Blog

  • Lima tahun Ketidakpastian

    Lima tahun Ketidakpastian

    Sidoarjo – Tepat lima tahun lumpur lapindo memporak-porandakan peradaban di Porong, Tanggulangin, dan Jabon. Hari ini(29/5) warga korban lapindo yang berasal dari berbagai desa di dalam peta area terdampak(Jatirejo, Siring, Renokenongo, dan Kedung Bendo) maupaun warga diluar peta terdampak (Ketapang, Mindi, Pamotan dan Besuki Timur) bersama-sama melakukan peringatan hancurnya hidup mereka.

    Tidak hanya itu, warga dari delapan desa yang menolak pengeboran sumur gas baru milik Lapindo Brantas juga ikut bergabung. Kedelapan desa tersebut berasal dari Plumbon, Glagaharum, Sentul, Kalidawir, Ngaban, Penatarsewu, Gempolsari, Permisan, dan Bangunsari.

    Menurut Salam(38) salah satu kordinator aksi, acara ini dilaksanakan untuk membuka mata pemerintah yang selama ini gagal menyelesaikan kasus lumpur lapindo. “Selama ini kita sudah dibiarkan oleh pemerintah, mereka seolah menutup mata. Ketika kami diinjak dan disengsarakan oleh Lapindo, pemerintah tidak bisa bertindak tegas dan menyelesaikan masalah kami hingga berlarut-larut seperti ini,” katanya.

    Peringatan lima tahun lumpur lapindo oleh korban lumpur lapindo dipusatkan di atas tanggul desa Siring. Warga mulai menuju tanggul di Siring Barat dengan membawa spanduk, poster, dan wayang kardus sejak pukul 09.30wib. Sesampai di tanggul Siring, sebagian peserta melakukan teatrikal, lalu menceburkan diri di kolam penampungan lumpur.

    Berbagai ekspresi disampaikan oleh wakil-wakil warga secara bergantian. Warga yang dibayar Lapindo melalui PT Minarak Lapindo Jaya menyatakan pembohongan yang dilakukan perusahaan jika urusan pembayaran telah selesai. Cicilan pembayaran macet selama beberapa bulan. Jumlah yang diterima juga berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Wakil warga yang diluar peta terdampak berharap pemerintah segera melakukan penanganan melalui kebijakan yang jelas. Berharap ada pemulihan kualitas sungai dan tidak melakukan pembuangan lumpur ke Sungai Alo.

    Anak-anak dan pemuda dari Besuki dan Mindi menggugah kebersamaan atas derita korban lapindo melalui nyanyian dan puisi yang ditampilkan. Syair lagu dan puisi menggambarkan seluruh yang dialami hingga lima tahun penderitaan korban lapindo. Meski terik, seluruh warga antusias hingga siang.

    Partinah(28), salah satu korban yang berasal dari desa Renokenongo mengatakan, tahun kelima lumpur Lapindo ini, dirinya masih belum bisa mendapatkan pembayaran ganti ruginya hanya dicicil 5 kali. Hingga hari ini dirinya belum menerima cicilan yang seharusnya di bayar pada Febuari 2011.  Kini sudah 4 bulan ia tidak di bayar Lapindo.

    “Masak sudah lima tahun aset saya 80 persen baru dibayar 5 kali cicilan. Padahal bukti kepemilikan saya sertifikat,” ungkapnya. Ia berharap pemerintah bisa melihat penderitaan ribuan korban lapindo seperti dirinya.(Kam)

     

    (c) Suara Porong – FM

  • Korban Lapindo: Pemerintah Telah Gagal!

    Korban Lapindo: Pemerintah Telah Gagal!

    Warga melakukan long march dari depan ruko Porong ke arah tanggul lumpur Lapindo. Dalam arak-arakan itu, warga membawa wayang kardus dan beberapa poster yang menujukkan penderitaan warga selama lima tahun. Sesampai di atas tanggul, warga melakukan aksi teatrikal dengan menceburkan diri di kolam lumpur. Mereka menggambarkan warga korban Lapindo selama lima tahun ini sudah menderita dan tidak ada sikap yang jelas dari pemerintah.

    Menurut korban Lapindo, pemerintah telah gagal mengurusi kasus lapindo. “Sampai detik ini, genap lima tahun kasus Lapindo, semua persoalan lumpur Lapindo belum juga selesai,” ujar Samanhudi, salah satu kordinator aksi. Pemerintah tidak saja telah gagal menekan Lapindo untuk menuntaskan urusan ganti rugi, melainkan juga gagal menangani dampak sosial lain, dan belum juga berhasil memulihkan kehidupan sosial-ekonomi di sekitar kawasan terdampak. Infrastruktur publik belum juga tuntas dipulihkan.

    Warga juga mempersoakan kegagalan pemerintah memenuhi hak kesehatan dan pendidikan korban Lapindo. Abdul Rokhim, warga Besuki Timur, mengatakan anak-anak selama ini pendidikannya tidak pernah diperhatikan. Kesehatan warga di luar dan di dalam peta juga tidak mendapatkan pelayanan serius dari pemerintah. “Pendidikan dan kesehatan tidak ada perhatian. Hingga lima tahun ini, pemerintah dan Lapindo tidak serius,” katanya.

    Aksi yang berlangsung di depan Pos Pantau Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLS), tepatnya di pintu masuk utama lumpur Lapindo sisi Desa Siring, itu diakhiri dengan pementasan anak-anak korban Lapindo dan orasi korban Lapindo dari berbagai desa.

    Dari berbagai orasi itu, muncul pula suara penolakan keras terhadap upaya Lapindo melakukan pengeboran baru. Mereka terdiri dari warga Desa Plumbon, Glagaharum (Kecamatan Porong), Desa Sentul, Kalidawir, Ngaban, Penatarsewu, Gempolsari (Kecamatan Tanggulangin), Desa Permisan, dan Bangunsari (Kecamatan Jabon). Bagi mereka, pengeboran baru Lapindo hanya akan melahirkan penderitaan baru. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Lima Tahun Lumpur Lapindo, Penanganan Sebatas Tanggul?

    Lima Tahun Lumpur Lapindo, Penanganan Sebatas Tanggul?

    Pada kenyataannya proses itu masih berlangsung dan menimbulkan ancaman baru di luar tanggul seperti efek domino yang berdampak serius pada lingkungan di sekitarnya termasuk berdampak pada masyarakat yang bermukim di sekitar tanggul.

    Ancaman-ancaman yang muncul yaitu ancaman amblesan yang diikuti retakan tanah dan rumah, ancaman semburan gas yang mudah terbakar dan mencemari udara, ancaman tanggul jebol dan ancaman pencemaran.

    Pada awal tahun area yang terdampak hanya beberapa meter di luar tanggul dan saat ini sudah mempengaruhi sampai sejauh 2 km dari batas tanggul. Hal ini terjadi sebagai bagian dari dinamika gunung Lumpur (mud volcano), selama semburan masih terjadi maka akan diikuti amblesan, retakan dan semburan gas.

    Selama lima tahun masyarakat sekitar tanggul dihantui kecemasan, ketakutan, rasa aman dan ketidakpastian apa yang akan menimpa mereka serta terganggu aktivitas sosial ekonomi. Selama ini pula mereka terpapar gas yang secara otomatis akan menggangu kesehatan mereka.

    Sampai saat ini masyarakat masih banyak yang tidak sadar dan tidak siap dengan keadaan yang menimpa mereka dan yang akan menimpa mereka. Selama ini pula masyarakat masih dijadikan obyek dalam menentukan kebijakan yang menyangkut kehidupan dan penghidupan mereka.

    Pada awal tahun, lumpur telah menenggelamkan puluhan desa, mengusir paksa 14.000 Kepala Keluarga (KK), menyebabkan kehilangan kehidupan, dan penghidupan normalnya, ribuan buruh menganggur dikarenakan puluhan pabrik terbenam, ribuan murid sekolah terlantar dan tercerai berai, dan 15 orang meninggal terkait dengan semburan ini serta beberapa orang terbakar akibat semburan gas yang terbakar.

    Pada tahun 2006 Gubernur Jawa Timur sebagai salah satu dewan pengarah penanggulangan semburan lumpur berinisiatif membentuk tim yang terdiri dari para peneliti yang berkompeten dari ITS dan UNAIR dan tugasnya melakukan kajian kelayakan permukiman sembilan desa di sekitar tanggul lumpur dalam rangka menyelamatkan penduduk dari ancaman bencana.

    Untuk menentukan kelayakan permukiman didesa tersebut kajian yang dilakukan meliputi: jumlah dan kualitas emisi dari semburan yang masih aktif; pencemaran udara, air dan tanah; penurunan tanah yang terjadi dan dampaknya terhadap bangunan fisik; kondisi kehidupan sosial masyarakat.

    Oleh karena semburan Lumpur panas masih berlangsung dan makin meluasnya kerusakan yang ditimbulkan maka pada tahun 2010 dilakukan kajian lanjutan dengan menambah jumlah desa yang akan dikaji yaiut menjadi 13 desa di sekitar tanggul Lumpur. Elemen yang dikaji mencakup bidang semburan, penurunan tanah, pencemaran lingkungan, kerusakan aset, kesehatan masyarakat, psikososial dan mitigasi bencana.

    Hasilnya pada tahun 2008 ada 9 RT yang tidak layak huni dan pada tahun 2010 ada 45 RT yang tidak layak huni atau jumlah totalnya 54 RT dan direkomendasikan (1) seluruh warga yang berada pada daerah yang tidak layak huni harus dipindahkan ke tempat yang lebih aman, (2) segera menyusun dan menerapkan rencana mitigasi bagi wilayah disekitar luapan lumpur Sidoarjo untuk mengurangi ancaman dan dampak yang ditimbulkan pada daerah lainnya yang terancam tetapi masih bisa dihuni, (3) segera dilakukan kajian secara komprehensif dengan lebih mendalam dan kontinyu mengenai dampak semburan lumpur, berupa, bubble dan retakan, penurunan tanah, kerusakan asset, pencemaran lingkungan, sosial, ekonomi, psikososial dan kesehatan masyarakat, serta pengurangan risiko semburan lumpur.

    Hal ini terlihat dari area sebaran daerah yang tidak layak huni semakin meluas yang ditunjukkan dari 9 RT pada kajian tahun 2008 di 3 Desa menjadi 54 RT (9 + 45 RT) di 6 Desa pada kajian tahun 2010. Disamping itu disarankan dilakuan monitoring dan evaluasi kelayakan permukiman pada daerah-daerah yang rawan terhadap ancaman semburan lumpur di sekitarnya dan perlu ada keterlibatan seluruh stakeholder dan instansi atau lembaga terkait untuk mengoptimalkan penanggulangan dampak semburan lumpur serta diperlukan pnyiapkan kajian untuk persiapan relokasi untuk memindahkan penduduk dari wilayah yang tidak layak huni.

    Hasil ini yang telah diupayakan oleh Gubernur dan timnya dalam rangka melakukan kewajiban dan tanggungjawabnya membela serta memberi rasa aman pada masyarakat sudah disampaikan dan sudah dipresentasikan ke dewan pengarah yang dipimpin oleh Menteri Pekerjaan Umum pada Agustus 2010. Saat ini masyarakat yang bermukim di sekitar tanggul menununggu kebijakan yang akan diambil Pemerintah Pusat terkait dari hasi kajian tersebut.

    Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari tanggung jawab moral perguruan tinggi untuk ikut mendorong segera direalisasikannya hasil kajian.

    Penanganan semburan lumpur yang berlarut-larut baik penanganan fisik maupun sosial ekonomi ternyata menimbulkan dampak lain yang lebih luas yaitu trauma dan ketakutan dengan aktivitas eksplorasi migas di seluruh daratan Jawa Timur.

    Hasil survei di beberapa kabupaten di Jawa Timur hampir sebagian besar menolak aktivitas eksplorasi migas karena trauma dan takut terjadi semburan lumpur. Kalau hal ini dibiarkan maka akan terjadi penolakan secara massal segala eksplorasi migas di daratan Jawa Timur.

    Dibutuhkan peranan pemerintah untuk melakukan edukasi dan pemahaman pencarian migas di darat dan dibutuhkan kebijakan baru terkait dengan eksplorasi migas di darat yaitu kebijakan melakukan dan membuat analisis risiko kalau terjadi semburan lumpur mengingat di Jawa Timur termasuk kawasan yang mempunyai lapisan lumpur bertekanan tinggi.(awd/ipg)

    (c) suarasurabaya.net

  • Lima Tahun Lumpur Lapindo, Ibu dan Anak Meninggal

    Lima Tahun Lumpur Lapindo, Ibu dan Anak Meninggal

    Uslikh Hariadi (42 tahun), warga Siring Barat RT. 01/01 Kecamatan Porong, harus merelakan istri dan anaknya meninggal akibat kesehatan mereka yang terus memburuk. Lapindo maupun pemerintah tak memberikan bantuan apapun bagi perawatan istri dan anak Hariadi hingga mereka menghembuskan nafas terakhir.

    Awalnya, pada tahun 2010 silam, istri Hariadi, Wahyuda (36 tahun), mengidap kanker servik stadium 2B. Mulanya Hariadi tidak tahu penyakit yang diderita istrinya. Wahyuda sebelumnya mengaku mengalami keputihan pada 2008. Tapi saat diperiksakan di Rumah Sakit Dr. Subandi, Sidoarjo, Hariadi baru mengetahui kalau istrinya mengidap kanker servik. “Awalnya istriku mengalami keputihan. Saat saya periksakan, istri saya mengidap kanker servik,” kisah Hari, mengenang istri tercintanya.

    Penyakit Wahyuda semakin hari semakin memburuk dan kemudian harus diperiksakan di Rumah Sakit Dr. Sutomo, Surabaya. Wahyuda harus menjalani kemoterapi sebanyak lima kali. “Sekali terapi, kami harus mengeluarkan biaya Rp 16 juta. Saya hanya buruh pabrik. Untuk biaya perawatan istri, saya harus jual perabotan rumah saya, dan pinjam ke sanak saudara,” ujar Hari.

    Menurut Hari, Wahyuda juga harus menjalani perawatan kankernya dengan cara disinar sebanyak 30 kali. Perawatan ini menghabiskan biaya sebesar Rp 30 juta. Jelas bukan biaya kecil bagi Heri yang hanya karyawan pabrik es dikawasan Siring, Porong.

    Setelah menjalani perawatan secara serius, kondisi istrinya tidak juga membaik. Semakin parah, bahkan. Tubuh Wahyuda tidak hanya dijangkiti kanker servik, melainkan juga mengidap masalah jantung, paru-paru, ginjal dan kencing manis. Akhirnya, Wahyuda meninggal pada 24 April 2011.

    Penderitaan Hari tidak berhenti di sini. Belum genap 40 hari kematian istrinya, anak bungsunya, Julian Agung Pratama (4,6 tahun), juga meninggal karena mengidap infeksi radang otak. Sebelum diketahui mengidap infeksi radang otak, menurut Hari, anaknya sering mengeluh dan tak tahan dengan bau gas yang keluar dari lumpur Lapindo. “Anak saya tidak tahan dengan bau lumpur. Jika angin mengarah ke barat, kepalanya sering demam dan badannya dingin,” cerita Hari. Desa Siring Barat tempat Hari tinggal hanya berjarak 500 meter dari pusat semburan Lapindo ke arah barat.

    Tidak tega melihat kondisi anaknya, Hari memeriksakan anaknya ke RS Dr. Sutomo Surabaya. Dan diketahuilah apa penyakit anak Hari sesungguhnya. “Saat saya periksakan di RS Dr. Sutomo, baru ketahuan anak saya mengidap infeksi radang otak,” tutur Hari. Julian harus menjalani pemeriksaan secara serius.

    Hari sudah tidak punya biaya lagi. Sejumlah orang menyarankan Hari untuk mengurus Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk meringankan biaya pengobatan dan perawatan Julian. Namun, belum sempat menindaklanjuti saran itu, kondisi kesehatan Julian semakin memburuk setelah 12 hari opname, dan akhirnya meninggal pada tanggal 22 Mei 2011. “Anak saya opname di RS. Dr. Sutomo selama 12 hari, dan tidak bisa diselamatkan,” ujar Hari. “Belum genap 40 hari ibunya meninggal, anak saya menyusul. Sekarang, sudah 6 hari anak saya meninggal.” Hari berkisah sembari menahan kesedihan yang begitu mendalam.

    Hari sadar, kesedihan tidak akan mengembalikan kehidupan anak dan istrinya. Yang sangat ia sayangkan, tidak ada perhatian dari Lapindo maupun Badan Penaggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Seharusnya anak dan istrinya mendapatkan layanan kesehatan dari pemerintah dan Lapindo. Namun, Hari tidak mau larut dari kesedihan. Dirinya masih mempunnyai tanggung jawab untuk merawat kedua anaknya, Setiawan Hariadi (17 tahun) dan Andre Julianto (12 tahun). (vik)

    (c) Kanal Newsroom

     

  • Tuntut Tuntaskan Penanganan Dampak Lumpur, Warga Delapan Desa Tolak Pengeboran Baru Lapindo

    Tuntut Tuntaskan Penanganan Dampak Lumpur, Warga Delapan Desa Tolak Pengeboran Baru Lapindo

    Warga yang mengatasnamakan Korban Lapindo Menggugat ini menuntut Bupati Saiful Ilah untuk tidak memberikan izin kepada Lapindo. Warga khawatir jika pengeboran tetap dilakukan, semburan lumpur panas yang pernah terjadi di sumur Banjarpanji 1 bisa terulang lagi.

    Padahal, dampak semburan lumpur panas di Banjarpanji 1 tersebut belum tuntas ditangani. Tanggul yang berkali-kali jebol menyebabkan rusaknya tambak dan sawah warga. Jebolnya tanggul pada 23 Desember 2010 lalu, misalnya, mengakibatkan rusaknya tambak dan sawah Desa Pologunting dan Gempolsari. Rahmat, salah satu koordinator aksi, menyatakan bahwa warga menuntut kejelasan soal ganti rugi dampak luberan akibat jebolnya tanggul tersebut tidak jelas. “Sejak jebolnya tanggul pada Desember lalu, ganti rugi evakuasi dan gagal panen sampai sekarang belum jelas,” kata Rahmat.

    “Kami juga meminta kepada pemerintah untuk mencarikan solusi permanen untuk lahan sawah yang tidak bisa ditanami. Sampai saat ini kami mengalami gagal panen sebanyak 5 kali,” lanjutnya.

    Dampak lumpur Lapindo juga telah menyebabkan lenyapnya penghasilan warga di kawasan tambak. Aliran lumpur Lapindo telah mengakibatkan pendangkalan Kali Alo, sehingga ketika pasang, air laut tidak bisa masuk ke tambak. Ini merugikan petani tambak Desa Permisan, Bangunsari, Tuyono, Sentul dan Penatarsewu. “Kami menuntut pemerintah melarang pembuangan lumpur ke sungai selain Kali Porong. Jika lumpur dibuang juga ke Kali Alo yang menjadi aliran air ke tambak, ikan kami tidak bisa produktif. Dulu bandeng 1 kilo berisi 4-5 ekor, kini merosot hingga 6-7 ekor,” ungkap Budiono, warga Desa Bangunsari. Warga menuntut pemerintah melakukan pengerukan Kali Alo yang sudah teraliri lumpur saat ini.

    Lumpur Lapindo juga telah menyebabkan air tercemar sehingga tidak bisa dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Warga terpaksa membeli air seharga Rp 1.500 per jirigen berisi 30 liter. Warga Desa Bangunsari, Pologunting, Gempolsari dan Tuyono harus memberi 2-3 jirigen per hari untuk kebutuhan air bersih. Karena itu, warga juga menuntut agar pemerintah menyediakan air bersih yang cukup bagi warga.

    Dalam aksi warga tersebut, tokoh agama Sholahudin Wahid (Gus Sholah) turut hadir memberi dukungan. Gus Sholah meminta pemerintah mendengar tuntutan warga dan menuruti apa yang diinginkan warga. “Pemerintah daerah harus memenuhi apa yang warga inginkan,” ungkap Gus Sholah.

    Sayangnya, saat aksi berlangsung, Bupati Sidoarjo justru sedang berada di Jakarta, sedangkan Wakil Bupati Hadi Sutjipto tidak berada di tempat. Akhirnya warga bersama Gus Sholah hanya ditemui Seketaris Daerah (Sekda).  Saat merespon tuntutan yang diajukan warga, Sekda tidak berani mengambil keputusan. Sekda hanya mengatakan bahwa tuntutan warga akan segera disampaikan kepada bupati. “Kami tidak mempunyai wewenang untuk memberikan keputusan. Semua keputusan ada pada bupati. Apa yang menjadi tuntutan warga akan kami sampaikan ke Bupati,” ujarnya.

    Setelah pertemuan dengan hasil yang tidak memuaskan itu, warga membubarkan diri. Warga bertekad akan melakukan aksi lagi sampai semua tuntutan dipenuhi Bupati Sidoarjo. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Lima Tahun Lumpur Lapindo, Nasib Sekolah Tak Menentu

    Memang belum ada instruksi dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) atau dari Dinas Pendidikan terkait nasib sekolah ini pada tahun ajaran depan. Tetapi sudah terlihat jelas gundukan-gundukan tanggul yang rencananya akan menenggelamkan kawasan Desa Pejarakan. Menurut rencana BPLS, Desa Pejarakan menjadi kolam penampungan lumpur pada 2011. Ini termasuk wilayah SDN Pejarakan.  “Memang belum ada instruksi apakah sekolah ini mau dibubarkan, tapi melihat kondisi yang seperti ini jelas di 2011 ini kawasan ini akan dijadikan penampungan lumpur,” kata Mudzakir Fakih, Kepala Sekolah SDN Pejarakan.

    Mudzakir pun kebingungan bagaimana harus memutuskan nasib guru, karyawan, dan murid-muridnya. Ia mencoba membuat antisipasi. Ketujuh guru PNS akan ia tempatkan ke sekolah yang masih membutuhkan guru. Lalu, empat guru honorer akan ia masukkan juga ke sekolah lain. Mudzakir juga akan menempatkan tukang kebun ke sekolah lain. Sementara, murid-muridnya akan dia berikan surat pindah.

    Di SDN Pejarakan, kini tinggal 92 siswa, dan ke-17 siswa di antaranya duduk di kelas enam yang akan segera lulus tahun ini. Praktis peserta belajar yang tersisa nantinya berjumlah 75 siswa. Mudzakir berharap pemerintah dan BPLS lebih memberikan kejelasan nasib sekolah ini. “Seharusnya pemerintah memberikan kejelasan soal nasib sekolah ini. Kalau sekolah ini mau di-merger, ya, segeralah di-merger,” ujar Mudzakir.

    Nasib terombang-ambing tidak jelas juga dialami Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita Persatuan, yang berlokasi tak jauh dari SDN Pejarakan. Rencananya, TK Dharma Wanita akan bubar pada 18 Juni 2011. Siswa yang tersisa akan mengikuti orangtua mereka pindah ke desa lain. Sementara, para guru akan bergabung di TK Desa Besuki, Kecamatan Jabon. “Terpaksa pindah,” kata Siti Fatimah, pengasuh TK Dharma Wanita.

    Para siswa itu akan terpencar ke tempat orangtuanya berpindah. Tak sedikit yang harus pindah kecamatan, bahkan kabupaten. Diki Maulana (6 tahun), putra dari Winarsih, misalnya, akan pindah ke kampung asalnya di Ngawi. Winarsih tidak memperoleh ganti rugi, karena posisinya sebagai pengontrak, bukan pemilik tanah. Setelah 14 tahun tinggal di Pejarakan, Winarsih harus meninggalkan rumah kontrakannya paling lambat Senin depan (30/11/2011).

    “Kami memang bukan warga asli Pejarakan. Tapi kami sudah mengontrak selama 14 tahun. Anak-anak saya sudah betah tinggal di sini. Karena tempat ini mau dijadikan tempat penampungan lumpur, terpaksa kami pulang kampung, dan mengajak anak-anak saya sekolah di sana,” tutur Winarsih.

    Meskipun dirinya hanya pengontrak dan sudah tinggal di Desa Pejarakan selama 14 tahun, Winarsih sangat berat meninggalkan Desa Pejarakan. “Harus gimana lagi? Kami hanya pengontrak di sini. Kalau disuruh pindah, ya, kami akan pindah,” katanya. Yang menyedihkan, meskipun dirinya sudah lama tinggal di Desa Pejarakan dirinya tidak mendapatkan kompensasi sama sekali.

    “Kami tidak mendapatkan kompensasi sama sekali. Padahal KTP saya sudah menjadi warga Pejarakan. Tapi, ya, sudahlah, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Minggu besok kami akan pulang kampung ke Ngawi,” ujar perempuan 38 tahun ini sambil meneteskan air matanya.

    Tidak hanya di Desa Pejarakan, sekolah-sekolah di desa sekitar lumpur Lapindo juga menghadapi keterpurukan. SDN 1 Jatirejo, Kecamatan Porong, misalnya. Di sekolah ini, tersisa hanya 18 siswa. Pihak sekolah hanya bisa memutuskan satu hal: terus melanjutkan proses belajar mengajar hingga siswanya habis. “Setelah itu kita tidak tahu mau berbuat apa,” ungkap salah satu guru yang tidak mau disebut namanya.

    Lumpur Lapindo telah menghancurkan 28 sekolah Taman Kanak-kanak (TK), 33 sekolah SD/SLTP/SLTA, dan dua pondok pesantren. Hingga lima tahun, penanganan masalah ini tidak memperoleh perhatian serius, baik dari Pemerintah maupun dari Lapindo. Sebagian sekolah tutup dan sebagian masih aktif dengan nebeng ke gedung sekolah lain. Terkesan, pembiaran dilakukan dengan sengaja dan sistematis. (vik)

    (c) Kanal News Room

     

  • DPRD Sidoarjo Tak Izinkan Pengeboran Baru Lapindo

    DPRD Sidoarjo Tak Izinkan Pengeboran Baru Lapindo

    DPRD Sidoarjo memberi rekomendasi pada Bupati Sidoarjo untuk tidak memberikan izin pengeboran baru pada Lapindo Brantas. ISWAHYUDI anggota DPRD Sidoarjo pada Suara Surabaya, Sabtu (21/05), mengatakan rekomendasi itu akan diputuskan hari ini dalam Rapat Paripurna DPRD Sidoarjo yang membahas Laporan Keterangan Pertanggungjawaban LKPJ 2010 Bupati Sidoarjo.

    ISWAHYUDI sebagai Ketua Pansus LKPJ Bupati Sidoarjo juga mengatakan izin pengeboran baru tidak akan diberikan sebelum Lapindo menyelesaikan ganti rugi pada warga korban lumpur, pengusaha dan aset Pemkab Sidoarjo. Aset Pemkab Sidoarjo yang hilang, diantaranya tanah dan bangunan sekolah.

    Sebelumnya, Gubernur Jawa Timur menolak pengeboran untuk pendalaman sumur migas milik PT Lapindo Brantas di Desa Kalidawer Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo. Ini karena Lapindo belum menyelesaikan pembayaran ganti rugi ke korban lumpur.

    Lapindo punya tunggakan pembayaran ganti rugi ke para korban lumpur sebesar Rp 425 milyar. Lapindo berjanji akan melunasi akhir bulan ini dan sisa pembayaran Rp 1,3 trilyun akan diselesaikan tahun depan. Tapi kalau tunggakan Rp 425 milyar belum dilunasi, Gubernur tidak memberi izin pengeboran di sumur di Desa Kalidawir.

    SOEKARWO sudah minta ke Bupati Sidoarjo melarang pengeboran. Pemprov Jatim dan Pemkab Sidoarjo bersikap tegas meski Lapindo mendapat izin pengeboran dari pemerintah pusat.

    Kata SOEKARWO, pengeboran harus mendapat persetujuan dari masyarakat di sekitarnya. Kalau masyarakat tidak mengizinkan, Lapindo harus mematuhinya. Menurut rencana ada lima sampai enam dari tujuh titik sumur di Desa KalidawIr akan dibor lagi Lapindo. (gk/tin)

     

    (c) suarasurabaya.net

  • Pansus Lumpur Lapindo “Kejar” Penyelesaian Ganti Rugi

    Pansus Lumpur Lapindo “Kejar” Penyelesaian Ganti Rugi

    SIDOARJO – Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo masa kerja enam bulan akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPRD Sidoarjo. Pansus akan fokus dalam menyelesaikan permasalahan ganti rugi korban lumpur baik di dalam peta terdampak lumpur maupun korban lumpur yang kawasannya belum masuk peta terdampak lumpur.

    Meski demikian, pansus juga akan menjembatani permasalahan sosial lainnya akibat dampak lumpur Lapindo. “Permasalahan lumpur masih banyak yang belum selesai. Ini menjadi tanggung jawab bersama yang harus diselesaikan,” ujar Ketua Pansus Lumpur H.M. Zainul Lutfi.

    Menurutnya, Lapindo Brantas Inc harus segera menyelesaikan masalah sosial atau ganti rugi yang sampai saat ini belum dibayar. Sehingga, lanjut politisi asal PAN tersebut, tidak etis jika ada pengeboran lagi Lapindo padahal permasalahan lumpur belum tuntas.

    “Kami minta Lapindo segera menyelesaikan masalah ganti rugi korban lumpur secara tuntas, baru membahas kelanjutan untuk pengeboran,” ujarnya.

    Disinggung soal program Pansus kedepan, pria yang juga Ketua BM-PAN Jatim tersebut mengaku akan selalu melakukan pendampingan terhadap permasalahan yang menyelimuti korban lumpur baik dari segi sosial maupun lainnya. Pansus juga akan menekan Lapindo untuk segera menyelesaikan masalah korban lumpur di area peta terdampak.

    “Tidak tuntasnya pelunasan ganti rugi korban lumpur sesuai Perpres 14 tahun 2007 juga berdampak pada pembayaran ganti rugi tiga desa di luar peta (Besuki, Pejarakan dan Kedung Cangkring kecamatan Jabon) yang ditanggung pemerintah melalui APBN sesuai Perpres 48 tahun 2008,” ujar Zainul Lutfi.

    Lutfi menambahkan pihaknya juga akan mengusulkan agar pemerintah menalangi dulu untuk ganti rugi dalam peta, selanjutnya pemerintah berurusan dengan Lapindo. Sebab, selama ini korban lumpur sudah terlalu lama menunggu penyelesaian ganti rugi.

    Bupati Sidoarjo Saiful Ilah mengaku menyambut baik terbentuknya Pansus Lumpur. Menurutnya, keberadaan pansus diharapkan bisa membantu korban lumpur. “Selama ini keberadaan pansus lumpur sudah membantu korban lumpur. Diharapkan kedepannya juga bisa memperjuangkan tuntutan korban lumpur,” ujarnya. (Abdul Rouf)

    (c) hotmudflow.wordpress.com

     

  • Uang yang Mengubah Segalanya

    Uang yang Mengubah Segalanya

    Sidoarjo – Lumpur Lapindo yang menyembur sejak 29 Mei 2009 lalu membawa perubahan  yang sangat besar bagi kehidupan warga baik  disekitar semburan maupun yang letaknya cukup jauh dari lokasi semburan. Lumpur yang tak juga berhenti membuat desa yang berada di sekitar semburan tenggelam. Bukan hanya itu, pabrik-pabrik , areal pertanian, sekolah dan Usaha Kecil Menengah (UKM) juga tenggelam. Tak ayal membuat beribu orang menjadi pengangguran karena tempat mereka mencari nafkah sudah tenggelam. Kegiatan belajar – mengajarpun terganggu.

    Depresi terjadi dimana-mana, Pemilik pabrik yang harus merelakan pabrik mereka tenggelam di depan mata, Pekerja pabrik yang harus kehilangan pekerjaannya yang otomatis berdampak pada masalah ekonomi mereka. Mereka yang memiliki usaha kecil di sekitar semburan sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi karena lapaknya telah tenggelam.

    Semua itu memang menjadi masalah yang yang harus segera ditangani, Agar tidak menambah angka pengangguran di Indonesia, Agar anak negri dapat belajar dengan tenang,  Agar tidak ada lagi korban dari proses penambangan.

    Satu lagi yang harus lebih diperhatikan yaitu hubungan dengan sesama yang merenggang bahkan tidak dianggap sebagai saudara. Uang menjadi sebab utamanya, Uang ganti rugi yang tak kunjung dibayar membuat mereka berfikir 10 kali bagaimana melanjutkan hidupnya. Dan ketika uang ganti rugi telah dibayar, perselisihan masalah pembagian uang ganti rugipun terjadi.

    Khamida atau yang akrab dipanggil Ida menjadi salah satu korban diantara beratus ribu korban yang membagikan pengalaman hidupnya setelah adanya Lumpur Lapindo. Ia mengaku banyak sekali perubahan dalam keluarganya mulai dari pertengkaran antara ibu dan bapaknya yang baru kali ini ia lihat. Pasalnya, sebelum ada lumpur tak sekalipun keluarganya bertengkar.

    Semula ia mengaku tidak mengetahui kalau di desanya terdapat aktivitas pengeboran yang dilakukan oleh pihak PT. Lapindo Brantas.  Di pagi hari itu ia mencium bau busuk yang sangat menyengat. Ia dan para tetangganya menduga kalau bau tersebut berasal dari septic tank yang bocor. Banyak warga yang merasa mual bahkan pingsan ketika mencium bau tersebut.

    Tak lama setelah itu ibunya yang bekerja sebagai buruh pabrik pulang dan mengatakan kalau ada pengeboran yang bocor. Setelah ditanya pengeboran apa, ibunya berkata bahwa ia tahu. Ia segera melihat ke lokasi kejadian. Disana terlihat cairan hitam yang sangat pekat telah meluber ke jalan.Beberapa hari setelah itu pabrik tempat ibunya bekerja tenggelam. Otomatis sang ibu menjadi pengangguran. Pekerja pabrik di sekitar semburan mengalami nasib yang sama.

    Hal yang tak pernah ia duga ialah rumah yang ia tempati akhirnya tenggelam. Terpaksa ia harus mengungsi di Pasar Baru Porong (PASPOR) yang kini telah berfungsi. Hanya dia dan tetangganya yang menempati ruko tersebut. Bapak dan ibunya masih berada di Desa Renokenongo.

    “Bapak pernah bilang kalau ia tidak tega melihat rumah yang ia bangun berbulan-bulan dengan susah payah harus tenggelam dalam hitungan menit.” Ucapnya seraya mengingat masa itu.

    Kehidupan di PASPOR yang begitu bebas membawa perubahan pada dirinya. Ia yang semula tak pernah berbincang dengan lawan jenis karena bapaknya melarang,  kini dengan lancar kalimat keluar dari bibirnya. Apalagi ia sebatangkara di tempat itu. Ia merasa sangat bebas. Tak ada yang melarang Begitu juga dengan masalah berbusana. Ia kini berani memakai celana pendek dengan kaos oblong. Jika kedua orangtuanya mengetahui hal tersebut, pasti ia akan mendapatkan siraman rohani.

    “Bapak memang setiap hari mengunjungiku tapi ketika pagi hari sebelum ia berangkat kerja. Ia selalu berpesan padaku agar aku dapat menjaga diriku dengan baik karena ia tak ingin kesalahan itu terjadi padaku. Ia  juga selalu memanggilku ketika melihat aku sedang berbincang dengan lawan jenis. Tapi itu dulu.” Ia tertawa kecut ketika mengatakan hal itu.

    “sekarang bapak sudah tak seperti dulu. Ia tak lagi menghiraukanku.” Lanjutnya seraya mengajakku masuk ke dalam kamarnya karena ia takut jika pembicaraannya didengar oleh ibu dan bapaknya. Karena pada waktu itu kondisi keluarganya masih memanas.
    Ia menceritakan cikal bakal konflik di keluarganya yang tak lain adalah uang. Uang ganti rugi rumah yang diberikan oleh pihak lapindo memang semuanya berada di tangan ibunya.

    “Bapak kaget ketika mengetahui jumlah uang yang tersisa. Ia mengatakan padaku kalau uang itu habis  karena dipakai selingkuh sama ibu.” Mata sipitnya terlihat akan mengeluarkan sesuatu. Sejak saat itulah hampir setiap hari pertengkaran terdengar dari rumah yang baru selesai dibangun itu.  Terkadang ia malu dengan para tetangga. Ia malu karena ia sebagai pendatang sering membuat keributan dan membuat tetangga sekitar merasa tak nyaman.

    Tuduhan sang bapak bukan tanpa alasan. Banyak warga di desanya yang memillih kawin lagi setelah mendapatkan uang ganti rugi 80%. Mungkin ia takut jika sang istri pergi meninggalkannya. “Selama ini aku tak pernah memenggal dan membantah apa yang bapak ucapkan. Aku merasa kalau aku adalah anak kesayangan bapak karena perhatian yang ia berikan padaku yang tak pernah diberikan pada kakakku. Aku selalu menuruti perintahnya. tapi untuk kali ini aku harus bersikap tegas. Aku telah dewasa. Aku tak akan membiarkan bapak memperlakukan ibu seperti binatang dihadapanku. Sebenarnya aku tak mau terlibat dalam masalah ini. Tapi bapak sendiri yang memaksaku.”

    Ida telah berulangkali mengatakan kepada bapaknya kalau tuduhan yang dialamatkan pada ibunya tidak benar. Ida juga meminta penjelasan pada ibunya tentang pengeluaran uang. Ia sangat percaya kalau ibunya tak melakukan hal seperti yang dituduhkan oleh bapaknya. Menurut penjelasan sang ibu uang tersebut dipergunakan untuk membeli tanah, menyewa tempat kos dan membangun rumah. Selain itu uang itu juga untuk kebutuhan sehari-hari.

    Ida tak pernah berhasil mematahkan kecurigaan bapaknya. Ia kini dianggap sebagai anak tidak tau diri. Sungguh suatu anggapan yang sangat menyakitkan bagi seorang anak. Hal yang membuatnya benci pada bapaknya adalah sikap kasar yang dilakukan bapak terhadap ibunya yang tak pernah ia lihat dan rasakan dulu sebelum ada lumpur.

    Pertengkaran hebatpun terjadi. Pertumpahan darah mewarnai pertengkaran itu. Ia tak mau jika pertengkaran itu dipublikasikan karena ia sangat malu. Yang jelas ia berharap pertengkaran itu adalah pertengkaran untuk yang pertama dan terakhir. Ia tak ingin melihat kedua orang tuanya terus berseteru. Setelah pertengkaran itu ia tidak lagi tinggal di rumah barunya tetapi tinggal di rumah kakaknya yang berjarak sekitar 5 km dari rumahnya.

    Kondisi memang sedikit membaik ketika sang bapak sakit. Sebetulnya Ida melarang ibunya untuk kembali kerumah. Tapi ibunya tetap pergi menjenguk bapaknya. Ida dan ibunya memang telah kembali ke rumahnya. Tapi rasa sayang ida pada sang bapak telah pudar. “Aku tak bisa memaaafkan perbuatan bapak. Meskipun sekarang ibu dan bapak telah akur tetapi tidak dengan aku. Aku selalu mengingat kejadian itu. Kejadian bapak dengan tuduhan-tuduhan yang tak bisa dibuktikan, kejadian bapak memperlakukan ibuk layaknya binatang hanya gara-gara uang. Aku sering berkata pada tuhan lebih baik aku hidup pas-pasan seperti dulu sebelum ada lumpur daripada seperti sekarang. Memang uang kami lebih tapi kami tak merasa bahagia sedikitpun. Malah masalah demi masalah yang tak kunjung usai yang aku rasakan. Aku berharap lumpur segera berhenti agar tak ada lagi korban kekerasan dalam rumah tangga hanya karena uang seperti yang terjadi di keluargaku.” uangkapnya

    “Kini seluruh uang yang semula ditangan ibu, berpindah ke tangan bapak. Itu dilakukan ibu agar masalah tidak terus berlanjut. Tapi kini aku dan ibu tak bisa apa-apa. Jika memerlukan uang kami selalu menunggu bapak pulang” lanjutnya. Hingga saat ini  tak ada kata maaf sedikitpun yang terucap dari mulut Ida, Ibu ataupun Bapaknya. Mereka enggan dan malu untuk mengucapkan kata maaf lebih dulu.

    Hal yang sama dialami oleh Alfi (19 tahun), warga Desa Sengon yang kini tinggal di Perumahan Balongdowo. Keluarga yang semula harmonis berubah menjadi berantakan yang lagi-lagi karena Lumpur Lapindo. Ia dan keluarganya juga sempat mengungsi di Pasar Baru Porong selama kurang lebih 4 bulan. Ditempat itu ia merasakan suasana lingkungan yang sangat berbeda dengan desanya. Ia mengaku jika kehidupan di Paspor sangat liar. Untungnya keluarganya segera mendapatkan tempat yang baru ketika uang ganti rugi diberikan. Ia sangat bersyukur karena bisa keluar dari tempat itu

    Masalah timbul saat uang sisa ganti rugi 80% diterima. Ia dan ibunya curiga dengan sikap bapaknya yang sering pulang malam. Saat ditanya selalu jawabnya lembur. Alfi mendapat kabar kalau bapaknya selingkuh dengan pambantu tetangganya. “Tak pernah bapak memberiku uang. Aku heran saat bapak memberiku uang Rp 100.000. setelah itu dia pergi dan tak kembali.” Jelasnya dengan nada datar.

    Ia berfikir bahwa uang yang ia terima adalah uang sogokan dari bapaknya. Ia berusaha untuk tidak memikirkan masalah ini, Kini ia masa bodoh dengan masalah yang terjadi. Ia mencoba membangkitkan ibunya dari kesedihan, ia ingin membuktikan pada bapaknya jika ia dan ibunya bisa hidup tanpanya.

    “Bapak membelikan istri barunya sebuah mobil yang tak pernah ibu dapatkan selama ini.” Ceritanya singkat karena tak ingin mengingat kembali maslah itu. Tak ada cerai dalam maslah ini. Karena sang bapak tidak menyetujui jika mereka bercerai.

    Itu mungkin secuil dari beribu masalah yang terjadi pada korban lumpur. Lumpur memang telah mengubah segalanya. Bahkan uang yang selama ini dianggap sebagai dewa oleh kebanyakan orang tak  lain adalah sebuah malapetaka yang dapat menghancurkan keharmonisan keluarga jika kita tak pandai mengelolanya. Mungkin uang yang dibayarkan kepada para korban lumpur adalah uang kotor sehingga mereka yang menerimanya banyak mendapatkan masalah.

    Daris Ilma

  • Lapindo Mulai Mengebor Gas di Sidoarjo Agustus

    Lapindo Mulai Mengebor Gas di Sidoarjo Agustus

    Sidoarjo – Lapindo Brantas Incorporated memulai proses pengeboran sumur Gas Alam Terkompresi (CNG) di Kalidawir Kecamatan Tanggungalin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Agustus mendatang

    Sumur sedalam satu kilometer ini untuk menggenjot produksi gas untuk keperluan gas perkotaan. Gas dipasok untuk warga Sidoarjo dan Surabaya.
    “Proses pengeboran, masing-masing sumur satu bulan,” kata juru bicara Lapindo Brantas Incorporated Diaz Roychan.

    Lapindo merencanakan produksi gas meningkat antara 10 juta-15 juta metrik kaki kubik (mmscf) per hari. Sebelumnya, Lapindo memiliki lima sumur gas menghasilkan sekitar 5 juta mmscf per hari.

    Pengeboran diperkirakan selesai 2012 mendatang. Lapindo mengantongi kontrak eksploitasi gas hingga 2020 mendatang. Total hasil produksi 70 persen diserahkan negara, sedangkan 30 persen untuk keuntungan Lapindo. Sedangkan, seluruh biaya eksplorasi dan eksploitasi ditanggung Lapindo.

    Eksploitasi dimulai 1999 lalu, di sumur Wunut Kecamatan Porong dilanjutkan di Tanggulangin 2003 lalu. Lantas, diteruskan mengebor sumur Banjarpanji-1 pada 2006 hingga terjadi luapan lumpur.

    Awalnya, gas yang diproduksi dipasok ke PT Gas Negara (PGN) untuk didistribusikan ke sejumlah industri di Jawa Timur. Selain untuk keperluan industri, CNG juga digunakan untuk memasok bahan bakar taksi dan busway.

    Sedangkan sambungan gas ke rumah tangga (city gas) dimulai Desember 2010. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas menunjuk Lapindo untuk memasok gas. Sedangkan operator distribusi diserahkan kepada PT Petrogas Jatim Utama, Badan Usaha milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

    Semula diluncurkan 2.900 sambungan rumah tangga di Rungkut Surabaya. Sambungan gas dilanjutkan ke Desa Ngingas dan Wedoro Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo. Sedangkan tahun ini dipasang 4.800 sambungan yang terdiri dari desa Kludan 400 sambungan, Ngaban 200 sambungan, Kalitengah 400 sambungan, Kalidawir 900 sambungan, Gempolsari 400 rumah, Medaeng 1.200 sambungan dan Tambaksawah 1.250 sambungan.

    Kepala Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan, Maksum menjelaskan pemasangan jaringan CNG ini diberikan secara cuma-cuma. Tujuannya agar warga beralih menggunakan gas yang lebih murah dibandingkan kayu bakar atau minyak tanah. “Jaringan transmisi telah tersambung, tinggal sambungan ke rumah warga,” katanya.

    Gas CNG lebih murah 50 persen dibandingkan gas elpiji. Selain itu juga lebih aman, berbeda dengan gas elpiji yang rawan meledak. Gas CNG mudah menguap sehingga meminimalisasi ledakan. Kadar gas lebih bersih, gas CNG ini terhubung langsung ke kompor rumah tangga memakai katup seperti keran air minum. (EKO WIDIANTO)

    (c) TEMPO Interaktif

  • Pakde Karwo Izinkan Lapindo Ngebor Lagi, Asal..

    Pakde Karwo Izinkan Lapindo Ngebor Lagi, Asal..

    SURABAYA- Rencana Lapindo Brantas Inc. untuk melakukan pengeboran di Desa Kalidawir Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo di tahun ini semakin berat. Pasalnya setelah mendapatkan penolakkan dari warga sekitar sumur pengeboran, kini Lapindo Brantas harus memenuhi syarat baru yang diajukan oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo.

    Gubernur Soekarwo memberikan syarat kepada Lapindo agar melunasi dulu ganti rugi kepada korban lumpur senilai Rp452 miliar.

    “Ada tanggungan yang belum dibayar. Ini harus dibayar dulu kalau mau ngebor lagi. Ini rasa keadilan,” kata Soekarwo, kepada wartawan usai salat Jumat (20/5/2011) di Masjid Baitul Hamdi komplek kantor Gubernur Jatim, Jalan Pahlawan.

    Soekarwo beberapa waktu lalu pernah mengatakan Lapindo berjanji akan menyelesaikan sisa pembayaran yang belum terbayar pada 15 Mei. Namun hingga kini, Soekarwo belum mengetahui apakah pembayaran ganti rugi itu sudah dilakukan atau belum.

    “Mestinya sudah rampung. Tapi batas memang sampai akhir 2012. Tolong kalau mau ngebor lagi ya dipercepat pembayarannya. Itu pun kalau masyarakat di sekitarnya mau menerimanya,” ujar Soekarwo.

    Sementara itu, juru bicara Lapindo Brantas Diaz Raichan mengatakan jika Lapindo Brantas akan tetap melakukan pengeboran di wilayah Desa Kalidawir Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo. Karena pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc. itu berkaitan dengan program city gas pemerintah pusat. Lapindo menargetkan tahun ini sudah bisa melakukan pengeboran baru di wilayah Desa Kalidawir Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo.

    “Yang jelas program city gas harus tetap jalan karena ini program pemerintah pusat,” ujar Diaz.

    Diaz mengatakan dalam hal ini sebenarnya yang mempunyai kuasa adalah BP Migas yang telah memberikan amanah kepada Lapindo Brantas untuk melakukan pengeboran di wilayah Sidoarjo. BP Migas memberikan kuasa pertambangan kepada Lapindo di sekitar Sidoarjo sampai dengan 2020.

    “Kuasa sebenarnya BP Migas. Namun kita tetap bekerja sama dengan pemerintah daerah karena lokasinya yang dekat-dekat perkampungan,” ujar Diaz.

    Diaz mengatakan jika syarat yang diajukan oleh Gubernur Soekarwo, tampaknya bisa dipenuhi oleh Lapindo Brantas.  “Kalau cuma Rp452 miliar mungkin tahun ini lunas. Targetnya memang 2012 pertengahan sudah lunas semua,” ujar Diaz.

    Pemerintah pusat melalui menteri ESDM sejak 2010 lalu mencanangkan program city gas bagi Surabaya dan sekitarnya. Lapindo merupakan satu-satunya perusahaan gas yang menjadi penyedia gas dalam program ini. Kata Diaz, untuk memenuhi kebutuhan gas program city gas ini Lapindo hanya mengambil dari sumur Kalidawir saja.

    “Semua diambilkan dari sumur di Kalidawir ini. Kita anggap cukup untuk kebutuhan gas di Surabaya, Sidoarjo, dan Mojokerto. Oleh karenanya untuk memenuhi itu kita mesti harus memaksimalkan sumur yang ada di Kalidawir ini. Semuanya ada lima sumur dan yang beroperasi saat ini masih dua sumur,” katanya. (Amir Tejo)

    (c) Okezone

     

     

  • Awas! Lumpur Datang!

    Awas! Lumpur Datang!

    Sidoarjo – Kata-kata itu sepertinya memang pantas untuk melukiskan bagaimana kekuasaan lumpur atas wilayah penduduk. Ketika lumpur datang, mau tak mau orang harus pergi untuk menyelamatkan jiwanya. Pelan tapu pasti. Itulah Lumpur Lapindo yang hingga kini tak jua berhenti. Sekarang jika anda lihat, pusat semburan Lumpur Lapindo tidak lagi satu tetapi telah menjadi dua.  Dan kedua semburan lumpur itu letaknya berdampingan. Saling melengkapi satu sama lain layaknya makhluk hidup. Tapi dengan adanya dua pusat semburan ini lengkaplah sudah penderitaan masyakat Sidoarjo atau lebih tepatnya korban Lumpur Lapindo. Bayangkan saja, satu semburan sudah membuat penderitaan yang luar biasa. Banyak rumah penduduk, hamparan sawah, pabrik-pabrik dan sekolah-sekolah yang tenggelam.  Bagaimana jika dua pusat semburan? Mungkin tak akan ada lagi Negara Indonesia. Negara yang penuh dengan kecurangan.

    Ledakan pipa gas milik PT. Pertamina pada tanggal 22 November 2007 kemarin, menyisahkan kepedihan yang amat sangat bagi korban. Banyak pekerja lapindo yang meninggal dunia karena tak sempat menyelamatkan dirinya. Wilayah yang terendam lumpurpun bertambah luas. Ledakan tersebut berlangsung malam hari sekitar pukul 19.00. Langit yang semula berwarna biru berubah menjadi merah dan udara menjadi panas.  Semua berteriak “Kiamat! Kiamat!” mereka panik. Semua berhamburan keluar dari rumah masing-masing.

    Setelah ledakan pipa gas pertamina  banyak sekali gelembung-gelembung kecil atau yang sering disebut Buble bermunculan di desa sekitar pusat semburan. Jutaan orang menjadi pengangguran karena tempat mereka bekerja telah tenggelam. Sawah yang terletak di Desa Besuki kini tak bisa dipakai lagi karena zat berbahaya yang terkandung dalam lumpur. Saat itu musim panen akan berlangsung. Karena kejadian itu, mereka tak dapat menikmati jerih payah  mereka selama berbulan-bulan ini.

    Karomah (35 tahun), salah satu warga Desa Besuki yang menyewa lahan pertanian untuk ia kelola. Lahan yang ia sewa berada tepat di depan rumahnya sehingga dengan mudah ia mengontrol lahannya. Tapi kini, ia tak bisa lagi menggunakan lahan itu karena tanah tersebut telah tercemar oleh lumpur. Padi dan sayur-mayur yang telah ia tanam tak dapat ia jual karena mati. ia tak dapat mengembalikan uang tanam yang ia pinjam pada tetanganya karena tak ada hasil dari panen kali ini. Ia semakin bingung karena ia tak bisa lagi bekerja sementara hutang terus menumpuk.

    Ia mengaku hanya bercocok tanam itulah pekerjaan yang bisa ia kerjaan. Dulu ia pernah bekerja di pabrik tapi hanya bertahan beberapa bulan. Ia segera keluar karena merasa tidak ada kecocokan dengan pekerjaan yang sedang ia geluti. Selain itu, jika ia terus bekerja di pabrik ia hanya akan merepotkan tetangganya. Ia hanya memiliki satu sepeda gayung. Dan sepeda itu biasanya dipakai suaminya untuk pergi ke tempat kerja.

    Jika menggantungkan pemasukan dari suaminya saja sangat tidak cukup. Karena pekerjaan sang suami adalah sebagai kuli bangunan. Itupun kalau ada yang membutuhkan tenaganya.

    “Dulu sebelum ada lumpur saya masih bisa menyisihkan beberapa karung padi hasil ngasak. Saat nggak punya uang, padi itu saya selep dan berasnya saya jual.  Selain itu saya bisa menjual sisa sayur yang ada pada tetangga, lumayan buat ceperan. Sekarang, tidak ada yang bisa saya andalkan. Sawah sudah tidak bisa ditanami.”

    Malang memang menjadi seorang penyewa lahan. Lahan yang telah tenggelam lumpur memang mendapatkan ganti rugi. Tetapi uang ganti rugi itu diberikan kepada pemilik lahan. Sementara sebagai penyewa lahan hanya bisa pasrah. Menungu jika pemilikm lahan memberinya secuil hasil hasil ganti rugi. Tapi yang ia tak mendapatkan sedikitpun uang hasil ganti rugi itu.

    “Saya tak bisa menggantungkan gaji suami saja. Saya harus mempunyai pekerjaan sendiri untuk membanntu suami memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mahal.” Ucapnya  dengan suara yang semakin berat. Ia bangkit dari keterpurukannya. Ia kembali meminjam uang untuk menyewa lahan pertanian. Untung saja sang peminjam tidak meminta jaminan atas uang yang ia pinjamkan.

    Sayangangya tak ada lahan yang disewakan disekitar tempat tinggalnya. Kali ini lahan yang ia sewa letaknya sangat jauh. Jaraknya sekitar 5 km dari rumahnya. Mau tak mau setiap hari ia harus pergi ke tampat kerjanya yang baru. Sepeda satu-satunya yang biasa dipakai suaminya kali ini terpaksa ia pakai. Bayangkan saja setiap hari harus mengayuh sejauh 5 km demi memenuhi kebutuhan hidup. sementara yang disana hanya duduk dan menunjuk saja sudah mendapatkan uang.

    Untungnya hasil panen pertama cukup memuaskan. Ia bisa menjual Gerbisnya dalam jumlah banyak. Uang hasil panen tersebut ia pergunakan untuk melunasi hutang-hutang yang sudah menumpuk.

    “Gali lubang tutup lubang. Itulah kami.” Ucapnya sambil masuk ke dalam dan kembali keluar sambil membawa garbis hasil panennya.

    “Ini garbis yang saya tanam. Silahkan dimakan.” Kali ini  mimik  wajahnya berubah ceria. Ia senang bisa kembali bergulat dengan lumpur yang memang selama ini telah melekat dalam hidupnya.

    Apakah pemilik PT. Lapindo pernah memikirkan nasib rakyat kecil seperti mereka yang menderita karena nafsunya untuk menjadi orang terkaya?

    Apakah anda ingat lagu yang dinyanyikan Iwan Fals yang berjudul “Guru Oemar Bakrie”? Bakrie yang dulu berbeda dengan Bakrie yang sekarang. Dulu Bakrie sangat dipuji dengan kesederhanannya dan kejujurannya. Seperti yang digambarkan dalam lirik “ Tas hitam dari kulit buaya”, “laju sepeda kumbang selalu seperti itu dulu waktu jaman jepang”, dan “Jadi guru jujur berbakti memang makan ati”.

    Tapi Bakrie yang sekarang? Bisa anda nilai sendiri. Ia menuruti nafsunya agar menjadi kaya dengan mengeruk isi bumi. Ia tega menghabiskan uang milyaran rupiah untuk merayakan ulang tahun pernikahannya sementara disini korban lumpur menangis menunggu uang ganti rugi yang belum juga dibayar. Ia tega menghabiskan milyaran rupiah untuk pesta pernikahan anaknya dan bulan madu anaknya.

    Dimanakah peran pemerintah dalam kasus ini? Pemerintah sepertinya tutup telinga, tutup mata dan tutup hati nuraninya.

    DARIS ILMA

  • Patahan Tanah di Ketapang Makin Parah

    Patahan Tanah di Ketapang Makin Parah

     

    Sidoarjo: Patahan tanah di Desa Ketapang, Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur, dampak dari semburan lumpur Lapindo makin gawat. Patahan tanah sudah menelan sedikitnya 38 rumah warga.

    Kerusakan terparah paling nampak di RT 02, 03, 04, dan RT 08. Banyak tembok dan lantai rumah warga di empat rukun tetangga itu retak-retak. Bahkan beberapa rumah sudah tampak miring.

    Menurut warga, kejadian paling baru terjadi saat bangunan Pondok Pesantren Maslakul Huda ambles. Warga jelas resah. Mereka kini tengah berupaya agar wilayah mereka dimasukkan dalam areal peta berdampak.

    Tak hanya di Desa Ketapang, sedikitnya 54 warga dari lain RT dan lain desa mengajukan tuntutan serupa. Tapi sampai saat ini tuntutan warga belum dijawab pemerintah.(ICH)

     

    (c) Metrotvnews

  • Menyoal Dana Talangan Lapindo

    Menyoal Dana Talangan Lapindo

    Firdaus cahyadi – Akhirnya pemerintah memutuskan memberikan dana talangan kepada Lapindo untuk menyelesaikan pembayaran ganti rugi, yang telah dibelokan menjadi jual beli aset korban lumpur itu. Sebuah media online pada tanggal 25 April 2011 lalu menuliskan, bahwa uang yang harus digelontorkan pemerintah untuk menalangi Lapindo sebesar Rp. Rp1,104 triliun. Dana talangan itu digelontorkan karena Lapindo mengaku tidak memiliki uang untuk menyelesaikan kewajibannya kepada korban lumpur.

    Setidaknya ada dua hal yang bisa dipersoalkan dalam kebijakan pemberian dana talangan terhadap Lapindo untuk menyelesaikan kewajibanya tersebut. Pertama, tentu saja adalah benarkah pihak Lapindo atau Group Bakrie memang sudah bangkrut sehingga tidak lagi memiliki uang untuk menyelesaikan kewajibannya?

    Pengakuan pihak Lapindo bahwa pihaknya tidak memiliki uang itu harus dibuktikan terlebih dahulu sebelum dana talangan itu dikucurkan. Sebagai ilustrasi misalnya, menurut buku yang diterbitkan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dengan judul ‘Bahaya Industri Migas di Kawasan Padat Huni’ menyebutkan bahwa PT. Lapindo Brantas ternyata menguasai 49 sumur pengeboran migas di Blok Brantas. Bahkan pada Februari 2011 lalu Lapindo berencana memperdalam pengeboran titik eksplorasi di Desa Kalidawir, Kecamatan Tanggulangin. Titik eksplorasi itu hanya berjarak beberapa kilometer dari pusat semburan lumpur.

    Tidak hanya itu, portal berita detik.com (1/5) menuliskan bahwa mayoritas saham Klub sepakbola asal Belgia, Royal Cercle Sportif Vise (CS Vise) kini dikuasai Keluarga Bakrie melalui PT Pelita Jaya Cronus. Klub tersebut resmi dibeli Pelita 15 April 2011. Dengan melihat fakta tersebut di atas mungkinkah Group Bakrie, termasuk Lapindo benar-benar tidak lagi memiliki uang sehingga tidak mampu menyelesaikan kewajibannya?

    Kedua, hal yang perlu dipersoalkan lagi adalah paradigma pemerintah dalam penyelesaian kasus lumpur Lapindo ini. Dalam kasus ini pemerintah menggunakan paradigma bahwa kasus lumpur Lapindo akan selesai seiring dengan selesainya persoalan jual beli aset korban lumpur. Karena menggunakan paradigma itulah maka pemerintah mengambil jalan pintas untuk menalangi Lapindo untuk menyelesaikan kewajibannya.

    Dengan mengelontorkan dana talangan, pemerintah berkeyakinan bahwa kasus Lapindo akan segera selesai. Dan itu artinya tidak lagi menjadi beban politik pemerintah. Benarkah demikian? Ternyata tidak. Semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo bukan hanya persoalan hilangnya rumah dan tanah warga yang ditenggelamkan lumpur. Semburan lumpur Lapindo juga telah menyebabkan hilangnya hak warga Porong atas pekerjaan, pendidikan yang layak, kesehatan dan lingkungan hidup.

    Coba simak, pada tanggal 14 April 2011 lalu misalnya, Aulia Nadira Putri, bayi usia 3,5 bulan meninggal dunia di Rumah Sakit (RS) Siti Hajar Sidoarjo, Jawa Timur. Bayi tak berdosa itu meninggal dunia karena diduga terlalu sering menghirup gas beracun dari lumpur Lapindo. Seperti ditulis oleh portal berita okezone.com, pihak RS Siti Hajar, mengungkapkan bahwa bayi tersebut menderita sesak napas karena udara lingkungan yang tidak sehat.

    Jarak rumah keluarga Aulia Nadira Putri memang hanya beberapa meter dari tanggul lumpur Lapindo. Tak heran dengan jarak sedekat itu gas beracun dari lumpur Lapindo tercium dari rumahnya. Bagi kesahatan orang dewasa, gas beracun itu bisa berakibat fatal, apalagi bagi seorang bayi berusia 3,5 bulan yang sistem kekebalan tubuhnya belum sempurna seperti orang dewasa.

    Penyelesaian Semu

    Sebelumnya, pada tahun 2008 telah muncul surat rekomendasi Gubernur Jawa Timur tanggal yang menyebutkan bahwa tingkat hidrokarbon di udara kawasan Porong, Sidoarjo yang telah mencapai 55.000 ppm. Padahal ambang batas normalnya hanya 0,24 ppm.  Kandungan hidrokarbon yang sedemikian tinggi dapat mengakibatkan sesak nafas bahkan tercekik pada manusia. Pada kandungan 1000 ppm saja, paling lama 8 jam waktu yang aman untuk terpapar gas ini.

    Polusi udara di Porong, Sidoarjo pun tercermin dari meningkatnya jumlah penderita penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Data Walhi Jawa Timur  menyebutkan bawa pada tahun 2006, saat munculnya semburan Lapindo, jumlah penderita ISPA mencapai 26 ribu orang, tapi pada tahun 2008 meningkat menjadi 46 ribu orang.

    Persoalan lingkungan hidup yang hancur dan gangguan kesehatan warga Porong seperti tersebut di atas tidak pernah diperhitungkan dalam mekanisme jual beli aset korban lumpur. Begitu pula persoalan anak putus sekolah, hilangnya pekerjaan dan persoalan sosial lainnya. Jual beli aset korban lumpur hanya berfokus pada aset fisik korban lumpur yang menjadi objek dagang.

    Paradigma bahwa persoalan lumpur Lapindo akan selesai dengan sendirinya seiring dengan selesainya proses jual beli aset ternyata bukan hanya diyakini pemerintah. Mantan petinggi Group Bakrie, Aburizal Bakrie pun memiliki paradigma seperti itu. Hal itu tercermin dalam pernyataannya pada kuliah tamu di Universitas Airlangga Surabaya (27/4). Ical, panggilan akrab Aburizal Bakrie, mengatakan bahwa tanggungjawab keluarga Bakrie dalam kasus Lapindo sudah hampir tuntas. Ia meperkirakan pada tahun 2012 soal jual beli aset korban lumpur telah tuntas.

    Pertanyaannya kemudian adalah jika kasus lumpur Lapindo dianggap selesai seiring dengan selesainya proses jual beli aset, lantas siapa yang akan bertanggungjawab terhadap hilangnya hak warga atas pendidikan, pekerjaan, kesehatan dan lingkungan hidup akibat semburan lumpur Lapindo?

    Persoalan hilangnya hak warga di luar tanah dan rumah perlu diperhatikan dalam penyelesaian kasus lumpur Lapindo. Tanpa memperhatikan persoalan tersebut, penyelesaian kasus lumpur Lapindo tak lebih hanya sekedar penyelesaian semu. Setumpuk persoalan itu, cepat atau lambat, akan kembali mencuat setelah proses jual beli aset korban lumpur selesai. Dan itu artinya, pemerintah akan tetap dibebani kasus ini meskipun telah menggelontorkan trilyunan rupiah uang rakyat untuk menalangi Lapindo.

    (c) http://satuportal.net

  • Purwaningsih Menagih Janji

    Purwaningsih Menagih Janji

    Sidoarjo –  Dua warga Siring Barat yang menjadi korban gas metan pada Sebtember 2010 silam sampai kini kondisinya masih memperhatinkan. Purwaningsih salah satu korban, kedua kakinya masih terbungkus perban akibat luka bakar, sedangkan anaknya Devi Purbawiyanto kondisinya sudah sembuh tapi masih nampak bekas luka bakar di kedua tangan dan kakinya.

    Kini sudah delapan bulan berlalu, Purwaningsih masih belum bisa melupakan saat – saat dirinya digulung api di tempat tinggalnya di Siring Barat. Saat kejadian, dirinya dan anaknya sedang melihat televisi di warung miliknya yang letaknya tidak jauh dari semburan gas dan air lumpur di belakang rumah Okki Andrianto. Tiba – tiba saja api langsung masuk dari luar dan membakar dirinya dan anaknya Devi

    Saat dirawat  di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Sidoarjo Devi telah dirawat selama 35 hari dan menjalani pencucian luka sebanyak tiga kali, sedang Purwaningsih menjalani pencucian luka sebanyak lima kali dan harus tinggal di RSUD selama 53 hari. Disaat kondisi Purwaningsih dan anaknya belum sembuh benar, pihak rumah sakit mendadak menyarankan mereka untuk pulang. “Saat di rumah sakit saya disarankan pulang padahal kondisi saya masih belum sembuh, saat itu saya minta jangan pulangkan dulu, tapi pihak rumah sakit memaksa memulangkan saya dan anak saya” ujar Purwaningsih menceritakan saat mereka dirawat di rumah sakit.

    Sehari setelah dipulangkan dari rumah sakit, kondisi Purwaningsih semakin memburuk, akhirnya dirinya harus di larikan ke Rumah Sakit Katolik St. Vincentius a Paulo (RKZ) Surabaya, di RKZ dirinya di bantu Jemaat gerejanya untuk biaya berobat, sebulan di RKZ dan menjalani operasi sebanyak tiga kali, dirinya terpaksa pulang karena tidak punya biaya lagi, selama di RKZ biaya pengobatanya mencapai 60 Juta lebih, keluarganya terpaksa menggadaikan rumahnya yang ada di Siring Barat seharga 50 Juta. “Saya di RKZ biaya sendiri, rumah saya, terpaksa saya gadaikan, dan dari hasil sumbangan teman Jemaat untuk menutupi biaya perawatan saya” cerita Purwaningsih.

    Penderitaan Purwaningsih tidak berhenti sampai disini, dirinya harus menjalani rawat jalan dua minggu sekali, tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan saat melakukan rawat jalan. Sekali Rawat Jalan, Purwaningsih harus mengeluarkan biaya sebesar 500 – 700 ribu, jumlah uang yang sangat besar bagi keluarga Purwaningsih  karena suaminya tidak berkerja lagi setelah usaha toko sembakonya pailit pada 2007 silam.

    Yang semakin memedihkan lagi adalah ketika Purwaningsih mengingat saat Saifullah Yusuf wakil Gubernur  disertai Asisten Kesejahteraan Masyarakat Pemprov Jatim, Edy Purwinarto, Dirut RSU Dr Soetomo, Slamet R Yuwono dan Kepala Dinkes Jatim, Pawik Supriadi menjenguk dirinya di RSUD Sidoarjo, dan menjanjikan akan menangung biaya pengobatan sampai dirinya sembuh “Saat di rumah sakit rombongan Wakil Gubernur menjanjikan akan menanggung biaya pengobatan saya sampai sembuh, tapi setelah pulang dari Rumah Sakit Umum tidak ada yang melihat kondisi saya” ungkapnya.

    Tidak hanya wakil Gubernur yang menjanjikan menanggung biaya pengobatan Purwaningsih, Bupati Sidorjo yang saat itu dijabat Win Hendarso dan wakilnya, Saiful Ilah juga menjanjikan hal yang sama. “Saya berharap wakit Gurbernur dan Bupati Sidoarjo, memenuhi janji – janjinya untuk membiyai pengobatan saya sampai sembuh, apalagi sekarang kami tidak punya biaya lagi, barang – banrang saya sudah habis terjual untuk biaya berobat” ugkap Purwaningsih.

    Demikian pula Devi, anak Purwaningsih juga masih berharap, pemerintah yang pernah menjanjikan biaya pengobatan dirinya dan ibunya benar-benar memenuhi janji –  janjinya, dan rencanaya dirinya akan mendatangi Bupati Sidoarjo, untuk meminta bantuan atas biaya pengobatan ibunya “Papa saya pernah ke Bupati tapi tidak ketemu dengan Bupati. Saya berharap Pak Bupati mau melihat kondisi Ibu saya yang membutuhkan biaya besar untuk berobat, karena Pak Bupati dulu pernah berjanji menanggung biaya pengobatan ibu saya, “ Ungkap Devi. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Lumpur Penimbun Nurani

    Lumpur Penimbun Nurani

    dr. Egha Zainur Ramadhani – Entah apa yang ada dalam benak mereka. Ketika sekelompok warga, menarik perhatiannya, dan menuntun kendaraan yang ditumpanginya untuk singgah di dekat gundukan tanggul yang tinggi itu.

    Entah apa yang terasa, saat orang-orang itu mengantarnya berkeliling, menceritakan asal-muasal berhektar-hektar lumpur di hadapannya, sembari menyelipkan sebuah pesan, “kami tak tergoda dengan cicilan ganti rugi itu, selama keadilan belum kami rasakan”.

    Boleh jadi sebuah memori saat ia berkeras mengatakan banjir lumpur ini bermula dari gempa jogja terlintas kembali. Boleh jadi lobby-lobby dengan pemerintah dan pihak-pihak lain yang gencar dilakukannya kala itu muncul di benaknya. Atau, boleh jadi kepalanya hanya mengangguk-angguk tanpa makna, mengingat lumpur di hadapannya juga tengah merendam nuraninya. Boleh jadi…

    Sejarah mencatat, inilah salah satu tragedi kontrovesial yang belum berujung, semenjak kemunculannya pada pertengahan 2006 lalu. Tak hanya ‘mengusir’ paksa ribuan orang dari 3 kecamatan; sendi perekonomian, kesehatan, dan akses beberapa wilayah di Jawa Timur juga terpengaruh.

    Jika kemudian bencana ini kini terlihat terhenti, sesungguhnya itu hanyalah kamuflase belaka. Kamuflase yang terjadi saat tatapan mata terhadang oleh tingginya tanggul. Kamuflase saat melihat lumpur di dalamnya seolah telah mengendap. Kamuflase yang semoga tidak memburamkan sisi kritis kita. Karena kenyataan yang ada berkata lain.

    Tanggul penahan itu hanyalah solusi sementara. Fakta menunjukkan, rentetan kejadian yang di alami penduduk di sekitar tanggul menjadi bukti masih aktifnya efek lumpur ini. Beberapa bangunan di dekat tanggul menjadi tak layak huni karena kerusakan struktur dan pondasinya. Rasa air sumur yang pahit juga kiat menguatkan hal tersebut.

    Maka, sungguh ironi ketika menengok kembali asal muasal lumpur maut ini, dan menyandingkannya dengan akibat yang ada kini. Sangat ironi karena ulah manusia ada didalamnya.

    Berawal dari sebuah perusahaan bertajuk Lapindo, anak perusahaan grup konglomerat di negeri ini, yang mengebor ranah Minyak dan Gas Bumi (migas) berdasar klausul Kontrak Kerja Sama dengan pemerintah di Blok Brantas. Disinyalir, ada tindakan di luar prosedur kala itu yang baru diketahui kemudian. Lapindo diduga ‘sengaja menghemat’ biaya operasional dengan tidak memasang casing (selubung bor). Pemasangan selubung ini termasuk dalam standar operasional dalam pengeboran migas.

    Jika dilihat dari perspektif ekonomi, keputusan pemasangan casing memang berdampak pada besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun, ceritanya lain jika dilihat dari perspektif keamanan dan keselamatan lingkungan. Dan, benar saja, lumpur yang ada di perut bumi menyembur keluar tanpa kendali di wilayah penambangan tersebut.

    Kambing hitam segera dicari. Gempa Jogja yang belum lama terjadi ditunjuk menjadi penanggungjawabnya. Alhasil, segeralah teori semburan pasca gempa dimaklumatkan untuk mencari permakluman.
    Pada awalnya teori yang seolah logis ini dapat merasuk ke dalam opini masyarakat. Seiring berjalannya waktu, kelogisan teori ini dipertanyakan. Puncaknya, dalam AAPG 2008 International Conference & Exhibition yang dilaksanakan di Afrika Selatan, terkuak data sesungguhnya. Kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) dan dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan pendapat ahli:

    “3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung GEMPA JOGJA sebagai penyebab, 42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan PENGEBORAN sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara ahli menyatakan KOMBINASI Gempa dan Pengeboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini”.

    Siapa Menanam, seharusnya dia yang Menuai. Hanya, faktor ‘kuasa’ dan ‘kekuasaan’ kadang memberi pengaruh lain. Pemerintah hanya membebankan kepada Lapindo pembelian lahan ‘bersertifikat’ untuk 4 desa (Kedung Bendo, Renokenongo, Siring, dan jatirejo). Sementara desa-desa lainnya ditanggung APBN, juga penanganan infrastruktur yang rusak.

    Bisa dibayangkan, bagaimana dengan warga yang belum bersertifikat, mengingat proses sertifikasi tanah itu sendiri belum merata? Bagaimana pula dengan wilayah bencana yang terus meluas ini, masihkah ditanggung APBN di kelak kemudian hari?

    Apalagi sebuah penelitian ilmiah oleh Richard Davies dan peneliti lainnya, yang diterbitkan dalam Journal of the Geological Society, memprediksi semburan ini masih akan berlangsung sekurang-kurangnya dalam 26 tahun ke depan.

    Semoga napas kesabaran ini masih cukup panjang menghadapinya. Ahh… Kadang jadi berandai-andai, alangkah nikmatnya saat punya ‘teman’ berkuasa. Kesalahan yang ada bisa dipoles dan dibebankan pada negara, toh saya juga adalah warga negara.

    (c) www.satuportal.net
    Lomba Artikel 5 Tahun Kasus Lapindo, Lumpur Penimbun Nurani

  • Ganti Rugi Belum Tuntas, Warga Temui Pansus

    Ganti Rugi Belum Tuntas, Warga Temui Pansus

    Sidoarjo – Sudah hampir lima tahun kasus Lapindo belum juga ada penyelesaian. Mulai dari proses ganti rugi sampai masalah dampak sosial yang lainnya. Warga korban Lapindo yang berada di dalam peta area terdampak sampai sekarang pun ganti ruginya juga tidak kunjung selesai, baik warga yang menyepakati skema ganti rugi secara dicicil 15 Juta per bulan, hingga warga yang belum menerima pembayaran ganti rugi sepeser pun.

    Proses ganti rugi yang berlarut–larut tanpa ada penyelesaian membuat perwakilan warga dari beberapa kelompok mendatangani Panitia Khusus (Pansus) Lumpur Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo, (jumat 15/04/2011) Mereka  mendesak pemerintah untuk segera mengambil alih penanganan korban lumpur Lapindo yang tak kunjung selesai ini.

    Warga yang kesemuanya merupakan korban Lapindo yang berada di peta terdampak berdasarkan Perpres 14/2007 ini, menganggap PT. Minarak Lapindo Jaya, anak perusahan PT Lapindo Berantas INC. tidak punya itikad baik untuk menuntaskan proses ganti rugi warga. Baik itu ganti rugi secara dicicil ataupun ganti rugi yang dituntut warga berdasar skema 20%-80% “Minarak sudah tidak ada itikad baik untuk menyelesaikan ganti rugi warga, sudah beberapa kali Minarak tidak membayar cicilan warga dengan tepat waktu, ini saja sudah tiga bulan warga tidak menerima pembayaran cicilan” ungkap Samanhudi perwakilan korban dari Desa Jatirejo, Porong.

    Menanggapi tuntutan korban Lapindo ketua Pansus M. Zainal Lutfi mengatakan akan memperjuangkan tuntutan warga pada agenda dengar pendapat dengan pemerintah  pada pekan depan. Dalam dengar pendapat nanti pansus akan mengusulkan untuk merevisi Peraturan Presiden (Perpres) yang intinya pemerintah mengambil alih penanganan dampak dari lumpur Lapindo “Kami akan menyampaikan tuntutan warga ke pemerintah, selain itu kami Pansus akan mengusulkan ada perubahan Perpres yang mengatur penanganan dampak lumpur Lapindo di ambil alih pemerintah” ungkap Politisi PAN ini setelah menemui warga korban Lapindo.

    Perpres 14/2007, Perpres 48/ 2008 dan perpres 40/ 2009 menurut Ketua Pansus harus di revisi menjadi satu peraturan Presiden yang mengatur pengambil alihan penanganan dampak lumpur Lapindo oleh pemerintah. “Perpres yang sudah ada sekarang harus direvisi, agar pengambil alihan persoalan lumpur Lapindo ada payung hukumnya” katanya

    “Jika revisi Perpres ini disetujui ditahun ini saya yakin Tahun 2012 persoalan ganti rugi korban baik dalam area terdampak maupun diluar area terdampak bisa tertangani semua” lanjutnya

    Dalam pertemuan nanti Pansus akan mengajak perwakilan korban Lapindo untuk bertemu dengan Menteri Pekerja Umum (PU), Menteri Keuangan dan Menteri Enegi dan  Sumber Daya Mineral (ESDM), selaku dewan pengarah BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) “Pansus akan mengajak perwakilan korban baik dalam peta terdampak maupun diluar peta terdampak, untuk menyampaikan persoalan di Menteri PU, Menteri ESDM dan Menteri Keuangan, harapannya ada hasil dari pertemuan nanti” Ungkap Lutfi.

    Meskipun Pansus yang telah dibentuk untuk kedua kalinya ini tidak bisa berbuat banyak dalam membantu persoalan warga korban lapindo, kali ini perwakilan warga akan mendukung langkah yang diambil Pansus Lumpur ini. Warga berharap ada kejelasan soal ganti ruginya, mereka menyatakan siap ikut serta dalam pertemuan dengan pemerintah nanti, meskipun harus menggunakan dana pribadi. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Ratusan Korban Lapindo Luruk Kantor Gubernur

    Surabaya –  Ratusan korban Lapindo dari aliansi 45 RT mendatangi kantor Gubernur Jawa Timur di Jalan Pahlawan Surabaya, Rabu (30/3) pagi ini.

    Pantauan Tempo, dengan membawa ratusan sepeda motor, massa langsung diarahkan polisi untuk masuk ke dalam kompleks kantor Gubernur.

    Di kantor Gubernur, massa hingga saat ini hanya duduk di sekitar taman. “Intinya kami minta Gubernur temui kami secara langsung,” kata Muhammad Yasin, koordinator warga.

    Pertemuan dengan Gubernur tambah, Yasin, sangat diperlukan mengingat Gubernur Jawa Timur Soekarwo juga menjabat sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. “Kami minta Gubernur usulkan ke pusat supaya wilayah kami masuk kawasan yang mendapatkan ganti rugi,” ujar Yasin menambahkan.

    Sejumlah 45 RT ini setidaknya berasal dari Desa Mindi sebanyak 18 RT, Pamotan 8 RT, Ketapang 12 RT, dan Besuki 7 RT. Menurut warga, pada 6 Agustus 2010 lalu tim ahli bentukan Gubernur sebenarnya telah merekomendasikan ke-45 RT ini merupakan wilayah yang berbahaya seiring terus terjadinya amblesan tanah dan pencemaran air.

    Hanya saja, hasil rekomendasi itu hingga kini tak jelas arahnya. Rumah warga yang mulai retak hingga saat ini juga tak pernah mendapatkan kepastian ganti rugi.

    Korban luapan lumpur Lapindo setidaknya terbagi ke dalam empat golongan besar. Pertama adalah golongan warga di empat Desa Siring, Jatirejo, Renokenongo dan Kedungbendo. Empat kawasan ini ganti rugi sudah ditetapkan dibayar oleh PT Minarak Lapindo Jaya.

    Golongan kedua adalah warga di desa Pejarakan, Kedungcangkring dan Besuki, ganti rugi warga tiga desa ini ditetapkan dibayar melalui APBN. Dan golongan ke-tiga adalah warga di 9 RT Siring Barat, Jatirejo Barat dan sebagian desa Mindi, ke-9 RT ini ganti rugi saat ini sudah mulai diproses dan rencananya akan dibayar oleh APBN.

    Sedangkan golongan terakhir adalah warga 45 RT yang saat ini berunjuk rasa di Kantor Gubernur Jawa Timur.

    Asisten Kesejahteraan Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur Edy Purwinarto mengatakan, pihaknya pada Senin (28/3) lalu sebenarnya sudah menemui perwakilan 45 RT. “Kita sudah jelaskan, Gubernur sudah usulkan ganti rugi tapi keputusannya di pusat,” kata Edy.

    Meski demikian, karena warga ngotot ingin bertemu Gubernur, Edy berjanji akan menyampaikan sehingga Gubernur bisa secara langsung menemui warga. (FATKHURROHMAN TAUFIQ)

  • Lapindo Ingkari Status Tanah Warga

    Lapindo Ingkari Status Tanah Warga

    Sidoarjo – Hampir lima tahun kasus semburan lumpur Lapindo berjalan, namun hingga sekarang penyelesaian yang diharapkan warga tak juga tuntas, ganti rugi warga yang menjadi korban pun sampai kini juga belum terselesaikan. Warga yang menerima skema ganti rugi dengan cara dicicil sudah 2 bulan lebih belum dibayar oleh lapindo, bahkan sejak Januari 2011 warga hanya menerima cicilan 5 juta per bulan, dari yang seharusnya di cicil 15 Juta per bulan.

    Bukan cerita baru Lapindo secara sengaja telat membayar cicilan warga, sudah sekian kali lapindo mengingkari janjinya yang pernah disampaikan dihadapan Presiden. Keterlambatan pembayaran cicilan warga ini praktis membuat warga menjadi tersiksa. Pasalnya, banyak warga yang sampai sekarang masih mengandalkan cicilan dari Lapindo untuk kebutuhan hidup sehari-hari, setelah rumah dan mata pencahariannya hilang oleh lumpur lapindo.

    Tidak hanya mengingkari janjinya untuk tepat waktu dalam membayar cicilan warga, Lapindo juga sampai sekarang belum membayar ganti rugi aset tanah dan bangunan warga Gempolsari Kecamatan Tanggulangin sama sekali, menurut Abdul Haris Kepala Desa Gempolsari, ada 18 warga Gempolsari yang belum menerima pembayaran skema 20 % yang seharusnya di bayar pada 2007 silam, “Warga saya ada 18 warga yang belum menerima skema pembayar 20 persen” ungkap Haris.

    PT Minarak Lapindo Jaya anak perusahan Lapindo Brantas yang ditunjuk untuk mengurusi pembayaran ganti rugi warga tidak mengakui aset tanah ke 18 Warga Gempolsari ini sebagai tanah kering, Minarak menganggap tanah warga sebagai tanah sawah. Padahal, surat-surat yang dimiliki warga membuktikan tanah tersebut adalah tanah darat. “Minarak tidak mengakui tanah warga Gempolsari ini tanah kering, Minarak bersikeras mengakui tanah warga ini tanah sawah, padahal surat warga tanah darat, dan BPLS dan Tim Verifikasi sudah menyatakan tanah darat, lah kok Minarak masih bersikeras tidak mau mambayar ganti rugi warga” terang Haris saat ditemui di kantornya.

    Aset warga Gempolsari yang sampai sekarang belum dibayar oleh Lapindo terdiri dari 7 aset tanah dan bangunan dan 11 aset berupa tanah pekarangan saja. Warga yang memiliki aset tanah dan bangunan yang tidak diakui sebagai tanah darat sampai kini masih tinggal didesa Gempolsari, tepatnya di RT 10.  Tidak diakuinya tanahnya sebagai tanah darat membuat Sulastri (34 Tahun) marah atas sikap Lapindo, pasalnya dirinya dan ke 17 pemilik aset, tidak segera dibayar oleh lapindo “Saya tidak habis pikir dengan sikap Lapindo yang tidak mengakui tanah saya sebagai tanah darat, padahal surat saya menyatakan tanah darat” kata Sulastri dengan kesalnya.

    Sulastri tidak hanya marah terhadap Lapindo, dirinya juga menyesalkan sikap pemerintah yang seakan – akan tutup mata dengan kondisi warga “Saya sudah menyampaikan persoalan ini sampai ke pemerintah pusat tapi sampai kini juga tidak ada kejelasan, padahal sudah hampir lima tahun saya menunggu tidak ada kejelasan yang pasti” ungkapnya.

    Sulastri bahkan mengatakan bahwa Minarak malah menawarkan solusi lain kepada warga, tanah warga yang ada bangunannya dihargai sebagai tanah darat yaitu 1 juta per meter, dan tanah yang tidak ada bangunanya dihargai sebagai tanah sawah  yaitu 120 ribu per meter “Terkhir Minarak menawarkan tanah yang ada bangunannya diakui tanah kering dan tanh yang tidak ada bangunnya di hargai tanah sawah, ya kami tidak mau”  ungkap sulatri menceritakan tawaran Andi darusalam, direktur Minarak Lapindo Jaya. Padahal Sulastri tidak membutuhkan tawaran yang neko-neko, Sulatri dan warga Gempolsari hanya berharap ada kejelasan soal ganti ruginya karena selama hampir lima tahun warga menunggu kejelasan yang tidak pasti. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Ganti Rugi Korban Lapindo Diselewengkan

    Ganti Rugi Korban Lapindo Diselewengkan

    Sidoarjo – Polres Sidoarjo menemukan indikasi adanya dugaan penyelewengan ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo di tiga desa di Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang diduga dilakukan oknum Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.

    Kepala Polres Sidoarjo AKBP M Iqbal, Rabu (2/3/2011), mengatakan, saat ini petugas kepolisian telah memeriksa sejumlah saksi dan menemukan indikasi penyelewengan uang ganti rugi warga korban lumpur Lapindo itu.

    “Terkait dengan kasus ini, kami juga telah berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jatim untuk membantu mengusut kasus ini,” ucapnya.

    Ia mengemukakan, meski polisi telah memeriksa sejumlah orang sebagai saksi, polisi masih belum menentukan tersangka dalam kasus dugaan penyelewengan uang ganti rugi ini.

    Hingga saat ini, polisi masih terus melakukan penyelidikan kasus serta memeriksa sejumlah saksi, mulai dari warga, staf BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo), dan Badan Pertanahan Nasional.

    Dari pemeriksaan sementara, polisi sudah menemukan indikasi penyelewengan uang ganti rugi korban Lumpur Lapindo. “Indikasi diperoleh dari keterangan staf BPN dimana antara luasan tanah yang ada dengan nilai uang ganti ruginya tidak sesuai,” paparnya.

    Namun, polisi masih belum bisa mengetahui berapa nilai uang yang telah diselewengkan, dan karena itu, polisi berkoordinasi dengan BPKP untuk menghitung berapa nilai uang yang diselewengkan.

    Dirinya juga membantah jika pemeriksaan yang dilakukan oleh kepolisian tersebut dianggap lambat oleh masyarakat.

    “Kami tidak lambat dalam melakukan pemeriksaan, tetapi harus melalui tahapan yang harus dilalui. Karena kasus dugaan korupsi seperti ini sudah ada prosedur pemeriksaan yang harus dilalui,” tuturnya.

    Sebelumnya, warga Desa Besuki, Kecamatan Jabon, melaporkan adanya dugaan penyelewengan uang ganti rugi warga yang diduga dilakukan oleh oknum tim verifikasi BPLS.

    Dalam laporannya, modus penyelewengan dengan meminta bayaran pada warga apabila tanahnya ingin diberi ganti rugi sebagai tanah kering, dan bukan tanah sawah.

    Warga yang tidak mau memberi bayaran ganti ruginya dipersulit karena oknum tim verifikasi BPLS tersebut, mengubah status tanah kering menjadi tanah sawah yang nilai ganti ruginya jauh lebih rendah.

     

    (c) kompas.com