Category: Suara Publik

  • Kasus Lapindo, Media Massa Gagal Bangun Sikap Kritis

    Kasus Lapindo, Media Massa Gagal Bangun Sikap Kritis

    Firdaus Cahyadi – Mungkin semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo adalah kasus lingkungan hidup dan hancurnya peradaban sebuah masyarakat yang terbesar di Indonesia bahkan di dunia. Besarnya kasus itu membuat media massa di negeri ini ‘berlomba’ menurunkan berita mengenai kasus tersebut.

    Dalam liputannya, media massa yang berada di bawah Group Bakrie biasanya menyebut istilah lumpur Lapindo dengan lumpur Sidoarjo atau lumpur Porong. Bahkan ada pula media massa di luar Group Bakrie yang sok netral dengan menyebutnya sebagai lumpur panas.

    Terkesan netral memang, namun sejatinya penyebutan lumpur Lapindo menjadi lumpur Sidoarjo, lumpur Porong dan lumpur panas itu sejatinya telah menghilangkan perusahaan Lapindo (salah satu bagian dari Group Bakrie) dari pusaran kasus itu. Akibatnya, masyarakat sebagai pembaca media gagal memahami secara utuh kasus itu, karena salah satu pihak yang ada di dalam pusaran kasus itu dihilangkan. Apakah ini sebuah kesengajaan? (more…)

  • Kadin dan Republik Korporatokrasi

    Kadin dan Republik Korporatokrasi

    Firdaus Cahyadi  – Tanggal 24 – 25 September 2010 lalu mungkin menjadi hari yang sangat bersejarah bagi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Suryo Bambang Sulisto terpilih menjadi Ketua Umum Kadin menggantikan MS Hidayat yang sekarang menjadi menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid kedua.

    Arah kebijakan Kadin di bawah seorang ketua umum baru menjadi penting, bukan saja bagi pengusaha namun juga bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal itu dikarenakan pengaruh Kadin dalam percaturan politik nasional semakin kuat. Kuatnya posisi Kadin ditandai dengan diangkatnya mantan Ketua Umum Kadin menjadi menteri di Kabinet. Keberadaan Aburizal Bakrie di KIB jilid I dan MS Hidayat di KIB jilid II dapat dijadikan contoh dalam hal ini. (more…)

  • Kembalikan Bakrie Award!

    Kembalikan Bakrie Award!

    Surat terbuka untuk para penerima Bakrie Award

    IMAM SHOFWAN – Sebagai intelektual tentu, Bapak dan Ibu mengikuti berita-berita Lumpur Lapindo yang, hingga kini, aktif menyemburkan lumpur panas100.000 meter kubik tiap harinya. Melumpuhkan 19 Desa dari tiga kecamatan; Porong, Jabon, dan Tanggul Angin. Menyebabkan 14.000 KK kehilangan kehidupan normal mereka, menenggelamkan 33 sekolah dan 6 pondok pesantren menelantarkan murid-santrinya. Menyebabkan 15 orang meninggal, karena penurunan tanah menyebabkan pipa gas pertamina meledak dan 5 orang meninggal akibat gas beracun. Lumpur ini juga telah menyebabkan penyakit saluran pernafasan meningkat pesat di desa-desa tersebut.

    Untuk semua kehilangan itu PT. www.vivanews.com Minarak Lapindo Jaya (MLJ) hanya memberikan ganti-rugi dengan membeli tanah, rumah, dan sawah para korban. Itupun yang menurut peraturan presiden selesai dalam dua tahun setelah bencana, hingga kini, baru 60 persen korban yang telah menerima ganti rugi ini.

    Tak ada ganti rugi soal kesehatan, pendidikan, sosial, dan pencemaran lingkungan. (more…)

  • Jejak Penyesatan Informasi Kasus Lumpur Lapindo

    Jejak Penyesatan Informasi Kasus Lumpur Lapindo

    Firdaus Cahyadi –  Bulan Mei 2006 adalah bulan yang tidak pernah dilupakan oleh warga Porong, Sidoarjo. Bahkan mungkin juga tidak pernah dilupakan oleh kita sebagai warga Indonesia.

    ***

    Bulan Mei 2006 adalah bulan yang tidak pernah dilupakan oleh warga Porong, Sidoarjo. Bahkan mungkin juga tidak pernah dilupakan oleh kita sebagai warga Indonesia. Pasalnya, pada bulan itu lumpur Lapindo untuk pertama kalinya menyembur di Porong, Sidoarjo. Lumpur itu kemudian yang menenggelamkan seluruh tanah, rumah dan harapan warga Porong untuk hidup lebih baik sebagai warga negara. (more…)

  • Menyoal Gagasan Wisata Lumpur Lapindo

    Menyoal Gagasan Wisata Lumpur Lapindo

    Firdaus Cahyadi – Menjelang empat tahun usia semburan lumpur Lapindo, akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluangkan waktunya untuk mengunjungi kawasan Porong, Sidoarjo, yang telah hancur lebur akibat semburan lumpur. Kunjungan Presiden SBY tentu saja pantas diapresiasi karena selama ini timbul kesan bahwa negara telah meninggalkan korban lumpur.

    Namun, sayang, apresiasi terhadap kunjungan Presiden SBY ke Porong tiba-tiba sirna dengan munculnya gagasan Presiden untuk menjadikan kawasan lumpur Lapindo sebagai sebuah obyek wisata geologis. Gagasan tersebut pantas mendapat tentangan dari masyarakat. Pasalnya, kawasan itu sebenarnya dapat dikategorikan kawasan beracun yang berbahaya bagi kesehatan manusia. (more…)

  • SOS, Selamatkan Sidoarjo!

    SOS, Selamatkan Sidoarjo!

    Dinamika politik di Sidoarjo semakin mengkuatirkan. Bagaimana tidak, tiga orang yang selama ini dikenal sebagai ‘orang’ Lapindo kini mencalonkan diri sebagai bakal calon Bupati Sidoarjo. Setelah berhasil ‘menguasai’ tanah Sidoarjo melalui pembelokan persoalan ganti rugi menjadi sekedar jual beli asset, bukan tidak mungkin sebentar lagi Sidoarjo secara politik jatuh ke tangan Lapindo secara total.

    Ketiga petinggi Lapindo yang mencalonkan diri sebagai bakal calon Bupati Sidoarjo itu adalah Bambang Prasetyo Widodo, Direktur Operasional PT Minarak Lapindo Jaya, anak perusahaan Lapindo Brantas Inc. Bakal calon Bupati Sidoarjo berikutanya adalah  Gesang Budiarso, Dewan Komisaris PT Minarak Lapindo Jaya.  Satu orang lainnya adalah Yuniwati Teryana yang tercatat sebagai Vice President External Relation Lapindo Brantas Inc. Akhir Februari lalu, ia juga mendeklarasikan diri sebagai bakal calon Bupati Sidoarjo.

    Mencalonkan diri secara politik menjadi pejabat publik termasuk Bupati Sidoarjo adalah hak setiap warga negara. Namun, untuk pemilihan kepala daerah (pilkada)Sidoarjo agak ganjil bila tiga petinggi kelompok Lapindo secara bersamaan mencalonkan diri menjadi pejabat publik di kawasan itu. Apa kepentingan Lapindo dalam pilkada Sidoarjo? (more…)

  • Kisahku

    Kisahku

    Hampir 12 tahun sudah aku duduk di bangku sekolah. Mengenyam pendidikan yang semakin tahun semakin susah untuk didapatkan.

    Banyak anak yang putus sekolah. Beralih pada pekerjaan yang menghasilkan uang. Mungkin yang ada di benak mereka adalah “Daripada sekolah menghabiskan uang, lebih baik bekerja menghasilkan uang.” Di perempatan jalan dan lampu merah mereka mencari rezki. Apapun mereka lakukan agar dapat merasakan sesuap nasi. Membersihkan kaca mobil, mengamen bahkan meminta-minta. Mereka semua adalah mereka yang tidak bisa merasakan bangku sekolah. Mereka masih seumuran denganku, bahkan ada yang masih seumuran dengan adikku yang kini kelas 5 SD.

    Aku adalah salah satu dari mereka yang beruntung. Aku sangat bersyukur atas semua yang ada padaku. Aku bisa merasakan indahnya bangku sekolah selama hampir 12 tahun. Masa-masa indah yang aku rasakan selama sekolah mungkin tak pernah dirasakan oleh mereka yang putus sekolah. Ya… aku memang beruntung.

    Saat lulus SD aku mendaftar ke Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN). Dan keberuntungan itu berpihak padaku. Aku diterima di salah satu SMP Negri yaitu Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 2 Porong.

    Setiap manusia tak selamanya memperoleh keberuntungan dalam hidupnya. Begitu pula denganku. Saat aku kelas 2 SMP, sekolah tempat aku menuntut ilmu tenggelam oleh Lumpur Lapindo. Semua pasti tahu apa, siapa dan bagaimana Lumpur lapindo itu. Aku dan seluruh siswa-siswi Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 2 Porong harus berkali-kali berpindah tempat agar kami tetap mendapatkan pelajaran.

    Terakhir kalinya kami harus menumpang di Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 1 Porong. Lokasinya sangat jauh dari rumahku. Setiap hari aku harus mengayuh sepedaku sejauh 4 km. Bisa dibayangkan, di siang yang terik saat sebagian orang sedang beristirahat dari segala kativitasnya, aku dan yang lain harus berangkat sekolah. Baru ketika aku kelas 3, hati pihak lapindo tergelitik untuk mengantarkan kami yang rumahnya jauh dari lokasi sekolah. Mereka mengirimkan beberapa truk polisi untuk mengantar kami.

    Saat Ujian Nasional (UNAS) pun lagi-lagi kami harus menumpang. Kali ini kami meumpang di Sekolah Menengah Atas Negri (SMAN) 1 Porong. Dengan segala rintangan yang telah kami hadapi akhirnya kami semua dinyatakan lulus. Kami semua sangat senang. Tapi saat kami semua merayakan kelulusan, teryata Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 2 Porong sudah tak terlihat dari permukaan. Seolah itu benar-benar telah tenggelam.

    Selanjutnya, aku daftar di salah satu SMA Negri. Tapi sayang, keberuntungan memang tak berpihak padaku. Aku dinyatakan gagal. Akhirnya, mau tak mau aku harus menerima itu semua. Kini aku menuntut ilmu di sekolah swasta di seberang desaku.

    Malang tak dapat ditolak. Sawah milik ayahku terendam Lumpur Lapindo. Ugh….. aku berteriak sekeras yang aku bisa. Aku ingin berkata “Sampai kapan aku dihantui oleh Lumpur Jahannam itu???????!”

    Saat itulah kondisi ekonomi keluargaku mulai memburuk. Areal persawahan kini tak bisa ditanami apapun. Dulu ketika aku masih SMP, pembayaran SPP atau yang lain tak pernah telat. Tapi kini? Hampir beberapa bulan aku tak bisa membayar SPP. Aku selalu telat. Aku malu pada tean-temanku. Tapi aku harus sadar. Dengan apa aku membayar SPP itu? Aku tak boleh kalah dengan malu.

    Saat kelas 2 SMA Lumpur Jahannam itu kembali mengusikku. Desa tempat aku tinggal, sebagian tenggelam oleh Lumpur Lapindo karena jebolnya tanggul penahan Lumpur Jahannam itu. Yang lebih parah, hanya sebagian desa saja yang dianggap sebagai korban. Desaku memang terbelah enjadi dua sejak adanya proyek pembangunan jalan tol yang menghubungkan Sidoarjo-Malang.

    Wilayah yang dianggap sebagai korban ialah mereka yang berada di sebelah Barat Tol. Sedangkan kami yang berada di wilayah Timur Tol harus menerima ketidakadilan. Padahal pepohonan di wilayah kami telah mati akibat luberan lumpur begitu juga dengan air. Air kami telah tercemar. Contohnya saja diumahku. Semula banyak orang yang mengambil air di sumurku karena airnya sangat jernih dan segar. Tapi sekarang? Air di rumahku sangat keruh dan berasa pahit? Apa itu bukan korban? Coba pikir lagi. Banyak orang mengira aku adalah orang kaya yang telah mendapat ganti rugi. Mereka salah! Mereka tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tak tau ketidakadilan yang terjadi.

    Mereka yang dianggap sebagai korban juga mendapatkan perlakuan tidak adil. Semua orang berkata “Ganti Rugi”. Padahal itu bukan ganti rugi. Itu adalah sebuah proses jual beli antara pihak Lapindo dan mereka yang dianggap sebagai korban. Dalam setiap proses jual beli tentu ada kesepakatan antara kedua pihak. Tapi dalam permasalahan ini tidak ada kesepakatan sama sekali. Mereka yang dianggap sebagai koraban harus mau menerima apa yang telah ditetapkan oleh pihak Lapindo. Sungguh tidak adil.

    Kami hanya ingin diakui sebagai korban dari koorporasi Mu! Aku tau siapa diriMu! Aku tau siapa namaMu! Aku tau siapa penyebab penderitaan kami semua! Tapi aku tak ingin menyebutkan siapa namaMu! Karena hanya akan membuat sakit hatiku. Kau dalah orang yang serakah!

    Aku harus mengikuti program beasiswa yang diperuntukkan bagi keluarga miskin agar aku bisa tetap sekolah. Di kelasku hanya beberapa anak saja yang mengikuti program itu. Malu? Kini tidak ada kata malu dibenakku. Rasa malu itu hilang seiring dengan penderitaan yang aku alami sejak Lumpur Jahannam meluap. Hingga kelas 3 ini aku masih mengikuti program itu.

    Ujian Nasional (UNAS) tinggal beberapa bulan. Tapi aku masih belum bisa memenuhi persyaratan administratif. Banyak uang yang harus dikeluarkan diantaranya pembayaran Try Out, Penambahan Intensitas Belajar (PIB), Ujian Semester, Ujian Praktek, Lembar Kerja Siswa (LKS), dan masih banyak lagi. Aku tak tahu bagaimana memberitahukan pada ayahku. Aku tak boleh patah semangat atas apa yang terjadi. Aku terus belajar agar aku menjadi pintar.

    Banyak sekali kampus yang mendatangi sekolahku. Banyak pula yang terpengaruh dengan program yang diberikan setiap kampus. Ada yang memberikan iming-iming siap kerja bagi mereka yang masuk ke kampus itu. Aku sendiri bingung. Tapi untuk apa aku bingung? Toh aku juga nggak aka kuliah?

    Teman-temanku telah menetapkan Universitas dan jurusan yang akan diambil. Saat semua sibuk mengutarakan isi hatinya yang ingin segera lulus dan merasakan dunia kuliah, aku hanya bisa mendengar dan tersenyum. Terkadang aku memberi sedikit saran. Dalam hati aku menangis. Aku ingin seperti mereka. Aku ingin bergabung dengan mereka. Membicarakan dunia perkuliahan, membicarakan jurusan yang dipilih dan membicarakan masa depan.

    Aku tak boleh egois. Untuk dapat menuntaskan bangku sekolahku saja, orang tuaku harus banting tulang. Bagaimana jika aku kuliah nanti? Dengan apa mereka harus membiayai semua itu? Daun?

    Aku pernah membicarakan masalah ini pada ayahku. Dan, “Ayah tidak punya uang untuk membiayai kamu kuliah.” Aku sebenarnya sudah tahu jawaban apa yang akan keluar. Dalam hati aku hanya bisa bicara “Mungkinkan ada Mukjizat pada keluargaku?”

    Ternyata Do’a dan usahaku tak sia-sia. Semester ganjil kemarin aku menduduki peringkat ke 4 di kelasku. Aku sangat senang. Aku menganggap itu sebuah mukjizat. Aku segera memberitahukan kabar baik ini pada ayahku. Dan memang benar. Mukjizat itu ada. Tiba-tiba ayah menyuruhku untuk mengikuti PMDK. Aku sangat senang. Aku segera mencari informasi tentang beasiswa pendidikan. Setiap hari aku membuka internet untuk mencari informasi yang aku butuhkan. Ya Tuhan! Terimakasih.

    Berbagai saran dan informasi diberikan padaku. Aku segera mencetak formulir Beasiswa Mengikuti Ujian (BMU) bagi siswa berprestasi dari berbagai Universitas Negri. akhirnya ada 4 Univesitas Negri yang aku pilih. Aku juga telah mengirim biodata dan persyaratan yang dibutuhkan. Meskipun persaingan sangat ketat aku tak boleh pesimis. Aku yakin keberuntungan dan mukjizat menyertaiku.

    Banyak yang masuk ke Universitas dengan memberikan sejumlah uang. Aku tidak setuju dengan itu. Jika itu masoh berlanjut maka masa depan anak negri akan suram. Mereka yang tidak memiliki uang tapi pintar pasti tidak akan bisa merasakan dunia kuliah. Ujung-ujungnya penganguran merajalela. Aku sangat bersyukur bisa merasakan bangku sekolah dan menuntaskan pendidikanku.

    Ada berita bahwa Yayasan Pendidikan Bakrie memberikan bantuan beasiswa kepada dua anak warga korban lumpur melalui Yayasan Peduli Lumpur Sidoarjo (Yaplus). Biaya pendidikan yang diberikan per orang untuk delapan semester itu mencapai Rp 90 sampai Rp 100 juta. Hanya 2 orang? Sedangkan korban dari Lumpur Lapindo sangat banyak. Apa semua itu hanya untuk mencari simpati?

    Aku tak akan mengikuti beasiswa itu. aku tak akan menjual ilmu yang selama ini aku dapatkan untuk membuat orang menderita. Anak yang mendapatkan beasiswa itu pasti tidak akan peduli dengan mereka yang sesama korban Lumpur Lapindo. Dia akan terikat dengan berbagai aturan yang ditetapkan oleh pihak tersebut. Dia taidak akann menentang ketidak adilan yang ada demi beasiswa yang dia terima.

    Aku berharap agar aku diterima di salah satu Universitas Negri. Akan aku tunjukkan tanpa beasiswa dari seorang yang mengatasnamakan Yaplus, aku bisa kuliah. Aku juga berharap agar mereka semua yang tidak dapat kuliah dengan alasan biaya segera sadar. Banyak car agar tetap melanjutkan pendidikan diantaranya dengan cara mencari beasiswa. Tapi jangan sampai salah mencari beasiswa ya! Kita harus tetap melanjutkan pendidikan kita agar menjadi orang yang berguna bagi semua orang. Kepintaran kita jangan untuk menyengsarakan orang lain.

    Daris Ilma

     

  • Tawon Boy dan Hukum Cebol

    Tawon Boy dan Hukum Cebol

    Tetapi saya belum pernah mendengar ada terapi atau pengobatan raga atau jiwa dengan cara menenggelamkan tempat hidup ribuan orang seperti yang terjadi di Porong, Tanggulangin dan Jabon, Kabupaten Sidoarjo. Ada empat desa yang tenggelam, dan setidaknya sembilan desa rusak. Kasus itu malah menimbulkan kerusakan kesehatan jiwa-raga sosial. Hampir empat tahun ini malah belum tuntas. (more…)

  • Seratus Hari Abaikan Korban Lumpur

    Seratus Hari Abaikan Korban Lumpur

    FIRDAUS CAHYADI.  Pada saat debat calon presiden (capres) di KPU, kasus Lapindo sempat disinggung. Calon Presiden (capres) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat itu berjanji akan akan meninjau ulang atas cara-cara penyelesaian kasus Lapindo selama ini. Artinya, akan ada pendekatan baru dalam penyelesaian kasus Lapindo. Selama ini penyelesaian kasus Lapindo diselesaikan dengan pendekatan jual beli, seraya mereduksi dampak buruk kesehatan dan lingkungan hidup yang dialami warga.

    Pemilu Presiden pun berakhir dengan kemenangan pasangan SBY-Budiono. Namun janji untuk menyelesaikan kasus lumpur Lapindo secara lebih adil semakin jauh dari harapan. Betapa tidak, di saat para pengusung pasangan SBY-Budiono sibuk merayakan pesta kemenangan, warga Siring Barat, Jatirejo, dan Mindi di Porong, Sidoarjo sibuk mengungsi dari rumahnya. Saat itu Pemerintah Daerah (Pemda) Jawa Timur menyatakan kawasan di tiga desa tersebut tidak layak huni akibat dampak semburan lumpur Lapindo yang makin meluas. (more…)

  • Perpres 14/2007, Legalisasi Korupsi Lapindo

    Perpres 14/2007, Legalisasi Korupsi Lapindo

    Dalam rangka penyelesaian kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14/2007) tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Tetapi hari demi hari yang kita lihat adalah nasib para korban yang seolah-olah hidup di dalam kontes penderitaan.

    Warga korban memang sudah ‘tertipu’ sejak awal-awal kasus ini. Bayangkan, untuk mendapatkan rumah baru, mereka terperosok dalam alam pikiran yang sudah didesain, yaitu: ganti rugi dengan format jual beli tanah, yang ujung-ujungnya ribut soal ada atau tidaknya sertifikat, setelah itu harus ada jaminan dari Bupati Sidoarjo bahwa tanah yang dijual kepada Lapindo tidak bermasalah, dan lain-lain. Padahal secara hukum, tanpa menjual tanah pun masyarakat korban berhak memperoleh ganti kerugian yang jumlahnya tak terhingga sebab telah kehilangan harta benda dan penderitaan hidup serta mengalami kehancuran seperti itu. (more…)

  • Nasib Pilu Korban Lumpur

    Nasib Pilu Korban Lumpur

    Penanggung jawab Grup Bakrie, Nirwan Bakrie, menyatakan formula baru itu tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 dan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2008. Padahal, menurut aturan, pada Desember 2008 itu pula seharusnya pembayaran cicilan 80 persen telah dilakukan. (more…)

  • Ramai di Century, Sepi di Lapindo

    Ramai di Century, Sepi di Lapindo

    Nasib korban
    Saya hendak membandingkan reaksi sosial serta perlakuan negara dalam menyikapi kasus Century dengan kasus lumpur Lapindo, yang tampaknya menganaktirikan penyelesaian masalah lumpur Lapindo. Salah satu contoh adalah: begitu cepatnya tindakan atau upaya penggantian uang nasabah Century yang dirugikan dan upaya penyelamatan Bank Century dengan menyuntikkan dana Rp. 6,7 triliun.
  • Lapindo dan Hilangnya Negara

    Tapi fakta-fakta tersebut hanya secuil cerita dari kehancuran yang dihasilkan lumpur Lapindo. Karena sesungguhnya yang terjadi di tiga kecamatan (Porong, Tanggulangin, dan Jabon) ini adalah absennya negara dari tanggungjawab melindungi masyarakat. Dikeluarkannya Peraturan Presiden No 14/2007, yang kemudian disusul dengan Peraturan Presiden No 48/2008, justru semakin menunjukkan Negara lepas tangan dari tanggung jawabnya atas ratusan ribu kepala yang sedang menderita. (more…)

  • Menyeriusi Semburan Lapindo

    Si kawan melanjutkan. “Masih ingat pemeo Henry Ford II yang bicara kepada para direkturnya,“You can choose any color as long as it is black.” Kalau shareholder sudah mengatakan black, maka seluruh jajaran manajemen (termasuk direktur dan komisaris) harus tunduk.”

    Penanganan semburan lumpur Lapindo makin hari bukan menunjukkan kemajuan baik, tapi malah ada saja masalah timbul. Mulai dari pemberesan pembayaran jual-beli tanah korban dalam peta tanggung jawab Lapindo menurut Pasal 15 Perpres No 14 Tahun 2007 yang masih jauh dari beres, hingga persoalan penanganan semburan lumpur Lapindo. (more…)

  • Hilangnya Hak Publik atas Informasi Lapindo

    Celakanya, pemerintah untuk kesekian kalinya percaya begitu saja kepada alasan krisis keuangan yang dikemukakan oleh Lapindo. Padahal selama ini Lapindo belum pernah mempublikasi hasil audit mengenai asset-asetnya ke publik. Pihak Lapindo berkilah bahwa uang yang dimilikinya bukan uang negara, sehingga tidak ada kewajiban untuk mempublikasinya. Mungkin Lapindo lupa bahwa informasi terhadap audit tersebut sangat penting untuk menyelesaikan persoalan dengan korban lumpur secara lebih adil. (more…)

  • Mengapa Komnas HAM Menunda Keputusan Kasus Lumpur Lapindo?

    Para korban hidup kocar-kacir dalam ketidakpastian, bahkan saat pipa gas milik Pertamina meledak pada 22 Nopember 2006, memakan korban 12 orang tewas. Namun keluarbiasaan kehancuran yang ditimbulkan Lumpur Lapindo ternyata disikapi secara BIASA-BIASA SAJA oleh pihak Pemerintah Indonesia dan Lapindo Brantas Inc (LBI). (more…)

  • Potret Runtuhnya Keadilan Sosial

    Dua tahun lebih luapan lumpur Lapindo telah menghancurkan rumah Ibu Jumik di Desa Renokenongo. Menurut penuturan Sugiyat, anak tunggal Ibu Jumik, seperti yang ditulis di web korban Lapindo, rumah keluarganya terendam lumpur setelah muncul ledakan pipa gas Pertamina. Namun, air yang telah menggenangi rumahnya sejak hari pertama munculnya semburan lumpur memaksa keluarga tersebut meninggalkan rumahnya untuk menjadi pengungsi. Mungkin Tuhan tidak rela Ibu Jumik mengalami penderitaan yang terlalu panjang. Pada Minggu, 30 November 2008, Ibu Jumik menghembuskan napas terakhir.

    Kematian adalah takdir Tuhan. Namun, kematian Ibu Jumik adalah potret dari runtuhnya rasa keadilan di negeri ini. Institusi negara, dari pusat hingga daerah, tidak merespons secara baik derita yang dialami warganya. Kelompok korporasi yang terkait dengan persoalan semburan lumpur pun membiarkan Ibu Jumik meregang nyawa dengan masih menyandang status sebagai korban lumpur. Ibu Jumik dan keluarganya dapat dipastikan tidak memiliki kesalahan kepada Lapindo. Namun, tanpa permisi, semburan lumpur telah menghancurkan bukan hanya tanah dan rumahnya namun juga harapannya. (more…)

  • Benang Kusut Lumpur Lapindo

    Sejak Mei 2006 atau dua tahun tujuh bulan sejak menyemburnya lumpur panas Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, belum seluruh persoalan tertuntaskan, terutama persoalan sosial dan lingkungan akibat semburan. Bila diumpamakan benang, lumpur Lapindo ibarat benang yang kusut berkepanjangan.

    Persoalan utama dampak semburan lumpur Lapindo adalah ganti rugi tanah dan bangunan milik ribuan warga yang terendam lumpur sehingga harus mengungsi. Sejauh ini, bos Lapindo, Aburizal Bakrie, menyatakan telah menghabiskan Rp 3,5 triliun hanya untuk membayar ganti rugi. Namun, pembayaran ganti rugi belakangan ini tersendat. Diduga, pemicunya adalah krisis keuangan global yang mengakibatkan kekayaan Grup Bakrie menguap hingga menyisakan 10 persen saja, seperti yang dikatakan Aburizal.

    Meskipun demikian, PT Minarak Lapindo Jaya (anak perusahaan Lapindo Brantas Inc yang bertugas menyelesaikan ganti rugi korban lumpur) berulang kali menegaskan akan menuntaskan pembayaran ganti rugi. Sejauh ini, iktikad baik itu terlihat dengan masih berlangsungnya proses pembayaran ganti rugi meski kerap tersendat dan dicicil.

    Kenyataannya, tak semua dari sekitar 13.000 korban lumpur merasa puas. Sebagian memang sudah merasa tenang dengan menerima ganti rugi tanah dan bangunan. Namun, sebagian yang lain belum menerima ganti rugi sama sekali, yaitu sekitar 1.400 pemilik berkas termasuk warga Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, yang tinggal di pengungsian Pasar Porong Baru.

    Wakil Ketua DPRD Sidoarjo Jalaluddin Alham mengingatkan pemerintah pusat agar menyiapkan skenario terburuk jika Minarak benar- benar tidak memiliki dana untuk ganti rugi. Skenario itu adalah pilihan dana talangan dari APBN sebagai ganti rugi korban lumpur. Syaratnya, kata Jalaluddin, Minarak harus memberi jaminan kepada pemerintah bahwa suatu saat mereka sanggup membayar atas dana talangan yang dikeluarkan.

    Rupanya sebagian korban lumpur enggan mengerti kondisi keuangan Lapindo. Menurut Wakil Ketua Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo Pitanto, warga tidak paham jika disodori penjelasan bahwa saham-saham Lapindo berjatuhan di lantai bursa sehingga bangkrut dan pembayaran ganti rugi tersendat. “Kami tidak mengerti soal itu. Yang jelas, tanah dan rumah kami terendam. Kami hanya menginginkan ganti rugi yang menjadi hak kami, tidak peduli uang itu dari mana,” ujarnya.

    Persoalan lain yang tidak boleh luput dari perhatian adalah dampak lingkungan akibat semburan lumpur Lapindo. Hingga saat ini lumpur masih menyembur sebanyak 100.000 meter kubik per hari. Sebagian lumpur itu dibuang ke Sungai Porong. Dampaknya sudah mulai terasa, yaitu usaha tambak di bagian hilir sungai tercemari endapan lumpur yang mengandung gas berbahaya. Selain itu, endapan lumpur belum seluruhnya hilang dari Sungai Porong yang mengakibatkan terganggunya aliran sungai menuju laut.

    Apakah pemerintah harus turun tangan sepenuhnya? Mungkin juga tidak, seperti yang dikatakan Kepala Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) Soenarso. “Yang diurusi pemerintah tidak hanya lumpur Lapindo,” katanya. Jawaban yang masuk akal. Apalagi, pada 2009 seluruh pejabat negeri ini akan disibukkan hajatan besar bernama pemilu.

    Sampai saat ini belum ada jawaban bagaimana penyelesaian semburan lumpur Lapindo dan kapan berakhirnya. Persoalan ini ibarat benang kusut yang memerlukan tidak hanya satu tangan untuk dapat mengurainya.

    ARIES PRASETYO (Dimuat pada Catatan Akhir Tahun Kompas, 30 Desember 2008)

  • Perpres Tong Pes

    SUBAGYO

    Tanggal 3 Desember 2008, ada sebuah peristiwa sejarah hukum yang mengenaskan. Kacamata hukum memandang itu luar biasa. Apa itu? Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 gugur di istana negara, menjelma dalam kesepakatan perdata di tangan orang-orang yang tidak mempunyai kedudukan hukum utuh.

    Sembilan wakil korban Lapindo asal Perumahan Tanggung Angin Sejahtera (Perumtas), Sidoarjo, menyepakati tawaran Nirwan Bakrie yang mewakili Lapindo Brantas Inc, untuk mencicil sisa ganti rugi jual-beli tanah dan rumah korban lapindo yang masih 80 persen itu dengan cicilan sebesar Rp. 30 juta per bulan. Hasil itu disambut dengan demo korban Lapindo lainnya di Sidoarjo yang menolaknya.

    Di luar kacamata hukum, itu sukses Lapindo kesekian kalinya memecah-belah warga korban Lapindo. Harus diakui, Lapindo lebih hebat dibandingkan para relawan pendamping korban Lapindo. Sebab, Lapindo dibantu kekuatan pemerintah.

    Kronologi Perpres 14 Tahun 2007

    Setelah semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2006 mulai menghancurkan pemukiman penduduk sekitarnya, pemerintah tidak mengambil kebijakan yang tegas dan tepat untuk menyelamatkan korban. Saat itu pemerintah menyatakan bahwa masalah itu menjadi tanggung jawab Lapindo. “Pemerintah tak akan mengeluarkan uang sesenpun. Itu tanggung jawab Lapindo,” kata pemerintah waktu itu.

    Statement pemerintah itu tampak dalam Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 yang membebani tanggung jawab semburan lumpur Lapindo seratus persen, sebagaimana disebutkan dalam Diktum Kelima Keppres itu: “Dengan terbentuknya Tim Nasional dengan tugas sebagaimana dimaksud pada Diktum Ketiga, tidak mengurangi tanggung jawab PT. Lapindo Brantas untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkannya.”

    Bahkan biaya pelaksanaan tugas Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo dibebankan sepenuhnya kepada Lapindo Brantas Inc. (Diktum Keenam Keppres No. 13 Tahun 2006).

    Entah siapa yang menjadi pembisik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sehingga Keppres No. 13 Tahun 2006 yang menjadi ‘angka sial’ bagi Lapindo itu diganti dengan Perpres No. 14 Tahun 2007.

    Eliminasi Keppres No. 13 Tahun 2006 dengan kelahiran Perpres No. 14 Tahun 2007 lebih menguntungkan anak Grup Bakrie itu, sebab berdasarkan pasal 15 Perpres tersebut ditentukan bahwa masalah sosial kemasyarakatan korban pada peta terdampak 22 Maret 2007 akibat semburan lumpur itu dibebankan kepada Lapindo, sedangkan di luar peta 22 Maret 2007 itu menjadi beban negara.

    Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, termasuk penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong dibebankan kepada Lapindo, sedangkan biaya penanganan masalah infrastruktur termasuk infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah.

    Cara penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan korban Lapindo dalam peta terdampak 22 Maret 2007 adalah dengan “jual-beli” tanah dan rumah korban Lapindo yang terkena dampak semburan lumpur. 20 persen dibayar di muka, sisanya 80 persen dilunasi paling lambat sebulan sebelum masa kontrak dua tahun habis. Demikian ketentuan pasal 15 Parpres No. 14 Tahun 2007.

    ”Tong Pes”

    Dalam pelaksanaannya, pembayaran uang muka 20 persen dilakukan dengan cara kelompok per kelompok berkas, dalam gelombang waktu yang berbeda-beda. Kini, jatuh tempo pelunasan pembayaran 80 persen itu sudah terlewati bagi sebagian besar kelompok korban yang ada, sejak Maret 2008 lalu.

    Jangankan pelunasan 80 persen, ternyata masih ada ratusan berkas yang belum menerima pembayaran 20 persen, dipaksa Lapindo mengikuti cara relokasi. Di Desa Kedungbendo masih ada 182 berkas dan di Perumtas I Tanggulangin ada 48 berkas belum dibayar 20 persen, termasuk lebih dari 600 kepala keluarga yang mengungsi di Pasar Porong Baru. Belum lagi kelompok-kelompok korban yang ada di Gempolsari, Jatirejo, Renokenongo yang sama sekali belum menerima uang pembayaran 20 persen itu (data Posko Korban Lapindo di Desa Gedang).

    Tak kalah mengenaskan, bagi korban yang kadung mau mengikuti program pembayaran tunai bangunan dan tukar tanah (relokasi) ternyata banyak yang menangis karena belum dibayar uang muka 20 persen dan tanah relokasinya belum jelas. Tidak cocok dengan yang diiklankan di media-media massa. Korban Lapindo yang ‘tertipu’ itu dalam kelompok Gabungan Korban Lapindo (GKLL) dan Pagarekontrak yang selama ini paling lama mengungsi di Pasar Porong Baru.

    Korban yang belum dilunasi 80 persen datang ke Jakarta. Dengan dalih masalah ekonomi global, di hadapan Presiden SBY terjadi negosiasi yang membenarkan cicilan Rp. 30 juta per bulan. Sementara itu pemerintah menyatakan menutup pintu negosiasi, padahal gelombang korban Lapindo yang menolak hasil negosiasi di sitana negara itu jumlahnya juga masih ribuan, dari kelompok yang berbeda-beda.

    Tragedi hukum yang terjadi adalah bahwa Perpres No. 14 tahun 2007 sebagai regulasi ternyata tidak dipatuhi oleh Lapindo, lantas digeser bentuknya dari hukum publik menjadi hukum perdata. Pun penggeseran tersebut belum dapat memenuhi kedudukan hukum para wakil korban Lapindo dari kelompok tertentu, yang tentunya tak dapat mewakili seluruh korban yang ada.

    Dari segi hukum, bagi warga dalam satu kelompok pun yang tidak menyetujui hasil negosiasi dalam istana negara itu berhak untuk melakukan aksi opt out (memilih keluar) dari kelompok yang diwakili oleh orang yang tidak dipercayainya. Bagi kelompok korban yang tak terwakili tentu tak boleh dipaksa tunduk dengan hasil negosiasi wakil kelompok yang lainnya. Grup Bakrie dibiarkan Presiden SBY tidak patuh dengan Perpres, lalu apa korban lumpur mau dipaksa patuh hasil negosiasi yang menabrak Perpres?

    Pemerintah telah kehilangan kewibawaannnya dalam kasus lumpur Lapindo, yang masih akan menyisakan persoalan dan jalan panjang. Jika terhadap ketentuan hukum publik berupa Perpres itu mudah disimpangi, apalagi terhadap produk hukum perdata berupa hasil negosiasi yang menabrak ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007. Lebih gampang lagi disimpangi.

    Solusinya hanya satu: pemerintahan yang tegas dan berwibawa. Kemarahan seorang Presiden atas penelantaran nasib rakyat korban seharusnya membuahkan garis kebijakan tegas. Perpres No. 14 Tahun 2007 harus dijalankan Lapindo. Jika tidak, diberi sanksi, sebagai ciri hukum yang adil dan pasti. Jika perlu Grup Bakrie dipailitkan oleh pemerintah untuk mempercepat pemberesan seluruh kewajibannya kepada korban Lapindo. Kepailitan bukanlah akhir hidup sebuah korporasi, sebab dalam proses kepailitan itu kegiatan usaha tetap berjalan atas izin Hakim Pengawas.

    Apa guna membuat Perpres jika hanya dijadikan tong pes alias gentong kempes yang tak dihargai? Jangan sampai contoh buruk pelaksanaan hukum itu akan menjadi preseden yang berlanjut dalam pemerintahan selanjutnya. Jika ditiru, semua orang boleh dong tidak patuh regulasi pemerintah, dengan dalih ini dan itu?

  • Harus Berani Bersikap Tegas

    AMIN FTH

    Mencuatnya berita Aburizal Bakrie sebagai orang terkaya di Indonesia ternyata tidak membawa angin segar untuk korban lumpur Lapindo. Pihak Lapindo masih adem ayem menyuguhkan skema penundaan pembayaran ganti rugi tanpa kejelasan waktu.

    Hingga kini tragedi tragis semburan lumpur Lapindo masih menyisakan duka bagi para warga Porong, Sidoarjo. Mereka bukan hanya kehilangan tempat tinggal, harta, dan mata pencaharian, melainkan juga ketidakpastian masa depan.

    Sebagian besar para korban sampai sekarang masih belum mendapatkan tempat tinggal tetap, bahkan hingga kini masih banyak yang masih terlunta-lunta di penggungsian. Ny Jumik (52), misalnya, harus mengembuskan napas terakhirnya di pengungsian (30/11). Warga Desa Renokenonggo ini wafat setelah dua tahun mengidap penyakit kanker dan tumor tanpa bantuan pengobatan, baik dari Lapindo maupun pemerintah. Korban lainnya, Luluk, warga Desa Jatirejo Barat, Yakup dan istrinya, warga Desa Siring, mengalami nasib sama.

    Berdasarkan diagnosis dokter, mereka menderita sesak napas akibat menghirup gas beracun di sekitarnya (www.korbanlapindo.net). Menurut penelitian para ahli, lumpur Lapindo mengandung zat beracun yang mengakibatkan gangguan pernapasan, bahkan mengandung polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) 2.000 kali lipat di atas normal, yang secara tidak langsung dapat menyebabkan penyakit kanker dan tumor.

    Semua pihak mengetahui semburan lumpur Lapindo bukan karena malapetaka alam murni, melainkan karena tindakan manusia. Kecongkakan sebuah perusahaan besaryang tidak berpikir pada masyarakat kecil di dekatnyamelakukan pengeboran tanpa memakai casing yang seharusnya digunakan untuk menjamin bahan yang keluar dari perut bumi tidak masuk ke dalam celah-celah tanah. Dan kecerobohan tersebut mempunyai akibat fatal.

    Sekalipun ini bukan sebuah tindakan kejahatan, faktanya malapetaka ini telah menimbulkan puluhan ribu orang kehilangan kampung halaman dan masa depan. Ironisnya, hingga kini pertanggungjawaban PT Lapindo sebagai pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam tragedi ini masih sepi dari realisasi.

    Lapindo selalu menghadirkan penundaan pembayaran 80 persen cash and carry yang dijanjikan dengan alasan pailit. Skema ini terasa kontras ketika Aburizal Bakriesalah satu pemilik Lapindo bertengger sebagai orang terkaya di negeri ini.

    Bukan suatu yang membanggakan ketika para korban lumpur Lapindo lebih percaya untuk mengadukan nasib mereka pada Kedubes Belanda. Negara yang telah menjajah bangsa ini selama bertahun-tahun tersebut dinilai lebih memerhatikan hak ekonomi dan sosial warganya (www.kompas.com).

    Kemarahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam rapat dengan pihak Lapindo mungkin menjadi secercah harapan bagi para korban. Selama ini perlakuan pemerintah terhadap Lapindo terkesan lunak, tidak ada sanksi hukum, sanksi sosial, dan sanksi ekonomi pun diulur-ulur.

    Presiden selaku pemimpin negara dan pemerintahan selaiknya berani bertindak tegas, menjalankan motor keadilan, meskipun itu harus menggerus orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya.

    Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/12/10085782/harus.berani.bersikap.tegas