Blog

  • Jejak Penyesatan Informasi Kasus Lumpur Lapindo

    Jejak Penyesatan Informasi Kasus Lumpur Lapindo

    Firdaus Cahyadi –  Bulan Mei 2006 adalah bulan yang tidak pernah dilupakan oleh warga Porong, Sidoarjo. Bahkan mungkin juga tidak pernah dilupakan oleh kita sebagai warga Indonesia.

    ***

    Bulan Mei 2006 adalah bulan yang tidak pernah dilupakan oleh warga Porong, Sidoarjo. Bahkan mungkin juga tidak pernah dilupakan oleh kita sebagai warga Indonesia. Pasalnya, pada bulan itu lumpur Lapindo untuk pertama kalinya menyembur di Porong, Sidoarjo. Lumpur itu kemudian yang menenggelamkan seluruh tanah, rumah dan harapan warga Porong untuk hidup lebih baik sebagai warga negara. (more…)

  • Dinas Pendidikan Sidoarjo Sambut Baik Keterbukaan Informasi Publik

     

    Dinas Pendidikan Sidoarjo menyatakan kesiapannya untuk memberikan layanan informasi publik terkait dengan akan diberlakukannya Undang-Undang no 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Berbagai upaya sudah coba dijalankan untuk menyambut kebutuhan publik akan informasi terkait pendidikan di wilayah kabupaten Sidoarjo.

    Ditemui di kantor Dinas Pendidikan pada hari kamis (29/04), Kepala Dinas Pendidikan Sidoarjo, Agoes Boedi Tjahyono dan Sekretaris Dinas Pendidikan, Siswoyo mengungkapkan bahwa pihaknya siap memberikan pelayanan terhadap masyarakat yang membutuhkan pelayanan publik “Khususnya untuk Dinas Pendidikan kami harapkan baik yang meminta secara konvensional-yang langsung datang kesini-, maupun yang melalui telepon, bisa terlayani. Juga kita ada website untuk mendukung permintaan informasi” terangnya. Agoes juga menyatakan bahwa untuk data-data yang membutuhkan kerincian dan keakuratan serta bisa berdampak luas, permintaan informasi-nya dibutuhkan surat tertulis dari pihak yang meminta tersebut.

    Sementara itu ketika dikonfirmasi mengenai data-data sekaitan dengan dampak dan pemulihan pendidikan diwilayah korban lumpur Lapindo, Agoes mengatakan bahwa itu butuh pendataan lagi. “Itu karena data itu bukan data reguler yang harus ada pihak yang melaporkan, kalau masalah dampak lumpur ini yang kita tidak bisa memonitor benar, kalau kita belum bisa menjawab, karena memang kita belum punya datanya” jelasnya.

    Untuk sekolah-sekolah swasta yang tenggelam misalnya, Siswoyo menerangkan bahwa pihaknya juga kesulitan mendata kelanjutan kasusnya, karena penggantian gedung-gedung sekolah swasta langsung berhubungan dengan Lapindo “Coba tanya langsung saja ke Lapindo soal penggantian itu, karena itu terkait juga penggantian fasum (fasilitas umum) dan fasos (fasilitas sosial)” katanya balik. Dinas Pendidikan sendiri sampai sekarang juga belum mendapat penggantian dari Lapindo untuk sekolah-sekolah negeri yang tenggelam. Dinas Pendidikan mengakui ketiadaan data tersebut karena penanganan kasusnya sudah diambil alih BPLS dan mereka tidak bisa melakukan monitoring lagi. (re)

    (c) Kanal News Room

     

  • Rantai Kemacetan, Rantai Kerugian

    Rantai Kemacetan, Rantai Kerugian

    “Ini sih sudah biasa, Mas. Semenjak lumpur meluap Porong ya begini ini!” ungkap Indra seorang penjaja makanan yang biasa berjualan di pasar dekat tanggul.

    Semenjak lumpur meluap, jalan tol yang menjadi penghubung utama, selain Jalan Raya Porong, antara Surabaya dengan daerah-daerah di sebelah selatan tidak dapat digunakan. Terutama setelah ledakan pipa gas milik Pertamina pada Rabu 22 November 2006. Ruas jalan tol di KM 37 tergenang lumpur.

    Sementara itu beberapa pengemudi kendaraan bermotor tampak kesal. Dalam keseharian mereka yang membutuhkan akses mobilitas dari dan menuju Surabaya, Jalan Raya Porong merupakan urat nadi penghidupan mereka.

    Pada awal-awal malapetaka lumpur, Jalan Raya Porong sempat diperlebar 7.5 meter, sepanjang 300 meter. Pelebaran ini dilakukan guna memengurangi terjadinya kemacetan lalu lintas di sepanjang jalur Porong akibat tertutupnya jalur tol Gempol-Porong, maupun dari arah sebaliknya. Pelebaran jalan ini dimulai dari depan Masjid Azhar, Jatirejo Utara, hingga tikungan masuk menuju tol Porong. Pelebaran dilakukan di daerah lajur kiri atas Gempol-Porong dan lajur kanan arah Porong-Gempol.

    Daniel Stephanus, pengamat ekonomi dari Universitas Ma Chung, Malang, menginformasikan tentang pentingnya akses antara Surabaya dan daerah-daerah sekitarnya. Menurut ekonom yang rajin mengamati dampak ekonomi lumpur Lapindo ini, jalur distribusi akan terhambat sehingga memicu perlambatan pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. “ini adalah tragedi multidimensi!” ungkapnya.

    Menurut pantauan tim Kanal, kerugian para eksportir, baik yang melewati Jalan Raya Porong dan terjebak kemacetan, serta melalui jalan alternatif Mojosari, Kabupaten Mojokerto, yang jaraknya lebih jauh, tak terelakkan. Jika tetap melewati Jalan Raya Porong, kontainer 20 feet harus mengeluarkan tambahan biaya Rp 150 ribu perhari, sedangkan kontainer 40 feet mengeluarkan tambahan biaya Rp 250 ribu perhari.

    Namun, jika lewat jalur alternatif, kontainer 20 feet harus mengeluarkan tambahan biaya Rp 250 ribu per hari, sedangkan kontainer 40 feet mengeluarkan tambahan biaya Rp 350 ribu perhari. Belum lagi pengiriman harus dipercepat sehari dari jadwal, sehingga ada tambahan biaya lembur di gudang eksportir dan di pelabuhan.

    Kalau diperkirakan rata-rata dalam sehari terdapat 1.000 kontainer yang melintas, maka terjadi kerugian mencapai Rp 150 juta–250 juta per hari jika lewat Raya Porong. Kerugian akan semakin tinggi jika lewat jalan alternatif Mojosari, antara Rp 250 juta– Rp 350 juta per hari.

    Belum lagi biaya tambahan lift on/lift off di depo pelabuhan dengan biaya rata-rata Rp 230 ribu per kontainer; tambahan biaya trucking dari depo ke terminal kontainer Rp 300 ribu per kontainer; warkat dana masuk/keluar pelabuhan Rp 200 ribu/kontainer; tambahan biaya sewa gudang di depo Rp 60 ribu perhari dan denda keterlambatan (closing time) Rp 750 ribu-Rp 1,5 juta per kontainer. Dan fenomena seperti ini telah terjadi nyaris empat tahun.

    Sementara itu, proyek relokasi jalan yang telah dicanangkan hingga saat ini belum menampakkan perkembangan yang cukup berarti. Di antara pagak-pagak fly over yang sudah tertancap di sepanjang Gempol hingga Tanggulangin, masih tersisa permasalahan ironis mengenai pembebasan lahan milik warga. Sayang, tim Kanal belum dapat menemui Panitia Pembebasan Tanah (P2T) Pemerintah Kabupaten Sidoarjo untuk mengorek keterangan tentang bertele-telenya proses pembebasan lahan.

    Pada dasarnya, jalan tol Porong-Gempol yang tidak bisa dipergunakan lagi hanya sekitar 5 kilometer, antara KM 37 – 42. Namun, dalam rencana PT Jasa Marga, dipastikan ruas Gempol-Porong akan lebih panjang, karena pembangunan jalan tol baru ini mulai disambung pada KM 34,8 hingga masuk lagi ke KM 42. Itu pun harus mengambil jalan melingkar, sehingga jaraknya diperkirakan mencapai 11 kilometer. Jalan tol yang akan dibangun akan melewati Kecamatan Porong (Desa Wunut, Juwet Kenongo, Kesambi, Gondang, Pamotan, Porong dan Kebon Agung), dan Kecamatan Tanggulangin (Desa Ketapang dan Kali Sampurno).

    Jalan merupakan infrastruktur terpenting bagi perkembangan perekonomian suatu wilayah. Terutama untuk Jawa Timur, pasca  putusnya jalan tol pada KM 37 dan rentannya Jalan Raya Porong, perekonomian mengalami hambatan yang cukup signifikan. Bila keadaan seperti ini tetap dibiarkan, tak pelak, keterpurukan ekonomi akan kian parah. (prim)

    (c) Kanal News Room

  • Duh Tanah di Porong Ambles 60 Sentimeter

    Duh Tanah di Porong Ambles 60 Sentimeter

    SURABAYA,  — Berdasarkan penelitian Tim Kajian Kelayakan Pemukiman, sejak bulan Desember 2009 hingga Maret 2010, tanah di sebelah barat tanggul penahan lumpur Lapindo, Porong, ambles hingga 60 sentimeter. Penurunan permukaan tanah terjadi mulai dari bekas Jembatan Tol Porong-Gempol hingga Pasar Porong, Sidoarjo.

    Demikian diungkapkan Asisten II Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Daerah Provinsi Jatim, Chairul Djaelani, Jumat (23/4/2010) di Kantor Gubernur Jatim, Surabaya.

    “Selain di sebelah barat tanggul, penurunan permukaan tanah juga terjadi di daerah Pamotan, Porong, Sidoarjo, dengan tingkat penurunan permukaan tanah 10 sentimeter. Hasil penelitian ini disampaikan secara lisan oleh Tim Kajian Kelayakan Permukiman atau TKKP,” ujarnya.

    Dengan kondisi seperti itu, menurut Chairul, kawasan sebelah barat tanggul penahan lumpur Lapindo cukup membahayakan untuk bangunan atau gedung karena struktur tanah di sekitarnya tidak stabil.

    Selain kondisi penurunan permukaan tanah, situasi lain yang membahayakan di kawasan ini adalah munculnya sejumlah semburan gas.

    “Muncul semburan gas yang mudah terbakar dalam jumlah besar atau adanya patahan-patahan tanah di sekitar lokasi. Situasi ini cukup membahayakan untuk bangunan. Namun karena penurunan tanah berlangsung merata, maka untuk jalan raya belum terlihat mengkhawatirkan,” ucapnya.

    Kini, Pemprov Jatim masih menunggu laporan tertulis resmi dari TKKP yang rencananya akan dikirim hari Jumat ini. Selain itu, Pemprov Jatim juga masih menunggu hasil penyelidikan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi untuk meneliti struktur bawah tanah kawasan sekitar lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo.

    “Kami berharap surat resmi hasil penyelidikan segera dikirim ke Pemprov Jatim. Setelah kami menerima hasil penyelidikan, kebijakan apakah Jalan Raya Porong perlu ditutup atau tidak baru bisa diputuskan,” kata Chairul Djaelani (Aloysius Budi Kurniawan)

    (c) KOMPAS.com

  • Lubang di Raya Porong Hanya Ditambal Kerikil

    Lubang di Raya Porong Hanya Ditambal Kerikil

    Hingga kini, aspal yang berlubang hanya ditambal dengan batu kerikil oleh pihak terkait. Kepada wartawan, selasa (20/04), Humas BPLS Ahmad Zulkarnaen mengatakan jalan arteri Raya Porong masih aman. Zulkarnaen juga mengatakan bahwa setiap bubble yang muncul di sekitar Raya Porong masih aman karena memiliki Low Explosive Limit (LEL) yang tak mudah terbakar.

    Pernyataan Zulkarnaen tersebut dibantah oleh Jeri (21), korban Lapindo yang setiap hari beraktifitas di Raya Porong. Menurut Jeri, jalan aspal yang ditambal kerikil akan cukup berbahaya terutama untuk roda dua. “Motor saya pasti goyang setiap kali melintasi kerikil itu, karena kerikil tersebut tidak cukup padat dan gampang terurai,” kata Jeri.

    Jeri juga mengeluhkan tidak adanya rambu tanda bahaya untuk pengguna jalan yang akan memasuki area jalan yang rusak. Keluhan warga yang berjualan VCD Lapindo ini beralasan, mengingat kepadatan kendaraan yang melintasi Raya Porong sekarang.

    “Lebih baik diaspal langsung daripada memakai kerikil. Belasan bubble yang baru muncul juga harus segera diberi garis polisi,” tambah Jeri. (fahmi)

    (c) Kanal News Room

  • Bobot Ikan Turun, Pendapatan pun Turun

    Bobot Ikan Turun, Pendapatan pun Turun

    “Saya tetap mengeluarkan biaya produksi yang sama sebelum ada lumpur, dari mulai pembibitan sampai panen, tapi hasilnya tak bagus,” ujar Sukari (47) salah satu pemilik tambak di Desa Permisan. Sukari juga mengatakan, ia pernah berniat menyewakan tambaknya yang seluas 1 hektar dengan separuh harga dari harga normal, tapi tak ada satu pun yang berminat menyewanya.

    Selain itu, petambak juga tidak bisa memenuhi permintaan pasar. Pasalnya, ukuran bandeng yang diminati masyarakat berusia 3 bulan dengan berat 700 – 800 gram, sekarang dengan kurun waktu yang sama bandeng dari Desa Permisan hanya berbobot sekitar 400 gram. “Ikannya tidak bisa besar seperti dulu,” sahut Sukari.

    Sukari dan petambak lainnya tetap menjalani pekerjaan ini karena hanya pekejaan inilah yang mereka bisa. Menurut Budi (39), kuli angkut ikan, warga tidak mungkin bekerja di sektor lain selain perikanan dan yang berhubungan dengan tambak. “Dari kecil kami sudah bergelut dengan ikan dan tambak, jadi hanya pekerjaan ini yang mampu kami lakukan,” kata Budi.

    Hampir 4 tahun lumpur Lapindo menyembur, selama itu pula petambak di Desa Permisan mengeluhkan penurunan pendapatan. “Saya berharap pihak terkait melihat langsung apa yang terjadi di sini, jangan hanya balihonya yang bertebaran,” tutup Budi. (fahmi)

    (c) Kanal News Room

  • Pusaran Bisnis di Balik Sirtu

    Pusaran Bisnis di Balik Sirtu

    Di siang yang terik itu, beberapa bulldozer dan excavator tampak rajin bergerak. Menimbun, memadatkan dan meratakan sirtu yang tengah menumpuk di tanggul lumpur bagian Ketapang yang telah menjulang setinggi 15 meter. Sebuah rutinitas yang sudah berlangsung selama nyaris empat tahun terakhir di seputaran tanggul lumpur akibat kejahatan korporasi.

    Pada badan bulldozer dan excavator terpampang besar sebuah nama: PT. Adhi Karya. “PT. Adhi Karya merupakan salah satu kontraktor yang bertugas untuk mendirikan tanggul-tanggul lumpur, di samping dua kontraktor lainnya, yakni PT Abhipraya Brantas dan PT Wijaya Karya,” ungkap Ahmad Zulkarnaen, Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). “Ketiga kontraktor tersebut sudah beroperasi cukup lama. Bahkan sebelum BPLS dibentuk. Dan, kami hanya meneruskan pengerjaan tanggul berdasarkan apa yang sudah diwariskan kepada kami oleh Tim Nasional beserta PT Lapindo Brantas.”

    PT Adhi Karya merupakan salah satu BUMN yang di sini diberi peran mengamankan Porong melalui pembangunan infrastruktur. Perusahaan yang merupakan hasil dari nasionalisasi perusahaan Belanda ini, telah beroperasi selama nyaris empat tahun bersama-sama dengan dua BUMN serupa, PT Wijaya Karya dan PT Brantas Abipraya. Jangan tanya urusan lain. Apapun pertanyaannya, BUMN itu hanya akan menjawab “cuma menjalankan tugas”: mendirikan dan meninggikan tanggul.

    Ketiga kontraktor itu pun akan berbangga diri dengan berbagai pengakuan dan penghargaan yang mereka terima. PT Brantas Abipraya, misalnya, menerima sertifikat jaminan mutu ISO 9001:2000 sejak 22 Januari 1998 dari Lloyd’s Register Quality Assurance. Atau, PT Wijaya Karya akan bercerita mengenai beberapa proyek pembangunan mercusuar yang mereka garap. Jembatan Suramadu yang menggelantung di Selat Madura merupakan salah satu garapan PT Wijaya Karya. Demikian pula dengan PT Adhi Karya. Perusahaan ini menerima GCG Award 2007, kategori Perusahaan Terpercaya dengan skor 81,79 dan kategori Perusahaan Publik Terbaik berdasarkan bidang usaha utama dalam sektor properti dan real estate dari The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG).

    Soal tanggung jawab lingkungan, seperti halnya BPLS yang menyerahkan urusan pada kontraktor-kontraktor, ketiga kontraktor itu juga akan melimpahkan ke subkontraktor penyedia sirtu. Untuk pendirian tanggul di atas, ketiga kontraktor ini mendatangkan sirtu yang dipasok dari beberapa konsesi penambangan sirtu di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Mojokerto. Sampai saat ini, tidak banyak diketahui tentang subkontraktor yang terlibat secara khusus dengan pendirian tanggul selain CV. Wahyu. Banyak perusahaan penambang sirtu berkelit bahwasanya penambangan yang mereka lakukan tidak terkait secara langsung dengan proyek pendirian tanggul.

    “Kami hanya menyediakan sirtu. Mengenai pembelinya, kami tidak tahu-menahu tentang itu. Entah digunakan untuk pengerjaan tanggul lumpur di Porong, atau untuk kepentingan lainnya, kami tidak tahu!” tegas salah pimpinan perusahaan PT Agung Satrya Abadi, salah satu perusahaan penambang sirtu, saat dihubungi Kanal.

    Keberadaan CV. Wahyu sebagai pihak yang menjalin hubungan khusus dengan para kontraktor pembangunan tanggul di Porong meledak menjadi sebuah persoalan sosial yang sangat mengerikan. Dengan berkaca pada kejadian yang terjadi pada awal tahun 2007 di Desa Pandean, Kecamatan Rembang, Pasuruan, terlihat secara jelas keberpihakan Pemerintah terhadap korporasi penggalian sirtu. Meskipun dengan dalih kemanusiaan, kegiatan pengamanan yang dilakukan oleh TNI AU dalam menjaga konsesi penambangan dari protes warga setempat merupakan bentuk keberpihakan Pemerintah. Padahal, dalam kasus sirtu di Pandean, penggalian telah melanggar aturan-aturan yang disepakati, bahkan merusak makam yang dikeramatkan oleh warga setempat.

    Sementara itu, di Kecamatan Ngoro, Mojokerto, konsesi penambangan sirtu dipegang oleh PT Karya Mitra Sejati dengan area konsesi seluas 445,135 hektare, meliputi Desa Manduro, Wonosari, Wotanmas Jedong, Kunjorowesi, dan Ngoro. Juga, PT Geolava Manunggal Teknik yang wilayah konsesi penambangannya mencapai 219,52 hektare, meliputi Desa Wotanmas Jedong, Srigading, dan Kutogirang. Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Kanal, para pemegang hak konsesi penambangan sirtu ini bertanggung jawab memasok kebutuhan sirtu tanggul-tanggul lumpur di Porong. Terlihat dari truk-truk pengangkut sirtu yang hilir mudik Ngoro-Porong.

    Rantai tanggung jawab terhadap dampak lingkungan mungkin sengaja dibikin rumit, demi menyelubungi rantai rupiah yang bernilai sangat tidak sedikit. Bayangkan, untuk setiap meter kubiknya, merujuk pada harga pasaran, sirtu dihargai Rp 24.800,-. Satu truk sirtu dengan kapasitas yang dipaksakan—22 meter kubik per truk, pada taraf yang ideal adalah 20 meter kubik per truk—harganya mencapai Rp 496.000,-. Belum termasuk di dalamnya, bea driver dan segala macam bea pengangkutan yang meliputi: bea makan, bea bahan bakar dan bea lain-lain. Sehingga jika diakumulasikan, untuk jarak antar 20 kilometer dari area konsesi penggalian sirtu, harganya bisa mencapai Rp 858.100,- per sekali antar berikut sirtunya.

    Jika menilik pada tanggul, dibutuhkan sirtu sebanyak 34.100 meter kubik per harinya. Jumlah yang sedemikian besar setara dengan 1.550 damtruk berkapasitas 22 meter kubik. Bila diakumulasikan hingga hari ini, jumlah sirtu telah mencapai lebih dari 40 juta meter kubik. Dan untuk itu, setidaknya biaya yang harus dikeluarkan lebih dari Rp 900 miliar. Bea ini hanya digunakan untuk pembelian sirtu saja. Belum termasuk dengan bea pangangkutan yang memakan biaya lebih dari Rp 300 miliar. Bila dijumlahkan dengan bea sirtu maka total pembelian sirtu mencapai Rp 1,2 triliun selama empat tahun. Belum termasuk di dalamnya biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pekerjaan para kontraktor dalam mendirikan dan memadatkan tanggul.

    Biaya yang sedemikian besar, pada awalnya berdasarkan pada Perpres Nomor 14 Tahun 2007 pasal 15 ayat 5, dibagi dua antara Lapindo Brantas Inc. dan APBN. Dalam hal ini, pembiayaan pada tanggul-tanggul seputar pusat semburan dibiayai oleh Lapindo, dan untuk tanggul-tanggul terluar dibiayai APBN. Namun, semenjak berlakunya Perpres Nomor 40 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 14 Tahun 2007, pembiayaan dibebankan sepenuhnya pada APBN.

    Dengan biaya raksasa tersebut, tidak salah jika tanggul menjadi lahan perputaran uang tersendiri. Bagi pihak-pihak yang terlibat, kontraktor-kontraktor sirtu berikut subkontraktornya, tanggul adalah kegemilangan. Biaya sebesar itu merupakan prospek bagi kelancaran bisnis. Selain karena nilainya yang tinggi, lumpur panas Lapindo, yang tidak bisa diperkirakan hingga kapan berlangsungnya, menjadi sinyal bagi kebutuhan sirtu yang terus menerus dan dalam skala yang besar. Dan ini adalah bisnis, dimana kontinuitas harus tetap dipertahankan bagi kelangsungan usaha para kontraktor dan subkontraktornya.

    Ada yang melihat, ada ‘berkah’ di balik ‘bisnis’ sirtu itu. Berkat sirtu, pendapatan daerah naik. Dalam Keputusan Menteri Sumber Daya Energi dan Mineral Nomor 2498.K/84/MEM/2008 tertanggal 30 Oktober 2008,  jumlah perkiraan penerimaan untuk sektor pertambangan umum untuk Kabupaten Pasuruan pada tahun 2008 sebesar Rp 173.119.000,- yang didapatkan dari landrent sebesar Rp 36.619.000,-  dan pembayaran royalti senilai 136.500.000,-. Dan sebagian besar di antaranya merupakan pendapatan yang diperoleh dari penggalian sirtu. Angka perkiraan ini berkembang drastis bila dibandingkan dengan perkiraan di tahun 2007 yang berjumlah Rp 82.123.550,-.

    Salah seorang sumber dalam Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Pasuruan menyebutkan peningkatan pendapatan yang diperoleh dari perluasan dan penambahan penggalian sirtu, tapi menolak kalau dinilai menambah kerusakan lingkungan. “Memang ada hubungan yang cukup signifikan antara pembangunan tanggul-tanggul lumpur di Porong dengan pembukaan dan perluasan area konsesi penambangan sirtu. Namun, itu semua dilakukan demi kepentingan kemanusiaan di Kabupaten Sidoarjo. Untuk di Pasuruan sendiri, konsesi-konsesi penambangan yang ada telah diteliti dengan bijak oleh ahli-ahli yang ada. Semisalnya, untuk kelayakan tambangnya atau uji AMDAL-nya. Sehingga masalah-masalah lingkungan ataupun kemanusiaan di area konsesi penambangan dapat diminimalisir.”

    Fakta di lapangan berkata lain. Kasus penambangan sirtu di Pandean dan Gempol menjadi bukti tersendiri tentang rendahnya pengawasan pemerintah terhadap perilaku korporasi penambangan sirtu. Pertanyaan kemudian berlanjut, apakah fenomena ini sengaja dibiarkan oleh permerintah atau ada makna lain di balik semua ini? Seperti yang pernah terjadi di Desa Pandean, dimana TNI AU menjaga lokasi penggalian sirtu atas instruksi dari Mabes Kodam V Brawijaya.

    Namun, seorang sumber lain mengatakan, “Hal itu lumrah terjadi demi urusan bisnis. Biasanya korporasi-korporasi tertentu akan bertingkah demikian demi tercapainya keamanan usahanya!” Apa boleh buat, dorongan bisnis agaknya lebih kuat ketimbang penyelamatan lingkungan dan kemanusiaan. (prima)

    Tulisan ini merupakan bagian dari Laporan Khusus ‘Kanal’ dengan topik ‘Tanggul di Sini, Jurang di Sana’

    (c) Kanal News Room

     

  • Dianggap Membahayakan, Relokasi Pipa Gas Ditentang Warga

    Dianggap Membahayakan, Relokasi Pipa Gas Ditentang Warga

    Penolakan ini sendiri, sudah berlangsung sejak rencana pemasangan pipa mulai memasuki wilayah Dusun Janganasem pada bulan Agustus 2008. PT PGN (Perusahaan Gas Negara) berusaha merelokasi saluran pipa gas mereka, sejak terjadi ledakan pipa gas akibat semburan lumpur Lapindo.

    Menurut Fadholi, warga Dusun Janganasem, mereka menolak pipa melewati perkampungan, dan meminta pemasangan pipa menjauhi daerah perumahan karena mereka khawatir dengan resiko seperti kebocoran atau bahkan ledakan pipa gas, sebagaimana yang pernah terjadi pada 22 November 2006, di area semburan lumpur Lapindo.

    “Warga terus berupaya dan bertekad bulat, warga tak akan berdiam diri sebelum pipa gas yang ditanam dibongkar dan dialihkan di luar pemukiman warga,” tutur Fadholi.

    Meskipun ditentang, PT PGN terus melaksanakan pengerjaan relokasi pipa gas tersebut, Fadholi mengatakan apa yang dilakukan oleh PT PGN tersebut sangat meresahkan warga.

    “Kejadian kebocoran atau ledakan pipa minyak dan gas di beberapa daerah serta kejadian gempa akibat pergerakan tanah yang sering terjadi di bumi ini dimana kondisi jalan  banyak yang retak atau terbelah, bayangkan seandainya di jalan tersebut ada jaringan pipa gas yang aktif apa tidak mungkin pipa tersebut akan patah, sudah dapat dipastikan semakin banyak menelan korban jiwa atau kerusakan lainya,” terang Fadholi lebih lanjut.

    Warga Dusun Janganasem berharap, pihak-pihak terkait memperhatikan keresahan warga, mereka hanya ingin hidup tenang di kampungnya sendiri, tanpa harus diganggu kemungkinan-kemungkinan yang bisa membahayakan nyawa mereka. (re)

    (c) Kanal News Room

  • Tanggul di Sini, Jurang di Sana

    Tanggul di Sini, Jurang di Sana

    Siang itu, seperti biasa, macet menghiasi Jalan Raya Porong, Sidoarjo. Ratusan kendaraan berbaris rapi-memanjang di sepanjang Japanan hingga Ketapang. Mengikuti irama klakson yang tak merdu itu, berdendang dalam kesumpekan lalu lintas. Terjerambab dalam kesusahan yang berlangsung nyaris empat tahun.

    Hingga di suatu momen, sebuah truk raksasa pengangkut pasir batu (sirtu) yang sedang bergerak merayap di depan Pasar Porong oleng sejenak terjerembab jalan yang bergelombang akibat penurunan tanah (land subsidence). Kondisi ini mengakibatkan terlemparnya beberapa bongkahan material sirtu sebesar kepalan tangan. Sontak beberapa pejalan kaki yang sedang berjalan tertib di atas trotoar kaget; terpana akan kejadian yang baru saja terjadi. Seandainya posisi mereka berada tepat di bawah truk tersebut mungkin keadaan bisa berbeda. Dan, keselamatan hanya berjarak sepersekian detik.

    Kejadian berlangsung sangat cepat, secepat kedipan mata. Namun, warga sekitar sudah mahfum dengan peristiwa demikian. Bahkan beberapa menganggap hal tersebut adalah lumrah. Hal yang sangat kontras bila dibandingkan dengan keadaan empat tahun yang lalu. “Semenjak lumpur muncul, ratusan truk pengangkut sirtu mondar-mandir di sini. Membawa material-material berat seperti sirtu. Dan peristiwa yang baru saja terjadi itu sudah biasa,” ungkap Saparno, seorang penjaja makanan yang biasa berjualan di sekitar Jalan Raya Porong.

    Semenjak lumpur menyemburat, PT Minarak Lapindo bersama-sama Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo (Timnas PSLS) menggiatkan pembangunan tanggul berbahan sirtu, pada 2006. Alasan pemilihan sirtu dikarenakan kekokohannya dalam menahan lumpur. Sebelumnya, Timnas pernah mengusulkan untuk menggunakan limbah besi sebagai bahan utama tanggul. Alasannya, sifatnya yang permiable dan efisiensi biaya. Namun, rencana tersebut ditolak oleh Kementerian Ekonomi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sebabnya, limbah besi yang akan dijadikan ternyata tergolong sebagai Bahan Beracun Berbahaya (B3). Oleh karena itu rencana tersebut urung dilaksanakan.

    Untuk pengerjaannya, proyek diserahkan kepada tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berlaku sebgai kontraktor, yakni: PT. Adhi Karya, PT. Wijaya Karya, dan PT. Abhipraya Brantas. Ketiga BUMN ini bekerjasama dalam upaya pendirian tanggul: memadatkan dan meninggikannya. Meskipun demikian banyak kalangan masih merisaukan proses pengerjaannya. Hal ini dikarenakan peristiwa-peristiwa yang kerap terjadi di seputar tanggul; pada tanggul kerapkali terjadi rembesan, deformasi lateral maupun vertikal (settlement) yang besar, tanggul longsor (sliding) terjadi limpasan (overtopping) pada tanggul dan bahkan tangggul jebol (breach).

    Meskipun demikian, proyek pembangunan tanggul tetap dilangsungkan. “Kondisinya sudah sangat genting. Kalau tanggul tidak ditinggikan, mungkin lumpur sudah meluber kemana-mana,” papar Ahmad Zulkarnaen, Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), lembaga penerus Timnas PSLS.

    Seperti yang dikemukakan oleh Ahmad Zulkarnaen, proyek pembangunan tanggul berbahan sirtu ini tetap diteruskan oleh BPLS hingga kini. Namun, saat dimintakan keterangannya mengenai asal-muasal sirtu, Ahmad Zulkarnaen mengaku tidak tahu menahu tentang proyek pengerjaan tanggul tersebut. Menurutnya, BPLS hanya meneruskan apa yang telah dilakukan oleh pihak sebelumnya. Kecurigaan segera menggelayut, terutama dikarenakan ketidaktahuan akan program yang sedang digarap oleh BPLS sendiri. Apakah ini hanya sebatas misinformasi, ataukah BPLS sengaja menyembunyikan fakta?

    Menurut pantauan Kanal, untuk pembangunan tanggul, hingga saat ini, lebih dari 1.000.000 meter kubik material sirtu digaruk dari berbagai pelosok penambangan di Pasuruan dan Mojokerto. Jumlah yang sedemikian besar ini setara dengan muatan sebanyak 50.000 dump truk. Jika dihitung harian, terdapat setidaknya lebih dari 34 truk per hari. Angka yang sangat fantastis untuk menyambut milad keempat lumpur panas Lapindo.

    Sementara itu, beberapa daerah penambangan sirtu telah sedemikian hancur. Di Desa Pandean, Kecamatan Rembang, Pasuruan, ratusan sumur menjadi kering. Penyebab utamanya adalah penggalian sirtu besar-besaran yang dilakukan oleh CV. Wahyu di tahun 2006. Setidaknya, penambangan telah mengakibatkan berubahnya formasi  air tanah. Kondisi ini diperkuat dengan adanya penemuan tiga goa berdiameter 50 cm di lokasi penambangan. Goa-goa ini diduga sebagai aliran sungai  bawah tanah. “Penggalian sirtu sudah dilakukan semenjak tahun 2003. Namun, semenjak tahun 2006, jumlah truk yang bolak-balik dari dan ke area penggalian bertambah drastis. Selidik punya selidik, ternyata latar belakang peningkatan dikarenakan sirtu pesanan untuk tanggul Lapindo,” ujar Muhamin, salah seorang warga Pandean.

    “Sebenarnya kami telah melakukan usaha penutupan di tahun 2007. Namun, pada saat itu  pasukan dari TNI AU atas instruksi Mabesdam  Kodam V Brawijaya datang  menjaga lokasi penambangan. Alasan solidaritas menjadi tenggat kesabaran kami,” tambahnya sendu. “Hingga akhirnya kami muak; karena bahaya longsor telah mengancam kami. Penutupan kami lakukan secara paksa di tahun 2009. Saat itu kami merasa keselamatan kami terancam.”

    Salah seorang pekerja penggalian asal Desa Pandean mengungkapkan, kegiatan penggalian yang mereka lakukan bukan tanpa memperhatikan lingkungan maupun masyarakat. Namun, munculnya sebuah instruksi yang tegas telah memaksa mereka untuk bergerilya sepanjang siang dan malam dalam menggali sirtu. “Sebenarnya kami sudah berusaha semampu-mampunya dalam menjaga keasrian lingkungan dan keselamatan warga. Segala aturan telah coba kami terapkan, semisalnya, tebing penggalian kami buat terasering sehingga bisa mengurangi bahaya longsor. Kami usahakan semua itu. Namun, kami juga tidak bisa membantah instruksi yang ada, karena kami mempunyai keluarga yang harus dinafkahi,” ungkapnya getir.

    Dan kini, lubang bukaan sedalam 7 meter dengan tingkat sudut kecuraman nyaris mencapai 90 derajat menjadi keprihatinan bagi warga Desa Pandean. Belum termasuk vegetasi yang rusak akibat polusi debu, juga tentang jalan utama desa yang hancur akibat dilalui truk-truk raksasa dan alat-alat berat. Atau, tentang berubahnya susunan mata air di Kecamatan Rembang. Kesemuanya terakumulasi menjadi satu, meninggalkan derita berkepanjangan bagi masyarakat. Sebab, hingga kini, upaya pemulihan tidak dilakukan sama sekali. “Jangankan upaya pemulihan, lubang-lubang bukaan bekas penambangan saja tidak ditutup,” tambah Mahfud, seorang warga yang lain.

    Kecamatan Ngoro di Kabupaten Mojokerto pun turut menderita akibat penambangan berlebihan demi kepentingan tanggul-tanggul Lapindo. Pada tahun 2008, dua pekerja penggali meninggal karena tertimpa longsoran sirtu. Setidaknya, hal ini mengindikasikan adanya tindakan penambangan yang serampangan. Kecuraman elevasi di area penambangan merupakan indikatornya. Pada titik yang ideal, tebing penggalian harus berbentuk terasering dengan tingkat kecuraman tidak lebih dari 50%. “Seandainya tebing tidak curam, kemungkinan peristiwa tersebut tidak akan pernah terjadi,” tutur Choirul Anam, seorang penduduk Desa Manduro, Kecamatan Ngoro.

    Selain itu, terjadi perubahan morfologi (bentang alam) yang cukup signifikan. Kecamatan Ngoro yang merupakan salah satu kawasan hutan lindung di Jawa Timur telah berubah menjadi lubang-lubang bukaan penambangan yang besar. Apabila dilihat dari ketinggian tertentu, lokasi-lokasi penambangan nampak seperti borok-borok raksasa serupa dengan gerbang neraka. Kekhawatiran akan terjadinya banjir dan longsor pun mengancam kehidupan warga  Mojokerto. Sebab, sebagai kawasan hutan lindung, Ngoro merupakan daerah resapan air yang sangat vital. Banjir di Surabaya sangat tergantung dari kondisi daerah di sekitarnya.

    Kerusakan lahan sebagai konsekuensi pemanfaatan lahan-lahan marginal hampir tidak dapat dihindari. Antara volume pasir yang ditambang dengan sedimentasi yang ada tidak seimbang. Alhasil, kerusakan tinggal menunggu waktu. “Yang menjadi pokok permasalahannya adalah menunggu waktu kapan semuanya akan meletus seperti bom! Dan di saat itu pula dampaknya akan meluas, terasa pada seluruh masyarakat. Tidak hanya Pasuruan, Mojokerto ataupun Sidoarjo, namun meliputi seluruh Jawa Timur,” ungkap Frangky Butar-Butar, ahli hukum lingkungan dari Universitas Airlangga Surabaya.

    “Sebenarnya, untuk penggalian material seperti sirtu, harus ada estimasi dan batas-batas tertentu yang dapat digali pada area konsesi. Hal ini sebagai dasar rujukan guna kepentingan dan keamanan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Entah karena alasan apapun, jika ada pihak yang dirugikan secara material dan non-material akibat penggalian yang ada, maka kegiatan penggalian cacat secara hukum. Menilik pada pembangunan tanggul-tanggul Lapindo, kurang arif jika penggalian didasarkan pada permasalahan kemanusiaan justru menimbulkan problem kemanusiaan dan lingkungan pada sisi lain di tempat yang lain,” tutur Prof. Dr. Nyoman Nurjaya SH, MH., pakar lingkungan dari Universitas Brawijaya Malang.

    Ya, penggalian yang merupakan pemandangan setiap harinya sungguh mengerikan. Deru mesin pompa terus menyedot pasir yang dikelilingi antrian truk yang menunggu muatan. Para pekerja menempatkan selang penyedot di kubangan. Agar sasarannya tepat, kubangan yang terdapat air itu diselami hingga pada ujung selangnya mengenai pasir. Setelah ujung selang menemukan pasir, tak berapa lama kemudian pasir akan menyembur dari ujung selang yang lain. Sementara mesin pompa masih bekerja, penambang menyorok pasirnya untuk dipindahkan kedalam bak truk. Satu truk penuh, giliran truk lainnya diisi.

    Dan kegiatan yang sangat mengerikan tersebut dipercepat dan diperluas dikarenakan adanya target yang harus dipenuhi oleh subkontraktor-subkontraktor tanggul lumpur panas Lapindo untuk bersaing dengan kecepatan lumpur yang tengah mengganas di Porong. Inilah salah satu bentuk pertanggungawaban pemerintah dan Lapindo terhadap bencana yang telah mereka sebabkan di Porong.

    Masih banyak lagi lokasi penambangan-penambangan sirtu untuk tanggul-tanggul raksasa lumpur panas Lapindo yang tercecer. Dengan demikian, peluang bertambahnya korban Lapindo secara tidak langsung makin terbuka. Menjulang di seputaran Jawa Timur. Mengancam keselamatan seluruh masyarakat.

    Atas nama kemanusiaan, sirtu digaruk serampangan dengan backhoe (alat berat) raksasa. Merusak harmonisasi ekosistem alam. Hingga pada akhirnya zona hidup masyarakat terancam. Harus berapa banyak lagi tumbal yang dibutuhkan untuk menutupi borok Lapindo? (prima/novik/fahmi)

    Tulisan ini merupakan bagian dari Laporan Khusus ‘Kanal’ dengan topik ‘Tanggul di Sini, Jurang di Sana’

    Simak tulisan lainnya:
    Pusaran Bisnis di Balik Sirtu

    (c) Kanal News Room

     

  • Lagi, Puluhan Titik Semburan Gas Liar Mengancam Warga

    Lagi, Puluhan Titik Semburan Gas Liar Mengancam Warga

    Rentetan semburan yang ke-12, dihitung sejak semburan pertama pada 11 April lalu di depan tugu kuning, Siring, itu memang berangsur-angsur surut. Akan tetapi semburan lain yang tidak jauh dari semburan ini semakin membesar, persisnya berada di sekitar sisi timur rel kereta api depan pom bensin Siring. Tidak hanya gas yang muncul, lumpur panas juga ikut menyembur di sekitar rel kereta api ini.

    Tak jauh dari Jalan Raya Porong, semburan gas baru juga muncul di sekitar Jalan Raya Ketapang, tepatnya di depan pabrik penetasan ayam. Tidak tanggung-tanggung, gas yang muncul lebih dari 20 titik. Semburan gas ini muncul sekitar Sabtu dini hari (17/04). Seorang penjual nasi yang tidak jauh dari lokasi semburan menuturkan, gas ini pertama kali muncul di sekitar warung milik Ibu Eni. “Gas ini muncul sekitar jam 01.00 tanggal 17 kemarin. Saya kira kompor gas saya bocor. Baunya sangat menyengat,” tutur Ibu Eni.

    Sejak saat itu, pemilik warung nasi asal Probolinggo ini merasa ketakutan jikakalau sewaktu-waktu warungnya terbakar seperti yang pernah terjadi pada sebuah warung di ruko Jatirejo 3 tahun silam. “Sudah tiga hari ini saya ketakutan dan tidak bisa tidur. Saya takut warung saya terbakar seperti di ruko Jatirejo dulu.”

    Sekitar 10 meter dari warung Ibu Eni juga muncul puluhan gas baru. Sunandar, salah satu warga Ketapang Barat, menuturkan, pertama kali bubble gas di sekitar sini muncul di warung Ibu Eni, lalu sehari kemudian muncul di sebelah selatan warung Ibu Eni.

    Sampai berita ini diturunkan, belum ada perhatian dari pihak terkait. Bahkan papan peringatan yang biasanya dipasang pihak BPLS tidak tampak di sekitar lokasi semburan baru di kawasan Ketapang. (vik)

    (c) Kanal News Room

  • Walhi: Ada Makelar Kasus Lapindo

    Walhi: Ada Makelar Kasus Lapindo

    Jakarta  – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang lingkugan hidup, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menduga telah terjadi praktik makelar kasus dalam proses pengusutan dugaan pelanggaran hukum luapan lumpur Lapindo.

    “Walhi menilai telah terjadi makelar kasus dan dugaan korupsi atas terbitnya surat perintah penghentian penyidikan kasus Lapindo,” kata Pengkampanye Tambang Walhi, Pius Ginting di gedung KPK, Jakarta, Kamis.

    Pius berada di gedung KPK untuk melaporkan dugaan korupsi dalam proses hukum kasus Lapindo.

    Dugaan korupsi dan praktik mafia hukum itu, nenurut Pius, terjadi ketika Polda Jawa Timur menghentikan penyidikan dugaan pelanggaran hukum dalam kasus lumpur Lapindo.

    Pada Agustus 2009, Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Jawa Timur mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan untuk kasus itu.

    Polda Jawa Timur menyatakan, penyidikan perkara itu harus dilakukan karena berkas perkara telah empat kali dikembalikan oleh kejaksaan setempat.

    Pengembalian berkas itu disertai dengan dua petunjuk formil dan delapan petunjuk materiil untuk membuktikan unsur tindak pidana yang dipersangkakan.

    Pius menegaskan, pengembalian berkas oleh kejaksaan tidak dapat dijadikan alasan untuk menghentikan penyidikan suatu perkara.

    “Tidak ada aturan dalam KUHAP yang mengatur mengenai batas mengirim berkas perkara atau yang disebut pra penuntutan. Jadi tidaklah tepat jika hal itu dijadikan pertimbangan atau alasan penghentian penyidikan,” kata Pius.

    Dalam laporannya, Walhi juga menyampaikan daftar ahli independen untuk mengungkap kebenaran dalam kasus luapan lumpur itu.

    Hingga saat ini, menurut Pius, rekomendasi keterangan ahli itu tidak pernah digubris oleh Polda Jawa Timur.

    Tanpa adanya usaha untuk melengkapi bukti terlebih dahulu, Walhi menganggap keputusan menghentikan penyidikan kasus Lapindo tidak dapat dibenarkan dan menimbulkan kecurigaan.
    (F008/B010)

    (c) ANTARA News.com

  • A Crippled Economy That Won’t Easily Recover

    A Crippled Economy That Won’t Easily Recover

    evakuasi pabrik
    Labours evacuate properties that can still be saved in a Rattan Factory from Lapindo mud flow

    Please see these numbers, Rp 33.2 trillion; Rp 27.4 trillion, and Rp 32.8 trillion. Well, unusually large, isn’t it? And those numbers are not the losses suffered by investors due to the fuss collapse of world stock markets recently. These numbers are estimated for economic losses caused by Lapindo mudflow disaster in Sidoarjo.

    The mind-boggling figures above were published by Greenomics, the National Development Planning Agency (Bappenas) and the State Audit Bureau (BPK) after studies into the economic impacts of the disaster.

    In a similar tone, the economist Kresnayana Yahya has estimated that each day as much as Rp 300 million (AUD$36,000) fails to enter the economy due to ruptured infrastructure that has brought much of the transportation in the area to a standstill.

    So how is it possible that a mudflow, which is lightly passed off by some officials as a passing, local annoyance to just the people of the Porong region and which has only inundated less than 2 percent of Sidoarjo District, could cause such enormous financial losses? (more…)

  • Gas Mudah Terbakar Menyembur di Jalan Raya Porong

    Gas Mudah Terbakar Menyembur di Jalan Raya Porong

    “Dari hasil observasi sementara, semburan baru ini mengandung gas metan dan tidak mengandung H2S,” kata Humas BPLS, Zulkarnaen. Semburan baru yang berdiameter 2×3 meter ini membuat aspal jalan mengelupas dan terangkat. “Rencananya bubble gas ini segera akan kita tangani, karena kondisinya sangat berbahaya bagi pengguna jalan,” tambah Zulkarnain.

    Semburan baru ini merupakan semburan yang ke-160, terhitung sejak semburan lumpur panas terjadi di Sumur Banjar Panji-1 milik PT. Lapindo Berantas, Inc., pada 2006 silam. Selain itu, ada sekitar 10 titik gelembung yang juga ikut muncul di bahu jalan yang tidak jauh dari lokasi semburan.

    Adi Sugiarto, salah satu tukang ojek, menuturkan, sebelumnya terjadi semburan di depan dealer motor Yamaha pada Sabtu (10/4) sekitar pukul 19.00. “Sebelumnya terjadi semburan di depan dealer Yamaha pada Sabtu sore. Lalu Minggu pagi (11/4) muncul lagi di tengah jalan di depan Tugu Kuning,” ujarnya.

    Sampai saat ini, belum ada penanganan dari pihak tekait soal semburan yang terjadi di tengah jalan raya ini. Yang ada hanya pemantauan secara insentif dari BPLS dan pihak Kepolisian Resor sidoarjo. Di sekitar semburan, dipasang tali pengaman agar tidak terinjak oleh pengguna jalan. (vik)

    (c) Kanal News Room

  • SBY dan Wisata Lumpur

    SBY dan Wisata Lumpur

    SUBAGYO – Beberapa hari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi lokasi lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. SBY mengusulkan agar danau lumpur itu dijadikan lokasi wisata geologi.

    Namun, SBY hanya bisa mengimbau agar pihak yang berkewajiban (Lapindo Brantas Inc) segera menyelesaikan pembayaran kepada korban tepat waktu.

    Sebagian aktivis dan relawan pendamping korban lumpur Lapindo menilai, wisata lumpur adalah gagasan tidak bermutu. Warga korban lebih berharap Lapindo Brantas Inc dan pemerintah segera menyelesaikan masalah sosial yang mereka derita.

    Meski sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), pelunasan ganti rugi tanah dan rumah yang terendam lumpur pada sebagian besar korban Lapindo belum beres.

    Dalam debat calon presiden 2009 yang ditayangkan di televisi, SBY berjanji mengevaluasi kebijakan pemerintah dalam penanganan lumpur Lapindo. Ternyata, setelah jadi presiden, SBY hanya mengamandemen Perpres No 14 Tahun 2007 jo Perpres No 48 Tahun 2008 dengan Perpres No 40 Tahun 2009 yang justru memperingan kewajiban Lapindo dan lebih membebani APBN.

    Saya tidak tahu apakah SBY pernah membaca hasil penelitian Tim Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Hasil penelitian itu menunjukkan, wilayah sebelah barat danau lumpur Lapindo sangat tidak layak huni sebab kandungan gas hidrokarbonnya (HS) 55.000 ppm. Ambang batas untuk kesehatan maksimum 0,24 ppm.

    Sudah ada korban Lapindo asal Kelurahan Siring yang meninggal pada 2008 akibat gas beracun itu, yaitu Soetrisno, Yakup, dan Luluk.

    Setahu saya, belum ada satu pun pihak atau lembaga yang meneliti dampak gas beracun lumpur Lapindo, misalnya, berapa jumlah korban yang sakit dan meninggal, sehingga belum ada data untuk acuan. Ini menunjukkan, pemerintah terlalu cuek, tidak bertanggung jawab.

    PBB—dalam hal ini United Nations Disaster Assessment and Coordination (UNDAC)—pada Juni-Juli 2006 pernah memantau lumpur Lapindo. Dalam laporannya, UNDAC menulis, meski tak ada informasi lebih lanjut tentang ukurannya, konsentrasi 700 ppm bisa berdampak langsung dan akut pada kesehatan manusia dan berakibat kematian. Gagasan wisata lumpur yang diusulkan SBY

    belum didasari data yang benar dan akurat. Memang, jika kita datang ke tanggul lumpur Lapindo, ada ”kreativitas” para korban Lapindo yang jadi pemandu ”wisata lumpur”. Mereka ini sudah lama kehilangan pekerjaan begitu lumpur menghabisi nasib mereka.

    Gagasan wisata lumpur harus diteliti dan dikaji lebih jauh, menyangkut keselamatan (kesehatan) rakyat. Gas HS dan lain-lainnya yang merupakan senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) sangat berbahaya bagi kesehatan, dan dalam kadar tertentu akan berdampak jangka panjang, berupa kanker.

    Negara kalah?

    Saat ini yang dibutuhkan para korban Lapindo adalah ketegasan Presiden SBY yang sudah mengambil alih penyelesaian masalah lumpur Lapindo. Namun, bukan dengan gagasan-gagasan muluk yang tidak karuan, apalagi jika malah membahayakan.

    Nasib rakyat korban tidak boleh lagi digantung dengan alasan-alasan privat korporasi, seperti kesulitan finansial Lapindo akibat krisis ekonomi global dan susur tembakau itu. Lapindo Brantas Inc adalah anak korporasi Grup Bakrie yang terkenal kebesarannya dan merambah berbagai sektor energi negara ini. Jika nasib korban Lapindo terus digantung dengan alasan-alasan privat seperti itu, ini tanda negara telah kalah dan dikalahkan kehendak korporasi.

    Mengapa Presiden tampak lemah, tidak mampu menegakkan Perpres No 14 Tahun 2007 yang dibuatnya sendiri, dengan membiarkan Lapindo mencicil dan mempersulit pembayaran kepada warga korban? Mengapa Presiden tidak menggunakan otoritas

    yang dibenarkan secara hukum? Misalnya, dengan mencabut izin Lapindo Brantas Inc serta mengambil alih sumur-sumur gas produktif di Blok Brantas.

    Jika Grup Bakrie melawan, Presiden harus bertindak selaku pemerintahan, misal dengan memailitkan demi kepentingan umum. Bersamaan dengan itu, pembayaran kepada korban Lapindo diselesaikan dengan uang negara lebih dulu, mengacu pada saran Badan Pemeriksa Keuangan dalam laporan audit 29 Mei 2007.

    Akhirnya, apakah kita akan menjadi turis wisata ketidakberdayaan negara melawan korporasi dan derita rakyat korban? Negara ini sudah dilahap kompeni asing, masa juga disantap kompeni domestik. Capek deh!

    Subagyo : Advokat dan Pekerja Sosial; Mantan Anggota Tim Investigasi Komnas HAM dalam Kasus Lumpur Lapindo.
    (c) cetak.kompas.com

  • LAPINDO BRANTAS: ANTARA KORBAN LUMPUR DAN OBJEK WISATA

    LAPINDO BRANTAS: ANTARA KORBAN LUMPUR DAN OBJEK WISATA

    Husni K. Efendi – Hampir 4 tahun lamanya warga di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di desa , Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo dan sekitarnya, terhitung sejak Lumpur panas menyembur sejak tanggal 27 Mei 2006 silam, mereka harus hidup di pengungsian sampai sekarang. Berjibaku dengan masalah hidup yang lebih sulit dari sebelum mereka mengalami masalah ini. Ada banyak warga yang meninggal dunia karena menghirup gas dari semburan lumpur itu, apalagi saat pipa gas milik Pertamina meledak pada tanggal 26 November 2006 yang menewaskan 12 warga.

    Fakta yang lebih besar lagi, ada sekitar 3.000 lebih kepala keluarga (KK) dengan 13.000 jiwa lebih yang terpaksa terusir dari kawasan semburan lumpur itu, bahkan dua desa di Porong “hilang” yakni Siring dan Renokenongo. Fakta-fakta ekologis itu memastikan adanya pelanggaran HAM berat sesuai UU Nomor 26 Tahun 2006, bahkan Komnas HAM mencatat 18 jenis pelanggaran HAM yang merujuk fakta-fakta ekologis yang ada.

    Bagaimana tidak, rumah dan tanah yang tadinya mereka tinggali tergenang lumpur panas dengan masalah ganti rugi yang tidak jelas, belum lagi masalah kebutuhan hidup sehari-hari dan kesehatan juga pendidikan yang nyaris diacuhkan oleh pihak pemerintah ataupun oleh pihak PT Lapindo Brantas sendiri.

    Parahnya mediapun lebih memilih menuliskan “Lumpur Sidoarjo” dibanding dengan “Lumpur Lapindo Brantas.” Tanpa sadar media pun ikut menyetir pola pikir masyarakat, secara tidak langsung mengatakan bahwa itu semua adalah gejala alam dan bukan kesalahan manusia. Dengan asumsi ini adalah gejala alam yang mau tidak mau masyarakat Sidoarjo harus menerimanya. Lantas pertanyaan klasik janji SBY dulu tentang Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007:

    Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah (ayat 1). Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis (ayat 2).

    Tidak jelas realisasinya, nyatanya juga janji itu seperti angin lalu, seolah-olah dengan hanya mengeluarkan Peraturan Presiden masalahnya selesai. Kita bisa melihat bagaimana yang terjadi di lapangan, warga korban Lapindo Brantas terus menuntut hak mereka sampai sekarang. Bagaiamana menceritakan penderitaan yang dialami warga Lapindo kadang kemudian hanya menjadi kisah sinetron yang didramatisir bagi mereka yang berkepentingan (berkampanye dalam pemilu).

    Kisah tragis Mbok Jumi korban lumpur Lapindo Brantas misalnya yang mengalami sakit sampai akhir hayatnya menyaksikan tanah, rumah dan kampungnya terendam lumpur juga tidak banyak yang tahu. Ia meninggal dunia dengan tetap menyandang status sebagai korban lumpur Lapindo Brantas.

    Lumpur Porong Jadi Obyek Wisata Geologis?!

    Lumpur Porong Jadi Obyek Wisata Geologis adalah pemberitaan tentang usulan Presiden SBY dalam detiknews.com edisi 29 Maret 2010. Dia menyebutkan bahwa dengan menjadikan kawasan luapan lumpur Sidoarjo menjadi kawasan objek wisata setidaknya bisa diatur menjadi semacam wisata geologis, sumber perikanan, pertanian, kelautan atau lainnya.

    Alih-alih bagaimana SBY mengevaluasi realisasi dari Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007, atau memikirkan korban warga lumpur Lapindo Brantas yang masih dalam pengungsian dengan segala permasalahannya. Yang ada malah usulan untuk menjadikan kawasan wisata. Sepertinya tidak tahu lagi apa sebenarnya yang menjadi komitmen Presiden SBY terhadap warga Korban Lumpur Lapindo ini. Tidak masalah mungkin jika langkah ini diambil jika memang masalah sebelumnya juga sudah teratasi.

    Begitu banyak masalah yang terjadi dengan luapan lumpur Lapindo Brantas sehingga seolah-olah SBY tidak mau dipusingkan dengan itu, dengan gegabah merencanakan objek wisata di daerah luapan lumpur. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana warga mau mengelola itu setidaknya mendapatkan manfaatnya, jika kebutuhan-kebutuhan mendasarnya pun sampai sekarang tidak terpenuhi (masalah ganti rugi, kesehatan, dampak psikologis). Sepertinya dengan mengatakan ide ini terlalu dangkal untuk kapasitas seorang presiden, kiranya tidak berlebihan.

    Tidak lama berselang DPR juga senada dengan “boss”-nya, lewat Marzuki Alie sebagai ketua DPR, menyetujui usulan Presiden SBY dalam rangka menjadikan Lumpur Lapindo menjadi kawasan wisata.

    Belum berhenti sampai di sini, kebobrokan birokrasi ini ditandai lagi dengan bagaimana Gubernur Jawa-Timur, Soekarwo memberikan penghargaan Zero Accident Award kepada PT Lapindo Brantas Inc. pada 25 Maret lalu.

    Teman saya mengomentari, “Kalau PT Lapindo Brantas mendapatkan Penghargaan Zero Accident, besok mungkin Freeport dapat penghargaan sebagai perusahaan yang paling menghargai HAM, dan Newmont sebagai perusahaan yang paling menghargai Lingkungan.” Sepertinya kelakar teman saya tadi memang nyata.

    Alhasil harus kepada siapa lagi korban Lapindo Brantas ini akan mengadu? Dan kita semua perlu waspada, jika masalah ini terus berlarut-larut kita tunggu saja bom waktu ini kapan akan meledak.

    Penulis adalah anggota Komunitas Ultimus Bandung , sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

    (c) portal Prakarsa Rakyat

  • Menyoal Gagasan Wisata Lumpur Lapindo

    Menyoal Gagasan Wisata Lumpur Lapindo

    Firdaus Cahyadi – Menjelang empat tahun usia semburan lumpur Lapindo, akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluangkan waktunya untuk mengunjungi kawasan Porong, Sidoarjo, yang telah hancur lebur akibat semburan lumpur. Kunjungan Presiden SBY tentu saja pantas diapresiasi karena selama ini timbul kesan bahwa negara telah meninggalkan korban lumpur.

    Namun, sayang, apresiasi terhadap kunjungan Presiden SBY ke Porong tiba-tiba sirna dengan munculnya gagasan Presiden untuk menjadikan kawasan lumpur Lapindo sebagai sebuah obyek wisata geologis. Gagasan tersebut pantas mendapat tentangan dari masyarakat. Pasalnya, kawasan itu sebenarnya dapat dikategorikan kawasan beracun yang berbahaya bagi kesehatan manusia. (more…)

  • Sekolah Dekat Tanggul Lumpur Lapindo, Murid dan Guru Cemas

    Sekolah Dekat Tanggul Lumpur Lapindo, Murid dan Guru Cemas

    SIDOARJO  – Murid dan guru SD Negeri Pejarakan, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim), diliputi perasaan cemas setiap musim hujan, pasalnya sekolah mereka sangat dekat dengan tanggul lumpur panas Lapindo.

    “Setiap musim hujan begini, anak didik dan guru di sini selalu cemas, kalau-kalau sekolah kami tergenang,” kata Darmudji, guru SD Negeri Pejarakan, Jumat (2/4/2010).

    Kecemasan itu bukan tanpa alasan, karena menurut dia, hampir setiap kali musim hujan, sekolahan yang lokasinya hanya beberapa meter dari tanggul itu tergenang lumpur.

    Pihaknya sudah beberapa kali mengadukan persoalan tersebut kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan pemerintah daerah setempat melalui kantor Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Jabon.

    “Akan tetapi, pengaduan kami belum mendapatkan tanggapan. Bahkan, kami diminta untuk terus bersabar dan terus menunggu,” kata Darmudji didampingi beberapa murid dan guru SD Negeri Pejarakan itu.

    Bahkan, sejauh ini pula pihak SD Negeri Pejarakan belum mendapatkan informasi dari pihak terkait ke mana kelak akan di pindahkan untuk menjamin keselamatan jiwa 135 murid dan sejumlah guru dalam melaksanakan kegiatan belajar dan mengajar.

    “Kami hanya diminta menunggu. Dari kantor Cabang Dinas (Pendidikan), selama masih ada warga yang tinggal di situ maka sekolah masih tetap dibuka,” ucap Darmudji lirih.

    Sejauh ini, ratusan warga Desa Pejarakan masih tetap bertahan di rumah mereka masing-masing yang berada di sekitar tanggul lumpur. Mereka menolak mengungsi, sebelum PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ)melunasi 50 persen sisa biaya ganti rugi.

    “Kalau uang yang tersisa 50 persen belum dilunasi, kami tidak akan pindah. Kami tetap menunggu pencairan uang itu,” kata Sarti, warga Desa Pejarakan.

    Sesuai kontrak dengan PT MLJ, warga menerima uang ganti rugi sebesar Rp 1,5 juta untuk setiap meter persegi bangunan dan Rp 1 juta untuk setiap meter persegi lahan, sedangkan untuk lahan basah, seperti sawah, hanya mendapatkan ganti rugi sebesar Rp 120 ribu per meter persegi.

    Hampir semua warga yang terdampak lumpur panas sejak Mei 2006 itu telah mendapatkan 50 persen uang ganti rugi. Namun, mereka juga belum bersedia pindah sebelum menerima 100 persen uang ganti rugi.

    (c) Surya Online

  • Ide SBY Dinilai Terlalu Dangkal, Orientasi Bisnis Semata

    Ide SBY Dinilai Terlalu Dangkal, Orientasi Bisnis Semata

    Jakarta – Ide Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadikan kawasan Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, sebagai objek wisata geologi dinilai terlalu dangkal. Dengan kapasitas sebagai presiden, SBY harusnya bisa memberikan solusi lebih konkret dan berdampak nyata.

    “Ide ini terlalu dangkal. Saya rasa dengan kapasitas sebagai Presiden, SBY bisa memberikan solusi lebih nyata dibandingkan hanya sebagai tempat wisata,” kata pengacara warga korban lumpur Lapindo, Taufik Basari, saat berbincang-bincang dengan detikcom, Selasa, (30/3/2010).

    Lebih lanjut Taufik menilai, perhatian SBY terhadap kasus ini sangat terlambat. Tapi ini beralasan karena pada periode sebelumnya, SBY merasa terpenjara karena kedekatannya dengan Aburizal Bakrie.

    Setelah Bakrie tidak di pemerintahan, SBY lalu mencoba menaruh perhatian kepada korban Lapindo meski tidak substantif. “Karena yang lebih substansif harusnya menanyakan dan mengusut pihak yang bertanggungjawab,” tambah mantan aktivis YLBHI ini.

    Analisa Taufik tak berhenti sampai di situ, dia menduga bahwa pengembangan obyek wisata Lumpur Lapindo berdasar perhitungan bisnis semata. Jika berubah menjadi objek wisata, maka terjadi perputaran uang dan hak pengelolaan kawasan wisata.

    “Pasti akan bermasalah lagi, siapa yang mengelola, dan perputaran uang. Ini bukan pertama kali Lumpur Lapindo dijadikan lahan bisnis. Sebelumnya, pihak Bakrie membuat komplek perumahan dan dijual ke warga,” bebernya.

    Menurutnya, SBY harusnya memenuhi keinginan warga yaitu mengembalikan kehidupan menjadi pulih seperti semula. Lalu tidak membuat penderitaan berkepenjangan dan membuat ganti rugi.

    “Ide tempat wisata itu hanya parsial. Harusnya lebih dari itu yaitu menyelesaikan secara tuntas kasus hukumnya dan kembali memulihkan kehidupan warga,” pungkas salah satu tim pengacara judicial review UU Pornografi ini. (Andi Saputra)

    (c) detik News

  • SBY Berkunjung, UN Korban Lapindo Memprihatinkan

    SBY Berkunjung, UN Korban Lapindo Memprihatinkan

    SIDOARJO – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Berserta rombongan akhirnya jadi datang mengunjungi luapan Lumpur Lapindo. Turut serta dalam rombongan antara lain adalah Mensesneg Sudi Silalahi, Menko Polkam Djoko Suyanto, Menko Kesra Agung Laksono, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Mendiknas M. Nuh, Menbudpar Jero Wacik, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, dan Mendagri Gamawan Fauzi.

    Selain itu, Menteri pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, Juru Bicara kepresidenan Julian A Pasha dan Dino Patti Djalal beserta putra bungsu presiden yang juga anggota Komisi I DPR Edhie Baskoro turut pula hadir mendampingi. Presiden SBY dalam lawatannya ke pusat semburan Lumpur Lapindo ini tidak disertai dialog dengan korban. Sedangkan warga sangat mengharapkan presiden datang ke Porong lebih memperhatikan penderitaan korban yang sudah 4 (empat) tahun menderita. “Seharusnya Presiden ke sini lebih melihat warga korban yang sekarang menderita, bukan untuk melihat semburan lumpur,” tegas Sanetro salah satu korban yang belum terbayar sisa pembayaran 80 persennya.

    Selain Sanetro, hal senada juga dituturkan Ketua RT 3 RW 1 Desa Siring Barat, Gandu Suyanto. Ia meminta Presiden Yudhoyono, setidaknya, meluangkan waktu berdialog dengan warga korban lumpur. Menurut dia, sebagai pemimpin yang dipilih oleh rakyat, Presiden harus terbuka dan memperjuangkan hak warga untuk mendapatkan ganti rugi.

    Ditengah-tengah kunjungan Persiden di pusat semburan Lumpur Lapindo, anak-anak korban yang duduk dibangku SMP justru sedang sibuk mengikuti Ujian Nasional. Madrasah Tsanawiah Khalid bin Walid misalnya salah satu sekolah yang telah tenggelam oleh Lumpur Lapindo ini harus melaksanakan Ujian Nasional di bekas toko bangunan yang ada di desa Glagah Arum, Tanggulangin. Selain Madrasah Tsanawiah Khalid bin Walid, SMP Negeri 2 Porong juga harus menebeng di SMU Negeri 1 Porong untuk melaksanakan Ujian Nasional. “Seharusnya SBY dalam kunjungannya menyempatkan diri mengunjungi kami, anak-anak korban yang sedang mengikuti Ujian dengan menebeng di gedung sekolah lain. Karena sampai saat ini gedung kami belum selesai dibangun” Tegas Hisam Siswa SMP Negeri 2 Porong.

    Selain SMP Negeri 2 Porong, MTs Abil Hasan Assadzili Jatirejo juga mengikuti ujian dengan mempergunakan gedung MTs Nurul Huda, Kedung Boto Porong. Sugiono selaku kepala sekolah menyampaikan setidaknya SBY juga memperhatikan pendidikan anak-anak korban yang sudah 4 (emapat) tahun terbengkalai. Setidaknya ada sekitar 33 bangunan sekolah tenggelam, terdiri dari 9 TK/RA, 15 SD/MI, 5 SMP/MTs, dan 4 MA/SMK, plus dua pondok pesantren. Selain SMP 2 Porong, semua tidak mendapatkan penanganan serius hingga saat ini. Hampir semua akhirnya menempati bangunan-bangunan darurat. Mungkin juga tak layak disebut bangunan sekolah. (novik)

    (c) Kanal News Room

  • SBY Datang, Jalan Desa Pun Dipoles

    Abdurochim (42) warga desa Besuki RT 01/RW 02 merasa senang-senang saja akhirnya jalan penghubung desanya diperbaiki, hanya saja dia mempertanyakan mengapa perbaikan itu harus menunggu pejabat tinggi datang. “Ini seperti sulapan saja, selama ini dibiarkan mangkrak, tapi saat SBY datang sekarang sibuk diperbaiki, apa jalan itu hanya untuk SBY saja?” gugatnya.

    Menurut Abdurochim, seharusnya agenda kedatangan Presiden bisa memberikan penyelesaian persoalan kasus lumpur Lapindo yang telah hampir 4 tahun lamanya menyengsarakan masyarakat. “Kalo SBY datang, harusnya masalah lumpur Lapindo bisa dipercepat, dampak daripada semburan kepada warga harus segera diselesaikan, bukan sekedar memperbaiki jalan saja” terang bapak empat anak ini lebih lanjut.

    Hingga malam hari area sekitar tanggul lumpur Lapindo terus diperindah demi menyambut kedatangan Presiden RI, walau entah apakah kedatangan Presiden kali ini bisa menyelesaikan kasus semburan lumpur Lapindo atau seperti kunjungan sebelum-sebelumnya yang dampaknya tidak pernah dirasakan oleh korban lumpur Lapindo seperti Abdurochim. (re)