu?

    Yang jelas, bukan kemakmuran yang mereka alami. Justru ada sekitar 100 ribu penduduk kehilangan tanah, rumah, pekerjaan, serta artefak kebudayaan dan nilai sejarah pemukiman mereka akibat kerja korporasi Lapindo di Blok Brantas itu. Itu hanya karena satu sumur gas yang menyembur. Padagal kini ada sekitar 49 sumur migas milik Lapindo yang dalam tahap produksi dan pengembangan. Justru rakyat Indonesia dipaksa pemerintahan SBY untuk menyumbang Grup Bakrie melalui APBN dan APBD Jawa Timur guna membiayai masalah lumpur Lapindo itu.

    Dalam akal kita yang sehat bisa memikirkan, jika seandainya pertambangan kekayaan alam seluas itu mempunyai akibat ekonomi yang baik, maka malam itu aku tidak akan bertemu dengan tiga anak-anak yang sedang meninggalkan waktu istirahat mereka, meninggalkan waktu belajar mereka di malam hari, hanya karena mencari biaya sekolah dan makan, bahkan membantu para orang tua mereka yang miskin. Padahal rakyat yang senasib dengan para pengamen anak-anak itu merata di mana-mana.

    Setelah membaca tulisan ini mungkin orang akan bertanya: Lalu apa solusinya? Pertanyaan bodoh! Sebodoh kita semua yang takut menggulingkan pemerintahan yang pembohong dan korup ini. Takut untuk menghancurkan alat-alat produksi korporasi penindas semacam Grup Bakrie dan malah ramai-ramai membeli produknya. Sebodoh para intelektual, agamawan, seniman dan budayawan yang mau menjadi gedibal menjilati ketiak bosnya. Sebab tersihir oleh uang dan posisi sosial.

    Padahal pemerintahan inkonstitusional itu harus digulingkan dan penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi. Termasuk saya kasihan pula dengan diri saya sendiri yang bodoh dan penakut ini!

    (c) masbagio.blogspot.com