Blog

  • Tim 16 Kembali Demo BPLS dan Minarak Lapindo

    Tim 16 Kembali Demo BPLS dan Minarak Lapindo

    “Ada sekitar 2000 sepeda motor dengan satu truk komando, satu motor dua orang,” tutur Ruli Syarif Hidayat (49 tahun), salah seorang warga TIM 16. Warga menuntut Minarak Lapindo Jaya melaksanakan janji yang diucapkan di depan presiden bulan Desember lalu.

    Saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memarahi Nirwan Bakrie, bos Minarak Lapindo Jaya dan Adik Abu Rizal Bakrie, di depan menteri-menteri terkait dan pengurus BPLS terkait tidak kelar-kelarnya persoalan korban Lapindo.

    Setelah pertemuan ini Nirwan Bakrie berkomitmen untuk segera membayar 80 % sisa uang aset korban Lapindo. Caranya dengan dicicil 30 juta perbulan plus 2,5 juta untuk memperpanjang kontrak. Kesepakatan ini sebenarnya tidak sesuai dengan mekanisme seperti di peraturan presiden yang mengatur perlunasan 20-80 dengan jangka waktu sebelum masa kontrak dua tahun habis.

    Namun setelah hampir tiga tahun tak ada kejelasan perlunasan 80 % warga menerima pola cicil-mencicil ini. Warga ingin supaya perlunasan segera kelar. Meski warga sudah memberi toleransi dengan menerima pola cicilan ini namun MLJ kembali mangkir dari omongannya sendiri.

    “Kurang dari 2 % dari TIM 16 yang dicicil sesuai dengan janji (3 Desember),” tutur Rulli. Sisanya ada yang dicicil 15 juta dan ada pula yang dicicil 2,5 juta.

    TIM 16 meminta supaya MLJ segera menuntaskan persoalan ini. Hingga jam 4 sore ini belum ada solusi antara warga TIM 16 dengan MLJ. [mam]

    FOTO: Courtesy of Steven Lenakoly (detiksurabaya)

  • Pakde Karwo Genjot 100 Hari, Kasus Lumpur Terberat

    Pelantikan pasangan ini memang memungkinkan untuk dipercepat dengan telah ditolaknya pengajuan gugatan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Ka-Ji) ke Makhamah Konstitusi (MK).

    KarSa pun memberikan apresiasi tinggi terhadap keputusan MK tersebut. Hal ini disampaikan Soekarwo-Saifullah Yusuf dalam jumpa pers di kantor kuasa hukum Todung Mulya Lubis di Meyapada Tower, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (4/2).

    Menurut Pakde Karwo, panggilan akbrab Soekarwo, dirinya sangat menghargai bahwa MK tidak lagi mengambil alih masalah Pilkada Jatim. “Kami mengambil pelajaran bahwa suatu gugatan ada titik hentinya, dan (keputusan) MK sudah tepat,” kata Pakde Karwo sambil tersenyum.

    Meski kurang sepekan, Soekarwo langsung menyampaikan program 100 hari pertama pemerintahannya sebagai gubernur. Bahkan ia sudah menyiapkan crash program untuk mengatasi berbagai masalah mendesak di Jatim.

    Ada lima masalah yang akan menjadi fokus perhatiannya dalam 100 hari pertama tugasnya. Pertama adalah penyediaan air bersih, kedua mengusahakan pengobatan gratis bagi masyarakat miskin, ketiga PKL mungkin akan digusur namun direlokasi ke tempat yang lebih memadai.

    Sedangkan program keempat yang menjadi perhatiannya adalah kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo. “Bagi warga yang masuk dalam peta terdampak, kami akan mengusahakan untuk segera mendapatkan pelunasan pembayaran ganti ruginya. Sedangkan yang tidak masuk peta terdampak, kami usahakan untuk memperbaiki kesejahteraan warga,” katanya.

    Untuk program kelima, pasangan yang sama-sama berkumis tebal ini memilih perbaikan infrastruktur diutamakan dengan memperbaiki jalan provinsi yang rusak. “Motto kami, tiada hari tanpa tambal jalan,” ungkap Soekarwo.

    Meski persoalan lumpur Lapindo ditempatkan di urutan keempat program 100 hari, H Zainul Lutfi, salah satu pengusaha tas di Tanggulangin yang terdampak lumpur, mengaku masih menggantungkan harapan besar. Dalam kurun tiga tahun semburan lumpur hingga sekarang, penrajin tas di Tanggulangin masih merasakan dampaknya. “Ya, sejak adanya semburan lumpur itu, benar-benar terasa bagi kami,” ujarnya.

    Ia berharap, duet pemimpin baru di Jatim ini dapat mengembalikan kejayaan Tanggulangin seperti dulu sebelum terdampak semburan lumpur. “Siapapun pemimpinnya, harus ada terobosan untuk memajukan kembali kerajinan tas dan sepatu yang ada di Tanggulangin,” tambahnya.

    Korban Lumpur

    Namun kasus Lapindo dipastikan bukan pekerjaan ringan bagi Pakde Karwo. Sejumlah pekerjaan berat terkait perbaikan infrastruktur di kawasan terdampak semburan lumpur serta masalah sosial juga masih menumpuk. Antara lain, relokasi infrastruktur Jalan Raya Porong, Jembatan Tol Porong – Gempol serta rel KA, yang saat ini masih menyisakan masalah terkait pembebasan lahan.

    Masalah ini memerlukan perhatian ekstra karena infrastruktur tersebut merupakan urat nadi perekonomian di Jawa Timur. “Ibarat manusia, Sidoarjo adalah leher, orang mau ke Malang, ke Banyuwangi, lewat Sidoarjo,” kata Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menggambarkan pentingya pembangunan infrastruktur di kawasan Porong dan sekitarnya.

    Pembayaran ganti rugi warga korban lumpur, yang hingga kini juga masih terkatung-katung, karena pihak Lapindo yang akhirnya memberikan opsi pembayaran ganti rugi skema jual beli lahan terdampak lumpur dengan cara dicicil.

    Belum lagi kawsan terdampak lumpur yamg makin meluas serta ganti rugi yang diambilkan dari dana pemerintah juga belum sepenuhnya sesuai keinginan warga korban lumpur.

    “Permasalahan ini harus segera diselesaikan dan ini adalah tugas pemimpin baru Jatim,” tambah Suharjo, korban lumpur asal Perum TAS.

    Ia menaruh harapan yang besar bagi duet pemimpin Jatim terpilih untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang menyangkut hak dari korban Lumpur yang mencapai 12.000 kepala keluarga (KK) ini.

    Seperti diketahui, akibat semburan lumpur panas itu, sedikitnya ada 12.886 kepala keluarga (KK) yang telah menjadi korban. Hingga terakhir, sebanyak 150 KK warga Desa Renokenongo masih menunggu pembayaran ganti rugi 20 persen.

    Menurut Andi Darusalam Tabusalla selaku Vice President Minarak Lapindo Jaya, per 22 Januari 2009, dari 8150 berkas, pembayaran lunas sebesar 80 persen dari lahan bersertifikat telah dilakukan terhadap 1.443 berkas. Sedangkan yang mengajukan cash and resettlement sebanyak 418 berkas, sehingga totalnya 1.861 berkas. “Sedangkan pembayaran 80 persen secara cicilan, yang sudah diselessaikan sebanyak 1.675 berkas,” kata Andi, Rabu malam.

    Korban lumpur yang memilih relokasi dan memesan rumah di KNV (Kahuripan Nirwana Village) sejauh ini berjumlah 1.584 unit. Pihak Minarak menyiapkan lahan seluar 400 hektare, dan kini sudah diselesaikan sekitar 335 unit. Rumah yang sudah ditempati sebanyak 200 KK.

    Orang dekat Aburizal Bakrie ini mengaku hingga 22 Januari 2009 lalu, total dana yang telah dikeluarkan sebanyak Rp 3,2 triliun.

    Selain masalah lumpur, penyediaan air bersih bagi seluruh penduduk Jatim juga bakal sulit diselesaikan oleh pasangan baru ini. Di perkotaan seperti Surabaya yang menjadi pusat pemerintahan saja, belum 100 persen warganya mendapat air bersih. Ada kantong-kantong permukinan yang disebut zona merah di Surabaya utara yang hampir mustahil ditembus jaringan air bersih.

    Sementara di wilayah pedalaman, seperti di Kabupaten Kediri, kesulitan mendapat air bersih selalu menjadi cerita lumrah tiap kali musim kemarau. Misalnya warga Desa Surat, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, berebut air keruh dengan ternak, hewan andalan mereka yang juga butuh minum.

    Begitu juga dengan program kedua yang tak kalah memusingkan. KarSa harus menyediakan layanan pengobatan yang ideal bagi jutaan warga miskin Jawa Timur. Padahal sampai sekarang masih kerap terdengar keluhan warga yang merasa ditolak ketika berobat di rumah-rumah sakit milik pemerintah provinsi.

    Sementara untuk program ketiga, penataan PKL, selama ini sudah banyak ditangani pemerintah kota/kabupaten masing-masing. Sehingga tidak akan terlalu sulit bagi pasangan ini.

    Tugas mengurus jalan provinsi yang rusak di Jatim bukan perkara mudah. Akibat banjir dan dan tanah longsor sejak Desember 2007-Februari 2008, setidaknya 39 ruas jalan provinsi rusak berat yang beberapa di antaranya belum tuntas perbaikannya hingga kini. Belum lagi ruas jalan penting yang hingga sekarang belum jelas penanganannya, karena konflik dengan pemerintah Kota Surabaya, yaitu Jalan Kalianak yang berstatus jalan provinsi.

    Apalagi dalam beberapa pekan mendatang, beberapa daerah yang tahun lalu dihajar banjir dan tanah longsor seperti Bojonegoro, Jember, Pasuruan dan Ngawi harus kembali bergelut dengan bencana yang sama yang artinya kemungkinan jalan di kawasan itu rusak sangat besar. dtc/iit/sas

  • Pasokan Air Dihentikan Sumur Tercemar Lumpur Lapindo

    Menurut Humas BPLS, Achmad Zulkarnaen, pada pasal 15 wilayah di luar peta terdampak tidak lagi mendapat bantuan sosial berupa air bersih. Akibatnya, pasokan air yang biasanya dikirim ke 10 desa yang dianggarkan lewat APBN 2008 terhitung sejak Desember sudah habis.

    “Sejak pertengahan Januari kemarin, pasokan diputus karena anggaran APBN 2009 tidak bisa mengeluarkan itu dan payung hukumnya tidak ada,” tutur Izul, sapaan Achmad Zulkarnaen, Rabu (4/2).

    Dikatakan Izul, meski tidak ada payung hukumnya, BPLS sudah mengajukan ke Dewan Pengarah di Jakarta. Tujuannya, supaya masyarakat dari 10 desa itu bisa menikmati air bersih. Air yang dipasok oleh BPLS waktu itu untuk kebutuhan memasak dan minum warga sekitar, karena air tanah di wilayah itu tidak layak konsumsi.

    “Dalam pengajuan itu, Dewan Pengarah menyarankan agar dicarikan celah payung hukumnya karena menyangkut kebutuhan masyarakat,” ungkapnya.

    Ke-10 desa yang pasokan air bersihnya diputus yakni Mindi, Jatirejo, Klakah, Ketapang, Glagah Arum, Gempolsari, Kalitengah, Gedang, Keboguyang, dan Pamotan. Pascapemutusan pasokan air sejak pertengahan Januari lalu, warga harus membeli air. Biasanya, warga tinggal mengambil air di tandon yang sudah disediakan.

    Setelah tidak dikirim, Izul mengaku sudah mengantisipasinya sejak Oktober 2008. Pemutusan pengiriman air mudah menimbulkan gejolak karena masalah yang dihadapi sangat bervariasi. Selain itu, air tanah (sumur) warga sudah tidak layak konsumsi karena tercemar oleh luapan lumpur.

    “Sekarang kami sudah koordinasi dengan Pemkab Sidoarjo dan tinggal menunggu waktu saja. Mudah-mudahan hasilnya positif dan warga bisa menikmati air bersih lagi,” jelasnya.

    Selama 2008, 137 tandon tersedia di 10 desa itu mulai ukuran 1.000 liter hingga 5.000 liter. Tahun ini, rencananya ditambah lagi 23 tandon sehingga totalnya 160 unit. mif

  • Korban Lumpur Lapindo Galang Dukungan Dewan

    Korban lumpur yang kemarin mendatangi gedung Dewan itu terdiri atas perwakilan kelompok TIM 16 (terdiri atas 16 rukun warga di Perumahan Tanggulangin Sejahtera), Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (Geppres), dan Paguyuban Rakyat Renokenongo Menolak Kontrak (Pagar Rekontrak), Perwakilan Warha Perum Tas 1 (PW), serta Perwakilan Korban Lumput Tiga Desa (Gempur 3 D).

    Sumitro, Koordinator Perwakilan Warga Perum Tas, mengatakan sebanyak tiga fraksi di DPRD Jawa Timur telah sepakat menggulirkan kembali dana talangan untuk korban ganti rugi.

    Tiga fraksi tersebut adalah Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. “Bahkan pimpinan Dewan juga telah memberikan dukungan secara tertulis,” kata Sumitro.

    Tak hanya anggota Dewan, koalisi korban lumpur, kata dia, juga akan mendatangi para kiai dan ulama terpandang di Jawa Timur untuk memberikan dukungan kepada korban lumpur. “Setelah mendapat dukungan secara tertulis, kami akan ke Jakarta menghadap pemerintah pusat,” kata dia.

    Ia mengatakan korban lumpur telah lama terkatung-katung atas pembayaran ganti rugi yang dijanjikan PT Lapindo. “Kalau pemerintah percaya dengan Lapindo, seharusnya mereka bersedia memberikan dana talangan,” katanya.

    Anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo, Sulkan Wariono, mengatakan dana talangan ini perlu karena PT Minarak Lapindo Jaya selaku juru dibayar kerap kali plinplan saat melakukan pembayaran. “Kesepakatannya dibayar 30 juta, tapi realisasinya hanya Rp 15 juta,” ujarnya.

    Ia menilai dana talangan diperlukan karena rakyat terlalu lama menderita. “Kemarin juga ada pertemuan di pendopo dengan Bupati Win Hendarso, yang turut mendukung mendesak pemerintah pusat memberikan dana talangan untuk ganti ragi korban lumpur,” katanya.

    Ketua DPRD Jawa Timur Fathorrosyid mengatakan desakan koran lumpur Lapindo agar pemerintah memberikan dana talangan ini pernah direkomendasi DPRD Jawa Timur beberapa tahun lalu. “Namun, saat ini belum ada jawaban dari pemerintah pusat. Kami juga berupaya agar dana talangan bisa disetujui oleh pusat,” kata Fathorrosyid. DINI MAWUNTYAS

  • Warga Tanggapi Dingin Sesumbar Karsa

    Janji pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur Soekarwo-Syaifullah Yusuf (Karsa) ditanggapi dingin warga korban.

    Syaifullah mengatakan di Surabaya, Kamis lalu (30/1), dalam seratus hari, pemerintahannya akan memperketat tiga program: perbaikan jalan rusak, penataan pedangan kaki lima, dan penuntasan kasus Lapindo. Warga korban di luar peta terdampak akan diberi ganti rugi, kata Syaifullah.

    Warga korban sendiri tak terlalu antusias menanggapi pernyataan Gus Ipul itu. “Ya, setengah percaya, ya, setengah tidak,” ujar Jarot Suseno, koordinator warga Siring Barat, Sabtu (1/2). Siring Barat termasuk wilayah terdampak di luar peta versi Perpres 14/2007 maupun versi Perpres 48/2008. Sudah sejak April 2008, desa ini dan dua desa lainnya, Jatirejo Barat dan Mindi, direkomendasikan Gubernur Jawa Timur untuk ditangani segera karena dinilai tidak layak huni. Namun, sampai hari ini, tidak ada penanganan konkrit. Padahal, kondisi Siring Barat semakin parah.

    “Sudah sekitar 70 persen rumah warga rusak,” tutur Jarot. Siring Barat dihuni sekitar 319 keluarga yang menempati 250 rumah. Sekitar 175 rumah mengalami berbagai kerusakan, mulai retak-retak akibat amblesan tanah (land subsidence), munculnya gas liar berbahaya (bubble gas), hingga air yang tercemari logam berat. Bahkan, pada 5 Januari lalu, akibat amblesan tanah, salah satu rumah warga roboh.

    Pemerintah sudah menjanjikan alokasi 82 miliar untuk penanganan Siring Barat dan tiga desa lainnya: Jatirejo Barat, Mindi dan Besuki Barat. “Tapi sampai sekarang, belum ada realisasi apa-apa,” tambah Jarot. Lebih parah lagi, suplai air bersih justru dihentikan. “Sudah dua minggu lebih, kami tidak memperoleh pasokan air bersih,” ujar Jarot, lagi. Berbagai janji tak berwujud itu mungkin yang membuat warga menanggapi datar-datar saja sesumbar Karsa menuntaskan kasus Lapindo dalam seratus hari, meski masih berharap. “Semoga saja kali ini beneran,” imbuh Jarot.[ba]

  • Karsa Janjikan Akan Langsung Bekerja

    Tiga program tersebut adalah perbaikan jalan rusak, penataan pedagang kaki lima, serta penuntasan kasus Lapindo. Untuk jalan rusak, Syaifullah berjanji dalam seratus hari kepemimpinannya akan memperbaiki seluruh jalan rusak di Jawa Timur. “Untuk kasus Lapindo, warga di luar peta terdampak akan diberi ganti rugi,” katanya.

    Syaifullah menyatakan hal ini setelah kemarin Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur mengumumkan hasil rekapitulasi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur. Berdasarkan rekapitulasi KPU, pemilihan Gubernur Jawa Timur dan Wakil Gubernur Jawa Timur dimenangkan oleh pasangan Karsa dengan perolehan 7.660.861 suara. Sedangkan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji) mendapatkan 7.626.757 suara.

    Namun, hasil penghitungan suara ini ditolak kubu Kaji karena menganggap ada sejumlah pelanggaran dalam pemilihan ulang di Bangkalan, Sampang, serta penghitungan ulang di Pamekasan.

    Ketua KPU Jawa Timur Wahyudi Poernomo mengatakan akan mengirimkan hasil pemilihan Gubernur Jawa Timur ke Presiden, Menteri Dalam Negeri, Mahkamah Konstitusi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat. KPU juga mempersilakan kubu Kaji untuk mengajukan keberatan jika mereka tidak puas atas hasil penghitungan suara yang dilakukan KPU. “Mereka berhak mengajukan gugatan tiga hari sejak hari ini,” ujar dia.

    Kepolisian Daerah Jawa Timur meminta Panitia Pengawas Pemilihan Umum Jawa Timur segera memproses berbagai temuan pelanggaran pemilihan ulang di Bangkalan dan Sampang. “Kalau ada unsur pidananya, kami segera bisa menyidik,” kata Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, Inspektur Jenderal Polisi Herman Surjadi Sumawiredja. ROHMAN TAUFIQ | DINI MAWUNTYAS

  • Mengapa Komnas HAM Menunda Keputusan Kasus Lumpur Lapindo?

    Para korban hidup kocar-kacir dalam ketidakpastian, bahkan saat pipa gas milik Pertamina meledak pada 22 Nopember 2006, memakan korban 12 orang tewas. Namun keluarbiasaan kehancuran yang ditimbulkan Lumpur Lapindo ternyata disikapi secara BIASA-BIASA SAJA oleh pihak Pemerintah Indonesia dan Lapindo Brantas Inc (LBI). (more…)

  • Ayu Anita, Potret Anak Korban Lumpur Lapindo

     

    Ayu Anita nama gadis itu, orangnya mungil dan cantik, kulitnya putih, tutur katanya pelan. Dia seorang yang pendiam, mungkin ingin menyembunyikan kepedihannya yang kelam.

    Saat saya mengunjunginya malam tadi dia sedang menengok orangtuanya yang sudah sakit-sakitan di pengungsian Pasar Baru Porong. Ibunya menemani kami ngobrol, adik-adiknya bermain di sekitar bilik pengungsian yang sempit dan panas.

    Dua minggu sekali dia menengok mereka, sekedar membagi sedikit kelebihan rezeki yang dia kumpulkan bersusah-payah.

    “Sehari saya dapat sepuluh ribu, sejak dua tahun lalu tak pernah naik,” tutur Ayu.

    Ayu bekerja di sebuah warung kopi sederhana di Pasar Wisata Tanggul Angin sejak dua tahun lalu. Keputusan untuk bekerja diambilnya setelah lumpur Lapindo menenggelamkan rumahnya di Renokenongo. Tak hanya menenggelamkan rumah tapi juga merenggut lahan pertanian yang selama ini disewa bapaknya Kayat untuk penyambung hidup. Setelah bencana itu, Mutmainah, ibunya, juga tak lagi bisa bekerja sebagai pedagang kupang, sejenis kerang kecil. Saat itu Ayu masih duduk di bangku kelas I MA Khalid bin Walid.

    Setelah lumpur menenggelamkan desa Renokenongo. Pasangan Kayat dan Mutmainah beserta 6 anak-anaknya mengungsi di Pasar Baru Porong bareng ribuan warga korban lumpur lainnya.

    Sejak tinggal di pengungsian Ayu tak lagi bisa berangkat sekolah, alasannya, banyak; dia tak punya sepeda untuk ke sekolah yang jaraknya 3 km, orangtuanya tak punya uang untuk membayar sekolah, adik-adiknya perlu makan dan bapak-ibunya tidak lagi bekerja.

    Maka seorang kawannya menawari Ayu untuk bekerja di sebuah warung kopi, Ayu tidak dapat menolaknya. Hingga sekarang Ayu masih bercita-cita ingin menyelesaikan sekolahnya tapi keadaan memaksanya untuk tetap bekerja. [mam]

  • Korban Lumpur Minta Lapindo Beri Kepastian

    Menurut Ketua Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo (Rekorlap) Sunarto, pernyataan tersebut untuk mendapatkan kepastian kapan uang muka ganti rugi 20 persen bagi warga yang belum menerima.

    “Kami tidak mau berlarut-larut. Kami ingin agar Lapindo memberi kepastian itu dalam pernyataan di atas kertas bermaterai,” ucap Sunarto, Rabu (21/1) di Sidoarjo.

    Ia menambahkan, bila belum ada kepastian mengenai nasib 150 warga yang belum menerima uang muka ganti rugi, mereka akan berangkat ke Jakarta mengadukan persoalan tersebut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pertemuan korban lumpur pada awal Desember 2008 dengan Presiden disepakati penyelesaian uang muka ganti rugi 20 persen sebelum 2008 berakhir.

    Masih berlangsung

    Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabussala menyatakan, sama sekali tidak ada maksud untuk mempermainkan korban lumpur. Ia mengatakan bila proses pembayaran ganti rugi tersebut masih terus berlangsung. Ia juga berharap warga bersabar menunggu penyelesaian pembayaran tersebut.

    Sejak November 2006, sekitar 2.000 jiwa korban lumpur dari Desa Renokenongo tinggal di Pasar Porong Baru sebagai tempat pengungsian. Hingga saat ini, mereka masih menempati pasar tersebut karena belum seluruh warga menerima uang muka ganti rugi. Sebelumnya, pada September 2008, seluruh warga telah menerima uang kontrak selama dua tahun senilai Rp 5 juta, uang evakuasi Rp 500.000 untuk masing-masing keluarga, serta uang jatah hidup per jiwa Rp 300.000 selama enam bulan dari Minarak.(APO)

  • Pedagang Sayur Mulai Menempati Pasar Baru Porong, Pengungsi Terganggu

    Para pedagang ini mulai pindah secara bertahap sejak 10 Januari lalu. Sebelumnya, mereka berdagang di depan stasiun Porong, di tanah milik Perusahan Jawatan Kereta Api (PJKA). Meski penjualan bagus namun lokasi sempit, tanahnya becek kalau hujan.

    “Sekarang tanah itu akan digunakan perbaikan stasiun,” tutur Iwan, seorang pedagang rempah di Pasar Baru Porong.

    Belum genap sepuluh hari mereka berdagang, mereka sudah didemo oleh para pengungsi korban Lapindo, yang menempati PBP sejak luapan lumpur dua setengah tahun lalu, yang merasa terganggu dengan kehadiran mereka.

    Pengungsian yang sumpek jadi tambah sumpek, selain itu, soal keamanan juga menjadi alasan terganggunya para pengungsi. Sesuai perjanjian para pengungsi ini tidak mau meninggalkan PBP sebelum Minarak Lapindo Jaya membayar 20% aset mereka yang tenggelam lumpur.

    “Pengungsian jadi tambah sumpek, selain itu soal keamanan juga,” tutur Darmi, seorang pengungsi yang tidak bisa keluar dari bilik pengungsiannya karena mobil-mobil sayur parkir tepat di depan biliknya.

    Untuk mencegah terjadinya keributan antara pedagang dan para pengungsi. Dinas Pasar dan Himpunan Pedagang Pasar sudah berunding dengan tokoh pengungsi.

    “Untuk sementara dikasih garis batas di mana pedagang tidak boleh berjualan di batas itu,” tutur Darmi.

    Selain itu, para pengungsi juga dibagi penghasilan dengan menjaga toilet sementara petugas pasar mengurusi parkir dan kebersihan.

    Tuntutan para pengungsi sederhana mereka mau dilunasi pembayaran 20% aset mereka yang sudah 2,5 tahun ini belum juga tuntas dibayarkan. Mereka akan meninggalkan Pasar Baru Porong kalau tuntutan ini dilunasi. (lilik)

  • Pemerintah Diminta Kucurkan Dana Talangan

    Menurut Ketua Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo (Rekorlap) Sunarto, masih ada sekitar 150 berkas milik korban lumpur dari Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, yang uang muka ganti rugi 20 persen belum lunas. Bila sampai 20 Januari 2009 uang muka tersebut belum dilunasi, warga berencana akan berangkat ke Jakarta mengadu ke DPR.

    “Kami akan mendesak pemerintah melalui DPR agar mengeluarkan dana talangan guna pembayaran uang muka ganti rugi. Dengan turunnya harga minyak dunia, kami pikir dana talangan tersebut tidak akan memberatkan beban keuangan negara,” ucap Sunarto, Kamis (15/1) di Sidoarjo.

    Hal serupa dikemukakan Paring Waluyo, pendamping korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (Geppres). Ia mendesak supaya pemerintah pusat mengucurkan dana talangan untuk membayar sisa uang ganti rugi sebesar 80 persen yang tersendat hingga kini. Menurut dia, pemerintah seharusnya memiliki tanggung jawab terhadap warganya ketika sedang tertimpa musibah.

    Korban lumpur tidak bisa menunggu lama karena mereka sangat membutuhkan uang untuk biaya kontrak rumah dan biaya hidup. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya memerhatikan nasib warganya dengan segera mengucurkan dana talangan,” kata Paring.

    Dewan Pengarah Panitia Khusus Lumpur Sidoarjo DPRD Sidoarjo Jalaluddin Alham mengatakan, pengucuran dana talangan yang diambilkan dari APBD atau APBN jelas menyalahi aturan. Menurut dia, dana talangan bagi korban lumpur di dalam peta terdampak sama sekali bukan tanggung jawab pemerintah, melainkan PT Minarak Lapindo Jaya.

    “Di dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007 diatur jika tanggung jawab di dalam peta merupakan tanggung jawab Minarak, sedangkan untuk wilayah di luar peta menjadi tanggung jawab pemerintah,” tutur Jalaluddin.

    Bila dana talangan tersebut akan dikucurkan, kata Jalaluddin, Perpres No 14/2007 tersebut harus dubah terlebih dahulu. Itu pun harus dibarengi dengan pemberian jaminan berupa aset-aset milik Lapindo Brantas Inc yang selanjutnya membayar ganti rugi tersebut kepada pemerintah. (APO)

  • Penggantian Aset Korban Yang Tak Kunjung Beres

    Tim 16 Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I (Tim 16 Perum TAS I), yang 3 Desember 2008 lalu harus menandatangani kesepakatan skema cicilan 30 juta per bulan itu, kecewa. Seribuan massa dari Perumtas I ini mendemo Istana Negara pada 2-3 Desember. Mereka menuntut pembayaran 80 persen sesuai dengan Peraturan Presiden 14/2007, yakni paling lambat satu bulan sebelum masa kontrak rumah habis. Sementara, masa kontrak rumah mereka sudah habis bahkan lima bulan sebelumnya.

    Karena demo ini presiden memanggil Nirwan Bakrie, bos Lapindo Brantas sekaligus adik Menkokesra Abu Rizal Bakrie, dan beberapa menterinya, antara lain Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Menteri Pekerjaan Umum-cum- Ketua Dewan Pengarah BPLS Djoko Kirmanto, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Kapolri Bambang Hendarso Danuri dan Kepala Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Sunarso.

    Perwakilan Tim 16 kemudian diminta membuat kesepakatan dengan Lapindo dan Pemerintah. Setelah 4 jam negosiasi, Djoko Kirmanto menyampaikan hasil rapat di muka wartawan. “Pembayaran dilakukan secara bertahap, yaitu Rp 30 juta setiap bulan hingga selesai atau lunas. Bersamaan dengan jatuh tempo pembayaran itu, juga diberi uang sebesar Rp 2,5 juta untuk memperpanjang sewa kontrak rumah,” ujar Djoko dalam jumpa pers seusai negosiasi.

    Terhadap kesepakatan baru itu, menurut Djoko, Presiden minta semua pihak taat. Pembayaran tidak boleh terhenti. Bagaimana pelaksanaannya?

    Ternyata melenceng dari kesepakatan. Kus Sulaksono dari Tim 16 menyebutkan, dia hanya ditransfer 15 juta sehari setelah kesepakatan dan 15 Desember ditransfer lagi 15 juta. Sementara uang 2,5 juta untuk memperpanjang kontrak tidak diberikan.

    “Seharusnya MLJ membayar cicilan pertama kami 32,5 juta dengan rincian 30 juta untuk cicilan pertama dan 2,5 juta untuk tambahan kontrak satu tahun lagi, akan tetapi warga hanya dicicil 15 juta. Ini tidak sesuai dengan kesepakatan tertanggal 3 Desember kemarin,” kata Kus Sulaksono. “Kami akan menyurati presiden dengan memperlihatkan kenyataan di lapangan,” tambah Sulaksono. Jika surat ini tidak ditanggapi, rencananya, Tim 16 akan berbondong-bondong ke Jakarta dengan massa yang lebih besar.

    Kelompok korban lain, Geppres, Gerakan Pendukung Perpres 14/2007, tak kalah terpuruknya dari warga Tim 16 Perumtas 1. Hingga kini mereka belum menerima bayaran 80 persen. Kelompok ini menolak pola cicilan dalam pembayaran 80 persen, karena ini bertentangan dengan Perpres.

    Menurut Zaenal Arifin, anggota Geppres dari Renokenongo, pola cicilan ini akan memnyebabkan konflik antar warga, konflik keluarga dan membuat penderitaan baru bagi warga. Arifin mencontohkan, aset tanah yang dimiliki warga rata-rata milik beberapa orang ahli waris. “Coba bayangkan saja jika warga harus dicicil 30 juta dan hak warisnya ada 2 sampai 10 dalam satu keluarga, maka harus dibagi berapa? Dan memerlukan waktu berapa lama?” jelas Arifin.

    Dengan kenyataan seperti itu, Suparman, 52 tahun, anggota Geppres dari Jatirejo, khawatir tak bisa lagi mendapat rumah. Pasalnya uang 20 persen yang dia dapatkan telah habis untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Suparman dan keluarganya mempunyai aset tanah seluas 683 meter persegi dan bangunan seluas 427 meter persegi. Dan akan menerima sisa pembayaran 80 persen  sebesar Rp. 1,058,800,000,-.

    Masalahnya, tanah harus dibagi 10 hak waris sedangkan bangunan harus dibagi 4 hak waris. Jika skema pembayaran 80 persen dilakukan secara dicicil maka Suparman akan membagi setiap bulan sebesar 3 juta kepada ke-10 anggota keluarganya. Sementara, ini akan memakan waktu tiga tahun lebih untuk melunasi sisa pembayaran 80 persen milik Suparman dan keluarganya. 

    “Kami bingung jika kami harus dicicil 30 juta. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Bayangkan aja dengan uang 3 juta per bulan, bisa dibuat apa,” tegas Suparman. Tentu saja, harapan Suparman untuk punya rumah lagi bisa tinggal mimpi.

    Oleh karena itu, Suparman dan kelompok Geppres masih menolak skema pembayaran 80 persen secara dicicil sebesar 30 juta. Mereka tetap akan menuntut penyelesaian sisa pembayaran 80 persen secara tunai.

    ***

    Pagar Rekorlap, Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo, yang dulu bernama Pagar Rekontrak, Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak, tak kurang parah nasibnya. Hingga kini, sebagian besar anggota kelompok ini belum mendapatkan uang 20 persen dari aset mereka. Sudah dua tahun setengah korban dari kelompok ini mengungsi di Pasar Baru Porong.

    “Jangankan 80 persen, 20 persennya saja belum dibayar,” tutur Pitanto, salah seorang penggiat Pagar Rekorlap.

    Lilik Kamina, penggiat Pagar Rekorlap lainnya, mengatakan, sesuai Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) yang diterima korban pada 8 September 2008, harusnya Minarak Lapindo Jaya membayar 20 persen 15 hari setelahnya. Seperti biasanya, tanpa rasa bersalah, Minarak mangkir.

    “Baru korban yang nilai 20 persennya kurang dari 80 juta yang dibayar. Yang di atas 90 juta, hingga saat ini baru mendapat cicilan 4 kali 15 juta atau baru terima 60 juta,” tutur Lilik Kamina.

    Ada 563 kepala keluarga yang tergabung dalam Pagar Rekorlap, kalau ditotal ada 1.921 jiwa. Mereka berasal dari 14 RT Desa Renokenongo. Dari 563 keluarga, ada 465 berkas aset. Nilai 20 persen aset mereka berkisar dari 9 juta rupiah hingga 956 juta rupiah. Lebih dari 130 berkas yang nilai 20 persen di atas 90 juta dan baru mendapat bayaran 15 juta empat kali. Warga terpaksa menerima pola pembayaran semacam ini.

    “Kalau diserahkan langsung pasti kami tolak, tapi karena langsung masuk rekening, ya, terpaksa kami terima.”

    Selain itu ada 8 warga yang salah ketik nomor rekeningnya. Ini adalah kesalahan teknis yang dilakukan oleh Minarak tapi warga yang harus menanggung resikonya. “Hingga saat ini 8 orang itu belum mendapatkan 20 persen,” tutur Lilik Kamina. Orang-orang Pagar Rekorlap masih akan menempati pengungsian Pasar Baru hingga semua aset dibayar dua puluh persennya.

    ***

    Kelompok Bonek Korban Lumpur, dari warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera yang menerima pola resettlement, juga merasa tertipu. Harusnya pada Oktober 2008 lalu mereka sudah mendapatkan rumah.

    Pola resettlement atau biasa disebut warga korban lumpur sebagai “rumah (dan) susuk” adalah pola dimana korban dibikinkan rumah baru di kompleks Kahuripan Nirvana Village (KNV) dan sisanya dibayarkan tunai. Namun hingga saat ini warga belum mendapatkan rumah maupun susuk (kembalian uang).

    Sejak awal Desember lalu, 4000-an pendukung Laskar Bonek melakukan aksi menutup pintu masuk KNV. Mereka bikin spanduk bertuliskan sebuah kutipan lagu dangdut yang populer di kalangan warga.

    “Kau yang berjanji, kau yang mengingkari
    Sungguh terlalu kau Bakri…!!! Kepada kami…”

    Dari sekitar 4000an jiwa, rumah yang sudah dibangun di KNV, saat ini, baru 337 unit. Sekitar 218 unit sudah serah terima dan 119 kosong.

    Selain itu mereka juga menuntut pembangunan perumahan yang sudah disetujuinya segera diselesaikan dan berstatus SHGB/sertifikat, jaringan listrik segera dimasukkan. Bagi warga yang sudah menerima kunci agar segera dibuatkan akte jual beli, dan uang kembalian agar segera dicairkan.

    Aksi ini sengaja dilakukan, karena mereka sudah menuruti apa yang ditawarkan pihak Minarak Lapindo Jaya akan tetapi sampai saat ini pun belum terselesaikan pembengunan rumahnya. “Kami akan betahan disini sampai semua bangunan rumah dan kembalian uang yang sudah kami tandatangani dalam ikatan Jual baeli (PIJB) terselesaikan. Seharusnya bulan Oktober lalu kami sudah menempati dan menerima kembalian uang,” kata Khamim, 35 tahun, koordinator Laskar Bonek.

    “Sekaligus aksi kami sengaja membuktikan kepada masyarakat luas, bahwa selama ini pihak Pemerintah dan Minarak mengembor-gemborkan KNV sebagai solusi terbaik bagi korban lumpur, ternyata tidak. Kami sudah capek dengan janji-janji. Segera selesaikan pembangunan rumah dan uang kembaliannya agar kami bisa menata hidup kami,” tandas Khamim. [novik/imam]

  • Lumpur Juga Rusak Sekolah

    Perkawanan mereka retak sejak bencana lumpur Lapindo, dua tahun setengah tahun lalu. Desa mereka terendam lumpur dan mereka ikut orang tua mereka mengungsi di Pasar Baru Porong yang jauhnya 2 kilometer.

    “Saat di desa, kita hanya butuh sepuluh menit ke sekolah,” tutur Umi.

    Umi Kelas 3 Madrasah Aliyah (MA) Khalid bin Walid, sedang Ayu yang lebih muda masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs). Berangkat sekolah dari pengungsian menjadi masalah yang berat bagi kedua siswa ini. “Yo, jaraknya jauh, naik sepeda pancal,” tutur Umi.

    Jarak ini pula yang memicu rusaknya perkawanan Umi dan Ayu. Awalnya, sepeda ontel Umi rusak kemudian dia berangkat sendiri nebeng dengan kawannya. Ayu lantas tak masuk sekolah karena ini. Dia menganggap Umi tak mau lagi berangkat bareng. Selain itu Ayu juga merasa merepotkan.

    Ayu dan ibunya marah pada Umi dan sampai berhari-hari setelah itu mereka saling tidak sapa. Setelah itu Ayu tidak mau sekolah lagi dan Umi merasa bersalah. Menurutnya, Ayu berhenti sekolah karena dia meninggalkannya.

    Umi lantas menanyakan hal ini pada Ayu. Ayu menjelaskan tak punya sepeda memang jadi persoalan bagi sekolah Ayu, namun masalahnya tak hanya itu: orangtuanya juga sudah tidak mampu lagi mengongkosi sekolah Ayu.

    Menurut Ali Mas’ad, Kepala Madrasah Aliyah Khalid bin Walid, biaya bulanan sekolah ini digratiskan. Siswa hanya diharuskan membayar biaya semesteran sebesar Rp. 20.000 dan orangtua Ayu tak mampu membayar biaya ini. Setelah tiga bulan mengungsi di Pasar Baru Porong, Ayu akhirnya memilih untuk berhenti sekolah.

    “Ayu pernah bilang pengen menamatkan Tsanawi (setingkat Sekolah Menengah Pertama), tapi mau bagaimana lagi, nggak ada dana,” tutur Umi.

    Umi sempat merayu Ayu supaya mau sekolah lagi namun Ayu menolak. Cita-cita yang sederhana ini berat untuk pasangan Kayat dan Mutmainah, ayah dan ibu Ayu. Kayat bekerja sebagai buruh tani dan Mutmainah adalah pedagang kupang, jenis kerang kecil. Ayu adalah salah satu dari delapan anak pasangan ini.

    Mereka berdua menjadi pengangguran setelah lumpur Lapindo merendam Desa Renokenongo. Ayu merasa tidak mungkin lagi untuk mewujudkan cita-citanya. Dia lebih memilih untuk bekerja menjadi pelayan warung kopi di kawasan Pasar Wisata, Tanggulangin untuk membantu menghidupi keluarganya.

    Ayu keluar sekolah dua tahun lalu dan sekarang kondisinya makin buruk. Gedung sekolah Khalid bin Walid, tempat Ayu sekolah, sejak bulan lalu tak bisa digunakan lagi karena terendam air-lumpur.

    “Ini sudah ketigakalinya dan kami menyerah karena Renokenongo sudah ditanggul,” tutur Ali Mas’ad.

    Banyak siswa yang keluar sekolah karena bencana lumpur ini karena para siswa ini mengikuti orang mengungsi dari lumpur. Siswa-siswa yang masih bersekolah dipindahkan ke Desa Gelagaharum menempati sebuah gudang toko bangunan UD. Sakinah milik Christina, istri mantan kepala desa Glagaharum.

    ***

    Di sektor pendidikan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat setidaknya ada 28 sekolah Taman Kanak-kanak (TK), 33 sekolah non TK, dan dua pondok pesantren rusak akibat lumpur dan hingga saat ini tidak mendapatkan penanganan serius. Sebagian sekolah ini tutup dan sebagian masih aktif dengan nebeng ke gedung sekolah lain.

    Kalau mau dicari contoh sekolah yang nebeng ini bisa banyak sekali, sebut saja: TK Ma’arif Jatirejo, Sekolah Dasar Negeri II Jatirejo, MI Ma’arif Jatirejo, MTs dan MA Abil Hasan Asazili Jatirejo, SDN I Kedung Bendo, SDN I, SDN II dan SDN III Kedungbendo serta SMP Negeri II Porong.

    SMPN II Porong kini nebeng di gedung SMPN I Porong. “SMP I masuk pagi dan SMP II masuk siang,” tutur Muhammad Nuri, Staf Humas SMP II Porong.

    Hampir semua aset milik SMP II hilang terendam lumpur, mulai meja-kursi, laboratorium, lapangan olah raga dan hingga buku-buku pelajaran tak banyak yang bisa diselamatkan.

    “Semua sarana laboratorium, ruang guru, kelas, sirna,” tutur Kayis, Kepala Sekolah SMPN II Porong.

    Tak hanya sarana yang hilang ditelan lumpur namun SMP II juga banyak kehilangan siswanya.

    “Kelas 3 yang lulus (tahun ajaran lalu) hilang satu kelas. Sedang Kelas 3 yang sekarang juga hilang satu kelas,” tutur Diantoro (49 tahun), bagian kesiswaan SMP II. Diantoro menjelaskan masing-masing kelas biasanya diisi 35-40 siswa.

    Banyak guru yang mengeluhkan jam pelajaran sore semacam ini karena energi siswa dan pengajar sudah tinggal sisa dan membikin konsentrasi siswa dan gurunya menurun selain itu jam pelajaran juga tidak maksimal.

    Waktu masuk pagi para guru mengajar 40 menit per jamnya kini harus disunat 5 menit tiap jamnya biar bisa pulang tepat jam 5 sore.

    Perubahan ini banyak mempengaruhi prestasi belajar siswa dan prestasi-prestasi lainnya di bidang olah raga. Selain itu ketiadaan fasilitas semakin memperburuk prestasi belajar siswa. “Dulu Bahasa Inggris bisa praktek di laboratorium, sekarang tidak,” tutur Kayis.

    Sekolah-sekolah lain yang terendam lumpur Lapindo nasibnya lebih buruk lagi. SD Kedungbendo I, misalnya, sejak Januari 2007 nebeng di SDN I Ketapang. Jumlah siswa mereka turun drastis dari 571 siswa menjadi 87 siswa, bahkan, Kelas 1 dan Kelas 2 sekarang tidak ada siswanya.

    “Kelas 3 ada 28 orang, kelas 4 ada 20 karena ikut orangtuanya yang pada ngungsi, tutur Kholil (56 Tahun), guru SDN I Kedung Bendo, “Kelas 5 ada 18 orang, Kelas 6 ada 21 orang.”

    Lapindo sebagai biang bencana ini tidak ada perhatian sama sekali. Apalagi kompensasi. “Sebenarnya beberapa kali sudah ada pembicaraan dengan pihak Lapindo. Tapi urusan ini adalah wewenang kepala sekolah. Tapi mereka, ya, ngomongnya gitu-gitu aja. Tidak ada realisasinya. Kalau mau dihitung kerugian materil dari pihak sekolah sangat banyak. Alat peraga, bangku-bangku sekolah, buku-buku paket program BOS–untuk buku itu saja nilainya sekitar 20 juta lebih. Belum arsip-arsip sekolah yang juga ikut tenggelam. Kami sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi, Mas. Ya sudah biar begini-begini saja,” tutur Kholil.

    Akibat luapan lumpur Lapindo SDN Kedungbendo III juga menanggung kerugian yang tak sedikit. Murid mereka yang berjumlah 553 orang sebelum luapan lumpur tersisa cuma 30 orang setelah luapan lumpur.

    Karena sekolah mereka terendam kini mereka nebeng di SD Ketapang I awalnya.

    “Namun setelah di sana juga kena luberan lumpur, jadinya dipindahkan lagi ke sekolah ini (SDN Kalitengah I). Karena di sini hanya ada 6 kelas, maka siswa dari SD kami harus masuk siang,” tutur Muslimin, salah seorang guru SDN III Kedungbendo. “Kelas 1 sampai Kelas 4 tak ada siswanya. Sementara gurunya dulu 15 orang kini tinggal tiga orang.”

    Dinas Pendidikan hanya menyuruh pindah SD Ketapang I tanpa berusaha mengatasi persoalan ini. Sementara Lapindo sama sekali tak menaruh perhatian. “Pembicaraan sebenarnya sudah ada, tapi mau gimana lagi, ya, Mas. Nggak ada realisasinya. Kita sih nggak mengharapkan apa-apa. Kita juga bertahan di sini untuk menghabiskan murid saja,” tandas Muslimin pasrah.

    ***

    Syamsuddin Halim biasa dipanggil Pak Udin adalah guru muda di Madrasah Ibtida’iyyah (MI) Ma’arif Jatirejo dan Madrasah Aliyah (MA) Hasan As-Sadzili Jatirejo. Dia guru swasta di sekolah swasta yang terendam lumpur. 

    Honor atau biasa disebut bisyaroh di sekolah swasta tempat Pak Udin mengajar tergantung dengan jumlah siswa yang dia ajar. Di MI Pak Udin mengajar enam jam. Sebelum bencana lumpur dia mendapatkan Rp. 8.000 perjamnya dan kini menjadi Rp. 6.000. Total dia memperoleh 36.000 per bulan.

    “Transport dan makan tidak ada,” tutur Pak Udin.

    Belum lagi MI yang pindah beberapa kali sejak lumpur menyembur dan mengubur beberapa desa di beberapa kecamatan di Sidoarjo.

    “Pindah pengungsian, pindah ke Kedungboto, masuk sore ngontrak 1 tahun, pindah ke Posko Gus Dur (di pengungsian Pasar Baru Porong) Januari 2008 (hingga kini),” tutur Pak Udin.

    Tapi Pak Udin masih setia mengajar. Ia menganggap kerja ini sebagai pekerjaan akhirat. (mam/mas)

  • Korban Lumpur Akan Tagih Janji Presiden

    Menurut koordinator warga Perumtas, Koes Sulassono, korban lumpur dari Perumtas akan ke Jakarta pekan depan. “Sebenarnya kami kecewa karena ternyata kami harus kembali lagi ke Jakarta untuk mengadu ke Presiden. Padahal, bulan lalu kami sudah pernah menghadap Presiden agar membantu mempercepat penyelesaian ganti rugi, namun sampai saat ini masih juga belum lancar,” ujar Koes, Kamis (8/1) di Sidoarjo.

    Sebanyak 1.170 korban lumpur Lapindo dari Perumtas, sebagian besar masih belum menerima pembayaran sisa ganti rugi 80 persen secara utuh. Janji Minarak yang akan mencicil ganti rugi sebesar Rp 30 juta setiap bulan juga tidak terbukti. Hanya sekitar 30 orang yang menerima cicilan ganti rugi Rp 30 juta pada Desember 2008.

    “Jumlah total yang baru menerima cicilan Rp 15 juta pada Desember 2008 hanya sekitar 300 warga. Sisanya belum menerima cicilan ganti rugi yang dijanjikan,” kata Koes.

    Hal serupa dikatakan Ketua Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo (Rekorlap) Sunarto. Dari 465 korban lumpur asal Desa Renokenongo, ujar Sunarto, baru sekitar 300 orang yang telah menerima uang muka ganti rugi 20 persen. Ganti rugi tersebut diberikan pada akhir 2008 atau setelah hampir dua tahun mereka menunggu pencairan uang muka ganti rugi tersebut.

    “Jika sampai tanggal 15 Januari ini belum juga ada penyelesaian uang muka ganti rugi 20 persen, kami akan berangkat ke Jakarta pada 25 Januari untuk mengadu ke Presiden agar membantu penyelesaian ini,” kata Sunarto.

    Dewan Pengarah Lumpur Sidoarjo DPRD Sidoarjo Jalaluddin Alham mengatakan, pihaknya bisa memaklumi kekecewaan korban lumpur terkait penyelesaian ganti rugi yang masih berlarut-larut. Ia pun mendukung keputusan warga yang akan mengadu ke Presiden agar mempercepat penyelesaian pembayaran ganti rugi.

    “Silakan saja mereka berangkat ke Jakarta asal berlaku tertib selama di sana, tidak membuat onar, dan menjaga nama baik Sidoarjo,” kata Jalaluddin. (APO)

  • Kehidupan Sosial Budaya Hancur, Upaya Pemulihan Nol

    Simaklah laporan Badan Perencanaan Pembangunan (Bappenas). Pada 2007, Bappenas sudah mengeluarkan laporan mengenai kerusakan dan kerugian akibat semburan lumpur Lapindo. Di situ disebut, kerusakan dan kerugian akibat lumpur Lapindo mencapai 7,3 triliun rupiah. Lalu ditambah dengan kerugian tidak langsung yang mencakup potensi ekonomi yang hilang sekira 16,5 triliun rupiah. Di sini yang dihitung sepenuhnya adalah kerusakan fisik, meliputi bangunan dan fasilitas pada sektor perumahan, infrastruktur, ekonomi, dan sosial. Sektor sosial yang dimaksud adalah bangunan pendidikan, tempat ibadah, pondok pesantren, dan panti sosial. Sementara, kerugian tak langsung itu dihitung berdasarkan keuntungan ekonomis yang hilang akibat kerusakan-kerusakan tersebut. Praktis, ini tidak menyinggung ihwal kerugian sosial-budaya.

    Begitu pula dengan kebijakan resmi Pemerintah. “Skema penyelesaian” Pemerintah yang dituangkan lewat Peraturan Presiden 14/2007 maupun versi revisinya, Peraturan Presiden 48/2008, memperlakukan seluruh kerugian warga korban menjadi aset fisik semata. Warga korban yang memiliki aset tanah dan bangunan mendapatkan uang tunai dari aset yang dibeli Lapindo maupun Pemerintah lewat dana APBN. Sementara, warga korban yang tak punya aset akan sekadar mendapat santunan uang kontrak dua tahun dan jatah hidup beberapa bulan. Kehidupan selanjutnya? Silakan cari akal sendiri. Pekerjaan yang hilang, pendidikan yang berantakan, kesehatan yang terus menerus menurun—baik akibat kondisi lingkungan yang makin memburuk maupun akibat tekanan mental yang kian berat—juga silakan urus sendiri-sendiri. Apalagi, ihwal sosial-budaya yang “tidak konkrit”, sudah pasti tak masuk daftar pertimbangan. 

    Namun, apakah sudah semestinya seperti ini? Apakah memang masalah sosial-budaya tidak bisa, dan tidak perlu, masuk daftar kerugian? Mari dengar apa yang dikatakan Michael Cernea, profesor antropologi dari George Washington University, Amerika Serikat. Profesor Cernea mengatakan, dampak disintegrasi sosial, tercerai-berainya masyarakat, dan hancurnya budaya sangatlah serius, meskipun tak kasatmata dan tak bisa dikuantifikasi. “Rusaknya komunitas, hancurnya struktur tatanan masyarakat, tercerai-berainya jaringan formal dan informal, perkumpulan-perkumpulan, merupakan kehilangan modal sosial yang sangat mahal meski tak bisa dikuantifikasi,” tegas Profesor Cernea.

    Kehilangan modal sosial itu bisa mengarah pada pemiskinan korban dari segala sisi. Profesor Cernea sudah melihat ini setelah mengamati dampak “pemindahan paksa” akibat aktifitas pembangunan selama dua puluh terakhir ini di berbagai negara di Asia, Afrika, Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Latin. “Pemindahan paksa” (forced displacement), ya, karena penduduk tidak secara sukarela meninggalkan kampung halamannya. Tapi dipicu oleh proyek pembangunan maupun proyek eksplorasi sumberdaya alam (development-induced forced displacement). Misalnya, pembangunan waduk, jalan raya, cagar alam, pertambangan gas dan energi. Apa yang dialami korban lumpur Lapindo tak lain merupakan bentuk “pemindahan paksa” akibat pertambangan gas dan energi.

    Perpindahan paksa macam ini, kata Profesor Cernea, mengakibatkan tercerabutnya komunitas yang ada, hancurnya struktur organisasi sosial, ikatan antarpribadi, dan sendi-sendi sosial. “Ikatan keluarga cenderung hancur. Hubungan tolong-menolong yang menopang keberlangsungan hidup, paguyuban-paguyuban lokal sukarela, dan tatanan layanan mandiri masyarakat hancur sudah. Destabilisasi kehidupan komunitas cenderung melahirkan kondisi anomi, rasa tidak aman, dan rasa kehilangan identitas kultural,” tandas penulis the Economics of Involuntary Resettlement: Questions and Challenges ini.

    Yang membuat korban kian rentan dan termiskinkan, lanjut Profesor Cernea, tidak saja karena mereka kehilangan tanah dan rumah. Lebih dari itu, korban “pemindahan paksa” sekaligus mengalami kehilangan akses terhadap fasilitas sosial dan fasilitas umum, kehilangan kelompok dan jaringan sosial, bahkan terkena marjinalisasi sosial dalam lingkungan baru atau lingkungan sementara mereka tinggal. Ini berdampak lebih lanjut pada kesulitan akses terhadap pekerjaan, kesulitan pangan, bahkan kerentanan terhadap penyakit.

    Dampak ikutannya saling terkait dan bisa membuat korban makin termiskinkan lagi. Kehilangan pendapatan bisa memicu marjinalisasi, atau keterkucilan sosial, dan begitu pula sebaliknya. “Marjinalisasi ekonomi biasanya berbarengan dengan marjinalisasi psikologis dan marjinalisasi sosial. Ini muncul dalam bentuk turunnya status sosial dan hilangnya kepercayaan diri warga,” terang Profesor Cernea. Ketika korban terkucil secara sosial, ia akan semakin sulit memperoleh akses terhadap kebutuhan-kebutuhan dasarnya.

    Ini persis dengan kenyataan yang dihadapi korban Lapindo. “Kalau dulu, semasa masih di kampung, mudah saja kalau mau butuh masak. Katakanlah kalau tidak punya sayur, bumbu  dapur,  masih bisa minta tetangga. Nanti kalau kita punya gula, bisa bagi juga ke tetangga. Gotong royong gitu, Mas,” tutur Roy, seorang warga korban dari Desa Siring yang sudah tenggelam. Tapi sekarang, kata Roy, hidup makin susah, tetangga sudah tercerai-berai ke mana-mana. “Semua sekarang menjerit, Mas,” imbuh Roy.

    Pola saling menopang kehidupan tetangga itu juga tampak dalam budaya kolektif, semisal melalui acara-acara informal keagamaan dan kemasyarakatan. Ada banyak kegiatan orang desa yang mungkin tidak penting jika dinilai secara ekonomis semata. Misalnya, kegiatan keagamaan macam tahlilan setiap malam Jumat atau Minggu, dziba’an, barzanji, ziarah makam, dan seterusnya. “Dulu kami rajin dziba’an, sekarang tidak pernah lagi,” tutur Anton, pemuda dari Desa Renokenongo. Padahal rutinitas itu yang membuat individu satu sama lain seperti “saudara”, sehingga apa yang disebut dengan “modal sosial” itu terbentuk. Dan ini tidak bisa dibangun kembali dalam hitungan hari, melainkan tahunan bahkan puluhan tahun.

    Singkat kata, kerugian sosial budaya bukan saja penting, tapi bahkan merupakan taruhan hidup warga korban. Dan jika negara ini ada, tentu ia akan melakukan tindakan lebih nyata untuk mengatasi kerugian ini. Terlebih, menurut hukum dan perundang-undangan yang ada, hak-hak sosial budaya korban Lapindo telah dilanggar. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No 11/2005 menunjukkan diakuinya hak untuk menjadi bagian dari kehidupan budaya (pasal 15) dan hak atas perlindungan terhadap keluarga (pasal 9).

    Hak atas keluarga ini juga ditegaskan dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 10. Pasal 11-15 undang-undang ini juga menegaskan dilindunginya hak mengembangkan diri melalui berbagai aktifitas: pendidikan, sosial, keagamaan, budaya, seni, dan lain-lain. Undang-Undang No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 59 (f) juga menegaskan  “pemulihan sosial, ekonomi, budaya”.

    Artinya, terhadap praktik-praktik budaya, kegiatan sosial, dan ikatan kekeluargaan yang ada, negara berkewajiban untuk melakukan perlindungan. Sementara jika hal itu dirusak, negara wajib memulihkan kembali. Tapi hingga kini, negara tak kunjung hadir di Sidoarjo. [ba]

  • Kontrak Rumah Habis, Dirikan Tenda

    Rencananya, lima keluarga akan menetap di jalan tersebut hingga menerima rumah baru sebagai bentuk ganti rugi. Aksi itu merupakan bentuk protes korban lumpur yang dijanjikan menempati Kahuripan Nirwana Village (KNV), perumahan bagi korban yang dibangun PT Minarak Lapindo Jaya, pada November 2008. Namun, hingga kini mereka belum menerima kunci rumah dari PT Minarak. Padahal, masa kontrak rumah mereka habis pada Desember 2008.

    Korban lumpur membawa semua perabotan mereka, seperti lemari pakaian, kursi tamu, tempat tidur, dan peralatan dapur, ke jalan dengan menggunakan truk. Mereka akan tinggal di tenda sampai mendapatkan kunci rumah di KNV sebagai ganti rugi dengan skema permukiman kembali.

    Hadiarto (35), salah satu korban lumpur Lapindo dari Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera, sebelumnya mengontrak rumah di Kota Kediri. Setelah masa kontrak rumah selama dua tahun habis pada Desember 2008, ia bersama istri dan seorang anaknya pindah ke tenda yang mereka dirikan di jalan menuju KNV. Ia bersama keluarganya akan bertahan di tenda itu sampai mendapatkan rumah ganti rugi dari PT Minarak.

    ”Untuk memperpanjang masa kontrak rumah sudah tidak mungkin karena tidak ada uang. Saya akan bertahan di sini sampai mendapatkan kunci rumah yang dijanjikan PT Minarak Lapindo Jaya,” tutur Hadiarto.

    Selain Hadiarto, korban lainnya yang akan bertempat tinggal di tenda adalah Sukardi (57) yang sebelumnya mengontrak rumah di Surabaya. Ia akan tinggal bersama istri dan kedua anaknya.

    ”Saya dijanjikan menempati rumah di KNV paling lambat akhir Desember 2008. Sampai saat ini saya belum menerima kunci rumah dari Minarak. Sebelumnya, saya sudah menghubungi pihak Minarak sebanyak tiga kali, tapi tidak ada jawaban jelas kapan saya bisa menempati rumah di KNV,” ujar Sukardi.

    Secara terpisah, Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla mengatakan, pihaknya akan memeriksa pihak pengembang yang membangun perumahan KNV tentang keterlambatan pembangunan rumah bagi korban lumpur itu. ”Saya akan cek ke developer kapan penyerahan rumah kepada korban lumpur,” kata Andi singkat. (APO)

  • Potret Runtuhnya Keadilan Sosial

    Dua tahun lebih luapan lumpur Lapindo telah menghancurkan rumah Ibu Jumik di Desa Renokenongo. Menurut penuturan Sugiyat, anak tunggal Ibu Jumik, seperti yang ditulis di web korban Lapindo, rumah keluarganya terendam lumpur setelah muncul ledakan pipa gas Pertamina. Namun, air yang telah menggenangi rumahnya sejak hari pertama munculnya semburan lumpur memaksa keluarga tersebut meninggalkan rumahnya untuk menjadi pengungsi. Mungkin Tuhan tidak rela Ibu Jumik mengalami penderitaan yang terlalu panjang. Pada Minggu, 30 November 2008, Ibu Jumik menghembuskan napas terakhir.

    Kematian adalah takdir Tuhan. Namun, kematian Ibu Jumik adalah potret dari runtuhnya rasa keadilan di negeri ini. Institusi negara, dari pusat hingga daerah, tidak merespons secara baik derita yang dialami warganya. Kelompok korporasi yang terkait dengan persoalan semburan lumpur pun membiarkan Ibu Jumik meregang nyawa dengan masih menyandang status sebagai korban lumpur. Ibu Jumik dan keluarganya dapat dipastikan tidak memiliki kesalahan kepada Lapindo. Namun, tanpa permisi, semburan lumpur telah menghancurkan bukan hanya tanah dan rumahnya namun juga harapannya. (more…)

  • Akibat Amblesan Tanah, Rumah Korban Lapindo Roboh

    Akibat Amblesan Tanah, Rumah Korban Lapindo Roboh

    Pada saat kejadian, Bu  Astuti sedang berada di rumah salah seorang kakaknya yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. “Waktu itu suaranya besar banget. Mantu saya ini lagi ngeloni (menidurkan, Red.) anaknya. Bapaknya lagi menjahit. Saya kebetulan di rumah, lagi di belakang, rumah kakak saya. Anak-anak yang lain sudah pada berangkat kerja,” tambah Bu Astuti.

    Bagian rumah yang ambruk adalah kamar milik Astuti dan Zulkan. Namun akibat kondisinya yang sudah sangat mengkhawatirkan, kamar tersebut sudah dua minggu tidak ditempati. Retakan-retakan di dindingnya sudah sangat besar sehingga oleh Zulkan dipasangi kayu-kayu penyangga. Namun karena amblesan tanah di tempat tersebut terus saja terjadi. Retakannya pun semakin besar dan akhirnya dinding kamar tersebut ambruk juga.
    Astuti mengaku beruntung tidak sampai tertimpa reruntuhan. Sebelum kejadian, dia sedang berada di dapur untuk memasak. Reruntuhan dari kamar yang ambruk itu jatuh di dapurnya. “Kalau misalnya kejadiaannya jam tujuh-an gitu, saya bisa ketiban tembok, Mas. Untung saja tidak sampai ada yang luka,” ujar Astuti.

    Kondisi rumah Zulkan memang sudah sangat tidak layak. Di beberapa tempat terdapat retakan-retakan dan dinding-dinding yang pecah. Rontokan dindingnya pun hampir tiap hari jatuh. Oleh Zulkan bagian dinding yang retak dan pecah serta kusennya dipasangi kayu penyangga.
    Sementara, sumur dan bagian kamar mandi, dinding-dindingnya juga pecah. Bagian lantainya juga retak-retak semua. Amblesan tanah juga sangat jelas terlihat. “Sebelum kemasukan lumpur, rumah saya tidak begini, Mas. Rapih, bersih. Lantainya juga item bersih. Ditambal, pecah lagi, ditambal lagi, pecah lagi, sampai mbelenger (bosan. Red), Mas,” kisah Astuti.

    Biaya perbaikan rumah selama ini ditanggung sendiri Zulkan. Dari pekerjaan sebagai penjahit, Zulkan hanya berpenghasilan Rp. 10.000 setiap hari. Karenanya Zulkan terpaksa harus bekerja juga sebagai pengatur jalan di Jalan Raya Porong. Dari pekerjaan ini Zulkan biasanya mendapatkan Rp. 25.000 dalam sehari. Untunglah keempat orang anaknya telah bekerja dan bisa membantu perekonomian keluarga.

    Lumpur Lapindo masuk ke rumah Astuti pada 3 Januari 2008. Pada saat itu genangan lumpur tingginya sampai sepinggang orang dewasa. “Tanggal 25 Januari 2008, cucu saya yang tinggal di rumah ini lahir. Waktu kita semua masih pada tinggal di pengungsian,” ujar Astuti. Oleh keluarga Astuti, rumah tersebut akhirnya dibersihkan sendiri dari endapan lumpur Lapindo dan akhirnya bisa ditinggali lagi. 

    Namun sejak saat itu kondisi lingkungan di sekitar rumah tersebut kian hari kian memburuk. Amblesan tanah terus saja terjadi. Rumah-rumah pun dindingnya retak-retak bahkan pecah. Amblesan tanah juga menyebabkan terganggunya aliran air warga di tempat itu. Tiba-tiba saja daerah yang sebelumnya tinggi jadi rendah karena amblesan tanah. Akibatnya hampir setiap hujan deras mengguyur rumah warga kebanjiran.

    Pompa yang disediakan oleh BPLS untuk menyedot air agar tidak tergenang dinilai warga kurang bekerja maksimal. Astuti  mengaku sejak musim hujan sekarang ini saja, sudah 4 kali rumahnya kemasukan air. Salah satu kamar yang terkena masukan air mengeluarkan bau gas yang menyengat. Airnya pun seperti berminyak-minyak. “Baunya kayak elpiji. Terus, airnya kayak ngelengo-ngelengo (berminyak-minyak. Red), gitu,” ujar Astuti kembali.

    Atas kejadian ambruknya rumah warga ini, Tim 16 Kelurahan Siring Barat menyatakan telah menghubungi media dan aparat terkait dalam hal ini BPLS dan pemerintah. “Mulai dari pemerintah kecamatan sampai pemerintah kabupaten telah kami hubungi,” ujar Jarot Suseno, selaku koordinator Tim 16 Kelurahan Siring Barat. Beberapa jam setelah kejadian, Wakil Ketua DPRD Sidoarjo, Jalaludin Alham, mendatangi lokasi kejadian. Kepada keluarga Zulkan, anggota DPRD dari Partai Demokrat tersebut menawarkan untuk tinggal sementara di rumah dinasnya. Zulkan sekeluarga akan diberikan satu kamar sendiri.

    “Tapi tawaran tersebut langsung kami tolak. Soalnya kami menilai tawaran tersebut mengandung unsur politis,” tambah Jarot.

    Tim 16 Kelurahan Siring Barat selanjutnya menyatakan jika kejadian ini tidak ditanggapi serius oleh pemerintah dan aparat terkait, warga mengancam akan mendirikan tenda di jalan untuk tempat tinggal mereka. “Atau mungkin juga kami akan tidur di Kantor Humas BPLS di Desa Mindi atau kantor mereka di Sidoarjo,” lanjut Jarot.

    Astuti sendiri ketika ditanyai harapannya ke depan hanya menyatakan ingin segera pindah dari rumahnya yang sekarang. “Maunya sih, semua rumah warga yang ada di Siring Barat ini segera dibeli sama pemerintah. Biar pada bisa cepat pindah,” ungkap Astuti. [mas]

  • Budaya Hilang, Kehidupan Korban Muram

    Kehidupan sosial budaya korban Lapindo remuk sudah, lahir dan batin. Ikatan kekerabatan hancur, yang berakibat semakin rentannya kehidupan sehari-hari. Begitu pula, tradisi dan budaya tak bisa lagi dijalankan, yang lalu berefek hilangnya kekuatan batin, lenyapnya ingatan bersama, yang telah lama menjadi daya tahan ampuh dalam menghadapi kerasnya hidup.

    Tanyalah Mbok Lina, dia akan tahu bagaimana hidupnya berubah begitu kekerabatan dan kehidupan komunal itu lenyap. Sore itu, di pengungsian Pasar Porong Baru, Mbok Lina (65), sedang membersihkan kulit buluh bambu, sendiri. “Buat gedek, mau bikin gubuk nanti kalau sudah pindah,” ujarnya. Bersama sekitar 500 keluarga dari Desa Renokenongo, Mbok Lina nanti akan pindah kalau sudah memperoleh uang ganti rugi. Dia menyiapkan sendiri bambu-bambu itu.

    Dulu, sewaktu di Dusun Sengon, Desa Renokenongo, Mbok Lina merasa berbagai persoalan hidup lebih ringan, karena ada kebersamaan, saling membantu. Mbok Lina hidup juga dari adanya solidaritas yang terbangun puluhan tahun ini. Dia mengerjakan sawah milik tetangga. “Dulu iso nggarap sawah Haji Sarim, Haji Daelan, Haji Karyo. Tak kurang haji-haji di Sengon punya sawah yang bisa digarap,” kenang Mbok Lina.

    Mbok Lina dulu bisa mengerjakan banyak hal di sawah tetangga-tetangga itu. “Ya tanam, membersihkan rumput dari padi, juga panen.” Dari kampung Mbok Lina, sedikitnya ada enam orang yang turut bekerja di sawah bersamanya.

    Kini semua lenyap. Beberapa nama orang yang dulu sering memberi bantuan pekerjaan, diceritakannya meninggal beberapa waktu setelah lumpur meleduk. “Sakit-sakitan memikirkan (krisis) Lapindo ini,” kata Mbok Lina. Kalaupun tidak, mereka ini juga sudah tidak lagi mampu membeli sawah karena belum selesai pembayaran ganti rugi kepada mereka. Mbok Lina menyebut salah seorang ahli waris yang sudah membeli sawah di kawasan Tulangan, Sidoarjo.

    Toh, Mbok Lina tidak bisa ikut membantu mengerjakan sawah di sana. “Nggak begitu kenal sama anaknya,” begitu alasan Mbok Lina. Tentu saja memang tidak mudah membentuk lagi kebersamaan warga seperti dulu. Perasaan saling kenal dan tepo seliro bukan hal yang bisa muncul begitu saja dalam semalam.

    Sekarang, Mbok Lina hanya menggantungkan hidup dari pemberian lima orang anaknya: Buarin, Mulyono, Roibah, Sriasih, dan Narto. Tapi anak-anaknya telah hidup sendiri-sendiri. Praktis, Mbok Lina hanya tinggal hidup berdua dengan suaminya Senawan (70) yang telah sakit-sakitan. “Sejak pindah ke pasar (pengungsian), dia sakit, kepikiran rumahnya yeng tenggelam.”

    Untuk pembiayaan suaminya, Mbok Lina sudah mengeluarkan biaya tidak kurang dari dua juta rupiah, jumlah uang yang tidak sedikit bagi seorang tua yang telah kehilangan rumah dan tidak punya penghasilan itu. Dari anak-anaknya, Mbok Lina mengaku diberi uang seminggu sekali rata-rata sekitar 30 ribu rupiah. “Itu pun kalau sudah dapat gaji.” Dengan uang sebesar itu, Mbok Lina dan suaminya harus menyiasati menyambung hidupnya.

    Bila nanti benar-benar harus keluar dari Pasar Porong Baru dan memulai hidup dengan uang kompensasi seadanya, Mbok Lina tidak tahu apakah di tempatnya yang baru bisa kembali bekerja di sawah. Dia jelas tidak tahu karakteristik orang-orang di tempatnya yang baru nanti. Menurut rencana, komunitas warga Renokenongo ini akan pindah ke wilayah Desa Tambakrejo, Kecamatan Krembung, sebuah daerah di sebelah barat Kecamatan Porong di sisi utara aliran Kali Porong. “Yo embuh, semoga tetangga-tetangga nanti di sana pengertian, tepo seliro,” ujar Mbok Lina, lirih.

    Jika Mbok Lina merasakan betul kehidupan lahirnya berantakan lantaran ikatan komunitas telah dihancurkan Lapindo, Nawawi tahu rasanya kehidupan batin terkoyak. Nawawi bin Zaenal Mansur (45) kini tak bisa lagi nyekar di makam orang tua seperti dulu. Di hari menjelang puasa yang sumuk itu, Nawawi bersama anak dan istrinya duduk di atas pepuingan. Ia khusyuk berdoa. Matanya menerawang ke arah sebuah kuburan umum Dusun Renokenongo. Cuma terlihat pucuk kamboja yang mengering. Kuburan itu telah lenyap.

    Doa khusus dia tujukan pada Zaenal Mansur, sang ayah, seorang pejuang kemerdekaan. Kali ini dia tak membawa bunga dan tak bisa menaburnya di atas kubur sang ayah. Tahun lalu, dia masih bisa ke kuburan bapaknya karena air asin dan lumpur mengering. Ketika itu dia lihat bendera merah putih dari seng di atas kuburan sudah mulai peot.

    Menjelang puasa tahun ini, Nawawi tak lagi bisa nyekar. Nawawi tak habis pikir dengan Lapindo dan pemerintah yang lamban menangani soal lumpur Lapindo ini. Sudah dua tahun ini dia hidup berpindah-pindah.

    Tak hanya kuburan Dusun Renokenongo yang tenggelam. Kuburan Dusun Sengon, masih dalam Desa Renokenongo, juga terendam di tengah lumpur di dalam tanggul Lapindo. Penduduknya tak bisa lagi nyekar di kubur keluarga mereka. Mereka hanya mendoakan dari atas tanggul menghadap kuburan yang juga ditandai gerumbul kamboja yang mengering.

    Muhammad Yunus (40 tahun) adalah salah satu warga Sengon yang keluarganya dimakamkan di kuburan umum Dusun Sengon. Sore itu Yunus tak bisa nyekar dan hanya mendoakan arwah keluarga dari atas tanggul. Dia menangis melihat kubur orang-orang yang dicintainya tenggelam oleh lumpur.

    Soal kuburan yang tenggelam, menurut Yunus, tak ada bahasan ganti rugi sama sekali. Penduduk sudah pusing memikirkan tuntutan dasar mereka yang tak jelas kapan dilunasi. Yunus ingin kuburan yang sudah tenggelam ini dipindahkan ke tempat lain supaya dia bisa berziarah. “Warga sebenarnya ingin makam dipindah, kersane saget ziarah, supaya bisa ziarah.”

    Soal kuburan ini tak hanya soal ziarah dan tradisi yang hilang. Namun juga soal bagaimana kalau warga dari kampung-kampung yang tenggelam ini mati. Pertanyaannya, mau dimakamkan di mana mereka kalau meninggal? Untuk warga Renokenongo yang kembali ke desa karena kontrakannya habis dan mati mereka akan dikuburkan di makam tetangga desa mereka, Glagaharum.

    Selama dua tahun pasca luapan lumpur, sudah 30 orang warga Renokenongo di pengungsian Pasar Baru Porong yang meninggal. Mereka nebeng makam di Desa Juwet Kenongo.

    “Mereka dikumpulkan di pojok, tak boleh milih tempat sembarangan,” tutur Nizar warga Renokenongo yang mengungsi di Pasar Porong Baru.

    Selain dua kuburan di Desa Renokenongo, kuburan-kuburan di Desa Siring, Kedungbendo, Mindi, Jatirejo Timur, Jatianom juga ditenggelamkan lumpur Lapindo. Jelang Ramadlan warga Mindi melakukan aksi nyekar di tanggul dan mendoakan leluhur mereka di sana.

    “Di Jatirejo ada dua kuburan satu di Jatirejo Timur dan Barat. Yang di Jatirejo Timur sudah tenggelam dan yang di Barat masih,” tutur Ahmad Novik (29 tahun) warga Jatirejo.

    Sementara penduduk Besuki yang setengah kampungnya ditenggelamkan lumpur masih beruntung karena kuburan mereka masih bisa digunakan. Dulu sempat tergenang lumpur tapi kini sudah kering. Meski kuburan itu dilapisi lumpur namun penduduk masih bisa menggunakannya. Sore sehari menjelang Ramadlan, penduduk Besuki memadati kuburan berlumpur itu untuk menjalankan tradisi nyekar dan mendoakan arwah keluarga mereka.

    Suroso adalah salah satu warga Besuki yang nyekar sore itu. Tak hanya menjelang Ramadlan, biasanya, Suroso ziarah ke makam orang tuanya setiap malam Jumat.

    “Ini sudah menjadi adat kebiasaan yang diharuskan menjelang puasa dan Idul Fitri,” tutur Suroso. Dan berapa besar kerugian atas hilangnya tradisi ini? Lapindo tak bicara. Pemerintah pun bungkam. [ba/re/mam]

  • Warga di Wilayah Peta Terdampak Enggan Pindah

    Menurut koordinator tiga desa, Abdul Rokhim, warga enggan pindah karena belum ada kejelasan kapan pembayaran sisa ganti rugi 80 persen dilaksanakan. Warga khawatir nasib mereka terkatung-katung seperti nasib korban lumpur Lapindo lain yang hingga kini belum jelas penyelesaian ganti ruginya.

    ”Berdasar aturan perpres, pembayaran 80 persen akan diberikan Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) jika penyelesaian ganti rugi yang ditanggung Lapindo selesai. Padahal, ganti rugi yang diberikan Lapindo berlarut-larut tanpa kejelasan sampai kini,” kata Rokhim, Kamis (1/1) di Sidoarjo.

    Pada Juli 2008, tiga desa itu dimasukkan ke dalam wilayah peta terdampak lumpur karena dinyatakan tidak layak huni. Terdapat 1.666 keluarga (6.094 jiwa) yang tinggal di tiga desa itu. Pada pertengahan September 2008, mereka menerima uang muka ganti rugi 20 persen dan uang bantuan sosial dari BPLS.

    Berdasarkan perjanjian warga tiga desa dengan BPLS, setelah menerima uang bantuan sosial yang terdiri dari uang kontrak selama dua tahun senilai Rp 5 juta, uang evakuasi Rp 500.000, dan uang jatah hidup Rp 300.000 selama enam bulan, warga diberi batas waktu 90 hari untuk keluar dari tempat tinggal mereka karena desa itu akan dibangun menjadi kolam penampungan lumpur. Batas terakhir untuk pindah tanggal 31 Desember 2008.

    Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnain menjelaskan, meski batas waktu warga untuk pindah telah habis, pihaknya tidak akan serta-merta menganggap warga melanggar perjanjian. BPLS masih memberi toleransi waktu bagi warga hingga mereka memiliki tempat tinggal baru.

    ”Pemerintah perlu mendorong Lapindo agar segera menyelesaikan pembayaran ganti rugi korban lumpur sehingga kekhawatiran warga terkait sisa pembayaran ganti rugi 80 persen tidak terjadi,” kata Zulkarnain.

    Untuk uang muka ganti rugi 20 persen bagi warga di tiga desa, pemerintah melalui BPLS telah mengeluarkan dana hampir Rp 101 miliar. Jumlah itu belum termasuk uang bantuan sosial sekitar Rp 15 miliar. Seluruh dana tersebut diambil dari APBN 2008. (APO)