Category: Kanal Korban

  • Korban Lapindo Peringati Isro’ Mi’raj dengan Pengobatan Gratis

    Sidoarjo, korbanlumpur.info – Dalam rangka peringatan Isro’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW, korban Lapindo di desa Besuki, kecamatan Jabon mengadakan pengobatan gratis pada hari Minggu(17/5). Pengobatan ini merupakan kerjasama Jam’iyah Manakib Syekh Abdulkadir Jaelani Besuki dengan Tim Dokter dari GK Redemtor Mundi Dukuh Kupang.

    Sedikitnya ada lima dokter, empat perawat, dan beberapa apoteker yang melayani warga Besuki yang datang untuk berobat. Agenda ini diadakan karena tidak adanya perhatian terkait kesehatan korban Lapindo dari pemerintah, meski kondisi desa Besuki sebelah timur bekas tol Surabaya-Gempol sudah rusak setelah lumpur Lapindo pernah menenggelamkan kawasan ini pada 2006 silam.

    Dokter Antonius Yohanes Sumanto mengatakan, kegiatan ini sebagai bentuk misi kemanusiaan dan saling membantu kepada warga lain terutama dibidang kesehatan. “Bantuan kesehatan di korban Lapindo ini baru pertama kali dan banyak warga yang antusias datang untuk berobat,” ungkapnya.

    Lebih lanjut Antonius menambahkan setidaknya pengobatan ini bisa membantu kesehatan korban Lapindo di desa Besuki, “Rata-rata warga yang datang kesini mengeluhkan sakit linu, sesak nafas, gatal-gatal, dan sakit kepala. Sampai pukul 15.00 tercatat 322 warga Besuki yang datang untuk berobat.

    Salah satu panitia, Abdul Rokhim, mengatakan sangat bersyukur dengan adanya kegiatan ini, Menurutnya banyak warga di Besuki yang membutuhkan pengobatan terutama Ibu-ibu. “Kegiatan ini yang diharapkan Ibu-ibu di Desa Besuki, terutama anggota komunitas Jimpitan Sehat, sejak lumpur menyembur banyak warga yang terganggu kesehatannya,” ungkapnya.

    Rokhim berharap dengan diadakannya pengobatan gratis ini, warga Besuki bisa  terbantu kesehatannya. Ia juga berharap pemerintah untuk lebih peduli pada kesehatan korban Lapindo terutama warga yang tinggal di desa Besuki.

    Kondisi lingkungan yang buruk telah berdampak pada munculnya berbagai penyakit yang diderita warga saat ini. “Kami berharap dengan adanya bantuan kesehatan ini akan memacu pemerintah lebih peduli dengan kondisi kesehatan warga,” ungkapnya. (vik)

  • Pelajar SMK Membuat Film Dokumenter Anak-anak Korban Lapindo

    Pelajar SMK Membuat Film Dokumenter Anak-anak Korban Lapindo

    Sidoarjo – Beberapa Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Jabon melakukan pembuatan film dokumenter terkait  persoalan yang dihadapi korban Lapindo di desa Besuki, Kecamatan Jabon. Film yang direncanakan berdurasi limabelas menit ini menceritan kehidupan anak-anak Besuki sejak luapan lumpur Lapindo.

    Menurut Hisam Ulum, pemuda Besuki sekaligus siswa SMK Jabon, pembuatan film dokumenter ini bertujuan untuk menyajikan potret kehidupan warga kekinian sejak lumpur menyembur. Selain menunjukkan relita kehidupan warga Besuki yang terdegradasi, nasib anak-anak yang tidak mendapat perhatian dalam penanganan pemerintah menjadi pesan utama film ini.

    “Film ini nanti menceritakan kehidupan anak-anak Besuki yang kehilangan tempat bermain, ketidaknyamanan selama menempuh pendidikan, dan kesulitan-kesulitan orang tua dalam membiayai pendidikan anak-anaknya”.

    Lebih lanjut Ia menuturkan, film ini diharapkan dapat menyampaikan pesan kepada pemerintah untuk memahami kesulitan-kesulitan yang dihadapi warga korban lapindo. Kerusakan sumber ekonomi warga telah mempengaruhi masa depan pendidikan anak-anak mereka. Jika pemerintah tidak juga peduli terhadap persoalan pendidikan, Ia berharap masyarakat luas bisa bersolidaritas untuk untuk bersama-sama membantu anak-anak korban lapindo mendapatkan hak pendidikan.

    Sementara itu, Rere pengasuh di Sanggar Al Faz, menyampaikan dukungannya dan telah membantu semua proses yang dilakukan untuk pembuatan film ini. Dimulai sejak perencanaan awal, Ia sudah memberikan masukan agar film ini bisa menyajikan pesan yang kuat. “Ide adik-adik SMK Jabon untuk membuat film dokumenter yang menyajikan realita kehidupan korban lapindo adalah permulaan yang baik, Saya sangat berharap akan muncul kelompok-kelompok lain yang membuat hal serupa,” ujarnya.

    Ia juga berharap film-film yang dibuat oleh pihak-pihak yang peduli akan dapat digunakan sebagai media kampanye untuk perbaikan kehidupan korban lapindo. Saat ini yang paling besar dirasakan warga yang tinggal di wilayah sekitar semburan lumpur adalah ketidakjelasan kebijakan atas hancurnya wilayah tinggal warga, dampaknya sangat nyata yang salah satunya terkait kesulitan untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. (vik/red)

    (c) Kanal News Room

  • Terbakar Gas Metan, Setahun Korban Lapindo Diabaikan

    Terbakar Gas Metan, Setahun Korban Lapindo Diabaikan

    Derita Purwaningsih bermula ketika gelembung gas metan di rumah Oki Andrianto, warga Desa Siring Barat, meledak pada 7 September 2010. Gelembung gas metan yang mudah terbakar bertebaran di area sekitar lumpur Lapindo. Ledakan gas ketika itu diiringi api yang menjalar hingga ke warung Purwaningsih. Akibatnya, nyaris sekujur tubuh Purwaningsih terbakar. Devi Purbawiyanto, anak Purwaningsih, juga turut terkena luka bakar.

    Hingga kini, Purwaningsih masih menjalani perawatan untuk luka bakarnya. Sudah banyak biaya dikeluarkan. Tidak tanggung-tanggung, sejak Purwaningsih dipulangkan paksa oleh Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo, biaya yang sudah dikeluarkannya sampai sekarang kurang lebih sudah mencapai Rp 200 juta. Biaya sebesar itu diperoleh Purwaningsih dari bantuan dan pinjaman dari sanak saudara dan teman-temannya. Lebih menyedihkan, rumahnya pun kini sudah dijaminkan ke bank untuk biaya berobat.

    Tidak berhenti di sini, pada hari Selasa lalu (12/10), Purwaningsih harus menjalani operasi ortopedi pada kaki kirinya. Ini untuk memulihkan kulit dan otot kakinya akibat luka bakar. Kaki kanannya belum dioperasi, masih menunggu kondisi luka bakarnya kering. Lagi-lagi biaya yang harus dikeluarkan Purwaningsih dari kantong pribadinya mancapai Rp 20 juta lebih. Itu pun belum termasuk biaya rawat inap dan obat. Diperkirakan, keseluruhan biaya yang dikeluarkan Purwaningsih akan mencampai Rp 50 juta.

    “Operasi mama saya ini sudah memakan biaya Rp 20 juta,” ujar Devi Purbawiyanto saat menunggu ibunya di rumah sakit RKZ Surabaya. “Dan mama harus menjalani rawat inap dan terapi selama 2 minggu. Kami sudah tidak ada biaya lagi. Untuk biaya operasi saja papa pinjam ke temannya dan dapat sumbangan dari anggota jemaat gereja,” cerita Devi.

    Memang sangat memprihatinkan. Setelah menjadi korban kebakaran gas metan, Purwaningsih yang menjadi tulang punggung keluarga nyaris tidak bisa berkerja lagi. Warungnya pun hangus. Sedangkan suami Purwaningsih juga tidak bekerja setelah usaha toko kelontong gulung tikar. Jangankan untuk berobat, untuk kebutuhan sehari-hari saja, Purwaningsih mengandalkan belas kasihan dari anggota jamaat gereja dan saudara-saudaranya.

    “Sejak usaha papa bangkrut akibat lumpur Lapindo, kehidupan keluarga saya serba kekurangan, sampai saya harus berhenti kuliah. Apalagi mama sekarang kondisinya kayak begini. Untuk kebutuhan sehari-hari kami dikirimin sembako dari anggota jemaat gereja,” kisah Devi.

    Purwaningsih masih terus membutuhkan perawatan, dan jelas akan membutuhkan biaya besar. Kaki kanannya masih harus dioperasi, tentu setelah luka bakarnya mengering. Sementara, pihak pemerintah daerah baik itu bupati yang lama, maupaun Bupati Saiful Ilah dan Wakil Gubernur yang pernah menjanjikan menanggung biaya perobatan Purwaningsi sampai sembuh, tak pernah menepati janji.

    “Dulu, setelah Mama pulang dari RKZ, Papa pernah mengirimkan surat ke Bupati Sidoarjo, tapi sampai sekarang tidak ada jawaban. Dan saat kami di RSUD Sidoarjo sehari setelah terjadi kebakaran gas metan, mereka berjanji akan menanggung biaya perawatan kami. Bahkan Kepala Humas RS Dr. Soutomo juga pernah berjanji akan merawan luka bakar kami sampai sembuh. Tapi semua itu hanya omong kosong,” ungkap Devi, kesal.

    Karena itu, Devi sekeluarga hanya bisa merawat ibunya dengan bantuan dari para kerabat. Devi juga tidak bisa berbuat banyak karena kondisi fisiknya masih belum pulih. Masih terlihat bekas luka bakar di kedua kaki dan tangannya. Devi kesulitan mencari pekerjaan. Menurutnya, ia pernah mengirimkan surat lamaran ke perusahaan pada bulan Juli 2011 silam. Tapi sampai sekarang ia tidak menerima panggilan.

    Terakhir Devi nekat pergi ke Bali untuk bekerja untuk distributor perusahaan roti. Tapi itu hanya bertahan hanya tiga bulan saja, karena ia merasa minder dengan kondisi fisiknya. Devi akhirnya pulang dan berhenti berkerja. “Saya terakhir kerja di Bali pada sebuah distributor Sari Roti. Tapi hanya tiga bulan saja,” ungkapnya.

    Derita Purwaningsih dan Devi hanya potret kecil diabaikannya kesehatan warga di sekitar lumpur Lapindo. PT Lapindo Brantas yang menyebabkan menyebarnya gas metan di mana-mana sudah lepas tangan. Pemerintah, yang seharusnya bertanggung jawab atas nasib warga korban, juga terlihat cuek. Kebijakan pemerintah memasukkan wilayah Siring Barat dalam peta area terdampak tidaklah cukup jika risiko kesehatan warga tak pernah ditangani. (vik)

    (cc) Kanal News Room

  • Solidaritas Fadly Padi untuk Pendidikan Anak-anak Korban Lapindo

    fadly serahkan donasi1

    SIDOARJO, korbanlumpur.info – Melanjutkan Gerakan Donasi Sahabat Anak Lumpur, pada Jumat (14/10) Fadly vokalis grup band Padi mengunjungi dan bernyanyi bersama anak-anak korban Lumpur Lapindo di Sanggar Al Faz desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo.

    “Musik Solidaritas Untuk Anak Lumpur Lapindo” merupakan bentuk dukungan Fadly atas Gerakan Donasi Sahabat Anak Lumpur yang digagas Walhi Jawa Timur, Sobat Padi, Sahabat Walhi Jawa Timur, dan beberapa kelompok masyarakat sipil lainnya. Kedatangan Fadly sekaligus secara simbolis menyerahkan donasi yang sudah digalang dan terkumpul selama bulan September yang menggunakan ikon Fadly-Rindra. Keseluruhan jumlah yang diserahkan 25 juta rupiah.

    Fadly mengatakan akan terus mendukung gerakan penggalangan donasi ini. Menurutnya dengan gerakan ini diharapkan membantu keberlanjutan pendidikan anak-anak korban Lapindo yang sudah lima tahun lebih tidak diperhatikan pemerintah.

    “Saya lebih menghargai dan mendukung gerakan ini daripada menunggu pemerintah, ini langkah awal untuk menyelamatkan generasi bangsa, kedepan Saya akan mendukung terus gerakan penggalangan dana untuk pendidikan anak-anak korban Lapindo”.

    Lebih lanjut menurut Bambang Catur Nusantara, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, gerakan Donasi Sahabat Anak Lumpur merupakan gerakan untuk menyatukan solidaritas untuk korban lumpur Lapindo, terutama untuk menjamin pemenuhan hak pendidikan anak-anak korban lumpur Lapindo. Gerakan ini merupakan kerjasama beberapa lembaga seperti Walhi Jawa Timur, Sahabat Walhi, Posko Keselamatan Korban Lumpur Lapindo, Sobat Padi Surabaya, JRKI, dan komunitas-komunitas di berbagai daerah.

    “Tahun lalu kami sudah menggalang dan mendistribusikan biaya pendidikan untuk 87 anak-anak korban lumpur Lapindo sejumlah 38 juta. Bantuan itu, sesuai dengan kebutuhan biaya pendidikan masing-masing anak, yang berkisar antara 220 ribu sampai 1,8 juta rupiah. Saat ini jumlah anak yang dibantu sekurangnya 212 anak dari jenjang SD SMP hingga SMU dengan kebutuhan biaya 52 juta rupiah”.

    Ia berharap, selain untuk mendukung anak-anak korban Lapindo dapat meneruskan pendidikannya, gerakan ini juga menjadi upaya kritis agar korban lumpur lapindo bisa mengakses pendidikan secara gratis melalui program BOS maupun kebijakan khusus lainnya dari pemerintah.

    Kedatangan Fadly pada pukul sebelas disambut suka cita oleh anak-anak korban Lapindo, pemuda dan orangtua yang sejak satu jam menunggunya. Mereka terlihat suka cita ada yang masih peduli dengan mereka. Zulfika Rohma misalnya, nampak bersemangat selama bernyanyi bersama Fadly.

    “Saya senang sekali ada yang memperhatikan kami,” ungkap anak kelas enam MI Darul Ulum Desa Besuki ini.

    Fadly adalah satu dari sekian artis yang masih mau menunjukkan solidaritasnya untuk kelanjutan generasi bangsa. Kedatangannya di kampung korban lumpur lapindo adalah wujud komitmen untuk turut serta mendukung masa depan pendidikan anak-anak korban Lumpur Lapindo.

    Gerakan donasi sahabat anak Lumpur terus mengajak masyarakat luas untuk turut serta dalam usaha melindungi anak-anak korban Lumpur Lapindo dari kesuraman masa depan, seperti yang telah dinyatakan oleh Fadly, “Ayo Sobat, kita semua bisa menjadi sahabat mereka, Sahabat Anak Lumpur”. (vik)

     

  • Gerakan Seribu Rupiah untuk Pendidikan Anak Korban Lapindo Diluncurkan di Surabaya

    Surabaya, korbanlumpur.info – Sekelompok muda dari Sahabat Walhi, Sobat Padi, Kaum Muda Nambangan, dan Walhi Jawa Timur yang tergabung dalam gerakan Sahabat Anak Lumpur menggelar penggalangan donasi Seribu Rupiah untuk Pendidikan Anak-anak Korban Lapindo di Taman Bungkul Surabaya (16/8).

    Aksi yang diawali dengan pertunjukan musik dan tari dari anak-anak sanggar Al Faz Desa Besuki ini bertujuan untuk membantu pendidikan sekitar 213 anak-anak korban lumpur Lapindo. Sebagian besar anak-anak yang dibantu masih dibangku Sekolah Dasar (SD).

    Rencananya, donasi yang terkumpul akan digunakan untuk membantu biaya pendidikan anak-anak, terutama buku, LKS, dan baju seragam. Biaya yang dibeankan kenyataannya memang memberatkan. PAdahal banyak anak-anak yang terancam putus sekolah karena orangtuanya tidak lagi memiliki biaya setelah lumpur lapindo memporakporandakan sumber ekonomi warga.

    Yuliani, koordinator gerakan ini mengatakan setiap tahun ajaran baru para orangtua selalu dihadapkan pada persoalan biaya pendidikan anak-anaknya. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang seharusnya bisa menjamin seluruh anak Indonesia bisa mengakses pendidikan secara gratis, ternyata pada prakteknya masih ada biaya-biaya untuk menunjang proses belajar mengajar di sekolah.

    “Selama ini anak-anak korban lumpur lapindo masih dikenakan biaya seragam, buku, daftar ulang, sumbangan uang gedung, ujian, pengambilan raport, dan sebagainya. Dana BOS tidak bisa membantu meringankan biaya pendidikan ternyata belum maksimal membantu.”

    Ia menambahkan, gerakan ini sudah yang kedua kalinya dijalankan, yaitu dimulai sebelumnya pada tahun 2010. Pada pengalaman sebelumnya, ada sekitar 87 anak telah mendapatkan bantuan pendidikan. Besaran bantuan pendidikan yang diberikan berkisar 220 ribu rupiah hingga 1,8 juta rupiah. Bantuan donasi tersebut disalurkan langsung ke sekolah dengan kesepakatan penyerahan dihadapan orangtua siswa.

    Pada tahun ajaran 2011-2012 tercatat sekurangnya 213 anak yang mengalami kesulitan pembiayaan. Nantinya mereka akan mendapatkan bantuan pendidikan sesuai besarnya kebutuhan yang dibebankan dan kecukupan donasi yang dikumpulkan. Melihat jumlah yang cukup besar hingga lebih dari 43 juta rupiah, rencananya gerakan ini akan diperluas dengan progam orang tua asuh, beasiswa, dan pendanaan abadi untuk menjamin perbaikan hak pendidikan bagi anak-anak korban lapindo hingga tahun-tahun berikutnya.

    Gerakan donasi ini mendapat sambutan dukungan dari beberapa kelompok masyarakat dan lembaga lain. Setidaknya Save the Street Child (SSC) Surabaya yang ditemui di lokasi berencana akan bergabung dalam penggalangan Donasi Pendidikan ini. Lembaga yang bergerak dalam aktivitas sosial kemanusiaan ini menyatakan sebelumnya pernah memiliki pengalaman mengalang donasi Koin untuk Jasika, satu anak yang terkena kelainan jantung.

    “Kami akan coba membantu dalam penggalangan donasi untuk anak-anak korban Lapindo,” ungkap Indra Setiawan, koordinator SSC.

    Penggalangan donasi akan diadakan di beberapa tempat di Surabaya dan sekitarnya sampai bulan Desember 2011. Harapannya dengan donasi yang maksimal dikumpulkan akan dapat membantu anak-anak Korban Lapindo hingga nantinya mendapatkan perhatian khusus dari pengurus negara.(vik)

  • Gerakan Donasi Sahabat Anak Lumpur: Seribu Rupiah Untuk Anak-Anak Korban Lumpur Lapindo

    Gerakan Donasi Sahabat Anak Lumpur: Seribu Rupiah Untuk Anak-Anak Korban Lumpur Lapindo

    Surabaya – Sehari menjelang Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-66 tahun ini kita masih melihat potret pendidikan anak-anak Indonesia yang carut-marut. Sangat jelas bahwa pendidikan merupakan hak setiap anak bangsa, termasuk anak-anak korban lumpur Lapindo.

    (more…)

  • Celoteh Ini Senjata Kami: Peringatan Hari Anak Nasional oleh Korban Lapindo

    Sidoarjo, korbanlumpur.info – Komunitas anak-anak di Besuki yang tergabung dalam Sanggar Al Faz melaksanakan peringatan Hari Anak Nasional (22/7) dengan berbagai ragam kegiatan. Sejak sebulan jelang pelaksanaan peringatan, anak-anak telah melakukan persiapan. Beberapa workshop digelar: foto, cetak stensil, komik dan balon kertas.

    Lebih dari sepuluh anak membingkai kondisi yang terjadi di Besuki dan sekitar tanggul lumpur dalam foto-foto. Tidak dibutuhkan kemampuan fotografi yang berlebih untuk ini. Anak-anak cukup dikenalkan teknik penggunaan kamera saku otomatis dan menggunakan secara bergiliran. Foto-foto kerusakan bangunan, jembatan yang rusak, tulisan-tulisan protes warga, rutinitas sosial, dan sekolah menjadi bahan-bahan yang dipamerkan. Mereka sendiri yang memilih dai sekian puluh jepretan gambar. Tidak itu saja, anak-anak mampu menyajikan tulisan cukup panjang sebagai keterangan foto. Ditempel pada kertas karton coklat, karya-karya foto ini mendominasi ruang bagian dalam sanggar.

    Sanggar Al Faz didirikan tiga tahun silam. Inisiasi, sejak setahun sebelumnya. Muhammad Irsyad sangat senang menggunakan rumahnya untuk sanggar ini. Latihan tari dan musik mulai digelar pada bagian teras rumah berukuran duapuluhan meter persegi. Cukup sesak saat tigapuluhan anak berkumpul bersama. Tak ayal, bagian ruang tamu ikut direlakan juga. Hampir setiap sore anak-anak berkumpul untuk berlatih dan bermain.

    Rumah Irsyad terletak di sebelah timur bekas Jalan Tol Sidoarjo-Gempol. Wilayah ini tidak masuk dalam wilayah terdampak yang ditetapkan pemerintah dalam Perpres 14/2007. Meski pernah terendam lumpur dan kondisi lingkungan yang rusak, hanya wilayah desa di sebelah barat tol yang diberikan penggantian. Itupun beberapa tahun setelah semburan terjadi. Jalan tol yang bertahun-tahun tidak digunakan, kini diperbaiki dan dijadikan jalur alternatif utama melintas Porong. Baru selesai beberapa bulan lalu.

    Kegelisahan atas kondisi yang ada juga tertuang pada goresan pensil dan krayon pada komik yang dibuat. Meski tiap anak hanya membuat dalam empat bingkai selembar kertas, nampak kejelian merunutkan kisah yang digambar. Bakrie yang diketahui sebagai penyebab semburan lumpur diumpamakan sebagai binatang-binatang. Ada yang menggambarnya sebagai banteng nakal, babi nakal, gajah raksasa, ataupun kambing. Kisahnya lucu-lucu dan menggelikan.

    Salah satunya berjudul Bakrie Kurang Ajar. Bingkai pertama gambar babi merah muda, bagian atasnya bertulis: Suatu hari ada babi bernama bakrie. Bingkai kedua bertulis: Bakrie merusak desa Besuki, dengan gambar atap rumah tenggelam lumpur dan babi yang memandangnya berujar,”ha…ha…ha syukurin kalian.” Berikutnya, Warga melawan Bakrie: beberapa orang membawa pentungan dan berteriak,” tangkap…hajar…sikat!!!”, gambarnya babi lari dikejar dengan teriakan,”tolong…”. Pada bagian keempat nampak babi di atas panggangan kayu bakar: “Akhirnya babi Bakrie dijadikan Babi panggang”.

    Sehari jelang peringatan, workshop cetak stensil sangat diminati. Tiga pengampu yang datang sukarela dari Malang sangat senang dengan antusias anak-anak. Plat-plat cetak yang terbuat dari tripleks dipilih masing-masing. Rebutan, tentu saja. Bergiliran untuk dioles tinta, berikutnya direkatkan pada kertas-kertas putih. Gambar yang tidak terlalu berwarna menjadi guyonan. Lama waktu penginjakan kertas pada cetakan ternyata mempengaruhi hasil gambar. Yang belum puas dengan karya dapat mengulang-ulang hingga beberapa kali. Ratusan lembar yang dihasilkan menjadi koleksi anak-anak dan disimpan di sanggar.

    Jum’at pagi beberapa tamu dari luar kota telah berdatangan. Dua dosen antropologi sebuah universitas di Malang datang paling awal. Disusul rombongan pemuda dan seorang dosen universitas Machung, juga dari Malang. Agus, dokumenter dan fotografer dari Bandung tiba kemudian. Foto dan video diabadikan dengan sebuah kamera DSLR yang ia bawa. Beberapa komunitas lain: Griya Baca Malang, Mahasiswa Unair, dan Kaum muda gereja Katolik Juanda bersusulan tiba. Puluhan wartawan dari berbagai media lain nampak sibuk mengabadikan bagian ruang dalam.

    Sekitar pukul sepuluh, tabuhan jimbe mulai terdengar. Anak-anak yang baru pulang dari sekolah tak menuju rumah untuk sekedar berganti baju. Kawan-kawan sekolah anak-anak sanggar Al Faz, yang sebagian besar dari MI Darul Ulum Besuki, berdatangan bersama dua guru perempuan. Setelah beberapa saat mengamati foto, komik, dan koleksi gambar pewarnaan alam, mereka bergerombol menyaksikan tabuhan-tabuhan yang mulai dimainkan di pendopo sanggar. Sekurangnya lima lagu hampir selama satu jam. Diiringi tarian dan topeng jaranan. Setengah dua belas acara berjeda untuk sembahyangan Jum’at para muslim.

    Anak-anak yang telah berdatangan usai sembahyangan sesaat kemudian menghilang. Hingga pukul dua siang mereka tak kunjung kembali. Rupanya tak ada dispensasi jadwal berlatih drumband yang diselenggarakan sekolah. Kepala Sekolah dan seorang guru merepotkan diri dengan menjemput anak-anak hingga pos kamling kayu seberang sanggar. Anak-anak memilih berangkat berlatih karena ketakutan. Menurut anak-anak kepada Irsyad, guru itu marah karena banyak anak yang tidak hadir meski jam berlatih sudah mulai. Sayang, Irsyad tak sempat tahu kejadian itu. Selama beberapa waktu ia tertidur kecapekan.

    Sesi workshop stensil diulang. Kali ini anak-anak dari komunitas lain ikut terlibat. Puluhan karya lagi dihasilkan. Dengan bangga karya-karya ini ditunjukkan dengan berfoto bersama setelahnya. Semua memegang kertas karya, ada yang diangkat tinggi, sebagian lainnya dipegang didepan dada.

    Pukul tiga sore Griya Baca Malang menyajikan tampilan. Beberapa lagu populer masa kini dilantunkan. Dua anak perempuan, dua laki-laki, dan seorang lagi telah remaja bersemangat bernyanyi dengan iringan gitar. Tak kurang lima lagu dibawakan. Beberapa nada false tak menjadi soal. Solidaritas dan keberanian untuk menyajikan menghasilkan riuhan tepuk tangan. Tampilan berikutnya kombinasi bebas anak-anak sanggar dan seorang pengasuhnya, Om Rere. Tiga lagu dibawakan dengan tabuhan rancak yang cepat dan keras. Sebuah gitar, balera, empat jimbe, dan dua bedug dimainkan mengiring lagu-lagu, Hukum Rimba salah satunya. “Maling maling kecil dihakimi, maling-maling besar dilindungi…,” bagian lirik yang mudah diingat. Rupanya ini merupakan sesi pengantar gelaran pamungkas: pelepasan balon.

    Angin berhembus cukup kencang ke arah barat. Hampir semua bergerombol membentuk lingkaran di jalan depan sanggar. Senja lima sore, balon siap dilepaskan. Ada dua. Balon pertama berukuran lebih lonjong. Irsyad sempat lupa saat membuatnya bersama anak-anak. Enam lembar sambungan kertas minyak saja yang disusun. Tapi tetap bisa terbang. Yang kedua lebih membulat karena terdiri delapan lembaran. Meski sesaat perlu ditambal karena ada sobekan pada bagian atas. Panas dari bakaran kayu tak bakal menghasilkan tekanan jika ada kebocoran. Anak-anak mulai banyak lagi berdatangan, sebagian telah selesai berlatih drumband beberapa jam. Selembar karpet biru butuh dibentang untuk perintang angin yang kencang.

    Balon pertama hanya mampu melintas jalan tol dan jatuh di bekas perkampungan sebelah barat. Sekurangnya dua ratus meter. Yang kedua juga demikian. Anak-anak membawanya kembali untuk diterbangkan ulang, hanya balon kedua. Sangat tinggi. Riuhan sorak dan tepuk tangan mengiringi. Beberapa pengguna mobil dan motor menepi untuk menyaksikan. Sayang angin sempat menghempasnya. Sesaat beranjak turun, melintas tanggul lumpur, dan tak lagi kelihatan.

    Tamu-tamu telah berpamitan. Hingga jelang malam anak-anak masih nampak bermain dan enggan bubar. Sebagian mengharapkan sesi malam: Pemutaran film anak yang telah direncanakan. Sayang, proyektor pinjaman tak kunjung diantarkan. Hingga sepuluh malam, satu demi satu anak kemudian terbaring ketiduran. Nyamuk-nyamuk menempel pada lengan dan kaki. Tak mereka rasakan. (red)

    BC Nusantara

  • Lambat Ditangani, Warga 45 RT Blokade Jalan

    aksi45rt-12jul2011SIDOARJO, korbanlumpur.info – Korban lumpur Lapindo dari 45 RT di empat desa kembali memblokir jalan raya Porong. Warga dari Desa Mindi, Pamotan, Ketapang, dan Besuki melakukan aksi serentak sejak Selasa pagi (12/7). Mereka mendesak Ketua Dewan Pengarah Badan Penaggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk mengakomodasi kawasan 45 RT yang sudah dinyatakan tidak layak huni oleh Tim Kajian Kelayakan Permukiman (TKKP) segera dimasukkan dalam revisi ketiga Peraturan Presiden(Perpres) No. 14/2007 tanpa harus menunggu survei lagi.

    Aksi ini sebagai bentuk kekecewaan warga setelah pertemuan dengan Menteri Pekerjaan Umum (PU) selaku Ketua Dewan Pengarah BPLS pada 28 Juni 2011. Menteri PU tidak memberikan janji apapun terkait aspirasi warga 45 RT. Menteri ternyata tidak mendapatkan usulan apapun dari Badan Pelaksana BPLS. Bahkan ia menyatakan tidak mendapatkan masukan terkait kawasan 45 RT dari Badan Pelaksana BPLS.

    “Aksi ini sebagai bentuk kekecewaan kami, setelah kemarin perwakilan kami bertemu dengan Menteri PU tidak mendapatkan hasil,” ungkap Muhammad Yasin, warga Mindi.

    Warga juga menuntut kepada Badan Pelaksana BPLS membuat usulan tertulis kepada Dewan Pengarah BPLS, mengenai kawasan 45 RT yang tidak layak huni.

    “Kami akan tetap bertahan di jalan ini sampai ketua Badan Pelaksana datang menemui kami,” ungkap Suparno, salah satu koordinator aksi.

    Warga bersikeras tidak membubarkan diri sampai Ketua Badan Pelaksan BPLS Sunarso datang menemui. Akibat pemblokiran selama lima jam ini, arus kendaraan dari arah Malang mengalami kemacetan sampai 5 kilometer. Dari arah Surabaya, macet hingga 3 kilometer.

    Selain jalan raya yang diblokade, warga juga melakukannya pada jalur rel kereta api. Mereka berkerumun di stasiun Porong. Akibatnya sampai pukul 15.30 ada sekitar 4 kereta yang terpaksa ditunda. Kepala Stasiun Porong, Sugito, mengatakan kereta yang terlambat adalah KA Penataran dan Sri Tanjung dari arah Malang tujuan Surabaya; satu Komuter jurusan Surabaya; dan KA Penataran jurusan Surabaya menuju Blitar. Kereta-kereta ini tertahan di Stasiun Bangil, Tanggulangin, dan Stasiun Sidoarjo.

    Warga juga melarang pengerjaan tanggul penahan lumpur lapindo. Mereka mengusir pekerja yang sedang melakukan penanggulan. Tak berhenti disitu, Kantor BPLS yang berada di Desa Ketapang juga disegel oleh warga. Jalan alternatif yang melewati desa Besuki tak luput juga dari diblokade warga.

    Edi Purwinarto, Asisten 3 Pemprov Jawa Timur, datang bernegosiasi dengan warga. Ia sanggup medatangkan Sunarso. Warga bersedia membuka blokade. Namun warga mengancam jika dalam pertemuan nantinya tidak ada titik temu, mereka akan malakukan pemblokiran lagi.

    “Jika dalam pertemuan ini tidak ada sesuai yang kami tuntut, besok kami akan turun jalan lagi,” ancam Slamet, salah satu warga Mindi.

    Pukul 16.30 Sunarso datang menemui Perwakilan warga di Polsek Porong untuk berdialog. Warga mendesaknya untuk membuatkan draf usulan 45 RT dimasukkan dalam revisi Perpres. Mereka juga akan mengawal pembuatan draf tersebut sampai diterima oleh Menteri PU. Batas waktu yang diberikan kepada Badan Pelaksana BPLS hingga hari Kamis(14/07). Dalam minggu ini pula, usulan harus sudah diterima oleh Menteri PU.

    “Jika kesepakatan ini dilanggar, jangan salahkan jika kami turun jalan lagi,” ancam Salam setelah pertemuan itu. (vik)

  • Tahun Ajaran Baru Tanpa Siswa Baru

    Tahun Ajaran Baru Tanpa Siswa Baru

    Lokasi SDN 1 Besuki ini masuk wilayah yang akan dijadikan tempat penampungan lumpur Lapindo oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Warga Desa Besuki di bagian barat, yang letaknya persis di sebelah barat bekas tol Surabaya-Gempol, sudah pindah. Begitu pula warga Desa Pejarakan dan Desa Kedungcangkring yang terletak di sebelah barat Desa Besuki. Ketiga desa itu sudah hampir dikosongkan.

    Mashudi, salah satu guru di SDN 1 Besuki, mengatakan, kondisi itu membuat sekolah dasar ini tak mendapat murid baru meski tetap membuka pendaftaran. “Kami sebenarnya membuka pendaftaran baru. Bahkan pendaftaraannya kita gratiskan. Tapi masyarakat di sekitar sekolah ini sudah banyak yang pindah, jadi tidak ada lagi yang mendaftar,” ujar Mashudi.

    Masalahnya, nasib sekolah ini belum jelas. Mashudi dan rekan-rekannya tetap menjalankan aktivitas belajar-mengajar. Padahal menurut rencana, kawasan Besuki Barat ini akan ditenggelamkan untuk dijadikan kolam penampung lumpur. Tapi pihak BPLS maupun Dinas Pendidikan belum mengeluarkan keputusan jelas mengenai nasib SDN 1 Besuki ini. “Untuk sementara, kita terus melakukan kegiatan belajar-mengajar, sampai ada kejelasan sekolah ini mau dikemanakan,” kata Mashudi.

    Nasib serupa juga dialami SDN Pejarakan, Kecamatan Jabon. Sekolah ini juga tidak memiliki satu pun siswa baru. Bedanya, Mudzakir Fakih, kepala sekolah SDN Pejarakan, sengaja tidak membuka pendaftaran baru. Mudzakir hanya berusaha menghabiskan siswa yang tersisa sampai lulus. “Kita sengaja tidak membuka pendaftaran baru. Lha wong belum ada kejelasan dari BPLS soal sekolah ini,” ucapnya.

    SDN Pejarakan ini rencananya juga akan digunakan sebagai kolam penampungan lumpur Lapindo. Meski demikian, Mudzakir masih menjalankan belajar-mengajar untuk tahun ajaran baru 2011-2012 ini. “Di tahun ajaran baru, tetap berlangsung kegiatan di sekolah ini,” ujarnya. Sedangkan TK Dharma Wanita Persatuan, yang satu lokasi dengan SDN Pejarakan, sudah tidak menyelenggaralan aktivitas belajar-mengajar pada tahun ajaran 2011-2012. TK ini sudah bubar pada 18 Juni 2011 silam.

    Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Jawahirul Ulum, Desa Besuki, juga mengalami nasib tak berbeda. Di tahun ajaran baru ini, madrasah ini masih melaksanakan kegiatan pendidikannya. Agak beruntung ketimbang SDN Besuki dan SDN Pejarakan, MI Jawahirul Ulum memiliki murid baru. Bahkan jumlah siswa baru meningkat 3 siswa dari tahun sebelumnya. Tahun lalu hanya mendapat 15 siswa baru. “Kelas 1, alhamdulilah, ada 18 siswa, meningkat 3 siswa dari tahun kemarin,” kata Lil Umrotul, kepala sekolah MI Jawairul Ulum. Sehingga total semua siswa tahun ini, dari Kelas 1 hingga Kelas 6, mencapai 132 siswa.

    Meski demikian, proses belajar-mengajar MI Jawahirul Ulum terasa tidak nyaman karena berdekatan langsung dengan pekerjaan tanggul baru. Bu Lil, sapaan akrab Lil Umrotul, sadar kondisi ini. Tetapi ia  tidak bisa berbuat banyak. “Ya gimana lagi. Kita sementara bertahan di sini sampai pembangunan sekolah kami selesai. Rencananya kita akan pindah tahun 2012,” tuturnya. Pihak MI Jawahirul Ulum sudah menyiapkan kepindahan lokasi madrasah ke Desa Pangreh, Kecamatan Jabon. Hingga hari ini, proses pembangunan sekolah belum selesai.

    Di kawasan terdampak lumpur Lapindo, sedikitnya ada sekitar 33 gedung sekolah yang tidak jelas nasibnya. BPLS yang memiliki anggaran milyaran rupiah tidak melakukan upaya pemulihan pendidikan warga. Jadi tidak salah jika banyak sekolah yang akhirnya bubar, misalnya SDN 1 Siring. Sebagian mengambil langkah sendiri untuk bertahan. MI Maarif Jatirejo, misalnya, sampai kini masih menempati sebuah ruko di Porong. Toh, pihak Lapindo maupun Pemerintah seolah tutup mata. [vik]

    (c) Kanal News Room

    Daftar Sekolah Terdampak Lumpur Lapindo

    Tingkat Kec. Porong Kec. Tanggulangin Kec. Jabon
    TK/RA TK DW Pers Renokenongo
    TK DW Pers Jatirejo
    TK DW Siring
    RA Muslimat Miftahul Ulum Jatirejo
    RA Muslimat Khalid bin Walid Renokenongo
    RA Muslimat Nurul Islam Tanggulangin TK DW Pers Besuki Jabon
    TK DW Pers Pejarakan Jabon
    TK Darul Ulum Besuki Jabon
    SD/MI SDN Jatirejo 1 Porong
    SDN Jatirejo 2 Porong
    SDN Renokenongo 1 Porong
    SDN Renokenongo 2 Porong
    SDN Siring 1 Porong
    SDN Siring 2 Porong
    MI Ma’arif Jatirejo Porong
    MI Khalid bin Walid Renokenongo
    MI Nurul Islam Tanggulangin
    SDN Kedungbendo 2 Tanggulangin
    SDN Kedungbendo 3 Tanggulangin
    SDN Kedungbendo 1 Tanggulangin
    SDN Pejarakan Jabon
    SDN Besuki Jabon
    MI Darul Ulum Besuki Jabon
    SMP/MTs MTs Khalid bin Walid Renokenongo
    MTs Abil Hasan Asy Syadzily Jatirejo
    SMP Negeri 2 Porong
    SMP PGRI 2 Porong
    MTs Jawahirul Ulum Besuki
    SMA/SMK/
    MA
    MA Khalid bin Walid Renokenongo
    MA Abil Hasan Asy Syadzily Jatirejo
    MA Jawahirul Ulum Besuki
    SMK Jawahirul Ulum Besuki
    TK DW Pers Besuki Jabon
    TK DW Pers Pejarakan Jabon
    TK Darul Ulum Besuki Jabon
  • Anak-Anak Korban Lapindo, Mencari Dunia Yang Hilang

    Anak-Anak Korban Lapindo, Mencari Dunia Yang Hilang

    Sidoarjo – Bermain Dengan Lumpur, itulah lakon teater yang dimainkan anak-anak korban lumpur Lapindo di Pendopo Kabupaten Sidoarjo pada hari Sabtu (25/6/11). Pementasan ini diikuti sekitar 40 anak-anak yang kebanyakan dahulu tinggal di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (PERUMTAS) I. Pementasan yang digawangi oleh budayawan Arswendo Atmowiloto ini seakan menunjukkan bahwa lumpur Lapindo tidaklah menjadi penghalang anak-anak untuk tetap berkreasi dan berekspresi.

    Selain itu pementasan teater ini mencoba untuk mengobati kegelisahan dan trauma yang dialami kebanyakan anak-anak korban lapindo. Selain mereka kehilangan tempat tinggal dan arena bermain, keceriaan anak-anak secara tiba-tiba hilang sejak lumpur Lapindo menyembur.

    Arswendo Atmowiloto mengatakan, acara ini digelar untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak-anak. “Awalnya memang susah mengajak anak-anak karena kondisi psikologisnya, tapi lama kelamaan malah mereka tak mau berhenti latihan. Mereka sangat bersemangat mengekspresikan keinginannya. Saya melihat harapan yang sangat besar di mata mereka,” terangnya.

    Terlepas dari segala persoalan yang terjadi di kasus lumpur lapindo, anak-anak yang juga menjadi korban selama ini tidak tersentuh sama sekali. Pemerintah dan orang tua selalu sibuk mengurusi proses ganti rugi yang tidak kunjung selesai. “Pemerintah selalu sibuk mengurusi urusan ganti rugi, sedangkan pendidikan anak-anak, dunia anak-anak yang hilang sama sekali tidak tersentuh,” kata Arswendo.

    Pementasan ini diawali dengan dinyanyikannya lagu Desaku yang Kucinta. Dengan sayu, anak-anak yang masih duduk dibangku sekolah dasar ini ingin menunjukkan betapa mereka sangat merindukan desanya.

    Banyak anak-anak yang merasa senang dengan pagelaran teater ini. Fasia Akbar (12 tahun) misalnya, selama seminggu dirinya dan anak-anak yang lain berlatih dan bermain bersama, merasakan  suasana seperti yang pernah ia alami di tempat tinggalnya dulu. “Selama seminggu mengikuti latihan teater. Saya merasa seperti di Perum TAS tempat tinggal saya dulu,” ujarnya. Sejak lumpur Lapindo menenggelamkan tempat tinggalnya, ia kehilangan tempat bermain dan jauh dari teman-temannya.

    Selain pementasan teater, anak-anak juga menampilkan pertunjukan tari dan bernyanyi. Pementasan yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam ini juga dihadiri Bupati Sidoarjo Saiful Ilah berserta jajarannya. Ia sangat berterimakasih ada budayawan yang masih peduli terhadap nasib anak-anak. “Saya sangat berterimakasih kepada Arswendo yang mau menyisihkan waktunya memperhatikan anak-anak,” sambutnya.

    Arswendo berharap, pagelaran yang juga diadakan di Muntilan, Jawa Tengah ini, bisa menjadi semangat untuk anak-anak tanpa terbebani dengan urusan ganti rugi, tidak saling menyalahkan, dan tumbuh harapan ditengah semburan lumpur lapindo. Meskipun semua tahu lumpur lapindo membawa duka yang berkepanjangan, ia berharap masa depan anak-anak tidak dipenuhi kemuraman. “Kita semua tahu lumpur Lapindo membawa duka yang mendalam dan berkepanjangan, terlepas dari itu anak-anak harus bangkit dan menata masa depannya,” pungkasnya. (kam/vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Korban Lapindo Tidak Dipercaya Bank

    Korban Lapindo Tidak Dipercaya Bank

    SIDOARJO – Warga korban Lapindo mengalami kesulitan pembiayaan saat mencari sumber pembiayaan untuk usaha mereka kepada perbankan.

    Seperti yang dialami Sulastri (35), salah satu korban Lapindo dari desa Gempolsari yang pernah mengalami kesulitan ketika ingin mengajukan pinjaman ke bank desa. “Kami disini sepertinya tidak diakui status wilayahnya untuk pinjam ke bank desa. Buktinya ketika kita ingin mengajukan pinjaman, kita tidak dipercaya karena mereka takut kalau kita nanti akan meninggalkan desa dan mangkir dari tanggung jawab,” tuturnya. “Kalau untuk pinjam ke bank desa saja sulitnya bukan main, apalagi kalau kita pinjam di bank besar,” gerutunya.

    Ia juga mengatakan kalau untuk mengajukan pencairan pinjaman harus menggunakan nama dan alamat orang lain agar pinjaman tersebut bisa direalisasi. “Sebagai contoh, kalau kita mau menggadaikan BPKB ke bank, kita harus pinjam nama dan alamat saudara atau orang lain untuk mengajukan pinjaman itu. Meski sepeda dan BPKB tersebut atas nama kita sendiri,” terangnya. Padahal ia dan beberapa warga Gempolsari hanya bisa mengandalkan pembiayaan tambahan dari perbankan akibat belum dibayarkan aset-aset kerugiannya oleh PT Minarak Lapindo Jaya dari awal hingga kini(1/6/11).

    Ketidakpercayaan perbankan kepada korban lapindo tidak hanya pada persoalan pembiayaan seperti hal yang dialami Sulastri dan korban lapindo dari desa Gempolsari. Beberapa warga di desa lainnya mengalami kesulitan ketika akan membuka rekening di bank. Seperti yang dialami Su’udi Supriyono (25), warga desa Renokenongo yang kini tinggal di Perum Renojoyo Kecamatan Porong, saat akan membuka rekening baru di sebuah bank terkemuka untuk syarat administrasi pekerjaannya. “Untuk membuka rekening saja harus dimintai syarat-syarat yang aneh-aneh. Seharusnya bank kan juga harus tahu kalau kondisi kita sekarang ini memang tidak normal, masak harus dimintai surat keterangan ini itu,” protesnya.

    Merasa kesulitan mendapatkan kepercayaan untuk mendapat sumber pembiayaan dari institusi keuangan perbankan, Sulastri dan puluhan warga korban lapindo menginisiasi koperasi Sawo Kecik. Lembaga ini menjadi pilihan baginya dan warga korban lain dalam mendapatkan sumber pembiayaan untuk pengembangan usaha. Meskipun belum besar pembiayaan yang bisa dibantu oleh Sawo Kecik, paling tidak warga korban lapindo telah memiliki sumber pembiayaan yang dapat menerima kondisi mereka saat ini.

    “Kalau pinjam modal untuk usaha, saat ini kami bisa meminjam di koperasi Sawo Kecik. Alhamdulillah kami dibantu tanpa banyak syarat yang menyulitkan. Meskipun besarnya tidak seberapa, yang penting usaha masih bisa berjalan untuk menghidupi keluarga,” ujar Sulastri mensyukuri. (KAM)

    (c) Suara Porong – FM

  • Lima Tahun Lumpur Lapindo, Ibu dan Anak Meninggal

    Lima Tahun Lumpur Lapindo, Ibu dan Anak Meninggal

    Uslikh Hariadi (42 tahun), warga Siring Barat RT. 01/01 Kecamatan Porong, harus merelakan istri dan anaknya meninggal akibat kesehatan mereka yang terus memburuk. Lapindo maupun pemerintah tak memberikan bantuan apapun bagi perawatan istri dan anak Hariadi hingga mereka menghembuskan nafas terakhir.

    Awalnya, pada tahun 2010 silam, istri Hariadi, Wahyuda (36 tahun), mengidap kanker servik stadium 2B. Mulanya Hariadi tidak tahu penyakit yang diderita istrinya. Wahyuda sebelumnya mengaku mengalami keputihan pada 2008. Tapi saat diperiksakan di Rumah Sakit Dr. Subandi, Sidoarjo, Hariadi baru mengetahui kalau istrinya mengidap kanker servik. “Awalnya istriku mengalami keputihan. Saat saya periksakan, istri saya mengidap kanker servik,” kisah Hari, mengenang istri tercintanya.

    Penyakit Wahyuda semakin hari semakin memburuk dan kemudian harus diperiksakan di Rumah Sakit Dr. Sutomo, Surabaya. Wahyuda harus menjalani kemoterapi sebanyak lima kali. “Sekali terapi, kami harus mengeluarkan biaya Rp 16 juta. Saya hanya buruh pabrik. Untuk biaya perawatan istri, saya harus jual perabotan rumah saya, dan pinjam ke sanak saudara,” ujar Hari.

    Menurut Hari, Wahyuda juga harus menjalani perawatan kankernya dengan cara disinar sebanyak 30 kali. Perawatan ini menghabiskan biaya sebesar Rp 30 juta. Jelas bukan biaya kecil bagi Heri yang hanya karyawan pabrik es dikawasan Siring, Porong.

    Setelah menjalani perawatan secara serius, kondisi istrinya tidak juga membaik. Semakin parah, bahkan. Tubuh Wahyuda tidak hanya dijangkiti kanker servik, melainkan juga mengidap masalah jantung, paru-paru, ginjal dan kencing manis. Akhirnya, Wahyuda meninggal pada 24 April 2011.

    Penderitaan Hari tidak berhenti di sini. Belum genap 40 hari kematian istrinya, anak bungsunya, Julian Agung Pratama (4,6 tahun), juga meninggal karena mengidap infeksi radang otak. Sebelum diketahui mengidap infeksi radang otak, menurut Hari, anaknya sering mengeluh dan tak tahan dengan bau gas yang keluar dari lumpur Lapindo. “Anak saya tidak tahan dengan bau lumpur. Jika angin mengarah ke barat, kepalanya sering demam dan badannya dingin,” cerita Hari. Desa Siring Barat tempat Hari tinggal hanya berjarak 500 meter dari pusat semburan Lapindo ke arah barat.

    Tidak tega melihat kondisi anaknya, Hari memeriksakan anaknya ke RS Dr. Sutomo Surabaya. Dan diketahuilah apa penyakit anak Hari sesungguhnya. “Saat saya periksakan di RS Dr. Sutomo, baru ketahuan anak saya mengidap infeksi radang otak,” tutur Hari. Julian harus menjalani pemeriksaan secara serius.

    Hari sudah tidak punya biaya lagi. Sejumlah orang menyarankan Hari untuk mengurus Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk meringankan biaya pengobatan dan perawatan Julian. Namun, belum sempat menindaklanjuti saran itu, kondisi kesehatan Julian semakin memburuk setelah 12 hari opname, dan akhirnya meninggal pada tanggal 22 Mei 2011. “Anak saya opname di RS. Dr. Sutomo selama 12 hari, dan tidak bisa diselamatkan,” ujar Hari. “Belum genap 40 hari ibunya meninggal, anak saya menyusul. Sekarang, sudah 6 hari anak saya meninggal.” Hari berkisah sembari menahan kesedihan yang begitu mendalam.

    Hari sadar, kesedihan tidak akan mengembalikan kehidupan anak dan istrinya. Yang sangat ia sayangkan, tidak ada perhatian dari Lapindo maupun Badan Penaggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Seharusnya anak dan istrinya mendapatkan layanan kesehatan dari pemerintah dan Lapindo. Namun, Hari tidak mau larut dari kesedihan. Dirinya masih mempunnyai tanggung jawab untuk merawat kedua anaknya, Setiawan Hariadi (17 tahun) dan Andre Julianto (12 tahun). (vik)

    (c) Kanal Newsroom

     

  • Lima Tahun Lumpur Lapindo, Nasib Sekolah Tak Menentu

    Memang belum ada instruksi dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) atau dari Dinas Pendidikan terkait nasib sekolah ini pada tahun ajaran depan. Tetapi sudah terlihat jelas gundukan-gundukan tanggul yang rencananya akan menenggelamkan kawasan Desa Pejarakan. Menurut rencana BPLS, Desa Pejarakan menjadi kolam penampungan lumpur pada 2011. Ini termasuk wilayah SDN Pejarakan.  “Memang belum ada instruksi apakah sekolah ini mau dibubarkan, tapi melihat kondisi yang seperti ini jelas di 2011 ini kawasan ini akan dijadikan penampungan lumpur,” kata Mudzakir Fakih, Kepala Sekolah SDN Pejarakan.

    Mudzakir pun kebingungan bagaimana harus memutuskan nasib guru, karyawan, dan murid-muridnya. Ia mencoba membuat antisipasi. Ketujuh guru PNS akan ia tempatkan ke sekolah yang masih membutuhkan guru. Lalu, empat guru honorer akan ia masukkan juga ke sekolah lain. Mudzakir juga akan menempatkan tukang kebun ke sekolah lain. Sementara, murid-muridnya akan dia berikan surat pindah.

    Di SDN Pejarakan, kini tinggal 92 siswa, dan ke-17 siswa di antaranya duduk di kelas enam yang akan segera lulus tahun ini. Praktis peserta belajar yang tersisa nantinya berjumlah 75 siswa. Mudzakir berharap pemerintah dan BPLS lebih memberikan kejelasan nasib sekolah ini. “Seharusnya pemerintah memberikan kejelasan soal nasib sekolah ini. Kalau sekolah ini mau di-merger, ya, segeralah di-merger,” ujar Mudzakir.

    Nasib terombang-ambing tidak jelas juga dialami Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita Persatuan, yang berlokasi tak jauh dari SDN Pejarakan. Rencananya, TK Dharma Wanita akan bubar pada 18 Juni 2011. Siswa yang tersisa akan mengikuti orangtua mereka pindah ke desa lain. Sementara, para guru akan bergabung di TK Desa Besuki, Kecamatan Jabon. “Terpaksa pindah,” kata Siti Fatimah, pengasuh TK Dharma Wanita.

    Para siswa itu akan terpencar ke tempat orangtuanya berpindah. Tak sedikit yang harus pindah kecamatan, bahkan kabupaten. Diki Maulana (6 tahun), putra dari Winarsih, misalnya, akan pindah ke kampung asalnya di Ngawi. Winarsih tidak memperoleh ganti rugi, karena posisinya sebagai pengontrak, bukan pemilik tanah. Setelah 14 tahun tinggal di Pejarakan, Winarsih harus meninggalkan rumah kontrakannya paling lambat Senin depan (30/11/2011).

    “Kami memang bukan warga asli Pejarakan. Tapi kami sudah mengontrak selama 14 tahun. Anak-anak saya sudah betah tinggal di sini. Karena tempat ini mau dijadikan tempat penampungan lumpur, terpaksa kami pulang kampung, dan mengajak anak-anak saya sekolah di sana,” tutur Winarsih.

    Meskipun dirinya hanya pengontrak dan sudah tinggal di Desa Pejarakan selama 14 tahun, Winarsih sangat berat meninggalkan Desa Pejarakan. “Harus gimana lagi? Kami hanya pengontrak di sini. Kalau disuruh pindah, ya, kami akan pindah,” katanya. Yang menyedihkan, meskipun dirinya sudah lama tinggal di Desa Pejarakan dirinya tidak mendapatkan kompensasi sama sekali.

    “Kami tidak mendapatkan kompensasi sama sekali. Padahal KTP saya sudah menjadi warga Pejarakan. Tapi, ya, sudahlah, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Minggu besok kami akan pulang kampung ke Ngawi,” ujar perempuan 38 tahun ini sambil meneteskan air matanya.

    Tidak hanya di Desa Pejarakan, sekolah-sekolah di desa sekitar lumpur Lapindo juga menghadapi keterpurukan. SDN 1 Jatirejo, Kecamatan Porong, misalnya. Di sekolah ini, tersisa hanya 18 siswa. Pihak sekolah hanya bisa memutuskan satu hal: terus melanjutkan proses belajar mengajar hingga siswanya habis. “Setelah itu kita tidak tahu mau berbuat apa,” ungkap salah satu guru yang tidak mau disebut namanya.

    Lumpur Lapindo telah menghancurkan 28 sekolah Taman Kanak-kanak (TK), 33 sekolah SD/SLTP/SLTA, dan dua pondok pesantren. Hingga lima tahun, penanganan masalah ini tidak memperoleh perhatian serius, baik dari Pemerintah maupun dari Lapindo. Sebagian sekolah tutup dan sebagian masih aktif dengan nebeng ke gedung sekolah lain. Terkesan, pembiaran dilakukan dengan sengaja dan sistematis. (vik)

    (c) Kanal News Room

     

  • Uang yang Mengubah Segalanya

    Uang yang Mengubah Segalanya

    Sidoarjo – Lumpur Lapindo yang menyembur sejak 29 Mei 2009 lalu membawa perubahan  yang sangat besar bagi kehidupan warga baik  disekitar semburan maupun yang letaknya cukup jauh dari lokasi semburan. Lumpur yang tak juga berhenti membuat desa yang berada di sekitar semburan tenggelam. Bukan hanya itu, pabrik-pabrik , areal pertanian, sekolah dan Usaha Kecil Menengah (UKM) juga tenggelam. Tak ayal membuat beribu orang menjadi pengangguran karena tempat mereka mencari nafkah sudah tenggelam. Kegiatan belajar – mengajarpun terganggu.

    Depresi terjadi dimana-mana, Pemilik pabrik yang harus merelakan pabrik mereka tenggelam di depan mata, Pekerja pabrik yang harus kehilangan pekerjaannya yang otomatis berdampak pada masalah ekonomi mereka. Mereka yang memiliki usaha kecil di sekitar semburan sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi karena lapaknya telah tenggelam.

    Semua itu memang menjadi masalah yang yang harus segera ditangani, Agar tidak menambah angka pengangguran di Indonesia, Agar anak negri dapat belajar dengan tenang,  Agar tidak ada lagi korban dari proses penambangan.

    Satu lagi yang harus lebih diperhatikan yaitu hubungan dengan sesama yang merenggang bahkan tidak dianggap sebagai saudara. Uang menjadi sebab utamanya, Uang ganti rugi yang tak kunjung dibayar membuat mereka berfikir 10 kali bagaimana melanjutkan hidupnya. Dan ketika uang ganti rugi telah dibayar, perselisihan masalah pembagian uang ganti rugipun terjadi.

    Khamida atau yang akrab dipanggil Ida menjadi salah satu korban diantara beratus ribu korban yang membagikan pengalaman hidupnya setelah adanya Lumpur Lapindo. Ia mengaku banyak sekali perubahan dalam keluarganya mulai dari pertengkaran antara ibu dan bapaknya yang baru kali ini ia lihat. Pasalnya, sebelum ada lumpur tak sekalipun keluarganya bertengkar.

    Semula ia mengaku tidak mengetahui kalau di desanya terdapat aktivitas pengeboran yang dilakukan oleh pihak PT. Lapindo Brantas.  Di pagi hari itu ia mencium bau busuk yang sangat menyengat. Ia dan para tetangganya menduga kalau bau tersebut berasal dari septic tank yang bocor. Banyak warga yang merasa mual bahkan pingsan ketika mencium bau tersebut.

    Tak lama setelah itu ibunya yang bekerja sebagai buruh pabrik pulang dan mengatakan kalau ada pengeboran yang bocor. Setelah ditanya pengeboran apa, ibunya berkata bahwa ia tahu. Ia segera melihat ke lokasi kejadian. Disana terlihat cairan hitam yang sangat pekat telah meluber ke jalan.Beberapa hari setelah itu pabrik tempat ibunya bekerja tenggelam. Otomatis sang ibu menjadi pengangguran. Pekerja pabrik di sekitar semburan mengalami nasib yang sama.

    Hal yang tak pernah ia duga ialah rumah yang ia tempati akhirnya tenggelam. Terpaksa ia harus mengungsi di Pasar Baru Porong (PASPOR) yang kini telah berfungsi. Hanya dia dan tetangganya yang menempati ruko tersebut. Bapak dan ibunya masih berada di Desa Renokenongo.

    “Bapak pernah bilang kalau ia tidak tega melihat rumah yang ia bangun berbulan-bulan dengan susah payah harus tenggelam dalam hitungan menit.” Ucapnya seraya mengingat masa itu.

    Kehidupan di PASPOR yang begitu bebas membawa perubahan pada dirinya. Ia yang semula tak pernah berbincang dengan lawan jenis karena bapaknya melarang,  kini dengan lancar kalimat keluar dari bibirnya. Apalagi ia sebatangkara di tempat itu. Ia merasa sangat bebas. Tak ada yang melarang Begitu juga dengan masalah berbusana. Ia kini berani memakai celana pendek dengan kaos oblong. Jika kedua orangtuanya mengetahui hal tersebut, pasti ia akan mendapatkan siraman rohani.

    “Bapak memang setiap hari mengunjungiku tapi ketika pagi hari sebelum ia berangkat kerja. Ia selalu berpesan padaku agar aku dapat menjaga diriku dengan baik karena ia tak ingin kesalahan itu terjadi padaku. Ia  juga selalu memanggilku ketika melihat aku sedang berbincang dengan lawan jenis. Tapi itu dulu.” Ia tertawa kecut ketika mengatakan hal itu.

    “sekarang bapak sudah tak seperti dulu. Ia tak lagi menghiraukanku.” Lanjutnya seraya mengajakku masuk ke dalam kamarnya karena ia takut jika pembicaraannya didengar oleh ibu dan bapaknya. Karena pada waktu itu kondisi keluarganya masih memanas.
    Ia menceritakan cikal bakal konflik di keluarganya yang tak lain adalah uang. Uang ganti rugi rumah yang diberikan oleh pihak lapindo memang semuanya berada di tangan ibunya.

    “Bapak kaget ketika mengetahui jumlah uang yang tersisa. Ia mengatakan padaku kalau uang itu habis  karena dipakai selingkuh sama ibu.” Mata sipitnya terlihat akan mengeluarkan sesuatu. Sejak saat itulah hampir setiap hari pertengkaran terdengar dari rumah yang baru selesai dibangun itu.  Terkadang ia malu dengan para tetangga. Ia malu karena ia sebagai pendatang sering membuat keributan dan membuat tetangga sekitar merasa tak nyaman.

    Tuduhan sang bapak bukan tanpa alasan. Banyak warga di desanya yang memillih kawin lagi setelah mendapatkan uang ganti rugi 80%. Mungkin ia takut jika sang istri pergi meninggalkannya. “Selama ini aku tak pernah memenggal dan membantah apa yang bapak ucapkan. Aku merasa kalau aku adalah anak kesayangan bapak karena perhatian yang ia berikan padaku yang tak pernah diberikan pada kakakku. Aku selalu menuruti perintahnya. tapi untuk kali ini aku harus bersikap tegas. Aku telah dewasa. Aku tak akan membiarkan bapak memperlakukan ibu seperti binatang dihadapanku. Sebenarnya aku tak mau terlibat dalam masalah ini. Tapi bapak sendiri yang memaksaku.”

    Ida telah berulangkali mengatakan kepada bapaknya kalau tuduhan yang dialamatkan pada ibunya tidak benar. Ida juga meminta penjelasan pada ibunya tentang pengeluaran uang. Ia sangat percaya kalau ibunya tak melakukan hal seperti yang dituduhkan oleh bapaknya. Menurut penjelasan sang ibu uang tersebut dipergunakan untuk membeli tanah, menyewa tempat kos dan membangun rumah. Selain itu uang itu juga untuk kebutuhan sehari-hari.

    Ida tak pernah berhasil mematahkan kecurigaan bapaknya. Ia kini dianggap sebagai anak tidak tau diri. Sungguh suatu anggapan yang sangat menyakitkan bagi seorang anak. Hal yang membuatnya benci pada bapaknya adalah sikap kasar yang dilakukan bapak terhadap ibunya yang tak pernah ia lihat dan rasakan dulu sebelum ada lumpur.

    Pertengkaran hebatpun terjadi. Pertumpahan darah mewarnai pertengkaran itu. Ia tak mau jika pertengkaran itu dipublikasikan karena ia sangat malu. Yang jelas ia berharap pertengkaran itu adalah pertengkaran untuk yang pertama dan terakhir. Ia tak ingin melihat kedua orang tuanya terus berseteru. Setelah pertengkaran itu ia tidak lagi tinggal di rumah barunya tetapi tinggal di rumah kakaknya yang berjarak sekitar 5 km dari rumahnya.

    Kondisi memang sedikit membaik ketika sang bapak sakit. Sebetulnya Ida melarang ibunya untuk kembali kerumah. Tapi ibunya tetap pergi menjenguk bapaknya. Ida dan ibunya memang telah kembali ke rumahnya. Tapi rasa sayang ida pada sang bapak telah pudar. “Aku tak bisa memaaafkan perbuatan bapak. Meskipun sekarang ibu dan bapak telah akur tetapi tidak dengan aku. Aku selalu mengingat kejadian itu. Kejadian bapak dengan tuduhan-tuduhan yang tak bisa dibuktikan, kejadian bapak memperlakukan ibuk layaknya binatang hanya gara-gara uang. Aku sering berkata pada tuhan lebih baik aku hidup pas-pasan seperti dulu sebelum ada lumpur daripada seperti sekarang. Memang uang kami lebih tapi kami tak merasa bahagia sedikitpun. Malah masalah demi masalah yang tak kunjung usai yang aku rasakan. Aku berharap lumpur segera berhenti agar tak ada lagi korban kekerasan dalam rumah tangga hanya karena uang seperti yang terjadi di keluargaku.” uangkapnya

    “Kini seluruh uang yang semula ditangan ibu, berpindah ke tangan bapak. Itu dilakukan ibu agar masalah tidak terus berlanjut. Tapi kini aku dan ibu tak bisa apa-apa. Jika memerlukan uang kami selalu menunggu bapak pulang” lanjutnya. Hingga saat ini  tak ada kata maaf sedikitpun yang terucap dari mulut Ida, Ibu ataupun Bapaknya. Mereka enggan dan malu untuk mengucapkan kata maaf lebih dulu.

    Hal yang sama dialami oleh Alfi (19 tahun), warga Desa Sengon yang kini tinggal di Perumahan Balongdowo. Keluarga yang semula harmonis berubah menjadi berantakan yang lagi-lagi karena Lumpur Lapindo. Ia dan keluarganya juga sempat mengungsi di Pasar Baru Porong selama kurang lebih 4 bulan. Ditempat itu ia merasakan suasana lingkungan yang sangat berbeda dengan desanya. Ia mengaku jika kehidupan di Paspor sangat liar. Untungnya keluarganya segera mendapatkan tempat yang baru ketika uang ganti rugi diberikan. Ia sangat bersyukur karena bisa keluar dari tempat itu

    Masalah timbul saat uang sisa ganti rugi 80% diterima. Ia dan ibunya curiga dengan sikap bapaknya yang sering pulang malam. Saat ditanya selalu jawabnya lembur. Alfi mendapat kabar kalau bapaknya selingkuh dengan pambantu tetangganya. “Tak pernah bapak memberiku uang. Aku heran saat bapak memberiku uang Rp 100.000. setelah itu dia pergi dan tak kembali.” Jelasnya dengan nada datar.

    Ia berfikir bahwa uang yang ia terima adalah uang sogokan dari bapaknya. Ia berusaha untuk tidak memikirkan masalah ini, Kini ia masa bodoh dengan masalah yang terjadi. Ia mencoba membangkitkan ibunya dari kesedihan, ia ingin membuktikan pada bapaknya jika ia dan ibunya bisa hidup tanpanya.

    “Bapak membelikan istri barunya sebuah mobil yang tak pernah ibu dapatkan selama ini.” Ceritanya singkat karena tak ingin mengingat kembali maslah itu. Tak ada cerai dalam maslah ini. Karena sang bapak tidak menyetujui jika mereka bercerai.

    Itu mungkin secuil dari beribu masalah yang terjadi pada korban lumpur. Lumpur memang telah mengubah segalanya. Bahkan uang yang selama ini dianggap sebagai dewa oleh kebanyakan orang tak  lain adalah sebuah malapetaka yang dapat menghancurkan keharmonisan keluarga jika kita tak pandai mengelolanya. Mungkin uang yang dibayarkan kepada para korban lumpur adalah uang kotor sehingga mereka yang menerimanya banyak mendapatkan masalah.

    Daris Ilma

  • Awas! Lumpur Datang!

    Awas! Lumpur Datang!

    Sidoarjo – Kata-kata itu sepertinya memang pantas untuk melukiskan bagaimana kekuasaan lumpur atas wilayah penduduk. Ketika lumpur datang, mau tak mau orang harus pergi untuk menyelamatkan jiwanya. Pelan tapu pasti. Itulah Lumpur Lapindo yang hingga kini tak jua berhenti. Sekarang jika anda lihat, pusat semburan Lumpur Lapindo tidak lagi satu tetapi telah menjadi dua.  Dan kedua semburan lumpur itu letaknya berdampingan. Saling melengkapi satu sama lain layaknya makhluk hidup. Tapi dengan adanya dua pusat semburan ini lengkaplah sudah penderitaan masyakat Sidoarjo atau lebih tepatnya korban Lumpur Lapindo. Bayangkan saja, satu semburan sudah membuat penderitaan yang luar biasa. Banyak rumah penduduk, hamparan sawah, pabrik-pabrik dan sekolah-sekolah yang tenggelam.  Bagaimana jika dua pusat semburan? Mungkin tak akan ada lagi Negara Indonesia. Negara yang penuh dengan kecurangan.

    Ledakan pipa gas milik PT. Pertamina pada tanggal 22 November 2007 kemarin, menyisahkan kepedihan yang amat sangat bagi korban. Banyak pekerja lapindo yang meninggal dunia karena tak sempat menyelamatkan dirinya. Wilayah yang terendam lumpurpun bertambah luas. Ledakan tersebut berlangsung malam hari sekitar pukul 19.00. Langit yang semula berwarna biru berubah menjadi merah dan udara menjadi panas.  Semua berteriak “Kiamat! Kiamat!” mereka panik. Semua berhamburan keluar dari rumah masing-masing.

    Setelah ledakan pipa gas pertamina  banyak sekali gelembung-gelembung kecil atau yang sering disebut Buble bermunculan di desa sekitar pusat semburan. Jutaan orang menjadi pengangguran karena tempat mereka bekerja telah tenggelam. Sawah yang terletak di Desa Besuki kini tak bisa dipakai lagi karena zat berbahaya yang terkandung dalam lumpur. Saat itu musim panen akan berlangsung. Karena kejadian itu, mereka tak dapat menikmati jerih payah  mereka selama berbulan-bulan ini.

    Karomah (35 tahun), salah satu warga Desa Besuki yang menyewa lahan pertanian untuk ia kelola. Lahan yang ia sewa berada tepat di depan rumahnya sehingga dengan mudah ia mengontrol lahannya. Tapi kini, ia tak bisa lagi menggunakan lahan itu karena tanah tersebut telah tercemar oleh lumpur. Padi dan sayur-mayur yang telah ia tanam tak dapat ia jual karena mati. ia tak dapat mengembalikan uang tanam yang ia pinjam pada tetanganya karena tak ada hasil dari panen kali ini. Ia semakin bingung karena ia tak bisa lagi bekerja sementara hutang terus menumpuk.

    Ia mengaku hanya bercocok tanam itulah pekerjaan yang bisa ia kerjaan. Dulu ia pernah bekerja di pabrik tapi hanya bertahan beberapa bulan. Ia segera keluar karena merasa tidak ada kecocokan dengan pekerjaan yang sedang ia geluti. Selain itu, jika ia terus bekerja di pabrik ia hanya akan merepotkan tetangganya. Ia hanya memiliki satu sepeda gayung. Dan sepeda itu biasanya dipakai suaminya untuk pergi ke tempat kerja.

    Jika menggantungkan pemasukan dari suaminya saja sangat tidak cukup. Karena pekerjaan sang suami adalah sebagai kuli bangunan. Itupun kalau ada yang membutuhkan tenaganya.

    “Dulu sebelum ada lumpur saya masih bisa menyisihkan beberapa karung padi hasil ngasak. Saat nggak punya uang, padi itu saya selep dan berasnya saya jual.  Selain itu saya bisa menjual sisa sayur yang ada pada tetangga, lumayan buat ceperan. Sekarang, tidak ada yang bisa saya andalkan. Sawah sudah tidak bisa ditanami.”

    Malang memang menjadi seorang penyewa lahan. Lahan yang telah tenggelam lumpur memang mendapatkan ganti rugi. Tetapi uang ganti rugi itu diberikan kepada pemilik lahan. Sementara sebagai penyewa lahan hanya bisa pasrah. Menungu jika pemilikm lahan memberinya secuil hasil hasil ganti rugi. Tapi yang ia tak mendapatkan sedikitpun uang hasil ganti rugi itu.

    “Saya tak bisa menggantungkan gaji suami saja. Saya harus mempunyai pekerjaan sendiri untuk membanntu suami memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mahal.” Ucapnya  dengan suara yang semakin berat. Ia bangkit dari keterpurukannya. Ia kembali meminjam uang untuk menyewa lahan pertanian. Untung saja sang peminjam tidak meminta jaminan atas uang yang ia pinjamkan.

    Sayangangya tak ada lahan yang disewakan disekitar tempat tinggalnya. Kali ini lahan yang ia sewa letaknya sangat jauh. Jaraknya sekitar 5 km dari rumahnya. Mau tak mau setiap hari ia harus pergi ke tampat kerjanya yang baru. Sepeda satu-satunya yang biasa dipakai suaminya kali ini terpaksa ia pakai. Bayangkan saja setiap hari harus mengayuh sejauh 5 km demi memenuhi kebutuhan hidup. sementara yang disana hanya duduk dan menunjuk saja sudah mendapatkan uang.

    Untungnya hasil panen pertama cukup memuaskan. Ia bisa menjual Gerbisnya dalam jumlah banyak. Uang hasil panen tersebut ia pergunakan untuk melunasi hutang-hutang yang sudah menumpuk.

    “Gali lubang tutup lubang. Itulah kami.” Ucapnya sambil masuk ke dalam dan kembali keluar sambil membawa garbis hasil panennya.

    “Ini garbis yang saya tanam. Silahkan dimakan.” Kali ini  mimik  wajahnya berubah ceria. Ia senang bisa kembali bergulat dengan lumpur yang memang selama ini telah melekat dalam hidupnya.

    Apakah pemilik PT. Lapindo pernah memikirkan nasib rakyat kecil seperti mereka yang menderita karena nafsunya untuk menjadi orang terkaya?

    Apakah anda ingat lagu yang dinyanyikan Iwan Fals yang berjudul “Guru Oemar Bakrie”? Bakrie yang dulu berbeda dengan Bakrie yang sekarang. Dulu Bakrie sangat dipuji dengan kesederhanannya dan kejujurannya. Seperti yang digambarkan dalam lirik “ Tas hitam dari kulit buaya”, “laju sepeda kumbang selalu seperti itu dulu waktu jaman jepang”, dan “Jadi guru jujur berbakti memang makan ati”.

    Tapi Bakrie yang sekarang? Bisa anda nilai sendiri. Ia menuruti nafsunya agar menjadi kaya dengan mengeruk isi bumi. Ia tega menghabiskan uang milyaran rupiah untuk merayakan ulang tahun pernikahannya sementara disini korban lumpur menangis menunggu uang ganti rugi yang belum juga dibayar. Ia tega menghabiskan milyaran rupiah untuk pesta pernikahan anaknya dan bulan madu anaknya.

    Dimanakah peran pemerintah dalam kasus ini? Pemerintah sepertinya tutup telinga, tutup mata dan tutup hati nuraninya.

    DARIS ILMA

  • Tanggul Lumpur Lapindo Jebol, Warga Evakuasi Mandiri

    Tanggul Lumpur Lapindo Jebol, Warga Evakuasi Mandiri

    Tanggul penahan lumpur Lapindo sisi Gempolsari itu ambrol sekitar pukul 16.30 WIB. “Jebolnya tanggul ini disebabkan struktur tanah tidak bagus, sangat lembek. Akhirnya terjadi penurunan tanah sampai lima sentimeter dan tanggul jebol sekitar 100 meter,” kata Sumitro saat mengerahkan alat berat untuk menutup tanggul.

    Sebenarnya, sehari sebelumnya, tanggul di sekitar titik 79-80  sudah terjadi penurunan tanah sebanyak tiga kali. Pihak pengawas lapangan mengatakan sudah melaporkan kondisi tersebut ke Badan Penangulangan Lumpur Sidaorjo (BPLS). “Kita sudah laporkan itu ke BPLS. Dan karena volume air di dalam pond tekanannya sangat kuat, tanggul tidak bisa menahan, jadi langsung jebol,” imbuh Sumitro. (more…)

  • Sunami Bertahan Meski Lapindo Edan

    Sunami Bertahan Meski Lapindo Edan

    Sunami kini harus rela tinggal di bekas ruko Pasar Buah Porong, tanpa tetangga. Perempuan 52 tahun ini hanya ditemani kedua anaknya, tanpa didampingi sang suami lagi. Suaminya meninggal setelah dua tahun kampung mereka dihancurkan Lapindo.

    Pada 2006, begitu lumpur panas muncrat, hidup Sunami dan keluarga enggak keruan. Karena rumah tinggal hancur, mereka pun mengungsi ke Pasar Baru Porong. Setelah tiga bulan berdesak-desakan di pengapnya barak pengungsian, Sunami dan keluarga meneken tanda terima uang kontrak dari pihak Lapindo senilai Rp 5 juta, yang berarti mereka harus hengkang dari pengungsian. Mereka lalu mengontrak sebuah rumah di Kalitengah, Kecamatan Tanggulangin.

    Sunami hanya mampu menyewa tempat tinggal itu selama satu tahun. Sebab, uang kontrakan yang diterimanya harus juga digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Maklum, Sunami tak punya penghasilan lagi begitu warung miliknya turut ditenggelamkan lumpur Lapindo. Sementara suami Sunami waktu itu sudah tidak bisa bekerja. Sewaktu di kampung Jatirejo, suami Sunami bekerja sebagai buruh tani dan pemungut sampah. Pekerjaan itu otomatis musnah begitu Desa Jatirejo luluh lantak.

    Setahun hidup di rumah kontrakan, suami Sunami uring-uringan dan mulai sakit-sakitan. Setelah masa kontrak habis, Sunami mengajak suaminya dan kedua anaknya hijrah ke Gunung Gangsir, Pasuruan, sebab di sanalah kebanyakan keluarga mereka tinggal, persisnya di Desa Merangen.  Sunami menempati salah satu rumah saudaranya. Suami Sunami, yang sudah sakit-sakitan itu, akhirnya meninggal di sana, tepatnya pada 5 Juni 2008.

    Sewaktu ditemui Kanal, Sunami bercerita sembari meneteskan air mata. “Bojo kulo sampun pejah, wes entok rong tahun. Sak marine kampungku kelelep lumpur, bojoku enggak gelem kerjo, senengane menyendiri neng kamar. Pas mari nyambangi neng tanggul, mesti moleh langsung muring-muring seng enggak jelas. Mungkin mikir omahe kelelep lumpur. Pas tahun 2008 bojoku dadi loro, terus pejah. Suami saya sudah meninggal, sudah dua tahun meninggalnya. Setelah kampung saya tenggelam oleh lumpur Lapindo, suami saya tidak mau kerja, suka menyendiri di kamar sendirian. Sering, setelah melihat tanggul penahan lumpur, pulang jadi marah-marah tidak jelas. Mungkin mikir rumahnya yang tenggelam lumpur. Pada 2008, suami saya sakit-sakitan, lalu meninggal.”

    Tiga bulan setelah suaminya meninggal, Sunami bermaksud pindah lagi. Ia tidak mau merepotkan saudara-saudaranya di Gunung Gangsir, apalagi ia tidak bekerja apa-apa di sana. Ia pun meminjam uang sebesar Rp 1,5 juta dari adiknya buat menyewa rumah selama satu tahun. Sunami dan kedua anaknya memilih sewa rumah di Jatirejo Barat, persis sebelah barat Jalan Raya Porong.

    Di kontrakan baru ini, Sunami membuka warung kopi kecil-kecilan. Lokasi warung itu persis berada di depan pos pantau Badan Penangulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Di warung kecilnya ini, Sunami mengais rejeki dari pengendara yang kebetulan berhenti dan mampir ke warungnya. Sesekali pedagang asongan juga mangkal di warung Sunami. Tidak banyak rejeki yang dia dapatkan, dalam sehari Sunami membawa pulang Rp 15 ribu sampai Rp 25 ribu.

    Hasil jualan di warung ternyata juga tak mampu menopang hidup Sunami. Setelah setahun lebih di Jatirejo Barat, masa kontrak rumah pun habis. Sunami tak sanggup lagi membayar sewa rumah. Dan, ia pun harus hengkang dari rumah itu, persisnya pada 11 September 2010 lalu. Seorang pemilik bengkel bubut yang berada di Pasar Buah Porong berbaik hati membantu Sunami. Sunami dan kedua anaknya dipersilakan menempati bekas ruko di sebelah bengkel bubut itu.

    “Sak wis’e ngontrak neng Jatirejo, kulo mboten gadah arto mane, terus ditolong Pak Bambang seng duwe bengkel bubut, dikongkon manggoni ruko sebelah’e. Terus listrik’e kulo dikongkon nyalur pisan. Setelah mengontrak di Jatirejo, saya tidak punya uang lagi. Terus saya ditolong Pak Bambang, pemilik bengkel bubut untuk menempati ruko di sebelahnya. Saya juga dibolehkan nyalur listrik dari bengkelnya juga,” cerita Sunami.

    Derita Sunami tidak berhenti di sini. Sehari setelah menempati bekas ruko Pasar Buah Porong itu. anak keduanya, Ahmad Rosidi (18 tahun), tidak mau sekolah. Pasalnya, biaya sekolah Rosid sudah nunggak lima bulan. Menghadapi anaknya yang tidak mau lagi berangkat sekolah, Sunami pun pasrah, karena dirinya juga tidak sanggup membiayai tunggakan sekolah anaknya. “Anak kulo sekolah kelas loro. Sekolah’e sempat arep medot. Soal’e biaya sekolah Rosid telat limo wulan. Anak saya sekolah kelas dua (SLTA). Sekolahnya sempat mau putus, karena biaya sekolah Rosid sudah telat lima bulan,” ungkap Sunami.

    Pihak SMK Al-Fudlola, Porong, tempat Rosid bersekolah, yang mengetahui permasalah anak didiknya langsung mencari tempat tinggal Rosid. Pihak sekolah menemui Sunami. Mereka menginginkan Rosid tetap melanjutkan sekolah dengan meringankan biayanya, asal Rosid mau melanjutkan sekolah.

    “Pihak sekolahan wingi nekani kontrakan kulo, ngengken Rosid tetep sekolah. Soal biaya sing telat limo wulan iso dibayar lek kulo gadah arto. Terus neng ngarep, biaya Rosid entok keringanan biaya. Dadi Rosid kulo pekso sekolah maleh. Pihak sekolahan kemarin mendatangi kontrakan saya, dan menyuruh Rosid tetap melanjutkan sekolahnya. Soal biaya yang telat lima bulan boleh dibayar kalau saya punya uang. Terus ke depan, Rosid juga mendapat keringanan biaya. Jadi langsung saya paksa Rosid untuk sekolah lagi,” lanjutnya.

    Masalahnya, Sunami juga tidak tahu kapan akan punya uang. Lapindo belum juga melunasi aset Sunami yang terendam lumpur, kecuali janji-janji. Sampai sekarang, 80 persen sisa pembayaran aset tanah dan bangunan belum juga jelas juntrungannya. Di samping itu, surat aset Sunami masih menjadi satu dengan saudara-saudaranya, sehingga dia tidak memiliki hak tanah, dan hanya memiliki hak bangunan.

    “Tanah kulo kan sanes gada’e kulo. Niku tanah adik kulo, dadi kulo mung angsal bangunan tok. Tanah saya itu bukan hak milik saya. Tanah itu hak milik adik saya. Jadi saya hanya mendapatkan ganti rugi bangunan saja,” kata Sunami. “Kulo pasrah neng adik kulo seng gadah tanah. Adik kulo boten poron dicicil, dadi kulo melu mboten poron dicicil. Saya pasrah saja adik saya yang punya tanah tidak mau dicicil, jadi saya juga ikut tidak mau dicicil,” tambahnya.

    Karena belum juga dilunasi Lapindo, Sunami pun sering melakukan aksi bersama warga lainnya agar aset bangunannya segera dibayarkan, agar dirinya dan kedua anaknya bisa membangun kehidupannya lagi. Sembari membereskan barang dagangannya karena mau hujan, Sunami menuturkan harapannya. “Kulo kepingin presiden iku lebih tegas ngongkon Lapindo ndang bayari 80 persen tunai. Lek lapindo enggak gelem bayari mbok yo ditalangi disek, cek kulo iso bangun kehidupan keluarga kulo mene. Saya berharap Presiden lebih tegas memerintahkan Lapindo membayar sisa 80 persen secara tunai. Kalau Lapindo tidak mau membayar, ya, ditalangi dulu biar saya bisa membangun kehidupan saya lagi,” katanya.

    Sampai saat ini pun Sunami dan sekitar 70 warga yang lain masih terus menuntut pembayaran aset tanah dan bangunan mereka secara tunai, bukan dicicil. Mereka tidak menyerah, meski pihak Lapindo menyatakan di berbagai media tidak mau membayar sisa pembayaran warga secara tunai. Lapindo hanya mau membayar secara cicilan Rp 15 juta/bulan yang juga tidak pernah dibayar tepat waktu. Negara sendiri, baik legislatif maupun eksekutif, seolah juga tutup mata dengan tingkah laku Lapindo melakukan nasib warga seenaknya. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Ironi TK Berprestasi di Kolam Lumpur

    Ironi TK Berprestasi di Kolam Lumpur

    Aloysius B Kurniawan – Tahun lalu, Siti Fatima, Kepala Sekolah Taman Kanak-kanak Dharma Wanita Pejarakan, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, terpilih sebagai kepala sekolah paling berprestasi se-Jawa Timur. Siti dan TK Dharma Wanita yang diasuhnya sebenarnya berpeluang dipromosikan sebagai TK berprestasi tingkat nasional.

    Namun, upayanya gagal karena satu syarat, kondisi gedung sekolah tempat ia bekerja semakin tak layak karena semburan lumpur Lapindo. Empat tahun sudah semburan lumpur Lapindo mengancam TK Dharma Wanita Pejarakan serta SDN Pejarakan yang berada dalam satu kompleks. Jumat (24/9), tiga semburan lumpur bercampur gas dan air muncul di belakang gedung. Karena kuatnya semburan, air bercampur lumpur sempat menggenangi bangunan sekolah hingga setinggi 15 sentimeter.

    Tak hanya itu, Rabu (29/9) dini hari semburan lumpur bercampur gas juga muncul di kamar mandi dan toilet SDN Pejarakan yang hanya beberapa jengkal jaraknya dari gedung TK. Karena bau gas yang menyengat dan mudah terbakar, Kepala SDN Pejarakan Mudzakir Fakir terpaksa memindahkan siswa kelas VI ke mushala. Jika kondisi semakin darurat, seluruh siswa akan dipindahkan ke kantor kelurahan setempat.

    Jumlah siswa menyusut

    Meski dikelilingi semburan lumpur dan gas, Siti dan para guru lainnya tetap setia mendampingi murid-muridnya. Mereka tetap berangkat sekolah seperti hari-hari sebelumnya.

    Menurut Siti, setelah lumpur menyembur tahun 2006 lalu, jumlah siswa yang ia asuh langsung menyusut. “Dulu jumlah murid asuh kami 70 anak dan kini tinggal 29 anak. Anak-anak pindah sekolah karena orangtua mereka semakin khawatir dengan kondisi lingkungan di sini,” ucapnya.

    Kondisi serupa juga dialami TK Dharma Wanita Besuki. Kepala Sekolah TK Dharma Wanita Besuki Yuliati mengatakan, jumlah siswa menyusut dari 100 anak menjadi 36 anak. “Karena sedikitnya siswa, kami juga kesulitan menggaji dua guru honorer kami. Kas sekolah sampai minus. Guru honorer terpaksa digaji Rp 215.000 hingga Rp 300.000 per bulan,” ujarnya.

    Sementara itu, penyusutan jumlah siswa juga dialami SDN Pejarakan. Empat tahun lalu jumlah total murid mencapai 164 siswa dan kini tinggal 114 siswa. Pihak sekolah bahkan sampai menyiapkan blanko pindah sekolah dalam jumlah banyak untuk mengantisipasi para siswa yang pindah sekolah secara mendadak.

    Camat Kecamatan Jabon Moch Solichin mengatakan, banyak tanah dan bangunan milik warga di Pejarakan yang telah mendapatkan ganti rugi dari pemerintah melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Namun, belum ada perhatian bagi fasilitas umum khususnya sekolahan di sekitar kolam lumpur Lapindo. Hingga saat ini, masih ada dua SD dan dua TK di Desa Pejarakan dan Besuki yang belum direlokasi.

    “Setiap hari para murid dan guru harus menghirup gas metan dan menghadapi ancaman semburan lumpur yang sewaktu-waktu muncul. Kami berharap ada upaya dari BPLS untuk mengecek kesehatan mereka secara berkala atau mengevakuasi mereka ke tempat yang lebih aman,” kata Solichin.

    Dalam Perpres No 48/2008 mengenai Perubahan atas Perpres No 14/2007 tentang BPLS Desa Besuki, Desa Pejarakan, dan Desa Kedungcangkring telah dinyatakan tidak layak huni atau area peta terdampak. Namun, hingga saat ini belum ada upaya baik dari BPLS maupun pemerintah pusat untuk merelokasi sekolah yang ada di kawasan itu. Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnain mengatakan, BPLS dan Pemkab Sidoarjo akan berkoordinasi untuk memutuskan relokasi sekolah-sekolah di area peta terdampak.

    Empat tahun semburan lumpur terus muncul dan makin mengancam para siswa dan guru yang setiap hari beraktivitas di dekat bibir kolam penampungan lumpur. Ironinya, pemerintah tak segera ambil kebijakan untuk segera mencarikan tempat belajar baru bagi para calon penerus bangsa yang beberapa di antaranya mengenyam pendidikan di TK berprestasi se-Jatim itu.

    (c) cetak.kompas.com

  • Pontang-Panting Tercerai di Pungging

    Pontang-Panting Tercerai di Pungging

    MOJOKERTO—Lumpur panas Lapindo yang menenggelamkan sejumlah wilayah di tiga kecamatan di Sidoarjo, yaitu Porong, Tanggulangin dan Jabon, telah mengusir penduduk dari kampung tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Akibatnya, ribuan jiwa tak jelas nasib dan kehidupan ke depannya. Mereka, korban Lapindo, tersebar di banyak kota di Jawa Timur antara lain Pasuruan dan Mojokerto.

    Salah satu keluarga yang pindah jauh dari desa asalnya adalah keluarga Muhammad Kusman. Keluarga dari pria 46 tahun itu kini tinggal di Desa Curahmojo, Pungging, Mojokerto. Sang kepala keluarga mengajak istrinya, Asriati (45) dan keenam anaknya tinggal di Desa Curahmojo pada 2007 lalu. Bukan pilihan keluarga asal Desa Jatirejo, Porong, itu menetapkan Mojokerto sebagai tempat tinggal baru, melainkan sebuah keterpaksaan, karena 20 persen uang ganti rugi pun belum diterima keluarga ini.

    Ya, Kusman memilih menolak Perpres 14/2007 yang hanya menganggap permasalahan lumpur Lapindo sebagai jual beli aset tanah dan bangunan warga yang tenggelam. Terlebih rumah di Desa Curahmojo itu memang rumah warisan dari orang tua Kusman yang diperuntukkan bagi Kusman dan saudara-saudaranya.

    Pontang-panting menata kembali hidup, Kusman dan Asriati tak kunjung mempunyai penghasilan tetap, bahkan hingga setahun berselang. Sewaktu di kampung asalnya, mereka bekerja di pabrik dan sebagai sampingannya mereka juga berternak kambing. Anak-anaknya yang masih kecil dan remaja mulai tak kerasan di sana dengan berbagai alasan. Anak pertamanya, Muhammad Prayitno (23), lebih memilih tinggal di rumah mertuanya di Prigen, Pasuruan. Anak kedua, Hari Mulyanto (19), memilih tetap tinggal di Sidoarjo tanpa kepastian.

    Hari Mulyanto tinggal dari rumah teman ke teman yang lain, dari rumah saudara yang satu ke saudara yang lain tanpa kegiatan berarti. Puncaknya, Hari yang waktu itu berusia 17 tahun terlibat kasus kecelakaan lalu lintas yang membuatnya mendekam di penjara selama enam bulan. Kini Hari bekerja serabutan di Kota Denpasar, Bali.

    Sementara anak ketiga, Muhammad Subkhan (17), tidak mau melanjutkan sekolah ketika waktu itu ia hendak masuk SMA. Seperti kedua kakaknya, Subkhan lebih memilih meninggalkan keluarganya di Desa Curahmojo dengan alasan yang sama: tak kerasan.

    ***

    Subkhan memulai pengembaraannya, yang waktu itu usianya baru menginjak 16 tahun. Subkhan bekerja serabutan, penghasilannya tidak cukup untuk makan dia seorang. Tak tega dengan keadaan Subkhan, pamannya yang juga korban Lapindo yang mengontrak rumah di Perumtas 2 Tanggulangin, Sidoarjo, pun mencarikan pekerjaan untuk Subkhan. Kondisi keluarga ini sungguh tercerai-berai.

    Akhirnya Subkhan menerima tawaran pamannya untuk berkerja sebagai penjual serabi di Gading Fajar, Sidoarjo. Usianya yang masih sangat muda kala itu memang labil. Subkhan mudah bosan karena merasa dikucilkan oleh teman kerjanya yang kebanyakan berusia 20 tahun ke atas. Hanya enam bulan ia bertahan sebagai penjual serabi.

    Sebulan Subkhan menganggur, ia kembali ditawari kenalannya untuk bekerja. Kali ini sebagai penjual es oyen di pusat kota Sidoarjo. Pengasilan dari berjualan es oyen bisa menghidupi ia seorang diri walau hanya cukup untuk makan. Penghasilan yang demikian pun tak membuat Subkhan bertahan lama. Ia mengatakan, suasana kerja yang membosankan menjadi alasannya utama kenapa ia meninggalkan pekerjaan itu. Ia bertahan hampir setahun sebagai penjual es oyen dan akhirnya kembali menganggur dan makan dari pamannya.

    Muhammad Subkhan merupakan tipikal anak korban Lapindo yang memilih tak melanjutkan sekolah karena tak tega melihat perekonomian keluarganya. Pemuda yang seharusnya kelas 3 SMA itu menjadi potret buruknya penanganan pendidikan oleh pemerintah untuk anak-anak korban yang orang tuanya berjibaku mencari uang di tempat tinggal mereka kini. Muhammad Subkhan tak seharusnya menelan pil pahit ini jika pemerintah melakukan tugasnya sebagai penyelenggara negara dengan baik. Di saat anak seusianya menikmati pendidikan dan mencari jati diri, Subkhan malah bersusah payah membanting tulang hanya untuk mencari sesuap nasi.

    Tinggal di rumah pamannya tanpa kegiatan yang berarti membuatnya juga tak betah. Keadaan yang memaksanya harus segera mencari pekerjaan pengganti. Tepatnya awal tahun 2009, seorang teman memberinya pinjaman DVD dokumentasi lumpur Lapindo untuk dijajakan ke tanggul penahan lumpur. Lokasi tanggul yang berada tepat di sebelah Jalan Raya Porong membuat pengguna jalan penasaran ingin melihat pusat semburan lumpur Lapindo.

    Ya, di situlah Muhammad Subkhan mengais rupiah sekarang. Penghasilan pun tak jauh beda dngan pekerjaan Subkhan dulu, tapi Subkhan merasa betah di sana walau hawa panas dan udara beracun menemaninya sehari-hari. Ia merasa dihargai oleh rekan sesama korban Lapindo yang kebanyakan berusia jauh di atas Muhammad Subkhan. Suasana kekeluargaan yang akrab antar korban juga membuat Subkhan kerasan.

    ***

    Saat saya menemui Subkhan di tanggul lumpur di Desa Ketapang, Tanggulangin, ia bersaing dengan puluhan orang yang berprofesi sama dengannya yang juga menjual DVD Lapindo. Ada yang jadi tukan ojek keliling tanggul juga. Di hari lebaran, ia lebih memilih untuk tetap berjualan DVD daripada menemui orang tua dan adik-adiknya di Desa Curahmojo, Pungging, Mojokerto. Subkhan mengatakan, hanya di hari inilah banyak pengguna Jalan Raya Porong yang berhenti dan naik ke tanggul untuk melihat lumpur Lapindo dan akhirnya membeli DVD.

    “Banyak orang rekreasi setelah lebaran dan mampir ke tanggul,” kata Subkhan. Subkhan menambahkan, sebelum dan setelah lebaran ia bisa mengantongi 50 ribu sampai 70 ribu rupiah perhari. Tapi dihari biasa, lanjut Subkhan, ia hanya mendapat 15 ribu rupiah. “Tak dapat sepeser pun sering,” ungkapnya.

    Hari Senin (12/9/2010), atau tiga hari setelah lebaran Subkhan mengajak saya untuk ikut ke rumah orang tuanya di Curahmojo, Pungging, Mojokerto. Tak ada oleh-oleh khusus untuk keluarga di sana. Subkhan hanya mengenakan celana pendek dan kaos hitam bertuliskan “kelelawar malam” di dada serta bersendal jepit. Bahkan ia tak memakai helm. “Bapak ambek ibuk pasti eroh nek keadaanku selama nang Porong yo susah (Bapak dan ibu pasti tahu kalau keadaanku selama di Porong juga susah),” katanya sebelum berangkat. Keadaan tersebut dibenarkan olehnya untuk tak membawa sesuatu untuk keluarganya.

    Perjalanan pun kami mulai tanpa persiapan berarti menggunakan sepeda motor. Sepanjang perjalanan, Subkhan tak hentinya menghisap rokok. Dalam perjalanan ini, kami disuguhi pemandangan hijau persawahan yang jarang kami lihat apalagi persawahan di Porong, Tanggulangin dan Jabon telah lama tenggelam oleh lumpur Lapindo.

    Subkhan tak henti memandu saya menunjukkan jalan mana yang harus kami lewati. Ingatan Subkhan sangat tajam, walau banyak kelokan di kampung-kampung dan sawah-sawah menuju Desa Curahmojo, tak sekali pun kami salah mengambil tikungan. Subkhan mengaku kalau lebaran tahun kemarin ia tak pulang menemui keluarganya.

    Sekitar 45 menit perjalanan kami tempuh, kami tiba di sebuah desa yang cukup sunyi senyap. Jarak rumah satu dan rumah lainnya cukup jauh. Banyak hewan ternak yang juga lalu-lalang di jalan desa itu. Terlihat di kejauhan sebuah bangunan yang cukup mencolok, itu satu-satunya bangunan berpagar di kampung itu. Setelah dekat, pagar di bangunan itu bertuliskan “Balai Desa Curahmojo Kec. Pungging Mojokerto.”

    Saya pun berspekulasi kalau rumah keluarga Subkhan sudah dekat. Tapi saya salah, kami masih harus melewati persawahan lagi dan kebun-kebun warga.

    “Oma werno puteh ngadep ngalor iku langsung mlebu ae (Rumah warna putih menghadap utara itu langsung masuk saja),” kata Subkhan yang menjadi tanda untuk mengakhiri perjalanan ini. Ketika mendengar suara sepeda motor, penghuni dalam rumah sangat sederhana itu keluar. Tiga adik perempuan Subkhan keluar menyambut kami. Subkhan pun mempersilahkan saya masuk. Saya duduk di ruang tamu di rumah berukuran 3×6 meter itu.

    Di hari ketiga setelah lebaran, suasana lebaran tak terasa di situ. Tak ada kue lebaran di meja ruang tamu. Yang ada hanya ayam peliharaan keluarga ini yang keluar masuk rumah. Di dalam rumah pun becek, karena turun hujan semalam. Ya, rumah itu berlantaikan tanah. Perbincangan terjadi antara Subkhan dan adik perempuannya di dalam. Saya tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, saya pun tak bertanya. “Ibuku sek nang sawah (ibuku masih di sawah),” kata Subkhan sambil mendatangi saya.

    Lama berselang, Asriati, ibu Subkhan datang. Kakinya kotor penuh tanah liat dan menunjukkan kalau ia habis dari sawah. Tubuhnya terlihat cukup kurus jika dibandingkan terakhir saya ketemu dengannya sekitar empat tahun lalu. Suasana lebaran baru terasa kala Subkhan menjabat tangan ibunya dan menciumnya. Asriati tampak senang dengan kedatangan Subkhan. Asriati ijin kepada saya dan Subkhan untuk membersihkan kakinya sebentar.

    Tak lama, ia kembali dengan membawa dua gelas teh hangat untuk kami. “Yo iki omae Subkhan (Inilah rumahnya Subkhan),” kata Asriati sambil tersenyum. Seperti lebaran-lebaran terdahulu, di lebaran kali ini pun tak ada tetangga dari Desa Jatirejo di mana keluarga ini berasal yang datang untuk bersilaturrahmi.

    “Sepi, ga onok tonggo Jatirejo seng mrene (Sepi, tak ada tetangga dari Jatirejo yang ke sini),” kata Asriati. Pantas saja, karena tak banyak yang tahu di mana keluarga ini sekarang tinggal. Asriati mengatakan, ia sering menangis ketika ia ingat rumahnya di Jatirejo yang baru keluarga ini tempati selama dua bulan. Saya pun ingat bagaimana jerih payah keluarga ini untuk mendirikan sebuah rumah. Secara fisik rumahnya dulu sudah layak huni dan telah ditempati selama dua bulan sebelum akhirnya terendam bersama ribuan rumah lainnya oleh lumpur.

    Romantisme Idul Fitri yang diidamkan setiap umat Islam tak saya temui di keluarga ini. Tak hanya terpisah dari tetangga dan saudara, tetapi Asriati juga tercerai dari anak-anaknya. Hanya anak pertama yaitu Muhammad Prayitno yang tamat SMA. Karena saat Prayitno sekolah, keluarga ini masih tinggal di Desa Jatirejo, Porong. Sementara Hari Mulyanto dan Muhammad Subkhan putus sekolah karena perekonomian keluarga berantakan pasca rumah mereka tenggelam lumpur Lapindo. Masih ada tiga anak lagi di keluarga ini yang masih sekolah. Akankah mereka bernasib sama seperti Hari dan Subkhan dan terpaksa bekerja untuk membantu keluarga, atau setidaknya untuk makan mereka sendiri? (fahmi)

    (c) Kanal Newsroom

  • Lebaran Tanpa Sangu, Tanpa Tamu

    Lebaran Tanpa Sangu, Tanpa Tamu

    SIDOARJO — Gema takbir berkumandang, menandai masuknya Idul Fitri. Semua umat Islam merayakan kemenangan setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Gebyar kembang api tampak susul menyusul di kompleks Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) II, Sidoarjo. Semua seolah bergembira. Tapi tidak dengan Sunaryo, warga korban Lapindo asal Desa Jatirejo yang tinggal di perumahan ini dengan status ngontrak.

    Dengan hati yang gundah, Sunaryo merasakan datangnya lebaran. Tidak seperti warga Perumtas lainnya, Cak Sun justru menutup rumahnya rapat-rapat, bahkan hingga lebaran hari kedua. Cak Sun tidak menerima tamu. Ia dan istrinya, Isnaini, merasa malu tidak mampu menyajikan kue-kue lebaran untuk tamu.

    Kedua anak Cak Sun pun tidak bisa memakai baju baru seperti anak-anak lainnya. Cak Sun tak punya uang untuk membelikannya. Pria 38 tahun ini sudah lama mengganggur sejak lumpur panas Lapindo menenggelamkan Jalan Renokenongo, desa sebelah yang menjadi rute Cak Sun mengojek ketika itu.

    Cak Sun harusnya menerima cicilan pembayaran aset rumah dan tanahnya sebesar Rp 15 juta per bulan dari PT Minarak Lapindo Jaya. Tapi seperti sebelumnya ketika pembayaran 80 persen yang harusnya lunas pada 2008 tapi kemudian molor hingga akhirnya dibayar secara cicilan, PT MLJ kembali ingkar. Sejak Mei 2010, Cak Sun tak menerima lagi cicilan itu. PT MLJ tidak membayar cicilan hingga empat bulan.

    Baru pada 3 September 2010, Cak Sun mendapat informasi bahwa PT MLJ kembali membayar angsuran. Cak Sun langsung menancap gas motornya ke Tanggulangin. Bersama istrinya, ia mendatangi Bank Rakyat Indonesia (BRI). Cak Sun hendak mengecek dan mengambil uang yang, menurut informasi yang dia terima, telah ditransfer PT MLJ ke rekeningnya. Saat mengantri di teller bank, Cak Sun sudah membayangkan akan membelanjakan uang itu untuk membayar tunggakan rumah yang sudah dibelinya di Perumtas II, tak jauh dari rumah yang dikontraknya sekarang. Ia sudah telah bayar tiga bulan. Cak Sun juga ingin membelikan baju baru buat anak-anaknya.

    Begitu giliran Cak Sun tiba, bayangannya pun buyar. “Kok iso ditransfer cuma limo juta, Mbak? (Kok bisa ditransfer lima juta, Mbak?),” tanya Cak Sun dengan nada jengkel ke petugas bank. Jelas, petugas bank tidak bisa menjawab apa-apa. Untuk pembayaran yang tertunda empat bulan, PT MLJ harusnya membayar Rp 60 juta. Namun, PT MLJ ternyata hanya membayar Rp 5 juta. Artinya, pembayaran cicilan sebulan sekalipun tidak genap. Cak Sun pun tak bisa berbuat apa-apa. Masih dengan hati gondok, ia menarik semua uang di rekeningnya.

    Setiba di rumah, kelima adik Isnaini, istri Cak Sun, sudah menunggu. Mereka akan menerima bagian dari uang cicilan yang Rp 5 juta itu. Maklum, aset Isnaini dan saudaranya masih tercatat dalam satu dokumen, sehingga setiap bulan uang cicilan harus dibagi rata menjadi enam bagian. Cak Sun dan Isnaini menceritakan ke saudara-saudaranya bagaimana uang yang masuk ke rekening mereka cuma Rp 5 juta. “Rekening awakdewe cuma ditransfer limo juta, dan kudu dibagi enem. Dadi sak wonge cuman oleh Rp 830 ewu (Rekening kita hanya ditransfer lima juta, dan harus dibagi enam. Jadi per orang, kita masing-masing dapat Rp 830 ribu),” kisah Cak Sun pada saya.

    Dengan uang sejumlah itu, Cak Sun tak bisa membelikan kue lebaran dan baju baru buat anak-anaknya, dan apalagi ia harus membayar utangnya di toko bangunan. Cak Sun sempat mengutang ke satu toko bangunan untuk merenovasi rumah yang dibelinya secara mengangsur Rp 3,5 juta per bulan yang berlokasi di Blok Q. Bulan ini pun ia tak bisa membayar cicilan rumah itu. Sebesar Rp 700 ribu harus ia bayarkan ke toko bangunan, yang juga sudah telat sebulan. Jadi, Cak Sun hanya punya sisa uang Rp 130 ribu.

    “Utangku neng galangan gedene Rp 700 ewu. Sampek malem takbiran sisa duitku kari 130. Dadi anak-anakku gak tak tukokno kelambi. Soale duwet Rp 130 ewu rencanae digawe transport keliling njaluk sepuro neng dulur-dulur (Utang saya ke toko bangunan sebesar Rp 700 ribu. Sampai malam takbiran, sisa uang saya tinggal Rp 130 ribu. Jadi terpaksa anak-anak saya tidak saya belikan baju baru. Karena uang Rp 130 ribu rencananya saya gunakan transport bersilaturahmi ke saudara-saudara saya).”

    Sunaryo tidak mampu memeriahkan lebaran seperti keluarga lainnya. Setelah berkeliling ke saudara-saudaranya, Cak Sun mengunci rumah. Isnaini, sang istri, merasa malu tidak bisa menyajikan kue lebaran buat tamu-tamu. Banyak saudara dan tetangga sekeliling mengira Cak Sun dan keluarga sedang keluar bepergian, dan mereka pun batal berkunjung setelah melihat rumah tertutup rapat. Mereka tak tahu kalau sang sahibul bait sedang di dalam rumah meredam gundah.

    ***

    Tak berbeda dari Sunaryo, warga korban Lapindo asal Desa Renokenongo yang kini tinggal di Perumahan Reno Joyo, Dusun Kedungkampil, Kedungsolo, Porong, pun menjalani Idul Fitri tanpa keriangan. Misti, misalnya, harus menelan kekecewaan saat mengetahui PT MLJ mentransfer hanya Rp 5 juta ke rekeningnya. Perempuan 63 tahun yang tinggal bersama cucunya ini harus mengubur dalam-dalam angan-angan merayakan lebaran. Setelah melunasi hutang-hutangnya ke tetangga-tetangga dan saudara-saudaranya, Misti hanya memegang sisa uang Rp 50 ribu, padahal waktu itu lebaran tinggal satu hari lagi.

    Sebelum tinggal di Kedungkampil ini, Misti dulu ikut bertahan di pengungsian Pasar Baru Porong selama hampir tiga tahun. Misti dan warga korban Lapindo asal Desa Renokenongo lainnya menolak skema pembayaran 20-80 persen. Mereka menuntut 100 persen langsung tunai. Akan tetapi, setelah menjalani berbagai perjuangan, dan tuntutan pun tak kunjung terpenuhi, warga Renokenongo yang ketika itu terorganisir dalam Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak (Pagar Rekontrak) menerima pola 20-80 persen.

    Kemudian, beberapa bulan setelah menerima 20 persen, warga harus hengkang dari pengungsian Pasar Baru, sekitar Mei 2009. Mereka lalu menempati tanah kosong bekas lahan tebu di Dusun Kedungkampil yang telah dibeli secara kolektif. Ada pihak pengembang yang bekerjasama dengan Bank Jatim menawarkan pembangunan rumah bagi warga. Pengembang mengatakan, warga bisa membayar rumah secara mengangsur lewat Bank Jatim. Banyak yang akhirnya menerima tawaran itu, meski sebagian warga menolak dan lebih memilih membangun rumah sendiri.

    Dan untuk membayar cicilan ke Bank Jatim, warga menggantungkan cicilan pembayaran aset mereka dari pihak PT MLJ yang masih tersisa 80 persen. Sialnya, PT MLJ lagi-lagi ingkar janji, bahkan tidak membayarkan cicilan sejak Mei 2010. Warga Kedungkampil pun bingung. Bank Jatim, yang telah bekerjasama dengan pihak pengembang, terus menagih uang cicilan rumah.

    Hingga September tiba, dan Idul Fitri menjelang, PT MLJ hanya mentransfer Rp 5 juta ke rekening warga. Padahal, selain untuk membayar utang ke Bank Jatim, warga berharap bisa merayakan lebaran secara layak. Tapi harapan itu pupus.

    “Tanggal 3 September wingi Lapindo cuma membayar Rp 5 juta. Duwit sakmono langsung entek digawe nyaur utang (Tanggal 3 September kemarin Lapindo hanya membayar cicilan sebesar Rp 5 juta. Uang segitu langsung habis dibuat membayar hutang),” cerita Misti.

    Misti dan suaminya Saderi, yang tinggal berlima bersama keluarga cucunya Sunarti, kecewa berat. Rp 50 ribu yang tersisa jelas tidak bisa buat beli sajian lebaran. Bahkan, Misti pun harus menggantungkan pemberian zakat dari tetangganya untuk makan.

    Misti juga tidak mungkin bisa membayar cicilan ke Bank Jatim. Untuk rumah yang ditinggali Misti dan keluarganya sekarang, setiap bulan ia harus membayar ke Bank Jatim sebesar Rp 3,8 juta. Ia sudah membayar cicilan rumah total sebesar Rp 15 juta, dan sisa yang masih harus dibayarnya sebesar Rp 60 juta. Sedangkan tak satu pun anggota keluarganya yang bekerja. Praktis untuk membayar rumahnya Misti mengandalkan cicilan dari Lapindo.

    “Suami saya dulu kerja menambal ban di Jalan Raya Watukosek, Mojokerto. Tapi sekarang tidak bekerja lagi, modalnya selalu habis dibuat makan,” cerita Sunarti, cucu Misti.

    Lapindo tidak saja menelantarkan ribuan keluarga seperti Misti dan Cak Sun yang tinggal di rumah mereka yang belum lunas dibayar. Puluhan warga yang bertahan menginap di depan gedung DPRD Sidoarjo pun tak digubris Lapindo. Bukan saja warga tidak bisa merayakan lebaran secara layak, mereka bahkan tidak berhari raya di rumah, melainkan di emperan gedung dewan Sidoarjo. PT MLJ tetap tidak mau membayar 80 persen aset tanah dan bangunan yang dituntut warga agar dibayar tunai. Ah, Lapindo barangkali memang lebih terbiasa Idul Fitri dengan ingkar janji. (Ahmad Novik)

    (c) Kanal Newsroo