Blog

  • Donasi Pendidikan Mulai Didistribusikan

     

    Sidoarjo – Donasi Pendidikan yang digalang kelompok masyarakat sipil untuk anak-anak korban lapindo mulai didistribusikan pada Kamis(25/8) untuk wilayah Besuki. Jumlah yang didistribusikan untuk wilayah ini sejumlah empat juta lima ratus ribu rupiah dari jumlah keseluruhan kebutuhan anak-anak yang terdata di Besuki sebesar dua puluh juta rupiah. Penyerahan donasi ini khusus bagi siswa yang mengalami pemotongan uang tabungan yang dilakukan sekolah dan juga bagi yang sudah membayar sebagian biaya kebutuhan sekolah.

    Sekurangnya tujuh anak setingkat SD, lima anak setingkat SMP, dan satu SMU yang menerima donasi pendidikan ini. Abdul Rokhim selaku koordinator pelaksana donasi di wilayah Besuki menyampaikan bahwa donasi butuh disalurkan agar orangtua siswa yang biasanya menjelang Idul Fitri menggantungkan tabungan anak-anak tidak kebingunagan dan berhutang. Jumlah yang diditribusikan juga sejumlah yang dipotong sekolah atas tabungan anak-anak. Sedangkan untuk pembayaran selebihnya sesuai edaran sekolah yang berkisar 240ribu hingga 350 ribu akan didistribusikan setelah lebaran. “Ini agar dana pendidikan ini tidak digunakan untuk keperluan lain-lain, terutama saat ini menjelang lebaran ada banyak kebutuhan,” ujarnya. Ia juga menambahkan, bagi siswa lain yang belum menerima donasi akan dilakukan pada minggu pertama masuk sekolah setelah libur lebaran.

    Orangtua anak-anak yang berkumpul pagi itu memahami apa yang disampaikan Abdul Rokhim. Beberapa diantara mereka juga mengusulkan pendistribusian setelah lebaran usai. Kekhawatiran jika dibagikan saat ini lebih karena ada kebutuhan jelang lebaran, bisa jadi sebagiannya akan digunakan untuk kebutuhan itu.

    Sementara itu, koordinator Kampanye Seribu Rupiah untuk Pendidikan Korban Lapindo, Yuliani, saat ditemui di Surabaya menyatakan bahwa donasi dari publik yang diterima sejak diluncurkan di Surabaya pada 16/8 sudah mengumpulkan 1,7juta rupiah. “Ada juga berbagai perlengkapan sekolah yang kami terima dari donatur di Surabaya,” katanya. Untuk kebutuhan biaya pendidikan yang mendesak didistribusikan, masih bisa dicukupi dari penggalangan tahun 2010 yang siap didistribusikan sejumlah 20juta rupiah.

    Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Walhi Jawa Timur bersama kelompok lain: Sobat Padi Surabaya, Kaum Muda Nambangan, Kaum Muda Gempolkerep melakukan penggalangan donasi pendidikan untuk anak-anak korban lapindo. Program yang diluncurkan didesain panjang menyiapkan kebutuhan pendidikan dan kebutuhan dasar anak-anak dengan melalui peluncuran Sahabat Anak Lumpur(SAL). SAL menghimpun iuran rutin dari anggotanya sejumlah sepuluh ribu rupiah per bulan. Diharapkan iuran keanggotaan ini bisa menjadi alternatif pendanaan panjang atas kebutuhan biaya pendidikan anak-anak korban lapindo.(red)

  • Gerakan Seribu Rupiah untuk Pendidikan Anak Korban Lapindo Diluncurkan di Surabaya

    Surabaya, korbanlumpur.info – Sekelompok muda dari Sahabat Walhi, Sobat Padi, Kaum Muda Nambangan, dan Walhi Jawa Timur yang tergabung dalam gerakan Sahabat Anak Lumpur menggelar penggalangan donasi Seribu Rupiah untuk Pendidikan Anak-anak Korban Lapindo di Taman Bungkul Surabaya (16/8).

    Aksi yang diawali dengan pertunjukan musik dan tari dari anak-anak sanggar Al Faz Desa Besuki ini bertujuan untuk membantu pendidikan sekitar 213 anak-anak korban lumpur Lapindo. Sebagian besar anak-anak yang dibantu masih dibangku Sekolah Dasar (SD).

    Rencananya, donasi yang terkumpul akan digunakan untuk membantu biaya pendidikan anak-anak, terutama buku, LKS, dan baju seragam. Biaya yang dibeankan kenyataannya memang memberatkan. PAdahal banyak anak-anak yang terancam putus sekolah karena orangtuanya tidak lagi memiliki biaya setelah lumpur lapindo memporakporandakan sumber ekonomi warga.

    Yuliani, koordinator gerakan ini mengatakan setiap tahun ajaran baru para orangtua selalu dihadapkan pada persoalan biaya pendidikan anak-anaknya. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang seharusnya bisa menjamin seluruh anak Indonesia bisa mengakses pendidikan secara gratis, ternyata pada prakteknya masih ada biaya-biaya untuk menunjang proses belajar mengajar di sekolah.

    “Selama ini anak-anak korban lumpur lapindo masih dikenakan biaya seragam, buku, daftar ulang, sumbangan uang gedung, ujian, pengambilan raport, dan sebagainya. Dana BOS tidak bisa membantu meringankan biaya pendidikan ternyata belum maksimal membantu.”

    Ia menambahkan, gerakan ini sudah yang kedua kalinya dijalankan, yaitu dimulai sebelumnya pada tahun 2010. Pada pengalaman sebelumnya, ada sekitar 87 anak telah mendapatkan bantuan pendidikan. Besaran bantuan pendidikan yang diberikan berkisar 220 ribu rupiah hingga 1,8 juta rupiah. Bantuan donasi tersebut disalurkan langsung ke sekolah dengan kesepakatan penyerahan dihadapan orangtua siswa.

    Pada tahun ajaran 2011-2012 tercatat sekurangnya 213 anak yang mengalami kesulitan pembiayaan. Nantinya mereka akan mendapatkan bantuan pendidikan sesuai besarnya kebutuhan yang dibebankan dan kecukupan donasi yang dikumpulkan. Melihat jumlah yang cukup besar hingga lebih dari 43 juta rupiah, rencananya gerakan ini akan diperluas dengan progam orang tua asuh, beasiswa, dan pendanaan abadi untuk menjamin perbaikan hak pendidikan bagi anak-anak korban lapindo hingga tahun-tahun berikutnya.

    Gerakan donasi ini mendapat sambutan dukungan dari beberapa kelompok masyarakat dan lembaga lain. Setidaknya Save the Street Child (SSC) Surabaya yang ditemui di lokasi berencana akan bergabung dalam penggalangan Donasi Pendidikan ini. Lembaga yang bergerak dalam aktivitas sosial kemanusiaan ini menyatakan sebelumnya pernah memiliki pengalaman mengalang donasi Koin untuk Jasika, satu anak yang terkena kelainan jantung.

    “Kami akan coba membantu dalam penggalangan donasi untuk anak-anak korban Lapindo,” ungkap Indra Setiawan, koordinator SSC.

    Penggalangan donasi akan diadakan di beberapa tempat di Surabaya dan sekitarnya sampai bulan Desember 2011. Harapannya dengan donasi yang maksimal dikumpulkan akan dapat membantu anak-anak Korban Lapindo hingga nantinya mendapatkan perhatian khusus dari pengurus negara.(vik)

  • Gerakan Donasi Sahabat Anak Lumpur: Seribu Rupiah Untuk Anak-Anak Korban Lumpur Lapindo

    Gerakan Donasi Sahabat Anak Lumpur: Seribu Rupiah Untuk Anak-Anak Korban Lumpur Lapindo

    Surabaya – Sehari menjelang Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-66 tahun ini kita masih melihat potret pendidikan anak-anak Indonesia yang carut-marut. Sangat jelas bahwa pendidikan merupakan hak setiap anak bangsa, termasuk anak-anak korban lumpur Lapindo.

    (more…)

  • Bakrie dapat Penghargan, Korban Lapindo Kecewa

    Bakrie dapat Penghargan, Korban Lapindo Kecewa

    Surabaya – Presiden SBY kemarin (12/8) memberikan penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana kepada Ir. H Aburizal Bakrie. Penghargaan kepada Ical ini membuat warga Korban lapindo kecewa. Pasalnya penghargaan tersebut dinilai tidak patut diberikan kepada Ical karena persoalan lumpur lapindo sampai saat ini tidak kunjung tuntas.

    Nur Aini, warga Korban Lapindo asal desa Jatirejo, mengatakan sampai kini persoalan ganti rugi warga belum selesai. Warga yang masih belum dilunasi ganti ruginya telah mengikuti skema yang ditawarkan Lapindo dengan cara cicil sebesar 15 juta/bulan. Dalam kurun 10 bulan terakhir ini warga hanya menerima pembayaran sebesar lima juta rupiah saja.

    “Sejak September 2010 sampai sekarang, Lapindo tidak menepati janjinya membayar cicilan 15 juta/bulan. Sampai sekarang warga hanya menerima cicilan 5 juta saja. Bulan ini pun warga juga belum menerima pembayaran cicilan. Jadi tidak layak itu Bakrie mendapatkan penghargaan itu,” katanya.

    Tidak hanya itu, hingga kini masih ada sekitar 20 warga di Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin yang masih belum menerima penggantian sepeserpun. Menurut Nur Aini, Lapindo tidak mengakui status tanah warga. Tanah-tanah ini diakui sebagai tanah sawah, padahal bukti kepemilikan menunjukkan tanah kering. Namun, Minarak Lapindo Jaya hanya mengakuinya sebagai tanah sawah dan mengganti senilai tanah sawah. Praktis warga yang memiliki bukti kuat kepemilikan tanah kering ini menolak menerima penggantian yang jumlahnya jauh lebih kecil tersebut.

    Nur Aini menduga, diberikannya tanda kehormatan kepada Bakrie, membuktikan keberpihakan Presiden kepada Lapindo.

    Keheranan serupa juga disampaikan oleh BC. Nusantara, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur. Saat ditemui di Surabaya ia menyatakan bahwa penghargaan itu sangat menghina nilai-nilai penghormatan kemanusiaan. Aburizal Bakrie selaku pemilik Lapindo yang menyebabkan kehancuran ekologis di wilayah Porong seharusnya tidak pernah diberikan penghargaan Mahaputra Adiprana. Semburan lumpur lapindo dikatakannya telah menyebabkan penderitaan puluhan ribu jiwa warga di Sidoarjo, seharusnya kondisi yang masih berlangsung hingga itu menjadi acuan pemerintah untuk tidak memberikan penghargaan apapun. “Masa orang yang memiliki perusahaan penyebab semburan lumpur sedemikian hebat bisa diberi anugerah ini? Lebih-lebih lagi, perusahaan-perusahaannya kan banyak yang ngemplang pajak, kalau uang pajak itu disetorkan tentu negara lebih bisa melakukan penguatan ekonomi kepada warga,” ujarnya.

    Ia menambahkan, jika diperbandingkan antara kejadian semburan lumpur yang menyengsarakan puluhan ribu warga dengan penghargaan yang diterima dilandaskan penilaian pemerintah atas jasa-jasa luar biasa Ical dalam mensejahterakan bangsa, adalah sesuatu yang tidak masuk akal.

    “Ini aneh sekali. Kejadian lumpur lapindo itu sudah lima tahun lebih, menyengsarakan warga, merusak lingkungan, menghilangkan nyawa, dan menyedot anggaran negara. Bagaimana mungkin pemerintah tidak melek atas semua itu.”  

    Ia mengamini jika warga semakin menganggap tidak ada keberpihakan pemerintah kepada korban lumpur lapindo. Lambatnya penyelesaian dan perlakuan istimewa pemerintah kepada Aburizal Bakrie tidak terbantahkan lagi. “Ini membuktikan bahwa kelambanan penanganan semburan lumpur lapindo dikarenakan ada relasi-relasi kepentingan antara pemerintah dengan Aburizal Bakrie,” tegasnya.(vik)

  • Kehabisan Uang Kontrak, Warga Kembali ke Rumah Lama

    Kehabisan Uang Kontrak, Warga Kembali ke Rumah Lama

    Sidoarjo – Warga Korban lumpur lapindo di 9 RT desa Jatirejo, Siring barat, dan Mindi kecamatan Porong, sejak sepekan terakhir kembali ke rumah masing-masing setelah  uang kontrak mereka habis. Pada tahun 2009 silam warga mendapatkan bantuan dari Badan penanggulangan Lumpur Sidoarjo(BPLS) uang sebesar 2,5 juta/tahun untuk mengontrak, dan juga mendapatkan bantuan biaya Hidup(jadup) sebesar 300 ribu/jiwa selama 6 bulan.

    Gandu Suyanto, Ketua RT 03 Desa Siring, mengatakan banyak warga yang kini kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. Namun ada juga sebagian warga yang terpaksa mengontrak dengan biaya sendiri.

    “Banyak warga Siring kini kembali pulang. Bagi rumah yang tidak bisa ditinggali, warga terpaksa mengontrak dengan biaya sendiri. Yang kembali dihadapkan pada persoalan air bersih.”

    Hal senada diungkapkan Anik Supriani(55 Tahun),”Kami sekeluarga terpaksa Pulang ke Siring lagi, lha wong uang kontrak kami sudah habis.”

    Warga Siring Barat ini akhirnya kembali ke rumahnya di RT.02/01 setelah mengontrak di Perumahan Mutiara Cintra Asri (MCA) Kecamtan Candi, Sidoarjo selama dua tahun dari uang bantuan yang diberikan BPLS. Setelah tidak ada kejelasan pembiayaan kontrak lanjutan dari BPLS ia dan warga lainnya terpaksa kembali ke rumah asal di Siring.

    Sejumlah 180 Kepala Keluarga (KK) di 9 RT terancam kembali ke rumahnya lantaran tidak ada  biaya lagi untuk mengontrak. Padahal kawasan 9 RT ini tidak layak lagi untuk dihuni. Kebanyakan dinding rumah warga retak-retak dan amblas akibat penurunan tanah. Bahkan semburan gas metan juga kerap muncul di rumah warga. Kualitas udara yang buruk setidaknya telah meningkatkan jumlah penderita ISPA lebih dari dua kali lipat sejumlah 52 ribu pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2006 yang berjumlah 24 ribu jiwa. Jumlah warga ini tercatat pada Puskesmas Porong.

    Warga yang kini kembali ke rumah masing-masing juga menghadapi persoalan pasokan air bersih. Air sumur warga sejak lama tidak bisa menyediakan air tawar yang normal untuk bisa digunakan mencukupi kebutuhan sehari-hari.

    Penanganan kawasan 9 RT rencananya sudah dianggarkan melalaui APBN-P 2011 sekitar Rp. 1,286 triliun, tapi sampai kini tidak ada kejelasan kapan warga menerima ganti rugi atau bentuk penanganan lainnya.(vik)

  • Walhi Desak Komnas HAM Umumkan Hasil Penyelidikan

    Walhi Desak Komnas HAM Umumkan Hasil Penyelidikan

    SIDOARJO-Penyelidikan pelanggaran HAM pada kasus lumpur lapindo yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia(KomNas HAM) menyita waktu cukup lama. Komnas HAM membentuk Tim Adhoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat peristiwa lumpur panas Lapindo berdasarkan Keputusan Ketua Komnas HAM pada Juni 2009. Kerja Tim ini diperpanjang beberapa kali hingga Juni 2010. Lebih dari setahun perpanjangan hingga sekarang, kerja Tim sepertinya masih juga mengalami perpanjangan. Sidang paripurna Komnas HAM dikabarkan dilaksanakan 2-3 Agustus 2011.

    Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Bambang Catur Nusantara, mendesak Komnas segera mengumumkan hasil kerja penyelidikannya agar ada kepastian langkah hukum lanjutan atas kasus lumpur lapindo. Ia mengingatkan, kerja-kerja penyelidikan Komnas HAM sudah sangat lama. “Sudah empat tim yang berganti melakukan penyelidikan ini, kenapa butuh waktu lama untuk menentukan adanya pelanggaran HAM berat pada kasus yang bukti-buktinya cukup mudah dan jelas menunjukkan adanya pelanggaran itu,” ujarnya. Penyelidikan kasus ini dimulai sejak kepemimpinan Abdul Hakim Garuda Nusantara, dilanjutkan dengan tim kedua dipimpin Syafrudin NS, hingga kini dikoordinir oleh Kabul Supriyadie selama dua kali.

    Kesengajaan pengurus negara melakukan pembiaran warga untuk tinggal di sekitar wilayah semburan tanpa mengeluarkan kebijakan yang tegas, bisa menjadi landasan Komnas HAM menetapkan status pelanggaran HAM berat pada kasus lumpur lapindo. Ia menerangkan, pengurus negara sebenarnya sudah sedari awal mengetahui kualitas lingkungan yang buruk dan berbahaya bagi keselamatan warga dari berbagai penelitian yang dilakukan dan berbagai dokumen riset pihak lain. Tingkat cemaran logam berat dan hidrokarbon telah memicu lebih dari dua kali lipat peningkatan jumlah penderita ISPA di puskesmas Porong harusnya ditindaklanjuti dengan kebijakan khusus. Berbagai kematian akibat sesak napas, tumor, dan berbagai penyakit lain harusnya juga menjadi pijakan kebijakan.

    Diterangkan pula, kesengajaan yang sama juga nampak dilakukan oleh perusahaan dengan memperlambat proses penggantian kehilangan aset warga, meski landasan kebijakan sudah dibuat untuk itu. Pemisahan wilayah terdampak dan tidak terdampak menunjukkan tidak adanya penghormatan atas nyawa warga, baik pengurus negara maupun perusahaan. Pelanggaran HAM berat nampak jelas terlihat dalam kasus semburan lumpur ini.

    “Sejak awal beroperasi sebenarnya pelanggaran sudah dilakukan. Rencana Tata Ruang Wilayah Sidoarjo tidak menyuratkan diakomodirnya aktivitas pertambangan, terlebih di Porong yang sangat strategis untuk pertanian.”

    Ia juga melihat pelanggaran HAM dilakukan secara sistemik pada masa sebelum semburan dengan memberikan ijin eksplorasi tanpa diketahui warga, saat terjadi dengan tidak sungguh-sungguh melakukan upaya penghentian, hingga saat ini yang masih dibiarkan menimbulkan kesengsaraan dan ancaman kehilangan nyawa warga tanpa kejelasan kebijakan.

    Upaya gugatan yang dilakukan YLBHI – WALHI untuk pemulihan sosial dan pemulihan lingkungan yang dikalahkan pengadilan telah menunjukkan ketidakberpihakan hukum pada masyarakat dan lingkungan. Penyidikan pidana telah pula dihentikan oleh penyidik kepolisian melalui SP3 karena ketidakselarasan dengan kejaksaan. Kini hanya Komnas HAM yang diharapkan mampu menunjukkan kejahatan-kejahatan kemanusiaan pada kasus ini.

    Namun, Catur mengingatkan adanya kemungkinan Komnas HAM tidak memutus terjadinya pelanggaran jika ada intervensi besar pada Komnas dari pihak-pihak yang akan terkena dampak putusan. Ia tetap mendesak Komnas HAM segera mengumumkan putusan sidang paripurna untuk kelanjutan penanganan pelanggaran HAM pada kasus lumpur lapindo ini. “Komnas HAM harus berani dan tidak ragu-ragu melihat fakta dan bukti-bukti yang terang benderang menunjukkan itu. Memutuskan terjadinya pelanggaran HAM berat pada kasus ini berdasarkan bukti dan fakta yang ditemukan memang membutuhkan pemikiran logis dan keberanian,” ujarnya.(red)

     

    (c) KanalNewsroom

  • Celoteh Ini Senjata Kami: Peringatan Hari Anak Nasional oleh Korban Lapindo

    Sidoarjo, korbanlumpur.info – Komunitas anak-anak di Besuki yang tergabung dalam Sanggar Al Faz melaksanakan peringatan Hari Anak Nasional (22/7) dengan berbagai ragam kegiatan. Sejak sebulan jelang pelaksanaan peringatan, anak-anak telah melakukan persiapan. Beberapa workshop digelar: foto, cetak stensil, komik dan balon kertas.

    Lebih dari sepuluh anak membingkai kondisi yang terjadi di Besuki dan sekitar tanggul lumpur dalam foto-foto. Tidak dibutuhkan kemampuan fotografi yang berlebih untuk ini. Anak-anak cukup dikenalkan teknik penggunaan kamera saku otomatis dan menggunakan secara bergiliran. Foto-foto kerusakan bangunan, jembatan yang rusak, tulisan-tulisan protes warga, rutinitas sosial, dan sekolah menjadi bahan-bahan yang dipamerkan. Mereka sendiri yang memilih dai sekian puluh jepretan gambar. Tidak itu saja, anak-anak mampu menyajikan tulisan cukup panjang sebagai keterangan foto. Ditempel pada kertas karton coklat, karya-karya foto ini mendominasi ruang bagian dalam sanggar.

    Sanggar Al Faz didirikan tiga tahun silam. Inisiasi, sejak setahun sebelumnya. Muhammad Irsyad sangat senang menggunakan rumahnya untuk sanggar ini. Latihan tari dan musik mulai digelar pada bagian teras rumah berukuran duapuluhan meter persegi. Cukup sesak saat tigapuluhan anak berkumpul bersama. Tak ayal, bagian ruang tamu ikut direlakan juga. Hampir setiap sore anak-anak berkumpul untuk berlatih dan bermain.

    Rumah Irsyad terletak di sebelah timur bekas Jalan Tol Sidoarjo-Gempol. Wilayah ini tidak masuk dalam wilayah terdampak yang ditetapkan pemerintah dalam Perpres 14/2007. Meski pernah terendam lumpur dan kondisi lingkungan yang rusak, hanya wilayah desa di sebelah barat tol yang diberikan penggantian. Itupun beberapa tahun setelah semburan terjadi. Jalan tol yang bertahun-tahun tidak digunakan, kini diperbaiki dan dijadikan jalur alternatif utama melintas Porong. Baru selesai beberapa bulan lalu.

    Kegelisahan atas kondisi yang ada juga tertuang pada goresan pensil dan krayon pada komik yang dibuat. Meski tiap anak hanya membuat dalam empat bingkai selembar kertas, nampak kejelian merunutkan kisah yang digambar. Bakrie yang diketahui sebagai penyebab semburan lumpur diumpamakan sebagai binatang-binatang. Ada yang menggambarnya sebagai banteng nakal, babi nakal, gajah raksasa, ataupun kambing. Kisahnya lucu-lucu dan menggelikan.

    Salah satunya berjudul Bakrie Kurang Ajar. Bingkai pertama gambar babi merah muda, bagian atasnya bertulis: Suatu hari ada babi bernama bakrie. Bingkai kedua bertulis: Bakrie merusak desa Besuki, dengan gambar atap rumah tenggelam lumpur dan babi yang memandangnya berujar,”ha…ha…ha syukurin kalian.” Berikutnya, Warga melawan Bakrie: beberapa orang membawa pentungan dan berteriak,” tangkap…hajar…sikat!!!”, gambarnya babi lari dikejar dengan teriakan,”tolong…”. Pada bagian keempat nampak babi di atas panggangan kayu bakar: “Akhirnya babi Bakrie dijadikan Babi panggang”.

    Sehari jelang peringatan, workshop cetak stensil sangat diminati. Tiga pengampu yang datang sukarela dari Malang sangat senang dengan antusias anak-anak. Plat-plat cetak yang terbuat dari tripleks dipilih masing-masing. Rebutan, tentu saja. Bergiliran untuk dioles tinta, berikutnya direkatkan pada kertas-kertas putih. Gambar yang tidak terlalu berwarna menjadi guyonan. Lama waktu penginjakan kertas pada cetakan ternyata mempengaruhi hasil gambar. Yang belum puas dengan karya dapat mengulang-ulang hingga beberapa kali. Ratusan lembar yang dihasilkan menjadi koleksi anak-anak dan disimpan di sanggar.

    Jum’at pagi beberapa tamu dari luar kota telah berdatangan. Dua dosen antropologi sebuah universitas di Malang datang paling awal. Disusul rombongan pemuda dan seorang dosen universitas Machung, juga dari Malang. Agus, dokumenter dan fotografer dari Bandung tiba kemudian. Foto dan video diabadikan dengan sebuah kamera DSLR yang ia bawa. Beberapa komunitas lain: Griya Baca Malang, Mahasiswa Unair, dan Kaum muda gereja Katolik Juanda bersusulan tiba. Puluhan wartawan dari berbagai media lain nampak sibuk mengabadikan bagian ruang dalam.

    Sekitar pukul sepuluh, tabuhan jimbe mulai terdengar. Anak-anak yang baru pulang dari sekolah tak menuju rumah untuk sekedar berganti baju. Kawan-kawan sekolah anak-anak sanggar Al Faz, yang sebagian besar dari MI Darul Ulum Besuki, berdatangan bersama dua guru perempuan. Setelah beberapa saat mengamati foto, komik, dan koleksi gambar pewarnaan alam, mereka bergerombol menyaksikan tabuhan-tabuhan yang mulai dimainkan di pendopo sanggar. Sekurangnya lima lagu hampir selama satu jam. Diiringi tarian dan topeng jaranan. Setengah dua belas acara berjeda untuk sembahyangan Jum’at para muslim.

    Anak-anak yang telah berdatangan usai sembahyangan sesaat kemudian menghilang. Hingga pukul dua siang mereka tak kunjung kembali. Rupanya tak ada dispensasi jadwal berlatih drumband yang diselenggarakan sekolah. Kepala Sekolah dan seorang guru merepotkan diri dengan menjemput anak-anak hingga pos kamling kayu seberang sanggar. Anak-anak memilih berangkat berlatih karena ketakutan. Menurut anak-anak kepada Irsyad, guru itu marah karena banyak anak yang tidak hadir meski jam berlatih sudah mulai. Sayang, Irsyad tak sempat tahu kejadian itu. Selama beberapa waktu ia tertidur kecapekan.

    Sesi workshop stensil diulang. Kali ini anak-anak dari komunitas lain ikut terlibat. Puluhan karya lagi dihasilkan. Dengan bangga karya-karya ini ditunjukkan dengan berfoto bersama setelahnya. Semua memegang kertas karya, ada yang diangkat tinggi, sebagian lainnya dipegang didepan dada.

    Pukul tiga sore Griya Baca Malang menyajikan tampilan. Beberapa lagu populer masa kini dilantunkan. Dua anak perempuan, dua laki-laki, dan seorang lagi telah remaja bersemangat bernyanyi dengan iringan gitar. Tak kurang lima lagu dibawakan. Beberapa nada false tak menjadi soal. Solidaritas dan keberanian untuk menyajikan menghasilkan riuhan tepuk tangan. Tampilan berikutnya kombinasi bebas anak-anak sanggar dan seorang pengasuhnya, Om Rere. Tiga lagu dibawakan dengan tabuhan rancak yang cepat dan keras. Sebuah gitar, balera, empat jimbe, dan dua bedug dimainkan mengiring lagu-lagu, Hukum Rimba salah satunya. “Maling maling kecil dihakimi, maling-maling besar dilindungi…,” bagian lirik yang mudah diingat. Rupanya ini merupakan sesi pengantar gelaran pamungkas: pelepasan balon.

    Angin berhembus cukup kencang ke arah barat. Hampir semua bergerombol membentuk lingkaran di jalan depan sanggar. Senja lima sore, balon siap dilepaskan. Ada dua. Balon pertama berukuran lebih lonjong. Irsyad sempat lupa saat membuatnya bersama anak-anak. Enam lembar sambungan kertas minyak saja yang disusun. Tapi tetap bisa terbang. Yang kedua lebih membulat karena terdiri delapan lembaran. Meski sesaat perlu ditambal karena ada sobekan pada bagian atas. Panas dari bakaran kayu tak bakal menghasilkan tekanan jika ada kebocoran. Anak-anak mulai banyak lagi berdatangan, sebagian telah selesai berlatih drumband beberapa jam. Selembar karpet biru butuh dibentang untuk perintang angin yang kencang.

    Balon pertama hanya mampu melintas jalan tol dan jatuh di bekas perkampungan sebelah barat. Sekurangnya dua ratus meter. Yang kedua juga demikian. Anak-anak membawanya kembali untuk diterbangkan ulang, hanya balon kedua. Sangat tinggi. Riuhan sorak dan tepuk tangan mengiringi. Beberapa pengguna mobil dan motor menepi untuk menyaksikan. Sayang angin sempat menghempasnya. Sesaat beranjak turun, melintas tanggul lumpur, dan tak lagi kelihatan.

    Tamu-tamu telah berpamitan. Hingga jelang malam anak-anak masih nampak bermain dan enggan bubar. Sebagian mengharapkan sesi malam: Pemutaran film anak yang telah direncanakan. Sayang, proyektor pinjaman tak kunjung diantarkan. Hingga sepuluh malam, satu demi satu anak kemudian terbaring ketiduran. Nyamuk-nyamuk menempel pada lengan dan kaki. Tak mereka rasakan. (red)

    BC Nusantara

  • Lapindo Bohong Lagi, Perumahan Korban Lapindo Tanpa Sertifikat

    Lapindo Bohong Lagi, Perumahan Korban Lapindo Tanpa Sertifikat

     

    “Kami merasa dibohongi. Karena sampai hari ini banyak warga belum menerima sertifikat,” ungkap Agustinus Sixson, salah satu korban Lapindo yang tinggal di perumahan KNV. Sebagian korban Lapindo memang terpaksa menerima paket cash and resettlement dari pihak Lapindo sebagai ganti pembayaran sisa 80 persen jual-beli tanah dan bangunan yang tenggelam oleh lumpur panas. Saat itu, Lapindo tidak mau melunasi 80 persen secara cash and carry dengan dalih surat tanah warga yang berbentuk Letter C dan Pethok D tidak dapat dibuat transaksi jual-beli. KNV adalah bagian dari paket cash and resettlement yang disodorkan Lapindo.

    Seperti sering ditampilkan di media elektronik, Lapindo sangat membanggakan perumahan KNV sebagai bentuk keberhasilannya menangani korban Lapindo. Kenyataannya jauh panggang dari api. Sertifikat kepemilikan digantung pihak Lapindo dan tidak diberikan warga korban. Dari 1.955 unit rumah, hanya sekitar 74 kavling yang menerima Akte Jual Beli (AJB) dan sertifikat, dan hanya 65 kavling yang menerima AJB (tanpa sertifikat).

    Tidak hanya itu, banyak warga yang tinggal di KNV sampai kini juga belum memperoleh fasilitas listrik. “Ada sekitar 530 rumah sampai kini tidak mempunyai fasilitas listrik. Bahkan ada sebagian warga yang terpaksa mengunakan lilin untuk penerangan rumahnya,” ungkap Agustinus dengan nada kesal.

    Banyak juga warga yang tinggal di KNV terpaksa memasang listrik sendiri. Ade Mahreni, misalnya. Warga yang tinggal di Blok CA12 No. 23A ini terpaksa memasang listrik sendiri karena hampir 2 tahun lebih dirinya tidak mendapatkan fasilitas listrik dari Minarak Lapindo. “Kami memasang listrik sendiri. Biaya yang saya keluarkan sebesar 1,5 juta untuk pasang listrik,” katanya.

    Agustinus menambahkan, warga yang kini tinggal di KNV sampai kini juga tidak mempunyai makam sendiri. Sehingga ketika ada salah satu warga yang meninggal harus dimakamkan di Pemakaman Umum desa lain di kawasan Candi, Sidoarjo. “Warga tidak punya makam. Selama kurun waktu tinggal di KNV ada 9 warga yang meninggal, dan itu terpaksa harus dimakamkan di Pemakaman Umum. Ini harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit,” ujarnya.

    Merasa tak henti-hentinya dibohongi Lapindo, Agustinus dan warga dalam waktu dekat ini berencana akan mendatangi Minarak Lapindo. Mereka akan mempertanyakan persoalan yang tengah dihadapi korban Lapindo yang tinggal di KNV ini. “Selama ini kami sudah mengalah. Saat realisasi 80 persen kami tidak keberatan diganti rumah, tapi juga masih dibohongi. Kami berharap Minarak menepati janji-janjinya,” ungkap Agustinus. (vik)

    (c) Kanal News Room

  • Lambat Ditangani, Warga 45 RT Blokade Jalan

    aksi45rt-12jul2011SIDOARJO, korbanlumpur.info – Korban lumpur Lapindo dari 45 RT di empat desa kembali memblokir jalan raya Porong. Warga dari Desa Mindi, Pamotan, Ketapang, dan Besuki melakukan aksi serentak sejak Selasa pagi (12/7). Mereka mendesak Ketua Dewan Pengarah Badan Penaggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk mengakomodasi kawasan 45 RT yang sudah dinyatakan tidak layak huni oleh Tim Kajian Kelayakan Permukiman (TKKP) segera dimasukkan dalam revisi ketiga Peraturan Presiden(Perpres) No. 14/2007 tanpa harus menunggu survei lagi.

    Aksi ini sebagai bentuk kekecewaan warga setelah pertemuan dengan Menteri Pekerjaan Umum (PU) selaku Ketua Dewan Pengarah BPLS pada 28 Juni 2011. Menteri PU tidak memberikan janji apapun terkait aspirasi warga 45 RT. Menteri ternyata tidak mendapatkan usulan apapun dari Badan Pelaksana BPLS. Bahkan ia menyatakan tidak mendapatkan masukan terkait kawasan 45 RT dari Badan Pelaksana BPLS.

    “Aksi ini sebagai bentuk kekecewaan kami, setelah kemarin perwakilan kami bertemu dengan Menteri PU tidak mendapatkan hasil,” ungkap Muhammad Yasin, warga Mindi.

    Warga juga menuntut kepada Badan Pelaksana BPLS membuat usulan tertulis kepada Dewan Pengarah BPLS, mengenai kawasan 45 RT yang tidak layak huni.

    “Kami akan tetap bertahan di jalan ini sampai ketua Badan Pelaksana datang menemui kami,” ungkap Suparno, salah satu koordinator aksi.

    Warga bersikeras tidak membubarkan diri sampai Ketua Badan Pelaksan BPLS Sunarso datang menemui. Akibat pemblokiran selama lima jam ini, arus kendaraan dari arah Malang mengalami kemacetan sampai 5 kilometer. Dari arah Surabaya, macet hingga 3 kilometer.

    Selain jalan raya yang diblokade, warga juga melakukannya pada jalur rel kereta api. Mereka berkerumun di stasiun Porong. Akibatnya sampai pukul 15.30 ada sekitar 4 kereta yang terpaksa ditunda. Kepala Stasiun Porong, Sugito, mengatakan kereta yang terlambat adalah KA Penataran dan Sri Tanjung dari arah Malang tujuan Surabaya; satu Komuter jurusan Surabaya; dan KA Penataran jurusan Surabaya menuju Blitar. Kereta-kereta ini tertahan di Stasiun Bangil, Tanggulangin, dan Stasiun Sidoarjo.

    Warga juga melarang pengerjaan tanggul penahan lumpur lapindo. Mereka mengusir pekerja yang sedang melakukan penanggulan. Tak berhenti disitu, Kantor BPLS yang berada di Desa Ketapang juga disegel oleh warga. Jalan alternatif yang melewati desa Besuki tak luput juga dari diblokade warga.

    Edi Purwinarto, Asisten 3 Pemprov Jawa Timur, datang bernegosiasi dengan warga. Ia sanggup medatangkan Sunarso. Warga bersedia membuka blokade. Namun warga mengancam jika dalam pertemuan nantinya tidak ada titik temu, mereka akan malakukan pemblokiran lagi.

    “Jika dalam pertemuan ini tidak ada sesuai yang kami tuntut, besok kami akan turun jalan lagi,” ancam Slamet, salah satu warga Mindi.

    Pukul 16.30 Sunarso datang menemui Perwakilan warga di Polsek Porong untuk berdialog. Warga mendesaknya untuk membuatkan draf usulan 45 RT dimasukkan dalam revisi Perpres. Mereka juga akan mengawal pembuatan draf tersebut sampai diterima oleh Menteri PU. Batas waktu yang diberikan kepada Badan Pelaksana BPLS hingga hari Kamis(14/07). Dalam minggu ini pula, usulan harus sudah diterima oleh Menteri PU.

    “Jika kesepakatan ini dilanggar, jangan salahkan jika kami turun jalan lagi,” ancam Salam setelah pertemuan itu. (vik)

  • Tahun Ajaran Baru Tanpa Siswa Baru

    Tahun Ajaran Baru Tanpa Siswa Baru

    Lokasi SDN 1 Besuki ini masuk wilayah yang akan dijadikan tempat penampungan lumpur Lapindo oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Warga Desa Besuki di bagian barat, yang letaknya persis di sebelah barat bekas tol Surabaya-Gempol, sudah pindah. Begitu pula warga Desa Pejarakan dan Desa Kedungcangkring yang terletak di sebelah barat Desa Besuki. Ketiga desa itu sudah hampir dikosongkan.

    Mashudi, salah satu guru di SDN 1 Besuki, mengatakan, kondisi itu membuat sekolah dasar ini tak mendapat murid baru meski tetap membuka pendaftaran. “Kami sebenarnya membuka pendaftaran baru. Bahkan pendaftaraannya kita gratiskan. Tapi masyarakat di sekitar sekolah ini sudah banyak yang pindah, jadi tidak ada lagi yang mendaftar,” ujar Mashudi.

    Masalahnya, nasib sekolah ini belum jelas. Mashudi dan rekan-rekannya tetap menjalankan aktivitas belajar-mengajar. Padahal menurut rencana, kawasan Besuki Barat ini akan ditenggelamkan untuk dijadikan kolam penampung lumpur. Tapi pihak BPLS maupun Dinas Pendidikan belum mengeluarkan keputusan jelas mengenai nasib SDN 1 Besuki ini. “Untuk sementara, kita terus melakukan kegiatan belajar-mengajar, sampai ada kejelasan sekolah ini mau dikemanakan,” kata Mashudi.

    Nasib serupa juga dialami SDN Pejarakan, Kecamatan Jabon. Sekolah ini juga tidak memiliki satu pun siswa baru. Bedanya, Mudzakir Fakih, kepala sekolah SDN Pejarakan, sengaja tidak membuka pendaftaran baru. Mudzakir hanya berusaha menghabiskan siswa yang tersisa sampai lulus. “Kita sengaja tidak membuka pendaftaran baru. Lha wong belum ada kejelasan dari BPLS soal sekolah ini,” ucapnya.

    SDN Pejarakan ini rencananya juga akan digunakan sebagai kolam penampungan lumpur Lapindo. Meski demikian, Mudzakir masih menjalankan belajar-mengajar untuk tahun ajaran baru 2011-2012 ini. “Di tahun ajaran baru, tetap berlangsung kegiatan di sekolah ini,” ujarnya. Sedangkan TK Dharma Wanita Persatuan, yang satu lokasi dengan SDN Pejarakan, sudah tidak menyelenggaralan aktivitas belajar-mengajar pada tahun ajaran 2011-2012. TK ini sudah bubar pada 18 Juni 2011 silam.

    Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Jawahirul Ulum, Desa Besuki, juga mengalami nasib tak berbeda. Di tahun ajaran baru ini, madrasah ini masih melaksanakan kegiatan pendidikannya. Agak beruntung ketimbang SDN Besuki dan SDN Pejarakan, MI Jawahirul Ulum memiliki murid baru. Bahkan jumlah siswa baru meningkat 3 siswa dari tahun sebelumnya. Tahun lalu hanya mendapat 15 siswa baru. “Kelas 1, alhamdulilah, ada 18 siswa, meningkat 3 siswa dari tahun kemarin,” kata Lil Umrotul, kepala sekolah MI Jawairul Ulum. Sehingga total semua siswa tahun ini, dari Kelas 1 hingga Kelas 6, mencapai 132 siswa.

    Meski demikian, proses belajar-mengajar MI Jawahirul Ulum terasa tidak nyaman karena berdekatan langsung dengan pekerjaan tanggul baru. Bu Lil, sapaan akrab Lil Umrotul, sadar kondisi ini. Tetapi ia  tidak bisa berbuat banyak. “Ya gimana lagi. Kita sementara bertahan di sini sampai pembangunan sekolah kami selesai. Rencananya kita akan pindah tahun 2012,” tuturnya. Pihak MI Jawahirul Ulum sudah menyiapkan kepindahan lokasi madrasah ke Desa Pangreh, Kecamatan Jabon. Hingga hari ini, proses pembangunan sekolah belum selesai.

    Di kawasan terdampak lumpur Lapindo, sedikitnya ada sekitar 33 gedung sekolah yang tidak jelas nasibnya. BPLS yang memiliki anggaran milyaran rupiah tidak melakukan upaya pemulihan pendidikan warga. Jadi tidak salah jika banyak sekolah yang akhirnya bubar, misalnya SDN 1 Siring. Sebagian mengambil langkah sendiri untuk bertahan. MI Maarif Jatirejo, misalnya, sampai kini masih menempati sebuah ruko di Porong. Toh, pihak Lapindo maupun Pemerintah seolah tutup mata. [vik]

    (c) Kanal News Room

    Daftar Sekolah Terdampak Lumpur Lapindo

    Tingkat Kec. Porong Kec. Tanggulangin Kec. Jabon
    TK/RA TK DW Pers Renokenongo
    TK DW Pers Jatirejo
    TK DW Siring
    RA Muslimat Miftahul Ulum Jatirejo
    RA Muslimat Khalid bin Walid Renokenongo
    RA Muslimat Nurul Islam Tanggulangin TK DW Pers Besuki Jabon
    TK DW Pers Pejarakan Jabon
    TK Darul Ulum Besuki Jabon
    SD/MI SDN Jatirejo 1 Porong
    SDN Jatirejo 2 Porong
    SDN Renokenongo 1 Porong
    SDN Renokenongo 2 Porong
    SDN Siring 1 Porong
    SDN Siring 2 Porong
    MI Ma’arif Jatirejo Porong
    MI Khalid bin Walid Renokenongo
    MI Nurul Islam Tanggulangin
    SDN Kedungbendo 2 Tanggulangin
    SDN Kedungbendo 3 Tanggulangin
    SDN Kedungbendo 1 Tanggulangin
    SDN Pejarakan Jabon
    SDN Besuki Jabon
    MI Darul Ulum Besuki Jabon
    SMP/MTs MTs Khalid bin Walid Renokenongo
    MTs Abil Hasan Asy Syadzily Jatirejo
    SMP Negeri 2 Porong
    SMP PGRI 2 Porong
    MTs Jawahirul Ulum Besuki
    SMA/SMK/
    MA
    MA Khalid bin Walid Renokenongo
    MA Abil Hasan Asy Syadzily Jatirejo
    MA Jawahirul Ulum Besuki
    SMK Jawahirul Ulum Besuki
    TK DW Pers Besuki Jabon
    TK DW Pers Pejarakan Jabon
    TK Darul Ulum Besuki Jabon
  • Jalan Arteri Porong Dikonsinyasi, Warga Tetap Tolak Pembebasan

    Jalan Arteri Porong Dikonsinyasi, Warga Tetap Tolak Pembebasan

    Humas Badan Penangulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyatakan pembebasan lahan untuk Jalur Arteri Porong sudah mencapai 81,92 persen. Lahan yang belum dibebaskan tinggal 18,08 persen. “Lahan yang diperuntukan untuk pembangunan arteri Porong tinggal 34 bidang tanah di Kabupaten Sidoarjo dan 32 bidang di Kabupaten Pasuruan, karena pemiliknya tidak mau dibebaskan,” kata Ahmad Khusairi, staf humas BPLS.

    Warga yang menolak membebaskan tanahnya menyatakan pemerintah melalui Tim Appraisal tidak transparan dalam melakukan penilaian harga tanah warga. Ini yang kemudian digugat oleh 70 warga dari enam desa di kecamatan Porong dan Tanggulangin pada November 2010. Gugatan warga ditolak oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo. Tidak puas dengan keputusan pengadilan, warga mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya.

    Warga yang menolak pembebasan lahan hanya menuntut transparasi harga tanah. Jika pemerintah memberikan hasil penilaian Panitia Pengadaan Tanah(P2T), warga berharap bisa mengetahui dasar perhitungan dan harga tanahnya masing-masing. Ini bisa menjadi pijakan warga untuk melepas tanahnya. Namun jika tidak dipenuhi, warga tetap enggan untuk melepas tanahnya. Sebagaimana diungkapkan Kastawi, saat ditemui di rumahnya,”Silahkan saja melakukan konsinyasi, kami akan tetap mempertahankan tanah sebelum pemerintah membuka hasih penilaian tanah kami.”

    Mengenai rencana gubernur mengkonsinyasi tanah warga yang tidak mau dilepas, Ia tetap bergeming dan melanjutkan gugatannya. Kini warga masih menunggu proses banding di Pengadilan Tinggi Surabaya. “Silahkan saja kalau pemerintah memilih konsinyasi, tapi gugatan banding kami masih tetap jalan. Nanti akan kelihatan mana yang salah. Kami hanya menuntutP2T membuka hasil penilaian harga tanah kepada kami,” tegasnya. (vik)

     

    (c) KanalNewsRoom

     

  • Lapindo Tak Kunjung Bayar, Korban Kesulitan Biayai Pendidikan

    Lapindo Tak Kunjung Bayar, Korban Kesulitan Biayai Pendidikan

     

    Harwati, korban Lapindo asal Desa Siring, Kecamatan Porong, sudah harus mendaftarkan anak pertamanya ke sekolah lanjutan tingkat pertama. Ia pun kebingungan dari mana biaya sekolah anak pertamanya, Dina Karina Maharani, diperoleh. “Anak pertama saya masuk SMP. Saya harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 850 ribu. Itu pun belum termasuk biaya seragam dan buku,” ujarnya. Ini bukan jumlah kecil bagi Harwati yang sehari-hari hanya bekerja sebagai ojek tanggul. Herawati harus kesana-kemari mencari pinjaman ke orang-orang terdekatnya.

    Suami Harwati meninggal tiga tahun lalu. Sejak itu, ia harus bekerja dan merawat kedua anaknya seorang diri, dan tanggul penahan lumpur menjadi tumpuan hidupnya. Dengan sepeda motor yang ia punyai, Harwati menawarkan jasa bagi pengunjung yang datang melihat kolam penampungan lumpur Lapindo untuk berkeliling tanggul. “Saya terpaksa bekerja seperti ini. Yang terpenting bagi saya, bagaimana anak saya bisa makan dan sekolah,” katanya saat berada di tanggul penahan lumpur Lapindo.

    Kehidupan Harwati berubah sejak luapan lumpur Lapindo dan suaminya meninggal. Dulu sebelum lumpur Lapindo menenggelamkan rumahnya dan saat mendiang suaminya masih hidup, Harwati mengandalkan penghasilan dari suaminya. “Sebelum suami saya meninggal, yang cari uang suami saya. Sekarang saya sendirian yang harus merawat dan mencari nafkah,” ungkapnya. Harwati kini tinggal di Desa Candi Pari Kecamatan Porong.

    Pada tahun ajaran baru ini, selain harus memasukkan anak pertamanya ke SMP, Harwati juga harus memasukkan anak keduanya, Khartina Maharani (5 tahun), ke pendidikan Taman Kanak-Kanak. Biayanya sekitar Rp 350 ribu, belum termasuk seragam dan keperluan lain-lain. Harwati terpaksa meminjam sebuah kalung emas untuk dijual. Nantinya Harwati harus mengembalikan kalung emas itu dengan bunga yang sudah ia sepakati dengan si pemberi pinjaman. “Tidak ada jalan lain. Lha wong Lapindo belum membayar cicilan ganti rugi saya,” tutur Harwati.

    Harwati masih punya tanggungan lain. Adik kandungnya, Ajeng Agustina, baru saja lulus SMPN 2 Porong dan harus segera masuk jenjang SMU. Ajeng berencana melanjutkan ke SMU PGRI 2 Porong. Tetapi lantaran beban yang bertumpuk-tumpuk, Harwati belum bisa mendaftarkan Ajeng pada tahun ajaran ini. Harwati mengatakan ke adiknya, akan segera mendaftarkannya ke SMU setelah Lapindo membayar cicilan ganti ruginya. “Saya sudah tidak punya uang lagi. Jadi, ya, terpaksa menunggu pencairan cicilan dari Lapindo,” ucapnya.

    Tumi, korban Lapindo asal Desa Jatirejo, mengalami nasib yang tak kalah memilukan. Tumi harus mendaftarkan anaknya, Indah Susanti, ke jenjang SMU. Untuk masuk SMK PGRI 2 Sidoarjo, Tumi harus merogoh kantong Rp 1,1 juta hanya untuk biaya pendaftaran. Belum termasuk biaya seragam, buku dan kebutuhan lainnya. Suami Tumi sudah meninggal setahun lalu. Ia harus menanggung sendiri biaya sekolah anak-anaknya. Untuk kebutuhan Susanti masuk SMU, Tumi sudah mengeluarkan biaya Rp 2,1 juta. “Biaya Susanti saya carikan pinjaman ke adik saya yang ada di Samarinda,” ujarnya.

    Bagi Tumi, tak ada cara lain. Ganti rugi asetnya yang menjadi tumpuan hidupnya sampai saat ini belum juga dibayar Lapindo. Apalagi sejak sembilan bulan terakhir, Lapindo hanya berkomitmen membayar cicilan sebesar Rp 5 juta saja per bulan. “Cicilan dari Lapindo belum keluar. Saya sekarang tidak berkerja. Jadi, ya, harus gimana lagi,” ungkap Tumi dengan nada pasrah.

    Tumi dulu bekerja sebagai pedagang nasi di kampung asalnya, Jatirejo. Begitu lumpur Lapindo menenggelamkan seisi kampung, Tumi mengungsi berpindah-pindah, hingga akhirnya mengontrak rumah di Perumahan Tanggulangin Angun Sejahtera (TAS) II.  Ia pun tak bisa berdagang nasi lagi. Lebih parah, sejak suaminya meninggal pada 2 Mei 2010, Tumi menggantungkan hidupnya pada tetangga yang membutuhkan jasanya mencuci dan menyeterika. Tumi melakukan ini semua demi anak-anaknya. “Saya kepingin Santi bisa sekolah sampai lulus SMU. Mudah-mudahan kalau ada biaya, Santi bisa malanjutkan sampai kuliah,” tutur Tumi.

    Kepada pemerintah dan Lapindo, korban lumpur seperti Harwati dan Tumi berharap tak muluk. Mereka hanya ingin pemerintah tegas dan Lapindo menepati janji, agar pendidikan anak-anak mereka tidak terbengkalai. [vik]

    (c) Kanal News Room

  • Tagih Janji, Korban Lapindo 45 RT Temui Menteri PU

    Tagih Janji, Korban Lapindo 45 RT Temui Menteri PU

     

    Dalam pertemuan dengan Menteri PU, warga mendesak pemerintah untuk memasukkan wilayahnya dalam revisi Peraturan Presiden 14/2007 yang kabarnya akan segera diterbitkan. Tuntutan ini sesuai dengan rekomendasi Gubernur Jawa Timur yang menyatakan wilayah 45 RT sudah tidak layak huni. “Kami menuntut Menteri PU memasukkan wilayah kami sebagai wilayah terdampak,” ungkap Abdussalam, salah satu perwakilan warga Ketapang yang bertemu dengan Menteri PU.

    Menurut Salam, Menteri PU menjanjikan akan segera mengambil langkah-langkah tindak lanjut. “Menteri mengatakan akan menindaklanjuti tuntutan kami, dan akan segera membicarakan dengan anggota Dewan Pengarah BPLS lainnya seperti Menteri ESDM, Menteri Sosial, dan Menteri Keuangan,” ujar Salam . “Kami juga dijanjikan akan dimasukkan dalam revisi Perpres. Selambatnya akhir tahun 2011 ini,” lanjutnya.

    Namun, karena janji Menteri PU itu tidak disertai pernyataan tertulis, warga kecewa. “Kami belum puas dalam pertemuan kemarin, karena tidak notulensi atau nota perjanjian yang dikeluarkan Menteri PU,” ungkap Salam.

    Rencananya warga dalam waktu dekat ini juga akan bertemu dengan Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat(DPR). Tujuannya untuk meminta dukungan anggota dewan agar wilayah 45 RT dimasukkan dalam revisi Perpres 14/2007. Harapan dari pertemuan dengan Komisi V, warga mendapatkan dukungan dan DPR segera mendesak pemerintah untuk segerah mengeluarkan Perpres baru.(vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Anak-Anak Korban Lapindo, Mencari Dunia Yang Hilang

    Anak-Anak Korban Lapindo, Mencari Dunia Yang Hilang

    Sidoarjo – Bermain Dengan Lumpur, itulah lakon teater yang dimainkan anak-anak korban lumpur Lapindo di Pendopo Kabupaten Sidoarjo pada hari Sabtu (25/6/11). Pementasan ini diikuti sekitar 40 anak-anak yang kebanyakan dahulu tinggal di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (PERUMTAS) I. Pementasan yang digawangi oleh budayawan Arswendo Atmowiloto ini seakan menunjukkan bahwa lumpur Lapindo tidaklah menjadi penghalang anak-anak untuk tetap berkreasi dan berekspresi.

    Selain itu pementasan teater ini mencoba untuk mengobati kegelisahan dan trauma yang dialami kebanyakan anak-anak korban lapindo. Selain mereka kehilangan tempat tinggal dan arena bermain, keceriaan anak-anak secara tiba-tiba hilang sejak lumpur Lapindo menyembur.

    Arswendo Atmowiloto mengatakan, acara ini digelar untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak-anak. “Awalnya memang susah mengajak anak-anak karena kondisi psikologisnya, tapi lama kelamaan malah mereka tak mau berhenti latihan. Mereka sangat bersemangat mengekspresikan keinginannya. Saya melihat harapan yang sangat besar di mata mereka,” terangnya.

    Terlepas dari segala persoalan yang terjadi di kasus lumpur lapindo, anak-anak yang juga menjadi korban selama ini tidak tersentuh sama sekali. Pemerintah dan orang tua selalu sibuk mengurusi proses ganti rugi yang tidak kunjung selesai. “Pemerintah selalu sibuk mengurusi urusan ganti rugi, sedangkan pendidikan anak-anak, dunia anak-anak yang hilang sama sekali tidak tersentuh,” kata Arswendo.

    Pementasan ini diawali dengan dinyanyikannya lagu Desaku yang Kucinta. Dengan sayu, anak-anak yang masih duduk dibangku sekolah dasar ini ingin menunjukkan betapa mereka sangat merindukan desanya.

    Banyak anak-anak yang merasa senang dengan pagelaran teater ini. Fasia Akbar (12 tahun) misalnya, selama seminggu dirinya dan anak-anak yang lain berlatih dan bermain bersama, merasakan  suasana seperti yang pernah ia alami di tempat tinggalnya dulu. “Selama seminggu mengikuti latihan teater. Saya merasa seperti di Perum TAS tempat tinggal saya dulu,” ujarnya. Sejak lumpur Lapindo menenggelamkan tempat tinggalnya, ia kehilangan tempat bermain dan jauh dari teman-temannya.

    Selain pementasan teater, anak-anak juga menampilkan pertunjukan tari dan bernyanyi. Pementasan yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam ini juga dihadiri Bupati Sidoarjo Saiful Ilah berserta jajarannya. Ia sangat berterimakasih ada budayawan yang masih peduli terhadap nasib anak-anak. “Saya sangat berterimakasih kepada Arswendo yang mau menyisihkan waktunya memperhatikan anak-anak,” sambutnya.

    Arswendo berharap, pagelaran yang juga diadakan di Muntilan, Jawa Tengah ini, bisa menjadi semangat untuk anak-anak tanpa terbebani dengan urusan ganti rugi, tidak saling menyalahkan, dan tumbuh harapan ditengah semburan lumpur lapindo. Meskipun semua tahu lumpur lapindo membawa duka yang berkepanjangan, ia berharap masa depan anak-anak tidak dipenuhi kemuraman. “Kita semua tahu lumpur Lapindo membawa duka yang mendalam dan berkepanjangan, terlepas dari itu anak-anak harus bangkit dan menata masa depannya,” pungkasnya. (kam/vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Tuntut Masuk Peta, Korban Lapindo 45 RT Tolak Uji Seismik

    Tuntut Masuk Peta, Korban Lapindo 45 RT Tolak Uji Seismik

    BPLS rencananya akan melakukan uji seismik tiga dimensi (3D) pada Oktober mendatang. Teknisnya, peneliti ahli geologi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan membuat lubang berdiameter 10 sentimeter sedalam 30 meter di sejumlah titik. Tanah yang berlubang nanti akan dipasang bahan peledak dan dipantau menggunakan geophone. Geophone merupakan instrumen penting sebagai sensor getaran pada permukaan tanah. Penelitian ini akan merekam gambar struktur geologi di bawah permukaan tanah, dan sekaligus sebagai dasar jual-beli lahan warga yang berada di daerah rawan dan tak layak huni. Dengan metode survei seismik 3D akan diketahui daerah mana saja yang tak layak huni.

    Warga menolak uji survei seismik sebelum pemerintah memberikan kepastian soal revisi ketiga Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 yang menyatakan kawasan 45 RT dimasukkan dalam peta area terdampak. 
    Muhamad Jasimin, salah satu koordinator warga, mengatakan hasil Tim Kajian Kelayakan Huni (TKKP) Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada tanggal 30 Agustus 2010 sudah mengeluarkan rekomendasi yang menyatakan permukiman 45 RT sebagai kawasan yang tidak layak Huni. “Pada 30 Agustus 2010, Gubernur mengeluarkan rekomendasi hasil dari kajian TKKP yang menyatakan kawasan 45 RT tidak layak huni. Kenapa harus ada survei seismik? Padahal jelas-jelas kawasan 45 RT ada penurunan tanah dan sering muncul bubble gas,” kata Jasimin.

    Hari Susilo, warga Mindi, juga menyatakan menolak tegas adanya uji survei seismik 3D ini. Ia menuntut harus ada lebih dulu kepastian hukum dari pemerinta yang menyatakan wilayah 45 RT sebagai kawasan tidak layak Huni. “Kami tidak butuk uji seismik. Yang kami butuhkan adalah kepastian hukum,” ungkap Hari Susilo di tengah warga.

    Sementara itu, Ketua RT 11/ 03 Desa Mindi, Slamet meminta agar perwakilan dari BPLS datang untuk menjelaskan uji seismik ke warga. “Seharusnya BPLS dihadirkan juga untuk menjelaskan ide seismik ke warga,” teriak Selamet.

    Setelah menghubungi perwakilan BPLS tidak ada yang bisa hadir, sebagian warga langsung berangkat ke tanggul penahan lumpur untuk memblokir tanggul. Warga membentang spanduk dan menutup tanggul dengan batu dan batang pisang.

    Muhammad Yasin, salah satu warga, mengatakan jika BPLS meneruskan survei uji seismik, warga akan menduduki tanggul sampai ada kejelasan 45 RT masuk dalam area terdampak. “Kami akan menduduki tanggul jika BPLS melakukan uji Seismik. Sebelum ada kepastian hukum kawasan kami masuk dalam peta area terdampak,” ancamnya.

    Perwakilan 45 RT dalam waktu dekat akan menemui perwakilan BPLS di Surabaya untuk menyampaikan penolakan warga terkait uji seismik. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

  • Lagi,  Lumpur Lapindo Akibatkan Kematian

    Lagi, Lumpur Lapindo Akibatkan Kematian

    Mustofa, tetangga korban, mangatakan Mulyadi sering mengeluh sesak nafas jika ada bau gas. “Seminggu ini Pak Mulyadi sering mengeluh sesak nafas saat ada bau lumpur. Kita yang tinggal di sini juga sering pusing jika bau lumpur mengarah ke sini,” cerita Mustofa.

    Kualitas udara di desa-desa sekitar area lumpur Lapindo memang sudah di bawah standar. Catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur menunjukkan bahwa emisi gas hidrokarbon pada semburan dan gelembung yang ditemukan di Siring Barat, Jatirejo Barat dan Mindi mencapai 441.200 ppm, yang artinya 80 kali lipat di atas ambang baku yang hanya 5.000 ppm. Sedangkan batas ambien pada udara 0,24 ppm dilampaui dengan adanya temuan di lapangan hingga 55.000 ppm, yang artinya 229.100 kali lipat dari ambang baku.

    Masrukh, tokoh masyarakat Desa Jatirejo Barat, juga menduga meninggalnya Mulyadi akibat seringnya menghirup gas berbau busuk. “Di sini banyak yang terkena sesak nafas, apalagi jika bau gas yang keluar dari lumpur Lapindo mengarah ke barat. Banyak warga di sini yang merasa pusing,” ungkap pengurus Panti Asuhan Nurul Azhar, Porong, ini.

    “Apalagi di sekitar rumah warga banyak bermunculan semburan gas yang mudah terbakar (gas metan). Setiap ada retakan di lantai dan dinding rumah jika disulut api pasti terbakar. Dugaan kami,  meninggalnya Mulyadi karena sering menghirup gas yang muncul dari semburan lumpur,” lanjut Masrukh.

    Masrukh sangat kecewa terhadap Lapindo dan Pemerintah yang tidak memberi perhatian serius soal kesehatan warga yang masih tinggal di Siring Barat. “Seharusnya Pemerintah, baik BPLS (Badan Penangulangan Lumpur Sidoarjo) maupun Dinas Kesehatan, memberikan layanan kesehatan bagi warga Siring Barat dan sekitarnya sampai ada kepastian ganti rugi direalisasi pemerintah,” katanya.

    Penanganan masalah lingkungan dan sosial warga Desa Siring Barat memang cenderung tidak jelas. Pemerintah, melalui mekanisme dalam Peraturan Presiden No 40/2009, hanya memberikan uang kontrak. Mulyadi, meski sudah menerima kontrak Rp 2,5 juta, tidak mampu pindah rumah. Bersama kedua anaknya, Mulyadi masih tinggal di Desa Siring Barat. Uang kontrak yang diberikan Pemerintah tidak cukup untuk menyewa rumah. Akhirnya uang kontrakan tersebut digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

    Apalagi Mulyadi sudah lama tidak berkerja lagi setelah matanya sering sakit dan penglihatannya terganggu. “Gimana mau ngontrak, untuk kebutuhan sehari-hari saja Pak Mul serba kekurangan. Apalagi BPLS memberi uang kontrak hanya Rp 2,5 juta. Banyak warga sini yang kembali setelah masa kontraknya habis,” ungkap Sujai, tetangga Mulyadi.

    Selain mengeluh sesak nafas akibat gas, Mulyadi juga dikabarkan sering mengeluh dadanya sakit saat memikirkan ganti rugi aset tanah dan bangunannya yang tidak kunjung ada kejelasan. Pemerintah provinsi sudah menyatakan kawasan Siring Barat bersama Jatirejo Barat dan Mindi seagai kawasan tidak layak huni. Selain di kawasan ini sering muncul gelembung gas, rumah warga juga banyak yang retak-retak akibat penurunan tanah.

    “Bapak sering memikirkan masalah tidak adanya kejelasan ganti rugi. Jika sudah mikir, dadanya sering sakit,” ungkap Doni, anak bungsu Mulyadi. Sore, menjelang azan maghrib jenazah Mulyadi dimakamkan di pemakaman umum Desa Jatirejo, karena makam Desa Siring sudah tenggelam oleh lumpur Lapindo. (vik)

    (c) Kanal Newsroom

     

  • Pengeboran Baru Lapindo Berpotensi Ciptakan Gunung Lumpur

    Surabaya – Pakar geologi dan bencana dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, Amien Widodo, Selasa 31 Mei 2011 mengatakan pascasemburan lumpur panas di kawasan Sidoarjo, seluruh proses pengeboran di Jawa Timur masuk dalam kategori berbahaya.

    Oleh karena itu, Amien meminta jika Lapindo Brantas Inc tetap ngotot melakukan pengeboran di tujuh titik sekitar Desa Kalidawir Tanggulangin, Sidoarjo, Lapindo harus memberikan kepastian keamanan kepada warga sekitar.

    “(Pascasemburan Lapindo) struktur geologi di bawah permukaan menjadi kompleks dan menyebabkan terjebaknya migas serta lapisan lumpur bertekanan tinggi,” kata Amien.

    Akibatnya, aktivitas tektonik dan vulkanisme lapisan lumpur semakin terkompresi sehingga menimbulkan tekanan tinggi ke permukaan tanah.

    “Kalau ada retakan atau lubang, misalnya adanya pengeboran baru, ini akan berfungsi sebagai penghantar lumpur bertekanan tinggi untuk keluar ke permukaan sebagai gunung lumpur (mud-volcano),” tambah Amien.

    Potensi keluarnya gunung lumpur ini dicontohkan Amien seperti yang saat ini terjadi di Gununganyar Surabaya, Kalanganyar Sidoarjo, kemudian beberapa tempat lainnya di Jombang dan Madura.

    Selain lubang alamiah, lubang buatan manusia seperti pengeboran baru juga berpotensi besar untuk menjadi penghantar terbentuknya mud volcano.

    Oleh karena itu, Amien meminta rencana pengeboran baru itu ditinjau ulang. “Yang saya dengar tujuh sumur itu sudah ada dengan kedalaman seribu meter dan Lapindo izin untuk memperdalam lagi hingga 3.000 meter. Kalau ini benar, maka sangat berbahaya dan berpotensi keluar lumpur bertekanan tinggi,” tambah Amien.

    Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Jawa Timur, Dewi J Putriatni, juga meminta Bupati Sidoarjo berhati-hati dalam menerbitkan izin lokasi pengeboran kepada Lapindo Brantas Inc.

    “Izin itu wewenang BP Migas dan Sidoarjo, kami hanya bisa minta Sidoarjo berhati-hati,” kata Dewi. Pemerintah Jawa Timur sendiri, dalam hal ini tak punya kewenangan untuk melarang maupun mengizinkan proses pengeboran baru.

    Izin pengeboran, tambah Dewi, sepenuhnya dikeluarkan oleh BP Migas, sedangkan izin lokasi dikeluarkan oleh Pemerintah Sidoarjo. Bahkan untuk Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) merupakan wewenang Kementerian Lingkungan Hidup.

    FATKHURROHMAN TAUFIQ

  • Korban Lapindo Tidak Dipercaya Bank

    Korban Lapindo Tidak Dipercaya Bank

    SIDOARJO – Warga korban Lapindo mengalami kesulitan pembiayaan saat mencari sumber pembiayaan untuk usaha mereka kepada perbankan.

    Seperti yang dialami Sulastri (35), salah satu korban Lapindo dari desa Gempolsari yang pernah mengalami kesulitan ketika ingin mengajukan pinjaman ke bank desa. “Kami disini sepertinya tidak diakui status wilayahnya untuk pinjam ke bank desa. Buktinya ketika kita ingin mengajukan pinjaman, kita tidak dipercaya karena mereka takut kalau kita nanti akan meninggalkan desa dan mangkir dari tanggung jawab,” tuturnya. “Kalau untuk pinjam ke bank desa saja sulitnya bukan main, apalagi kalau kita pinjam di bank besar,” gerutunya.

    Ia juga mengatakan kalau untuk mengajukan pencairan pinjaman harus menggunakan nama dan alamat orang lain agar pinjaman tersebut bisa direalisasi. “Sebagai contoh, kalau kita mau menggadaikan BPKB ke bank, kita harus pinjam nama dan alamat saudara atau orang lain untuk mengajukan pinjaman itu. Meski sepeda dan BPKB tersebut atas nama kita sendiri,” terangnya. Padahal ia dan beberapa warga Gempolsari hanya bisa mengandalkan pembiayaan tambahan dari perbankan akibat belum dibayarkan aset-aset kerugiannya oleh PT Minarak Lapindo Jaya dari awal hingga kini(1/6/11).

    Ketidakpercayaan perbankan kepada korban lapindo tidak hanya pada persoalan pembiayaan seperti hal yang dialami Sulastri dan korban lapindo dari desa Gempolsari. Beberapa warga di desa lainnya mengalami kesulitan ketika akan membuka rekening di bank. Seperti yang dialami Su’udi Supriyono (25), warga desa Renokenongo yang kini tinggal di Perum Renojoyo Kecamatan Porong, saat akan membuka rekening baru di sebuah bank terkemuka untuk syarat administrasi pekerjaannya. “Untuk membuka rekening saja harus dimintai syarat-syarat yang aneh-aneh. Seharusnya bank kan juga harus tahu kalau kondisi kita sekarang ini memang tidak normal, masak harus dimintai surat keterangan ini itu,” protesnya.

    Merasa kesulitan mendapatkan kepercayaan untuk mendapat sumber pembiayaan dari institusi keuangan perbankan, Sulastri dan puluhan warga korban lapindo menginisiasi koperasi Sawo Kecik. Lembaga ini menjadi pilihan baginya dan warga korban lain dalam mendapatkan sumber pembiayaan untuk pengembangan usaha. Meskipun belum besar pembiayaan yang bisa dibantu oleh Sawo Kecik, paling tidak warga korban lapindo telah memiliki sumber pembiayaan yang dapat menerima kondisi mereka saat ini.

    “Kalau pinjam modal untuk usaha, saat ini kami bisa meminjam di koperasi Sawo Kecik. Alhamdulillah kami dibantu tanpa banyak syarat yang menyulitkan. Meskipun besarnya tidak seberapa, yang penting usaha masih bisa berjalan untuk menghidupi keluarga,” ujar Sulastri mensyukuri. (KAM)

    (c) Suara Porong – FM

  • Money Can’t Buy Him Love

    Money Can’t Buy Him Love

    hancurlagi

    As one of the richest and most powerful men in Indonesia, Aburizal Bakrie gets just about whatever Aburizal Bakrie wants. But to his frustration, Bakrie, the head of Golkar, the country’s second-biggest political party and the third-generation patriarch of the Bakrie family empire, can’t buy the thing he wants most – to be liked.

    Popularity is the essential ingredient in the plot Bakrie is cooking up to become president in 2014. But all of his power and money can’t stop the force of nature that has become the politician’s worst public relations nightmare: Drilling by his family’s gas company is blamed for causing the world’s biggest mud volcano disaster. Sunday marked five years since the toxic sludge began spewing all over villages — and the Bakrie family name. (more…)

  • Ancam Blokir Jalan, Korban Lapindo Ditemui Gubernur

    Ancam Blokir Jalan, Korban Lapindo Ditemui Gubernur

    Salah seorang warga yang berkumpul di Balai Desa Mindi mengatakan bahwa ia telah mendengar kabar jika perwakilan warga sudah ditemui gubernur di Kantor Grahadi Surabaya. Hasil pertemuan itu memutuskan bahwa besok (Selasa, 31/05/2011) perwakilan warga akan berangkat ke Jakarta bertemu dengan Menteri Pekerjaan Umum selaku Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). “Kami urung melakukan aksi blokir jalan lagi. Perwakilan kami sudah ditemui Gubernur,” kata Basuki, warga Mindi yang sudah siap-siap melakukan aksi.

    Pertemuan antara perwakilan warga 45 RT, Gubernur  Sukarwo dan Asisten III Pemerintah Provinsi Jawa Timur  Edi Purwinarto menghasilkan surat rekomendasi yang ditandatangani Gubernur. Isi rekomendasi itu adalah percepatan penetapan warga 45 RT di dalam revisi ketiga Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 untuk dimasukkan dalam peta area terdampak.

    Awalnya kawasan 45 RT ini tidak masuk dalam rancangan kebijakan mengenai penanganan 9 RT (Desa Siring Barat, Jatirejo Barat dan Mindi) yang nantinya bakal menerima ganti rugi melalui APBN 2012.  Kawasan 45 RT ini di situ hanya dinyatakan sebagai kawasan di luar peta terdampak yang tidak mendapatkan ganti rugi tapi hanya bantuan sosial sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2009 (revisi kedua Perpres 14/2007).

    Pertemuan Gubernur dan perwakilan menyepakati usulan agar kawasan 45 RT disamakan dengan kawasan 9 RT. Untuk itu, Tim Pengarah BPLS dan Pemprov Jatim mengambil langkah untuk merumuskan surat rekomendasi. Surat rekomendasi ini rencananya akan diberikan kepada Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kimanto sekaligus Ketua Dewan Pengarah BPLS.

    Abdul Salam, salah seorang perwakilan warga yang bertemu gubernur, mengatakan surat rekomendasi besok akan langsung dibawa ke Kementrian PU. “Ini untuk mendapatkan payung hukum soal penanganan 45 RT agar dimasukkan ke dalam peta area terdampak,” ujarnya. (vik)

    (c) Kanal Newsroom