Category: Lapindo di Media

  • Diluberi Lumpur, Warga Delapan Desa Aksi Blokir Jalan

    Diluberi Lumpur, Warga Delapan Desa Aksi Blokir Jalan

    Warga yang pernah dijanjikan oleh BPLS akan menerima dana kompensasi berupa uang evakuasi, menuntut realisasi kompensasi tersebut kepada Pemerintah Daerah dan BPLS paling lama pada akhir tahun ini. Sejak pagi warga telah memulai pemblokiran jalan di Glagaharum. Tidak hanya itu, pemblokiran juga dilakukan di Desa Sentul, Kecamatan Tanggulangin, sejak pukul tujuh pagi.

    Salah satu koordinator aksi, Imam Dakhiri, menyatakan bahwa aksi yang dilakukan sebagai bentuk kekecewaan warga yang selama 9 bulan tidak mendapatkan kepastian penanganan. Terlebih antara BPLS dan Pemerinta Daerah terkesan saling lempar tanggung jawab. “BPLS yang punya wewenang penuh dengan kondisi tanggul, tidak mau tanggung jawab,” ujar koordinator aksi dari Glagaharum ini.

    Hal senada disampaikan oleh warga yang melakukan aksi. “BPLS melakukan penanggulan sejak di keluarkannya perpres 14/2007. Dan pada saat jebolnya tanggul itu murni kelalaian BPLS, mereka harus bertanggung jawab,” ungkap Kusnan, warga Sentul.

    Saat diminta keterangan, perwakilan BPLS dari sub Kapokja bidang Sosial, Khusnul, mengatakan bahwa BPLS tidak memiliki anggaran untuk alokasi santunan saat terjadinya jebolnya tanggul. “Anggaran BPLS tidak ada pos untuk membayar kompensasi yang dituntut warga, jadi pemkab-lah yang punya wewenang memberikan kompensasi warga,” katanya.

    Pemkab Sidoarjo yang diwakili Fauzi Isfandiari dari Bakesbang mengatakan uang untuk kompensasi gagal panen dan uang evakuasi warga sudah dianggarkan, dan untuk pencairan ke warga menunggu pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah(BPBD).

    “Anggaran untuk kompensasi warga sudah ada, tinggal menunggu terbentuknya BPBD, saya harap warga bersabar.”

    Rencana aksi pemblokiran ini akan terus berlanjut sampai ada perwakilan dari BPLS dan Pemkab yang mempunyai wewenanag memutuskan tuntuan warga bisa hadir menemui warga. Jika tidak, warga akan terus melakukan pemblokiran sampai dua hari kedepan. Warga juga mengancam akan menduduki jalan raya Porong jika sampai hingga dua hari tidak ada realisasi atas tuntutan warga tersebut.(vik)

    (cc) Kanal News Room

  • Tuntut Masuk Peta, Aksi Warga 45 RT Dibubarkan Paksa

    Tuntut Masuk Peta, Aksi Warga 45 RT Dibubarkan Paksa

    Sumina, salah satu warga 45 RT, menyatakan dirinya dan warga yang lain tetap menuntut agar 45 RT dimasukkan Peta Area Terdampak (PAT) dalam revisi Perpres terbaru. Kabar yang beredar, Perpres revisi itu akan diteken Presiden Senin ini (26/09).

    “Kami akan tetap bertahan di Jalan Raya Porong ini sebelum ada kepastian dari Presiden wilayah 45 RT masuk dalam Peta Area Terdampak. Perwakilan kita sekarang sudah ada di Jakarta menemui Wakil Presiden. Jika tidak ada hasil yang memuaskan kami akan terus bertahan di sini,” tegas Sumina.

    Dalam revisi Perpres terbaru itu, kabarnya 9 RT dimasukkan dalam PAT dan memperoleh ganti rugi tanah dan rumah melalui mekanisme jual-beli dengan pembayran dari dana APBN. Tetapi wilayah 45 RT tidak masuk. Wilayah 9 RT meliputi 4 RT Desa Siring, 2 RT Desa Jatirejo dan 3 RT Desa Mindi, Kecamatan Porong. Sedangkan wilayah 45 RT mencakup 18 RT Desa Mindi, 8 RT Desa Pamotan, Kecamatan Porong, 7 RT di Desa Besuki Timur, Kecamatan Jabon dan 12 RT di Desa Ketapang, Kecamatan Tanggulangin.

    “Kami sudah beberapa kali melakukan aksi tapi aspirasi kami tidak pernah diperhatikan. Aksi ini merupakan aksi menuntut keadilan karena wilayah 45 RT tidak dimasukkan dalam Perpres. Padahal wilayah 45 RT sudah terang – terangan tidak layak lagi untuk dihuni,” ungkap Suparno, warga Ketapang saat melakukan orasi di depan massa.

    Seperti hari sebelumnya, dalam aksi ini ratusan warga sempat melakukan blokade rel kereta api. Itu terjadi ketika saar menuju Jalan Raya Porong, warga dihalang-halangi polisi, lalu mengalihkan sasaran ke rel kereta api. Warga sempat menghentikan KA Penataran dari arah Malang saat masuk stasiun Kereta Api Porong.

    Pihak kepolisian menurunkan sekitar 1.000 polisi untuk mengawal aksi warga 45 RT ini. Kapolres Sidoarjo Eddy Hermanto meminta warga untuk segera membuka blokade Jalan Raya Porong, namun warga bergeming tidak mau membubarkan diri. Baru sekitar pukul 10.45, warga perlahan berpindah posisi ke pinggir jalan, dan kendaraan yang sempat terhenti bisa melanjutkan perjalanan.

    Namun tak lama kemudian, satu persatu warga bergeser dan kembali melakukan blokade Jalan Raya Porong, tepatnya di depan Rumah Sakit Bayangkari. Tidak bertahan lama, sebab pihak kepolisian datang dan langsung melakukan pembubaran paksa. Warga yang tidak terima dengan perlakukan kasar kepolisian sempat melawan dan terjadi dorong-mendorong. Akibatnya ada dua warga suami istri diamankan pihak kepolisian karena dianggap melawan.

    Kapolres Eddy Hermanto mengatakan suami istri itu bernama Ana dan Samsul, warga Mindi RT 21 RW 03. Keduanya akan dimintai keterangan dan arahan. “Kami hanya meminta keterangan dan kami arahkan saja. Kedua warga tadi terpaksa kami amankan karena memprovokasi warga yang lain untuk tetap bertahan,” ujar Eddy.

    Setelah terjadi pembubaran paksa, warga 45 RT kembali ke kantor kelurahan Desa Mindi. Mereka berencana akan mendatangi Polres Sidoarjo untuk meminta kedua rekan mereka dibebaskan. (vik)

    (c) Kanal News Room

  • Korban Lapindo 45RT Aksi Blokade Rel KA dan Raya Porong

    Korban Lapindo 45RT Aksi Blokade Rel KA dan Raya Porong

     

    Sidoarjo – Korban lumpur lapindo dari wilayah 45 RT melakukan aksi blokade jalan raya Porong dan rel kereta api. Aksi ini dilakukan di jalan KH Marzuki Kelurahan Mindi, kecamatan Porong. Aksi korban dari desa Mindi, Pamotan, Besuki dan ketapang ini merupakan buntut dari kekecewaan warga yang tidak dimasukkan dalam Peta Area Terdampak. Warga juga menuntut Presiden untuk tidak tergesa-gesa menandatangani revisi Perpres 14/2007 sebelum wilayah 45 RT juga dimasukkan dalam PAT.

    “Aksi ini sebagai bentuk kekecewaan kami dan sekaligus memperingatkan kepada Pemerintah untuk tidak mengeluarkan Perpres dulu sebelum 45 RT diikutkan masuk Peta Area Terdampak,” ungkap Jasimen, koordinator kelompok 45 RT.

    Lebih lanjut Jasimen menambahkan jika pemerintah benar-benar akan menegluarkan Perpres dan tidak mengikutkan wilayah 45 RT masuk area terdampak, maka akan terjadi gesekan antar warga, terutama di Mindi yang hanya memasukkan 3 RT dalam PAT.

    “Jika Perpres besok keluar, yang isinya hanya 9 RT yang masuk peta, maka akan terjadi gesekan antar warga, lha wong Perpres 40 tahun 2009 yang dulu keluar saja warga Mindi banyak yang konflik,” tambah Jasimin

    Ungkapan senada juga di ungkapkan Hari Susilo warga Mindi. Menurutnya, untuk memasukkan wilayah 45 RT dalam peta area terdampak yang harus diuji oleh Tim Terpadu Geologi, merupakan bentuk ketidakadilan pemerintah dalam mengambil kebijakan.

    “Dulu wilayah 9 RT tidak di lakukan penelitian terlebih dahulu untuk menentukan tidak layak huni, tapi kenapa 45 RT harus diadakan penelitian dulu. Seharusnya penelitian dari TKKP (Tim Kajian Kelayakan Permukiman, bentukan gubernur jatim -red) sudah cukup untuk menentukan wilayah yang harus masuk Peta Area Terdampak,” ungkapnya.

    Sebelum membolokade rel kereta api dan jalan raya Porong, warga lebih dahulu menutup akses jalan desa Mindi di depan Kantor Kelurahan Mindi yang memisahkan wilayah 3 RT dengan 18 RT. Mereka menumpahkan sirtu di jalan utama ini. Kemudian warga mendatangi lokasi tanggul penahan lumpur di sisi selatan dan mengusir paksa pekerja. Aksi spontan ini mendapat penjagaan pihak kepolisian.

    Akibat dari aksi ini, setidaknya 3 jadwal perjalanan kereta api(KA) tertunda. KA Penataran dari arah Blitar menuju Surabaya dan KA Sri Tanjung arah Banyuwangi-Surabaya tertahan di Stasiun Bangil. Sedangkan KA Komuter Surabaya-Porong tertahan di Stasiun Tanggulangin. Blokade di jalan raya Porong menyebabkan kemacetan hingga lebih 1 kilometer.

    Setelah blokade berlangsung sekitar satu jam, akhirnya warga membubarkan diri. Ini terjadi setelah Kapolres Sidoarjo dan jajaranya mendatangi lokasi aksi warga. Pihak kepolisian meminta warga membubarkan diri karena aksi yang dilakukan tidak disertai pemberitahuan terlebih dulu. Meski terpaksa bubar, warga mengancam akan melakukan aksi lanjutan jika revisi Perpres yang direncanakan keluar Senin(26/9) tidak mengikutkan wilayah 45 RT di dalam PAT.(vik)

  • Kanal News Room Lolos Seleksi Program Hibah

    Kanal News Room Lolos Seleksi Program Hibah

    “Situs ini berupaya menyajikan fakta lapangan, data, dan analisis tentang kasus lumpur Lapindo dengan menitikberatkan pada perspektif pemulihan hak-hak korban,” kata Siska Doviana, anggota Tim Seleksi Awal, di Jakarta, Jumat (23/09/2011).

    KNR merupakan satu dari 30 nominator yang dipilih Tim Seleksi Awal. Di samping itu, ada 5 nominator yang dipilih publik melalui internet. Program hibah Cipta Media Bersama menerima 820 permohonan hibah. Inisiatif-inisiatif itu terbagi dalam empat topik: meretas batas kebhinekaan media, keadilan dan kesetaraan akses terhadap media, kebebasan dan etika bermedia dan pemantauan media.

    “Topik kebhinekaan bermedia dan kesetaraan akses adalah masalah yang paling banyak mendapatkan permohonan hibah dari masyarakat,” ujar Siska. Topik ini menerima total 644 permohonan. KNR merupakan yang terpilih dari topik kebhinekaan bermedia.[ba]

    (c) Kanal News Room

  • Demo Warga Sambut Kedatangan Wapres Budiono

    Demo Warga Sambut Kedatangan Wapres Budiono

    Sidoarjo – Wakil Presiden Budiono hari ini(22/9) meninjau langsung semburan Lumpur Lapindo setelah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyatakan dalam kondisi SIAGA. Kedatangan Wakil Presiden ini langsung disambut aksi warga dari wilayah luar peta area terdampak 22 Maret 2007 dari 45 RT. Ratusan warga yang kebanyakan kaum ibu-ibu ini menggelar spanduk di depan Kantor Balai Desa Mindi, Kecamatan Porong. Aksi warga ini menuntut kejelasan dari pemerintah terkait dengan kondisi kawasan 45 RT untuk segera masuk dalam Peta Area Terdampak(PAT).

    Aksi yang dikawal ketat aparat kepolisian dan TNI ini tidak menyurutkan warga untuk membentang spanduk yang berisikan kecaman kepada BPLS dan Pemerintah. Setelah menggelar spanduk satu persatu ibu-ibu bergeser ke tanggul, rencananya mereka akan menyambut Wapres dengan membentang spanduk di tanggul, tepatnya di sebelah makam Desa Mindi. Tapi usaha ibu-ibu ini gagal karena puluhan aparat sudah disiagakan untuk menghalau massa menaiki tanggul. Semua akses jalan menuju tanggul sudah dijaga aparat keamanan.

    Aksi ini merupakan buntut dari rencana dikeluarkannya Peraturan Presiden pada Senin(26/9) yang tidak mengikutkan wilayah 45 RT masuk dalam PAT. Perpres dalam rencananya hanya memasukkan wilayah 9 RT dari Desa Mindi, Jatirejo Barat, dan Siring Barat yang juga segera mendapat pembayaran ganti rugi dari APBN 2011 ini.

    Menurut Selamet, Ketua RT 11 RW 01 Desa Mindi, turunnya perpres yang isinya mengatakan 9 RT masuk PAT dan 45 RT masih menunggu Uji Tim Geologi, merupakan suatu pembiaran pemerintah terhadap warga. Pembiaran ini akan menciptakan keresahan dan konflik antar warga.

    “Keluarnya Perpres besok menurut Saya itu merupakan pembiaran terhadap Kami yang nyata-nyata sudah sengsara akibat lumpur Lapindo. Akan menciptakan suatu gesekan antar warga karena di Mindi yang masuk peta area terdampak hanya 3 RT dan 18 RT tidak masuk dalam peta,” ungkap Selamet.

    Lebih lanjut, warga meminta Wapres meluangkan waktu untuk menemui warga agar tuntutan warga untuk masuk PAT bisa terealisasi. Tapi usaha untuk menerobos barisan aparat di Titik 25 tempat Wapres Budiono melihat semburan lumpur juga gagal. “Kedatangan Budiono seharusnya meluangkan waktu dan mengagendakan pertemuan dengan kami, karena wilayah 45 RT ini sudah nyata-nyata tidak layak huni,” ungkap Suparno Perwakilan warga Ketapang.

    Sampai Wapres bertolak dengan menggunakan helikopter ke Bandara Udara Juanda Surabaya, perwakilan warga gagal bertemu dengan Wapres. Warga yang kecewa mengancam akan melakukan aksi dengan massa yang lebih besar dan akan menduduki akses jalan Raya Porong.(vik)

  • Tanggul Lumpur Kritis, Warga Dilarang Beraktivitas

    Tanggul Lumpur Kritis, Warga Dilarang Beraktivitas

    Sidoarjo – Sejak empat hari terakhir, kondisi tanggul penahan lumpur di titik 21(desa Siring) hingga di titik 10(desa Ketapang) dinyatakan dalam kondisi ‘Siaga’. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dibantu Kepolisian Sektor Porong melarang warga beraktifitas di atas tanggul penahan lumpur. Akibatnya puluhan warga tukang ojek yang menggantungkan hidup di atas tanggul tidak bisa lagi bekerja. Pelarangan ini mengakibatkan tidak ada pelintas jalan raya Porong yang berhenti untuk melihat kondisi lumpur lapindo.

    Hal ini mendorong puluhan Pengojek dan penjual DVD mendatangi Pos Pantau BPLS untuk mempertanyakan sampai kapan larangan diberlakukan. “Kami hanya mempertanyakan sampai kapan proses peninggian tanggul ini selesai, dan sampai kapan kondisi tanggul dinyatakan aman, karena kami juga butuh makan, sudah 3 hari ini kami tidak mendapatkan penghasilan karena larangan beraktifitas di atas tanggul,” ungkap Sadeli, warga Siring yang sehari-hari mangkal di tanggul Siring. Puluhan tukang ojek dan penjual DVD ini terpaksa menggantungkan hidup di atas tanggul sejak lumpur lapindo menengelamkan tempat tinggal dan mata pencaharian mereka lebih lima tahun silam. Kehidupan mereka menjadi porak poranda, terlebih sejak 10 bulan terakhir Lapindo tidak membayar cicilan warga yang seharusnya 15 juta/bulan.

    Hal serupa diungkapkan Herwati, ia dan tukang ojek yang lain tidak bisa berbuat apa-apa karena disekitar tanggul dijaga polisi. Pengunjung yang datang dilarang naik ke tanggul. “Untuk kebutuhan sehari-hari kami mengandalkan pemberian tamu yang datang ke tanggul, kalau sekarang dilarang, dari mana kami mancari makan, apalagi pembayaran dari Lapindo sudah beberapa bulan ini tidak dicicil,” ungkap perempuan asal Siring, yang kini tinggal di desa Candipari.

    Sementara itu petugas BPLS – Sub Pokja Pemantau Geohazard yang menemui warga, masih belum bisa memastikan sampai kapan kondisi tanggul dinyatakan aman. “Kami belum bisa memastikan, tapi yang jelas surat BPLS kepada pihak kepolisian menyatakan kondisi tanggul dalam beberapa hari ini dalam kondisi siaga, Saya harap warga bisa memaklumi,” ungkap Riko Aditya, Petugas Pemantau Geohazard.(vik)

  • Warga Siring Tuntut Kepastian Hukum

    Warga Siring Tuntut Kepastian Hukum

    Lutfi Abdillah, salah satu warga Siring barat mengatakan, aksi ini sekaligus memperingatkan pemerintah terkait kondisi kawasan 9 RT yang sangat parah. Kawasan 9 RT terdiri dari 4 RT di Siring Barat, 2 RT di Desa Jatirejo Barat, dan 3 RT di Desa Mindi. Ia berharap pemerintah untuk segera memberikan payung hukum dan secepatnya memberikan ganti rugi. Menurutnya, wilayah 9 RT ini sudah ada kepastian untuk di berikan ganti rugi, akan tetapi payung hukum untuk melaksanakannya hingga saat ini belum juga di keluarkan oleh pemerintah.

    “Kami memperingatkan pemerintah agar segera memberikan kepastian hukum yang menjadi landasan untuk memberikan ganti rugi aset warga. Apalagi sejak kondisi lumpur saat ini yang sangat membahayakan dan sangat meresahkan warga,” ungkapnya.

    Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Akhmad Khusairi menyampaikan kepada warga untuk bersabar, karena untuk mengganti rugi 9 RT anggaran sudah disediakan dan tinggal menuggu keluarnya Perpres yang baru.

    “Kami meminta warga untuk tidak menghentikan penanggulan di titik 21-10 ini karena kondisinya sangat menghawatirkan. Untuk proses ganti rugi uangnya sudah ada tinggal menenunggu perpres yang baru. Kami harap warga bisa bersabar,” ungkapnya.

    Selain itu, Ia menjelaskan bahwa untuk penanganan kondisi kolam lumpur yang sangat kritis ini, BPLS akan melakukan beberapa skenario, diantaranya melakukan penyeimbangan tekanan lumpur di dalam kolam penampungan dengan cara  penyudetan atau  mengarahkan lumpur ke ke kolam penampungan di desa Ketapang. Sementara di tanggul titik 21-10 yang saat ini kritis, akan dilakukan peninggian sampai 12 meter di atas permukaan laut.(vik)

  • Gas Metan Mencemaskan Warga 45 RT

    SIDOARJO-Lumpur Lapindo tak henti menyebarkan bahaya di kawasan sekitar. Semburan gas metan di Desa Ketapang, Kecamatan Tanggulangin yang sempat berhenti, sejak dua minggu terakhir muncul kembali. Setidaknya ada sekitar 25 semburan gas metan muncul di Desa Ketapang. Semburan gas ini muncul di pekarangan, di teras dan di dalam rumah warga.

    Warga menjadi cemas dan khawatir. Sebab selain baunya sangat menyengat dan membuat warga mengalami pusing-pusing dan sesak nafas, sempuran gas ini gampang terbakar. Luluk Azizah, warga RT 03 RW 01 Desa Ketapang, yang pekarangan rumahnya mengeluarkan gas metan sangat khawatir terjadi kebakaran seperti yang pernah terjadi di rumah Purwaningsih di Desa Siring, Kecamatan Porong.

    “Di sini ada sekitar 25 semburan yang muncul lagi. Kami sudah melaporkan ke BPLS, tapi belum ada tindakan. Saya khawatir terjadi apa-apa, apalagi banyak anak kecil di sini. Kalau malam hari baunya sangat menyengat,” ungkap Luluk.

    Semburan gas liar juga muncul di teras dan di dalam rumah warga bernama Sunandar. Jika disulut api, semburan gas itu langsung menyala. Suprapto, salah satu koordinator warga 45 RT dari Desa Ketapang, juga menyatakan, fenomena munculnya semburan lumpur ini sangat membahayakan warga. Menurut Suprapto, ini menunjukan kondisi Desa Ketapang tidak layak huni.

    “Gas liar yang sering hilang dan muncul lagi membuktikan bahwa kondisi Desa Ketapang sudah tidak layak huni. Selain semburan gas, di kawasan Ketapang juga banyak bangunan rumah yang retak-retak, dan airnya tidak bisa di konsumsi,” jelas Suprapto.

    Kawasan Ketapang ini termasuk wilayah 45 RT yang sudah dinyatakan tidak layak huni oleh Tim Kajian Kelayakan Pemukiman (TKKP) yang dibentuk Gubernur Jawa Timur. Meskipun bermunculan semburan gas, Pemerintah melalui BPLS sampai kini belum menyatakan 45 RT dalam kondisi tidak layak huni.

    Humas BPLS Akhmad Khusairi mengatakan perlu diadakan uji seismik untuk melihat kawasan mana yang tidak lahak untuk dihuni. “Untuk menyatakan kawasan 45 RT ini masuk dalam kawasan tidak layak huni, harus ada uji seismik. Bisa jadi kawasan tidak layak huni lebih dari 45 RT. Hasil dari uji ini yang nanti menjadi pegangan menentukan kebijakan,” katanya.

    Sejak dinyatakan dalam kondisi tidak layak huni oleh tim TKKP pada 2010 silam, warga dari 45 RT menuntut agar wilayahnya dimasukkan dalam revisi ketiga Perpres No. 14/2007 dan memberikan ganti rugi seperti halnya warga di tiga desa, yakni Desa Besuki (Barat), Kedungcangkring dan Pejarakan. [vik]

    (c) Kanal News Room

  • Donasi Pendidikan Mulai Didistribusikan

     

    Sidoarjo – Donasi Pendidikan yang digalang kelompok masyarakat sipil untuk anak-anak korban lapindo mulai didistribusikan pada Kamis(25/8) untuk wilayah Besuki. Jumlah yang didistribusikan untuk wilayah ini sejumlah empat juta lima ratus ribu rupiah dari jumlah keseluruhan kebutuhan anak-anak yang terdata di Besuki sebesar dua puluh juta rupiah. Penyerahan donasi ini khusus bagi siswa yang mengalami pemotongan uang tabungan yang dilakukan sekolah dan juga bagi yang sudah membayar sebagian biaya kebutuhan sekolah.

    Sekurangnya tujuh anak setingkat SD, lima anak setingkat SMP, dan satu SMU yang menerima donasi pendidikan ini. Abdul Rokhim selaku koordinator pelaksana donasi di wilayah Besuki menyampaikan bahwa donasi butuh disalurkan agar orangtua siswa yang biasanya menjelang Idul Fitri menggantungkan tabungan anak-anak tidak kebingunagan dan berhutang. Jumlah yang diditribusikan juga sejumlah yang dipotong sekolah atas tabungan anak-anak. Sedangkan untuk pembayaran selebihnya sesuai edaran sekolah yang berkisar 240ribu hingga 350 ribu akan didistribusikan setelah lebaran. “Ini agar dana pendidikan ini tidak digunakan untuk keperluan lain-lain, terutama saat ini menjelang lebaran ada banyak kebutuhan,” ujarnya. Ia juga menambahkan, bagi siswa lain yang belum menerima donasi akan dilakukan pada minggu pertama masuk sekolah setelah libur lebaran.

    Orangtua anak-anak yang berkumpul pagi itu memahami apa yang disampaikan Abdul Rokhim. Beberapa diantara mereka juga mengusulkan pendistribusian setelah lebaran usai. Kekhawatiran jika dibagikan saat ini lebih karena ada kebutuhan jelang lebaran, bisa jadi sebagiannya akan digunakan untuk kebutuhan itu.

    Sementara itu, koordinator Kampanye Seribu Rupiah untuk Pendidikan Korban Lapindo, Yuliani, saat ditemui di Surabaya menyatakan bahwa donasi dari publik yang diterima sejak diluncurkan di Surabaya pada 16/8 sudah mengumpulkan 1,7juta rupiah. “Ada juga berbagai perlengkapan sekolah yang kami terima dari donatur di Surabaya,” katanya. Untuk kebutuhan biaya pendidikan yang mendesak didistribusikan, masih bisa dicukupi dari penggalangan tahun 2010 yang siap didistribusikan sejumlah 20juta rupiah.

    Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Walhi Jawa Timur bersama kelompok lain: Sobat Padi Surabaya, Kaum Muda Nambangan, Kaum Muda Gempolkerep melakukan penggalangan donasi pendidikan untuk anak-anak korban lapindo. Program yang diluncurkan didesain panjang menyiapkan kebutuhan pendidikan dan kebutuhan dasar anak-anak dengan melalui peluncuran Sahabat Anak Lumpur(SAL). SAL menghimpun iuran rutin dari anggotanya sejumlah sepuluh ribu rupiah per bulan. Diharapkan iuran keanggotaan ini bisa menjadi alternatif pendanaan panjang atas kebutuhan biaya pendidikan anak-anak korban lapindo.(red)

  • Bakrie dapat Penghargan, Korban Lapindo Kecewa

    Bakrie dapat Penghargan, Korban Lapindo Kecewa

    Surabaya – Presiden SBY kemarin (12/8) memberikan penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana kepada Ir. H Aburizal Bakrie. Penghargaan kepada Ical ini membuat warga Korban lapindo kecewa. Pasalnya penghargaan tersebut dinilai tidak patut diberikan kepada Ical karena persoalan lumpur lapindo sampai saat ini tidak kunjung tuntas.

    Nur Aini, warga Korban Lapindo asal desa Jatirejo, mengatakan sampai kini persoalan ganti rugi warga belum selesai. Warga yang masih belum dilunasi ganti ruginya telah mengikuti skema yang ditawarkan Lapindo dengan cara cicil sebesar 15 juta/bulan. Dalam kurun 10 bulan terakhir ini warga hanya menerima pembayaran sebesar lima juta rupiah saja.

    “Sejak September 2010 sampai sekarang, Lapindo tidak menepati janjinya membayar cicilan 15 juta/bulan. Sampai sekarang warga hanya menerima cicilan 5 juta saja. Bulan ini pun warga juga belum menerima pembayaran cicilan. Jadi tidak layak itu Bakrie mendapatkan penghargaan itu,” katanya.

    Tidak hanya itu, hingga kini masih ada sekitar 20 warga di Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin yang masih belum menerima penggantian sepeserpun. Menurut Nur Aini, Lapindo tidak mengakui status tanah warga. Tanah-tanah ini diakui sebagai tanah sawah, padahal bukti kepemilikan menunjukkan tanah kering. Namun, Minarak Lapindo Jaya hanya mengakuinya sebagai tanah sawah dan mengganti senilai tanah sawah. Praktis warga yang memiliki bukti kuat kepemilikan tanah kering ini menolak menerima penggantian yang jumlahnya jauh lebih kecil tersebut.

    Nur Aini menduga, diberikannya tanda kehormatan kepada Bakrie, membuktikan keberpihakan Presiden kepada Lapindo.

    Keheranan serupa juga disampaikan oleh BC. Nusantara, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur. Saat ditemui di Surabaya ia menyatakan bahwa penghargaan itu sangat menghina nilai-nilai penghormatan kemanusiaan. Aburizal Bakrie selaku pemilik Lapindo yang menyebabkan kehancuran ekologis di wilayah Porong seharusnya tidak pernah diberikan penghargaan Mahaputra Adiprana. Semburan lumpur lapindo dikatakannya telah menyebabkan penderitaan puluhan ribu jiwa warga di Sidoarjo, seharusnya kondisi yang masih berlangsung hingga itu menjadi acuan pemerintah untuk tidak memberikan penghargaan apapun. “Masa orang yang memiliki perusahaan penyebab semburan lumpur sedemikian hebat bisa diberi anugerah ini? Lebih-lebih lagi, perusahaan-perusahaannya kan banyak yang ngemplang pajak, kalau uang pajak itu disetorkan tentu negara lebih bisa melakukan penguatan ekonomi kepada warga,” ujarnya.

    Ia menambahkan, jika diperbandingkan antara kejadian semburan lumpur yang menyengsarakan puluhan ribu warga dengan penghargaan yang diterima dilandaskan penilaian pemerintah atas jasa-jasa luar biasa Ical dalam mensejahterakan bangsa, adalah sesuatu yang tidak masuk akal.

    “Ini aneh sekali. Kejadian lumpur lapindo itu sudah lima tahun lebih, menyengsarakan warga, merusak lingkungan, menghilangkan nyawa, dan menyedot anggaran negara. Bagaimana mungkin pemerintah tidak melek atas semua itu.”  

    Ia mengamini jika warga semakin menganggap tidak ada keberpihakan pemerintah kepada korban lumpur lapindo. Lambatnya penyelesaian dan perlakuan istimewa pemerintah kepada Aburizal Bakrie tidak terbantahkan lagi. “Ini membuktikan bahwa kelambanan penanganan semburan lumpur lapindo dikarenakan ada relasi-relasi kepentingan antara pemerintah dengan Aburizal Bakrie,” tegasnya.(vik)

  • Kehabisan Uang Kontrak, Warga Kembali ke Rumah Lama

    Kehabisan Uang Kontrak, Warga Kembali ke Rumah Lama

    Sidoarjo – Warga Korban lumpur lapindo di 9 RT desa Jatirejo, Siring barat, dan Mindi kecamatan Porong, sejak sepekan terakhir kembali ke rumah masing-masing setelah  uang kontrak mereka habis. Pada tahun 2009 silam warga mendapatkan bantuan dari Badan penanggulangan Lumpur Sidoarjo(BPLS) uang sebesar 2,5 juta/tahun untuk mengontrak, dan juga mendapatkan bantuan biaya Hidup(jadup) sebesar 300 ribu/jiwa selama 6 bulan.

    Gandu Suyanto, Ketua RT 03 Desa Siring, mengatakan banyak warga yang kini kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. Namun ada juga sebagian warga yang terpaksa mengontrak dengan biaya sendiri.

    “Banyak warga Siring kini kembali pulang. Bagi rumah yang tidak bisa ditinggali, warga terpaksa mengontrak dengan biaya sendiri. Yang kembali dihadapkan pada persoalan air bersih.”

    Hal senada diungkapkan Anik Supriani(55 Tahun),”Kami sekeluarga terpaksa Pulang ke Siring lagi, lha wong uang kontrak kami sudah habis.”

    Warga Siring Barat ini akhirnya kembali ke rumahnya di RT.02/01 setelah mengontrak di Perumahan Mutiara Cintra Asri (MCA) Kecamtan Candi, Sidoarjo selama dua tahun dari uang bantuan yang diberikan BPLS. Setelah tidak ada kejelasan pembiayaan kontrak lanjutan dari BPLS ia dan warga lainnya terpaksa kembali ke rumah asal di Siring.

    Sejumlah 180 Kepala Keluarga (KK) di 9 RT terancam kembali ke rumahnya lantaran tidak ada  biaya lagi untuk mengontrak. Padahal kawasan 9 RT ini tidak layak lagi untuk dihuni. Kebanyakan dinding rumah warga retak-retak dan amblas akibat penurunan tanah. Bahkan semburan gas metan juga kerap muncul di rumah warga. Kualitas udara yang buruk setidaknya telah meningkatkan jumlah penderita ISPA lebih dari dua kali lipat sejumlah 52 ribu pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2006 yang berjumlah 24 ribu jiwa. Jumlah warga ini tercatat pada Puskesmas Porong.

    Warga yang kini kembali ke rumah masing-masing juga menghadapi persoalan pasokan air bersih. Air sumur warga sejak lama tidak bisa menyediakan air tawar yang normal untuk bisa digunakan mencukupi kebutuhan sehari-hari.

    Penanganan kawasan 9 RT rencananya sudah dianggarkan melalaui APBN-P 2011 sekitar Rp. 1,286 triliun, tapi sampai kini tidak ada kejelasan kapan warga menerima ganti rugi atau bentuk penanganan lainnya.(vik)

  • Walhi Desak Komnas HAM Umumkan Hasil Penyelidikan

    Walhi Desak Komnas HAM Umumkan Hasil Penyelidikan

    SIDOARJO-Penyelidikan pelanggaran HAM pada kasus lumpur lapindo yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia(KomNas HAM) menyita waktu cukup lama. Komnas HAM membentuk Tim Adhoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat peristiwa lumpur panas Lapindo berdasarkan Keputusan Ketua Komnas HAM pada Juni 2009. Kerja Tim ini diperpanjang beberapa kali hingga Juni 2010. Lebih dari setahun perpanjangan hingga sekarang, kerja Tim sepertinya masih juga mengalami perpanjangan. Sidang paripurna Komnas HAM dikabarkan dilaksanakan 2-3 Agustus 2011.

    Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Bambang Catur Nusantara, mendesak Komnas segera mengumumkan hasil kerja penyelidikannya agar ada kepastian langkah hukum lanjutan atas kasus lumpur lapindo. Ia mengingatkan, kerja-kerja penyelidikan Komnas HAM sudah sangat lama. “Sudah empat tim yang berganti melakukan penyelidikan ini, kenapa butuh waktu lama untuk menentukan adanya pelanggaran HAM berat pada kasus yang bukti-buktinya cukup mudah dan jelas menunjukkan adanya pelanggaran itu,” ujarnya. Penyelidikan kasus ini dimulai sejak kepemimpinan Abdul Hakim Garuda Nusantara, dilanjutkan dengan tim kedua dipimpin Syafrudin NS, hingga kini dikoordinir oleh Kabul Supriyadie selama dua kali.

    Kesengajaan pengurus negara melakukan pembiaran warga untuk tinggal di sekitar wilayah semburan tanpa mengeluarkan kebijakan yang tegas, bisa menjadi landasan Komnas HAM menetapkan status pelanggaran HAM berat pada kasus lumpur lapindo. Ia menerangkan, pengurus negara sebenarnya sudah sedari awal mengetahui kualitas lingkungan yang buruk dan berbahaya bagi keselamatan warga dari berbagai penelitian yang dilakukan dan berbagai dokumen riset pihak lain. Tingkat cemaran logam berat dan hidrokarbon telah memicu lebih dari dua kali lipat peningkatan jumlah penderita ISPA di puskesmas Porong harusnya ditindaklanjuti dengan kebijakan khusus. Berbagai kematian akibat sesak napas, tumor, dan berbagai penyakit lain harusnya juga menjadi pijakan kebijakan.

    Diterangkan pula, kesengajaan yang sama juga nampak dilakukan oleh perusahaan dengan memperlambat proses penggantian kehilangan aset warga, meski landasan kebijakan sudah dibuat untuk itu. Pemisahan wilayah terdampak dan tidak terdampak menunjukkan tidak adanya penghormatan atas nyawa warga, baik pengurus negara maupun perusahaan. Pelanggaran HAM berat nampak jelas terlihat dalam kasus semburan lumpur ini.

    “Sejak awal beroperasi sebenarnya pelanggaran sudah dilakukan. Rencana Tata Ruang Wilayah Sidoarjo tidak menyuratkan diakomodirnya aktivitas pertambangan, terlebih di Porong yang sangat strategis untuk pertanian.”

    Ia juga melihat pelanggaran HAM dilakukan secara sistemik pada masa sebelum semburan dengan memberikan ijin eksplorasi tanpa diketahui warga, saat terjadi dengan tidak sungguh-sungguh melakukan upaya penghentian, hingga saat ini yang masih dibiarkan menimbulkan kesengsaraan dan ancaman kehilangan nyawa warga tanpa kejelasan kebijakan.

    Upaya gugatan yang dilakukan YLBHI – WALHI untuk pemulihan sosial dan pemulihan lingkungan yang dikalahkan pengadilan telah menunjukkan ketidakberpihakan hukum pada masyarakat dan lingkungan. Penyidikan pidana telah pula dihentikan oleh penyidik kepolisian melalui SP3 karena ketidakselarasan dengan kejaksaan. Kini hanya Komnas HAM yang diharapkan mampu menunjukkan kejahatan-kejahatan kemanusiaan pada kasus ini.

    Namun, Catur mengingatkan adanya kemungkinan Komnas HAM tidak memutus terjadinya pelanggaran jika ada intervensi besar pada Komnas dari pihak-pihak yang akan terkena dampak putusan. Ia tetap mendesak Komnas HAM segera mengumumkan putusan sidang paripurna untuk kelanjutan penanganan pelanggaran HAM pada kasus lumpur lapindo ini. “Komnas HAM harus berani dan tidak ragu-ragu melihat fakta dan bukti-bukti yang terang benderang menunjukkan itu. Memutuskan terjadinya pelanggaran HAM berat pada kasus ini berdasarkan bukti dan fakta yang ditemukan memang membutuhkan pemikiran logis dan keberanian,” ujarnya.(red)

     

    (c) KanalNewsroom

  • Lapindo Bohong Lagi, Perumahan Korban Lapindo Tanpa Sertifikat

    Lapindo Bohong Lagi, Perumahan Korban Lapindo Tanpa Sertifikat

     

    “Kami merasa dibohongi. Karena sampai hari ini banyak warga belum menerima sertifikat,” ungkap Agustinus Sixson, salah satu korban Lapindo yang tinggal di perumahan KNV. Sebagian korban Lapindo memang terpaksa menerima paket cash and resettlement dari pihak Lapindo sebagai ganti pembayaran sisa 80 persen jual-beli tanah dan bangunan yang tenggelam oleh lumpur panas. Saat itu, Lapindo tidak mau melunasi 80 persen secara cash and carry dengan dalih surat tanah warga yang berbentuk Letter C dan Pethok D tidak dapat dibuat transaksi jual-beli. KNV adalah bagian dari paket cash and resettlement yang disodorkan Lapindo.

    Seperti sering ditampilkan di media elektronik, Lapindo sangat membanggakan perumahan KNV sebagai bentuk keberhasilannya menangani korban Lapindo. Kenyataannya jauh panggang dari api. Sertifikat kepemilikan digantung pihak Lapindo dan tidak diberikan warga korban. Dari 1.955 unit rumah, hanya sekitar 74 kavling yang menerima Akte Jual Beli (AJB) dan sertifikat, dan hanya 65 kavling yang menerima AJB (tanpa sertifikat).

    Tidak hanya itu, banyak warga yang tinggal di KNV sampai kini juga belum memperoleh fasilitas listrik. “Ada sekitar 530 rumah sampai kini tidak mempunyai fasilitas listrik. Bahkan ada sebagian warga yang terpaksa mengunakan lilin untuk penerangan rumahnya,” ungkap Agustinus dengan nada kesal.

    Banyak juga warga yang tinggal di KNV terpaksa memasang listrik sendiri. Ade Mahreni, misalnya. Warga yang tinggal di Blok CA12 No. 23A ini terpaksa memasang listrik sendiri karena hampir 2 tahun lebih dirinya tidak mendapatkan fasilitas listrik dari Minarak Lapindo. “Kami memasang listrik sendiri. Biaya yang saya keluarkan sebesar 1,5 juta untuk pasang listrik,” katanya.

    Agustinus menambahkan, warga yang kini tinggal di KNV sampai kini juga tidak mempunyai makam sendiri. Sehingga ketika ada salah satu warga yang meninggal harus dimakamkan di Pemakaman Umum desa lain di kawasan Candi, Sidoarjo. “Warga tidak punya makam. Selama kurun waktu tinggal di KNV ada 9 warga yang meninggal, dan itu terpaksa harus dimakamkan di Pemakaman Umum. Ini harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit,” ujarnya.

    Merasa tak henti-hentinya dibohongi Lapindo, Agustinus dan warga dalam waktu dekat ini berencana akan mendatangi Minarak Lapindo. Mereka akan mempertanyakan persoalan yang tengah dihadapi korban Lapindo yang tinggal di KNV ini. “Selama ini kami sudah mengalah. Saat realisasi 80 persen kami tidak keberatan diganti rumah, tapi juga masih dibohongi. Kami berharap Minarak menepati janji-janjinya,” ungkap Agustinus. (vik)

    (c) Kanal News Room

  • Jalan Arteri Porong Dikonsinyasi, Warga Tetap Tolak Pembebasan

    Jalan Arteri Porong Dikonsinyasi, Warga Tetap Tolak Pembebasan

    Humas Badan Penangulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyatakan pembebasan lahan untuk Jalur Arteri Porong sudah mencapai 81,92 persen. Lahan yang belum dibebaskan tinggal 18,08 persen. “Lahan yang diperuntukan untuk pembangunan arteri Porong tinggal 34 bidang tanah di Kabupaten Sidoarjo dan 32 bidang di Kabupaten Pasuruan, karena pemiliknya tidak mau dibebaskan,” kata Ahmad Khusairi, staf humas BPLS.

    Warga yang menolak membebaskan tanahnya menyatakan pemerintah melalui Tim Appraisal tidak transparan dalam melakukan penilaian harga tanah warga. Ini yang kemudian digugat oleh 70 warga dari enam desa di kecamatan Porong dan Tanggulangin pada November 2010. Gugatan warga ditolak oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo. Tidak puas dengan keputusan pengadilan, warga mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya.

    Warga yang menolak pembebasan lahan hanya menuntut transparasi harga tanah. Jika pemerintah memberikan hasil penilaian Panitia Pengadaan Tanah(P2T), warga berharap bisa mengetahui dasar perhitungan dan harga tanahnya masing-masing. Ini bisa menjadi pijakan warga untuk melepas tanahnya. Namun jika tidak dipenuhi, warga tetap enggan untuk melepas tanahnya. Sebagaimana diungkapkan Kastawi, saat ditemui di rumahnya,”Silahkan saja melakukan konsinyasi, kami akan tetap mempertahankan tanah sebelum pemerintah membuka hasih penilaian tanah kami.”

    Mengenai rencana gubernur mengkonsinyasi tanah warga yang tidak mau dilepas, Ia tetap bergeming dan melanjutkan gugatannya. Kini warga masih menunggu proses banding di Pengadilan Tinggi Surabaya. “Silahkan saja kalau pemerintah memilih konsinyasi, tapi gugatan banding kami masih tetap jalan. Nanti akan kelihatan mana yang salah. Kami hanya menuntutP2T membuka hasil penilaian harga tanah kepada kami,” tegasnya. (vik)

     

    (c) KanalNewsRoom

     

  • Lapindo Tak Kunjung Bayar, Korban Kesulitan Biayai Pendidikan

    Lapindo Tak Kunjung Bayar, Korban Kesulitan Biayai Pendidikan

     

    Harwati, korban Lapindo asal Desa Siring, Kecamatan Porong, sudah harus mendaftarkan anak pertamanya ke sekolah lanjutan tingkat pertama. Ia pun kebingungan dari mana biaya sekolah anak pertamanya, Dina Karina Maharani, diperoleh. “Anak pertama saya masuk SMP. Saya harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 850 ribu. Itu pun belum termasuk biaya seragam dan buku,” ujarnya. Ini bukan jumlah kecil bagi Harwati yang sehari-hari hanya bekerja sebagai ojek tanggul. Herawati harus kesana-kemari mencari pinjaman ke orang-orang terdekatnya.

    Suami Harwati meninggal tiga tahun lalu. Sejak itu, ia harus bekerja dan merawat kedua anaknya seorang diri, dan tanggul penahan lumpur menjadi tumpuan hidupnya. Dengan sepeda motor yang ia punyai, Harwati menawarkan jasa bagi pengunjung yang datang melihat kolam penampungan lumpur Lapindo untuk berkeliling tanggul. “Saya terpaksa bekerja seperti ini. Yang terpenting bagi saya, bagaimana anak saya bisa makan dan sekolah,” katanya saat berada di tanggul penahan lumpur Lapindo.

    Kehidupan Harwati berubah sejak luapan lumpur Lapindo dan suaminya meninggal. Dulu sebelum lumpur Lapindo menenggelamkan rumahnya dan saat mendiang suaminya masih hidup, Harwati mengandalkan penghasilan dari suaminya. “Sebelum suami saya meninggal, yang cari uang suami saya. Sekarang saya sendirian yang harus merawat dan mencari nafkah,” ungkapnya. Harwati kini tinggal di Desa Candi Pari Kecamatan Porong.

    Pada tahun ajaran baru ini, selain harus memasukkan anak pertamanya ke SMP, Harwati juga harus memasukkan anak keduanya, Khartina Maharani (5 tahun), ke pendidikan Taman Kanak-Kanak. Biayanya sekitar Rp 350 ribu, belum termasuk seragam dan keperluan lain-lain. Harwati terpaksa meminjam sebuah kalung emas untuk dijual. Nantinya Harwati harus mengembalikan kalung emas itu dengan bunga yang sudah ia sepakati dengan si pemberi pinjaman. “Tidak ada jalan lain. Lha wong Lapindo belum membayar cicilan ganti rugi saya,” tutur Harwati.

    Harwati masih punya tanggungan lain. Adik kandungnya, Ajeng Agustina, baru saja lulus SMPN 2 Porong dan harus segera masuk jenjang SMU. Ajeng berencana melanjutkan ke SMU PGRI 2 Porong. Tetapi lantaran beban yang bertumpuk-tumpuk, Harwati belum bisa mendaftarkan Ajeng pada tahun ajaran ini. Harwati mengatakan ke adiknya, akan segera mendaftarkannya ke SMU setelah Lapindo membayar cicilan ganti ruginya. “Saya sudah tidak punya uang lagi. Jadi, ya, terpaksa menunggu pencairan cicilan dari Lapindo,” ucapnya.

    Tumi, korban Lapindo asal Desa Jatirejo, mengalami nasib yang tak kalah memilukan. Tumi harus mendaftarkan anaknya, Indah Susanti, ke jenjang SMU. Untuk masuk SMK PGRI 2 Sidoarjo, Tumi harus merogoh kantong Rp 1,1 juta hanya untuk biaya pendaftaran. Belum termasuk biaya seragam, buku dan kebutuhan lainnya. Suami Tumi sudah meninggal setahun lalu. Ia harus menanggung sendiri biaya sekolah anak-anaknya. Untuk kebutuhan Susanti masuk SMU, Tumi sudah mengeluarkan biaya Rp 2,1 juta. “Biaya Susanti saya carikan pinjaman ke adik saya yang ada di Samarinda,” ujarnya.

    Bagi Tumi, tak ada cara lain. Ganti rugi asetnya yang menjadi tumpuan hidupnya sampai saat ini belum juga dibayar Lapindo. Apalagi sejak sembilan bulan terakhir, Lapindo hanya berkomitmen membayar cicilan sebesar Rp 5 juta saja per bulan. “Cicilan dari Lapindo belum keluar. Saya sekarang tidak berkerja. Jadi, ya, harus gimana lagi,” ungkap Tumi dengan nada pasrah.

    Tumi dulu bekerja sebagai pedagang nasi di kampung asalnya, Jatirejo. Begitu lumpur Lapindo menenggelamkan seisi kampung, Tumi mengungsi berpindah-pindah, hingga akhirnya mengontrak rumah di Perumahan Tanggulangin Angun Sejahtera (TAS) II.  Ia pun tak bisa berdagang nasi lagi. Lebih parah, sejak suaminya meninggal pada 2 Mei 2010, Tumi menggantungkan hidupnya pada tetangga yang membutuhkan jasanya mencuci dan menyeterika. Tumi melakukan ini semua demi anak-anaknya. “Saya kepingin Santi bisa sekolah sampai lulus SMU. Mudah-mudahan kalau ada biaya, Santi bisa malanjutkan sampai kuliah,” tutur Tumi.

    Kepada pemerintah dan Lapindo, korban lumpur seperti Harwati dan Tumi berharap tak muluk. Mereka hanya ingin pemerintah tegas dan Lapindo menepati janji, agar pendidikan anak-anak mereka tidak terbengkalai. [vik]

    (c) Kanal News Room

  • Tagih Janji, Korban Lapindo 45 RT Temui Menteri PU

    Tagih Janji, Korban Lapindo 45 RT Temui Menteri PU

     

    Dalam pertemuan dengan Menteri PU, warga mendesak pemerintah untuk memasukkan wilayahnya dalam revisi Peraturan Presiden 14/2007 yang kabarnya akan segera diterbitkan. Tuntutan ini sesuai dengan rekomendasi Gubernur Jawa Timur yang menyatakan wilayah 45 RT sudah tidak layak huni. “Kami menuntut Menteri PU memasukkan wilayah kami sebagai wilayah terdampak,” ungkap Abdussalam, salah satu perwakilan warga Ketapang yang bertemu dengan Menteri PU.

    Menurut Salam, Menteri PU menjanjikan akan segera mengambil langkah-langkah tindak lanjut. “Menteri mengatakan akan menindaklanjuti tuntutan kami, dan akan segera membicarakan dengan anggota Dewan Pengarah BPLS lainnya seperti Menteri ESDM, Menteri Sosial, dan Menteri Keuangan,” ujar Salam . “Kami juga dijanjikan akan dimasukkan dalam revisi Perpres. Selambatnya akhir tahun 2011 ini,” lanjutnya.

    Namun, karena janji Menteri PU itu tidak disertai pernyataan tertulis, warga kecewa. “Kami belum puas dalam pertemuan kemarin, karena tidak notulensi atau nota perjanjian yang dikeluarkan Menteri PU,” ungkap Salam.

    Rencananya warga dalam waktu dekat ini juga akan bertemu dengan Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat(DPR). Tujuannya untuk meminta dukungan anggota dewan agar wilayah 45 RT dimasukkan dalam revisi Perpres 14/2007. Harapan dari pertemuan dengan Komisi V, warga mendapatkan dukungan dan DPR segera mendesak pemerintah untuk segerah mengeluarkan Perpres baru.(vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Tuntut Masuk Peta, Korban Lapindo 45 RT Tolak Uji Seismik

    Tuntut Masuk Peta, Korban Lapindo 45 RT Tolak Uji Seismik

    BPLS rencananya akan melakukan uji seismik tiga dimensi (3D) pada Oktober mendatang. Teknisnya, peneliti ahli geologi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan membuat lubang berdiameter 10 sentimeter sedalam 30 meter di sejumlah titik. Tanah yang berlubang nanti akan dipasang bahan peledak dan dipantau menggunakan geophone. Geophone merupakan instrumen penting sebagai sensor getaran pada permukaan tanah. Penelitian ini akan merekam gambar struktur geologi di bawah permukaan tanah, dan sekaligus sebagai dasar jual-beli lahan warga yang berada di daerah rawan dan tak layak huni. Dengan metode survei seismik 3D akan diketahui daerah mana saja yang tak layak huni.

    Warga menolak uji survei seismik sebelum pemerintah memberikan kepastian soal revisi ketiga Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 yang menyatakan kawasan 45 RT dimasukkan dalam peta area terdampak. 
    Muhamad Jasimin, salah satu koordinator warga, mengatakan hasil Tim Kajian Kelayakan Huni (TKKP) Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada tanggal 30 Agustus 2010 sudah mengeluarkan rekomendasi yang menyatakan permukiman 45 RT sebagai kawasan yang tidak layak Huni. “Pada 30 Agustus 2010, Gubernur mengeluarkan rekomendasi hasil dari kajian TKKP yang menyatakan kawasan 45 RT tidak layak huni. Kenapa harus ada survei seismik? Padahal jelas-jelas kawasan 45 RT ada penurunan tanah dan sering muncul bubble gas,” kata Jasimin.

    Hari Susilo, warga Mindi, juga menyatakan menolak tegas adanya uji survei seismik 3D ini. Ia menuntut harus ada lebih dulu kepastian hukum dari pemerinta yang menyatakan wilayah 45 RT sebagai kawasan tidak layak Huni. “Kami tidak butuk uji seismik. Yang kami butuhkan adalah kepastian hukum,” ungkap Hari Susilo di tengah warga.

    Sementara itu, Ketua RT 11/ 03 Desa Mindi, Slamet meminta agar perwakilan dari BPLS datang untuk menjelaskan uji seismik ke warga. “Seharusnya BPLS dihadirkan juga untuk menjelaskan ide seismik ke warga,” teriak Selamet.

    Setelah menghubungi perwakilan BPLS tidak ada yang bisa hadir, sebagian warga langsung berangkat ke tanggul penahan lumpur untuk memblokir tanggul. Warga membentang spanduk dan menutup tanggul dengan batu dan batang pisang.

    Muhammad Yasin, salah satu warga, mengatakan jika BPLS meneruskan survei uji seismik, warga akan menduduki tanggul sampai ada kejelasan 45 RT masuk dalam area terdampak. “Kami akan menduduki tanggul jika BPLS melakukan uji Seismik. Sebelum ada kepastian hukum kawasan kami masuk dalam peta area terdampak,” ancamnya.

    Perwakilan 45 RT dalam waktu dekat akan menemui perwakilan BPLS di Surabaya untuk menyampaikan penolakan warga terkait uji seismik. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Lagi,  Lumpur Lapindo Akibatkan Kematian

    Lagi, Lumpur Lapindo Akibatkan Kematian

    Mustofa, tetangga korban, mangatakan Mulyadi sering mengeluh sesak nafas jika ada bau gas. “Seminggu ini Pak Mulyadi sering mengeluh sesak nafas saat ada bau lumpur. Kita yang tinggal di sini juga sering pusing jika bau lumpur mengarah ke sini,” cerita Mustofa.

    Kualitas udara di desa-desa sekitar area lumpur Lapindo memang sudah di bawah standar. Catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur menunjukkan bahwa emisi gas hidrokarbon pada semburan dan gelembung yang ditemukan di Siring Barat, Jatirejo Barat dan Mindi mencapai 441.200 ppm, yang artinya 80 kali lipat di atas ambang baku yang hanya 5.000 ppm. Sedangkan batas ambien pada udara 0,24 ppm dilampaui dengan adanya temuan di lapangan hingga 55.000 ppm, yang artinya 229.100 kali lipat dari ambang baku.

    Masrukh, tokoh masyarakat Desa Jatirejo Barat, juga menduga meninggalnya Mulyadi akibat seringnya menghirup gas berbau busuk. “Di sini banyak yang terkena sesak nafas, apalagi jika bau gas yang keluar dari lumpur Lapindo mengarah ke barat. Banyak warga di sini yang merasa pusing,” ungkap pengurus Panti Asuhan Nurul Azhar, Porong, ini.

    “Apalagi di sekitar rumah warga banyak bermunculan semburan gas yang mudah terbakar (gas metan). Setiap ada retakan di lantai dan dinding rumah jika disulut api pasti terbakar. Dugaan kami,  meninggalnya Mulyadi karena sering menghirup gas yang muncul dari semburan lumpur,” lanjut Masrukh.

    Masrukh sangat kecewa terhadap Lapindo dan Pemerintah yang tidak memberi perhatian serius soal kesehatan warga yang masih tinggal di Siring Barat. “Seharusnya Pemerintah, baik BPLS (Badan Penangulangan Lumpur Sidoarjo) maupun Dinas Kesehatan, memberikan layanan kesehatan bagi warga Siring Barat dan sekitarnya sampai ada kepastian ganti rugi direalisasi pemerintah,” katanya.

    Penanganan masalah lingkungan dan sosial warga Desa Siring Barat memang cenderung tidak jelas. Pemerintah, melalui mekanisme dalam Peraturan Presiden No 40/2009, hanya memberikan uang kontrak. Mulyadi, meski sudah menerima kontrak Rp 2,5 juta, tidak mampu pindah rumah. Bersama kedua anaknya, Mulyadi masih tinggal di Desa Siring Barat. Uang kontrak yang diberikan Pemerintah tidak cukup untuk menyewa rumah. Akhirnya uang kontrakan tersebut digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

    Apalagi Mulyadi sudah lama tidak berkerja lagi setelah matanya sering sakit dan penglihatannya terganggu. “Gimana mau ngontrak, untuk kebutuhan sehari-hari saja Pak Mul serba kekurangan. Apalagi BPLS memberi uang kontrak hanya Rp 2,5 juta. Banyak warga sini yang kembali setelah masa kontraknya habis,” ungkap Sujai, tetangga Mulyadi.

    Selain mengeluh sesak nafas akibat gas, Mulyadi juga dikabarkan sering mengeluh dadanya sakit saat memikirkan ganti rugi aset tanah dan bangunannya yang tidak kunjung ada kejelasan. Pemerintah provinsi sudah menyatakan kawasan Siring Barat bersama Jatirejo Barat dan Mindi seagai kawasan tidak layak huni. Selain di kawasan ini sering muncul gelembung gas, rumah warga juga banyak yang retak-retak akibat penurunan tanah.

    “Bapak sering memikirkan masalah tidak adanya kejelasan ganti rugi. Jika sudah mikir, dadanya sering sakit,” ungkap Doni, anak bungsu Mulyadi. Sore, menjelang azan maghrib jenazah Mulyadi dimakamkan di pemakaman umum Desa Jatirejo, karena makam Desa Siring sudah tenggelam oleh lumpur Lapindo. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

     

  • Pengeboran Baru Lapindo Berpotensi Ciptakan Gunung Lumpur

    Surabaya – Pakar geologi dan bencana dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, Amien Widodo, Selasa 31 Mei 2011 mengatakan pascasemburan lumpur panas di kawasan Sidoarjo, seluruh proses pengeboran di Jawa Timur masuk dalam kategori berbahaya.

    Oleh karena itu, Amien meminta jika Lapindo Brantas Inc tetap ngotot melakukan pengeboran di tujuh titik sekitar Desa Kalidawir Tanggulangin, Sidoarjo, Lapindo harus memberikan kepastian keamanan kepada warga sekitar.

    “(Pascasemburan Lapindo) struktur geologi di bawah permukaan menjadi kompleks dan menyebabkan terjebaknya migas serta lapisan lumpur bertekanan tinggi,” kata Amien.

    Akibatnya, aktivitas tektonik dan vulkanisme lapisan lumpur semakin terkompresi sehingga menimbulkan tekanan tinggi ke permukaan tanah.

    “Kalau ada retakan atau lubang, misalnya adanya pengeboran baru, ini akan berfungsi sebagai penghantar lumpur bertekanan tinggi untuk keluar ke permukaan sebagai gunung lumpur (mud-volcano),” tambah Amien.

    Potensi keluarnya gunung lumpur ini dicontohkan Amien seperti yang saat ini terjadi di Gununganyar Surabaya, Kalanganyar Sidoarjo, kemudian beberapa tempat lainnya di Jombang dan Madura.

    Selain lubang alamiah, lubang buatan manusia seperti pengeboran baru juga berpotensi besar untuk menjadi penghantar terbentuknya mud volcano.

    Oleh karena itu, Amien meminta rencana pengeboran baru itu ditinjau ulang. “Yang saya dengar tujuh sumur itu sudah ada dengan kedalaman seribu meter dan Lapindo izin untuk memperdalam lagi hingga 3.000 meter. Kalau ini benar, maka sangat berbahaya dan berpotensi keluar lumpur bertekanan tinggi,” tambah Amien.

    Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Jawa Timur, Dewi J Putriatni, juga meminta Bupati Sidoarjo berhati-hati dalam menerbitkan izin lokasi pengeboran kepada Lapindo Brantas Inc.

    “Izin itu wewenang BP Migas dan Sidoarjo, kami hanya bisa minta Sidoarjo berhati-hati,” kata Dewi. Pemerintah Jawa Timur sendiri, dalam hal ini tak punya kewenangan untuk melarang maupun mengizinkan proses pengeboran baru.

    Izin pengeboran, tambah Dewi, sepenuhnya dikeluarkan oleh BP Migas, sedangkan izin lokasi dikeluarkan oleh Pemerintah Sidoarjo. Bahkan untuk Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) merupakan wewenang Kementerian Lingkungan Hidup.

    FATKHURROHMAN TAUFIQ

  • Ancam Blokir Jalan, Korban Lapindo Ditemui Gubernur

    Ancam Blokir Jalan, Korban Lapindo Ditemui Gubernur

    Salah seorang warga yang berkumpul di Balai Desa Mindi mengatakan bahwa ia telah mendengar kabar jika perwakilan warga sudah ditemui gubernur di Kantor Grahadi Surabaya. Hasil pertemuan itu memutuskan bahwa besok (Selasa, 31/05/2011) perwakilan warga akan berangkat ke Jakarta bertemu dengan Menteri Pekerjaan Umum selaku Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). “Kami urung melakukan aksi blokir jalan lagi. Perwakilan kami sudah ditemui Gubernur,” kata Basuki, warga Mindi yang sudah siap-siap melakukan aksi.

    Pertemuan antara perwakilan warga 45 RT, Gubernur  Sukarwo dan Asisten III Pemerintah Provinsi Jawa Timur  Edi Purwinarto menghasilkan surat rekomendasi yang ditandatangani Gubernur. Isi rekomendasi itu adalah percepatan penetapan warga 45 RT di dalam revisi ketiga Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 untuk dimasukkan dalam peta area terdampak.

    Awalnya kawasan 45 RT ini tidak masuk dalam rancangan kebijakan mengenai penanganan 9 RT (Desa Siring Barat, Jatirejo Barat dan Mindi) yang nantinya bakal menerima ganti rugi melalui APBN 2012.  Kawasan 45 RT ini di situ hanya dinyatakan sebagai kawasan di luar peta terdampak yang tidak mendapatkan ganti rugi tapi hanya bantuan sosial sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2009 (revisi kedua Perpres 14/2007).

    Pertemuan Gubernur dan perwakilan menyepakati usulan agar kawasan 45 RT disamakan dengan kawasan 9 RT. Untuk itu, Tim Pengarah BPLS dan Pemprov Jatim mengambil langkah untuk merumuskan surat rekomendasi. Surat rekomendasi ini rencananya akan diberikan kepada Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kimanto sekaligus Ketua Dewan Pengarah BPLS.

    Abdul Salam, salah seorang perwakilan warga yang bertemu gubernur, mengatakan surat rekomendasi besok akan langsung dibawa ke Kementrian PU. “Ini untuk mendapatkan payung hukum soal penanganan 45 RT agar dimasukkan ke dalam peta area terdampak,” ujarnya. (vik)

    (c) Kanal Newsroom